Cerpen: M[r]isunderstand
Sesuatu di luar gerbang sekolah membuat sepasang mata teralih
dari lembaran-lembaran buku biologi yang sedang dibacanya.
Ia memperhatikan seorang gadis yang baru saja turun dari
sebuah motor. Sudah ke sekian kali ia melihat cowok yang mengantar teman
sekelasnya ke sekolah. Cowok itu—yang berseragam beda dengannya—selalu
mengacak-acak rambut teman sekelasnya sebelum meninggalkannya pergi.
Kemudian, ia melihat gadis itu berjalan ke arah kelas
mereka—XI IPA 2.
“Hai, Dim.” sapa Karenina. Teman-teman biasa memanggilnya
Karen.
Dimi, cowok yang selalu rela berdiri di depan kelas hanya
untuk menunggu kedatangan dan sapaan dari Karen.
“Eh, iya.” kata Dimi dengan tatapan dingin.
Karen melihat buku yang Dimi pegang.
“Emang hari ini ada pelajaran biologi?” tanya Karen.
Dimi diam sejenak. “Bukannya ada?” ia malah balik bertanya.
“Ngga ada tau. Kok lo ngigo sih? Hahahaha!” geli Karen.
“Ngga ada tau. Kok lo ngigo sih? Hahahaha!” geli Karen.
Setelah selesai menertawai Dimi, Karen berbalik untuk masuk
ke kelas.
“Oh iya, makanya jangan absen terus. Jadwal pelajaran sampe
lupa gitu.” ucap Karen.
Dimi diam sambil memperhatikan punggung mungil Karen masuk ke
kelas.
Seseorang membuyarkan lamunan Dimi.
“Masih ngarep dia?” tanya Satria, sahabat Dimi yang baru saja
datang.
“Gue juga ngga tau Sat kenapa sampe segininya. Tapi ya lo tau sendiri kan.” kata Dimi.
“Dim, setau gue, kalo laki suka sama cewek, ngga gitu reaksinya kalo tau cewek yang ditaksir udah punya gandengan.”
“Terus maksud lo gue harus ngerusak hubungannya gitu?”
“Lo denger gue ngomong kaya gitu ngga barusan?”
“Engga, sih. Terus maksud lo gimana?”
“Ya usaha lah!”
“Gue juga ngga tau Sat kenapa sampe segininya. Tapi ya lo tau sendiri kan.” kata Dimi.
“Dim, setau gue, kalo laki suka sama cewek, ngga gitu reaksinya kalo tau cewek yang ditaksir udah punya gandengan.”
“Terus maksud lo gue harus ngerusak hubungannya gitu?”
“Lo denger gue ngomong kaya gitu ngga barusan?”
“Engga, sih. Terus maksud lo gimana?”
“Ya usaha lah!”
~
Sepulang sekolah di depan gerbang.
“Ren, belom balik?” tanya Dimi yang baru saja keluar dengan
motornya.
“Eh, Dim. Belom, lagi nunggu dijemput.” Karen mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.
“Eh, Dim. Belom, lagi nunggu dijemput.” Karen mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.
Dimi mengangguk-anggukan kepalanya.
“Mau bareng gue?” Dimi menawari tumpangan.
“Hah?”
“Hah?”
Tak lama, motor yang baru saja terparkir di seberang mereka
berdua menglakson.
“Ngga perlu Dim. Udah dijemput. Duluan ya, makasih
tawarannya.” kata Karen sambil tersenyum.
Cowok yang berada di sebrang sana, yang sekarang sedang
mengamati Dimi dari atas sampai bawah. Kedua mata di balik helm tersebut
membuat Dimi semakin penasaran.
“Pegangan.” ucap cowok yang sekarang memboncengi Karen.
Tanpa pikir panjang, Karen langsung memasukan kedua tangannya
ke saku jaket cowok yang berada di depannya.
“Bye, Dim.” kata Karen.
Dimi membeku sambil mendengus kesal.
Sore harinya, ponsel Karen terus-terusan berdering. Entah itu
telepon atau chat whatsapp dari seseorang.
“Ren, bangun kenapa. Itu hape lo ganggu banget sumpah!” oceh
Kimiga.
“Apaan sih. Masih ngantuk gue.” kata Karen yang matanya masih terpejam dan masih berada di balik selimut.
“Tidur di kamar lo kenapa. Punya kamar sendiri tapi hobi banget tidur di kamar gue sih ah.” kesal Kimi.
“Yaudah itu angkat dulu kek teleponnya, atau engga bales kek chatnya. Berisik tau!”
“Apaan sih. Masih ngantuk gue.” kata Karen yang matanya masih terpejam dan masih berada di balik selimut.
“Tidur di kamar lo kenapa. Punya kamar sendiri tapi hobi banget tidur di kamar gue sih ah.” kesal Kimi.
“Yaudah itu angkat dulu kek teleponnya, atau engga bales kek chatnya. Berisik tau!”
Karen meraih ponselnya.
7 panggilan tidak terjawab. 9 pesan di whatsapp.
Dari Dimi Anggoro.
Karen langsung membuka matanya lebar-lebar dan memasang wajah
antusias.
“Kimi kenapa lo ngga bangunin gue dari tadi sih ah!” Karen
bangun dari atas kasur Kimi dan memberi toyoran dari belakang untuk Kimiga.
Lalu Karen keluar dari kamar Kimi dan masuk ke kamarnya—di
sebelah kamar Kimi.
“Kayanya gue udah bangunin dari tadi deh? Eh bodo amat.
Kampret banget punya adik hobinya noyor kepala kakaknya!” gerutu Kimi setelah
Karen keluar.
~
“Halo? Dim, maaf, tadi gue tidur. Kenapa Dim?” Karen langsung
menghubungi Dimi di kamarnya. Tidak lupa untuk mengunci kamarnya.
“Ngga papa kok. Mau nanya aja sih, tapi kayanya ngga penting.” jawab Dimi dengan nada bicara yang datar.
“Nanya apa emangnya?” tanya Karen.
“Besok sepulang sekolah, lo bisa bantu gue ngga?”
“Bantu apa?”
“Gue punya dua tiket bioskop. Nah, gue mau minta bantuan lo buat make tiketnya. Soalnya mubazir aja kalo gue make sendirian.”
“Ngga papa kok. Mau nanya aja sih, tapi kayanya ngga penting.” jawab Dimi dengan nada bicara yang datar.
“Nanya apa emangnya?” tanya Karen.
“Besok sepulang sekolah, lo bisa bantu gue ngga?”
“Bantu apa?”
“Gue punya dua tiket bioskop. Nah, gue mau minta bantuan lo buat make tiketnya. Soalnya mubazir aja kalo gue make sendirian.”
Karen menahan tawanya.
“Halo? Ren? Lo masih di telepon kan?” tanya Dimi.
“Eh, masih kok masih. Oh, jadi mau ngajak gue nonton?”
“Yaa, terserah lo sih mau nganggepnya apa. Yang penting lo bantuin gue.”
“Yaudah. Liat besok deh.”
“Eh, ngga boleh. Harus jawab sekarang.”
“Gue mau nanya—“
“Cowok lo ya?” Dimi langsung memotong ucapan Karen.
“Bukan. Mau nanya Papa dulu.”
“Ooh, yaudah. Kabarin secepatnya ya.”
“Iya Dim.”
“Yaudah, sampe ketemu besok di sekolah ya.”
“Eh, masih kok masih. Oh, jadi mau ngajak gue nonton?”
“Yaa, terserah lo sih mau nganggepnya apa. Yang penting lo bantuin gue.”
“Yaudah. Liat besok deh.”
“Eh, ngga boleh. Harus jawab sekarang.”
“Gue mau nanya—“
“Cowok lo ya?” Dimi langsung memotong ucapan Karen.
“Bukan. Mau nanya Papa dulu.”
“Ooh, yaudah. Kabarin secepatnya ya.”
“Iya Dim.”
“Yaudah, sampe ketemu besok di sekolah ya.”
Tanpa menjawab, Karen langsung memutus sambungan teleponnya.
Di kamar Dimi.
“Najis! Sumpah gue jijik banget Dim. Hahahahaha!”
“Ngga pengertian lo Sat! Lo ngga tau apa gue deg-degan? Kayanya Karen ketawa deh pas gue bilang minta bantuan make tiket bioskop.”
“Ya itu! Emang itu yang paling jijik. Alesannya…… hahahahahahaha!”
“Ngga pengertian lo Sat! Lo ngga tau apa gue deg-degan? Kayanya Karen ketawa deh pas gue bilang minta bantuan make tiket bioskop.”
“Ya itu! Emang itu yang paling jijik. Alesannya…… hahahahahahaha!”
Satria masih terus menertawai temannya itu.
Keesokan paginya, ada sesuatu yang membuat Dimi kaget bukan
main. Ia melihat Karen turun dari motor yang berbeda. Juga cowok yang berbeda.
Dimi baru melihatnya.
Bukan mengacak-acak rambut Karen, tapi cowok yang
mengantarnya menoyor kening Karen. Karen tidak bisa membalas karena cowok
tersebut memakai helm.
Dimi memperhatikan cowok yang mengenakan celana jins dan
kemeja hitam yang bagian lengannya digulung setengah. Seperti anak kuliahan.
“Ren, itu siapa lagi?” gumam Dimi pelan.
Karen berjalan menuju kelasnya.
“Kayanya tadi ada Dimi. Ke mana sekarang?” gumam Karen.
Begitu Karen masuk kelas, ternyata Dimi sudah duduk di
kursinya. Ia memasang headset di
kedua telinganya.
Setelah menaruh tas, Karen duduk di kursi depan meja Dimi.
“Dim?”
Dimi menoleh pada Karen. “Apa?” tanyanya dingin.
“Nanti jadi? Gue dapet izin dari bokap.” kata Karen.
“Ngga usah deh.” Dimi berdiri dan pergi meninggalkan kelas.
“Nanti jadi? Gue dapet izin dari bokap.” kata Karen.
“Ngga usah deh.” Dimi berdiri dan pergi meninggalkan kelas.
Karen memperhatikan Dimi keluar dari kelas.
“Kenapa deh?” Karen jadi kebingungan sendiri.
Melihat sikap Dimi yang dingin, tidak membuat Karen heran.
Karena bisanya memang seperti itu.
Hanya saja, setiap kali Karen sampai di rumah, sikap Dimi berubah
180 derajat dengan di sekolah.
Dimi memperlakukan Karen seolah Karen adalah gadis yang
disukainya. Banyak tanya tentang kegiatan Karen setiap kali hari libur.
Tapi begitu sampai sekolah, Dimi kembali menjadi sosok yang
sedingin es. Membuat Karen tidak mengerti, menebak-nebak tentang perlakuan Dimi
di sekolah dan saat Karen sampai rumah.
Saat jam pelajaran, Karen terus-menerus menoleh ke samping
kirinya—meja Dimi. Entah apa yang membuatnya tertarik untuk melakukan ini saat
jam pelajaran.
Dimi yang sedang memperhatikan penjelasan guru fisika,
melirik Karen dengan ekor matanya. Membuat Karen harus membuang pandangan.
Sepulang sekolah, Dimi tidak langsung keluar kelas. Hanya
teman semejanya saja yang pergi lebih dulu saat bel pulang berbunyi.
“Dimi…” panggil Karen dari kursinya.
“Apa?” jawab Dimi sambil memasukan buku-bukunya ke dalam tas, tanpa menoleh ke arah Karen.
“Lo ngga jadi minta bantuan gue?”
“Bantuan apa?” Dimi menatap wajah Karen.
“Apa?” jawab Dimi sambil memasukan buku-bukunya ke dalam tas, tanpa menoleh ke arah Karen.
“Lo ngga jadi minta bantuan gue?”
“Bantuan apa?” Dimi menatap wajah Karen.
Glek.
Kenapa Karen baru sadar kalau Dimi ternyata juga tampan.
“Ngga ngebiarin tiket bioskop mubazir.” kata Karen sedanya.
Ia masih mencoba mengatur detak jantungnya karena mendapat tatapan tiba-tiba
dari Dimi.
“Ngga deh. Tiba-tiba gue hilang mood buat nonton.”
“Eh, yaudah. Biar tiket yang lo punya ngga mubazir, mending buat gue aja. Gue mau ngajak seseorang nonton.” Karen menengadahkan kedua tangannya di hadapan Dimi.
“Ngga deh. Tiba-tiba gue hilang mood buat nonton.”
“Eh, yaudah. Biar tiket yang lo punya ngga mubazir, mending buat gue aja. Gue mau ngajak seseorang nonton.” Karen menengadahkan kedua tangannya di hadapan Dimi.
Dimi melirik Karen jutek, lalu bangun dan pergi dari kelas.
“Dim, Dimi!” panggil Karen yang menyusul Dimi keluar kelas.
Karen menghadang langkah Dimi.
Dimi menatap cewek yang tingginya hanya sedagunya saja.
“Apa?” tanya Dimi.
“Tiketnya buat gue aja kalo lo ngga mau ngegunain.” Karen tersenyum.
“Tiketnya buat gue aja kalo lo ngga mau ngegunain.” Karen tersenyum.
Bahkan Dimi juga harus mengatur detak jantungnya karena
berada sedekat ini dengan Karen.
“Emang siapa seseorang yang mau lo ajak nonton?” tanya Dimi
setelah menghembuskan napas.
“Sini dulu tiketnya.”
“Sini dulu tiketnya.”
Dimi mengeluarkan dua tiket dari saku kemeja seragamnya.
Baru saja Karen hendak mengambil tiket yang ada di tangan
Dimi,
“Ada satu syarat.” kata Dimi.
“Apa?”
“Apa?”
Dimi menarik ransel Karen.
“Eh, Dim!” teriak Karen.
Dimi membawa Karen sampai ke parkiran motor.
“Ngapain ngajak gue parkiran?” tanya Karen.
“Gue kasih lo tiketnya, tapi lo harus nemenin gue.”
“Ke mana?”
“Udah, naik aja.”
“Eh, tapi?”
“Mau ngga?”
“Iya… iya.”
“Gue kasih lo tiketnya, tapi lo harus nemenin gue.”
“Ke mana?”
“Udah, naik aja.”
“Eh, tapi?”
“Mau ngga?”
“Iya… iya.”
~
Di depan Root The Coffee.
“Gue lagi mau minum kopi. Ngga enak aja minum kopi
sendirian.” kata Dimi seraya membuka helm dan jaketnya.
“Lo sering ke sini?” tanya Karen.
“Iya. Kenapa?”
“Gue juga sering ke sini sama Kimi.” ucap Karen.
“Kimi?” Dimi mangangkat sebelah alisnya.
“Lo sering ke sini?” tanya Karen.
“Iya. Kenapa?”
“Gue juga sering ke sini sama Kimi.” ucap Karen.
“Kimi?” Dimi mangangkat sebelah alisnya.
Karen mengangguk.
“Kimiga—“
“Udah, udah. Pesen aja dulu mau apa.” kata Dimi.
“Udah, udah. Pesen aja dulu mau apa.” kata Dimi.
Setelah memesan satu coffee ice cream dan satu ice coffee.
“Eh, mana tiketnya?” ucap Karen.
“Emang mau lo gunain sama siapa sih?”
“Sini dulu.”
“Emang mau lo gunain sama siapa sih?”
“Sini dulu.”
Dimi memberikan tiketnya pada Karen.
“Sama siapa?” tanya Dimi.
Sikap Dimi sekarang membuat Karen bingung lagi. Dimi bersikap
sebagai ‘Dimi’ saat Karen berada di rumah.
“Mau tau aja deh.” kata Karen dengan tatapan meledek.
Dimi mendengus kesal.
Ponsel Karen berdering.
“Halo?”
“Di mana?” tanya seseorang di ujung telepon.
“Root Coffee, sama temen.”
“Nanti mau dijemput ngga?”
“Di mana?” tanya seseorang di ujung telepon.
“Root Coffee, sama temen.”
“Nanti mau dijemput ngga?”
Karen melirik Dimi yang sedang memperhatikannya.
“Nanti aku telepon kalo emang harus jemput.”
“Yaudah. Jangan kesorean ya.”
“Hm.”
“Yaudah. Jangan kesorean ya.”
“Hm.”
Karen memutus sambungan.
Setelah pesanan datang.
“Gue balik duluan ya. Maaf, gue lupa ternyata ada janji.”
Dimi berdiri dan hendak keluar dari kafe.
“Lo tuh kenapa sih? Aneh banget tau ngga!”
Dimi hanya melirik, kemudian benar-benar meninggalkan Karen.
Ia sendiri tidak tau harus melakukan apa.
Setelah Dimi pergi, Karen menelepon seseorang.
“Kaf, ke Root Coffee cepetan.”
Tanpa menunggu jawaban, Karen langsung memutus sambungan.
Dua puluh menit kemudian, seseorang datang.
“Kenapa? Temennya mana? Katanya lagi sama temen?” tanya Kafka
yang langsung duduk di samping Karen.
Karen diam dan memasang tampang kesal.
“Kok mukanya kaya kesel gitu? Kenapa sih…” Kafka menyubit
pipi Karen, tapi langsung ditepis.
Kafka tau kalau sekarang Karen benar-benar sedang kesal.
“Aku udah seneng di ajak ke sini sama dia. Tapi dia malah
pergi pas pesanan dateng. Siapa yang ngga kesel?”
Bibir Karen hampir jatuh ke lantai.
“Yaudah, abisin dulu minumannya. Itu bibir dikit lagi jatoh
tau.” kata Kafka.
~
Hari-hari berikutnya, Dimi mendiami Karen. Tidak tau kenapa,
perasaannya selalu kesal setiap kali melihat Karen. Terlebih saat baru sampai
sekolah atau pulang sekolah. Karena Dimi harus melihat cewek yang disukainya
pulang bareng dengan dua cowok berbeda-beda di beberapa hari.
Hari ini wajah Karen kelihatan pucat. Karen juga hanya
berbaring di ruang UKS selama dua jam terakhir.
Dan untuk beberapa kali, Dimi izin ke toilet—bukan
benar-benar ke toilet, tapi untuk sekadar melihat keadaan Karen.
Karen duduk di bangku depan pos satpam.
Saat Dimi hendak keluar dari parkiran, ia benar-benar ingin
mengakhiri kebekuan tiga hari terakhir pada Karen. Tapi tiba-tiba…
Seseorang turun dari mobil. Pria dengan usia sekitar 25 tahun
menghampiri Karen dan langsung menaruh telapak tangannya di kening Karen.
“Eh, kamu demam lho. Abis ini ke rumah sakit dulu.” ucapnya.
“Ngga usah, mau langsung pulang aja, mau tidur.” kata Karen pelan.
“Ngga usah, mau langsung pulang aja, mau tidur.” kata Karen pelan.
Antara kesal dan rasa ingin menarik tangan Karen untuk duduk
di belakangnya. Tapi tidak tega juga membiarkan Karen panas-panasan.
TAPI COWOK YANG JEMPUT KAREN PAKAI MOBIL, ITU SIAPA LAGI?!
Batin Dimi.
“Ngga. Ke rumah sakit dulu.”
Pria berpakaian kantoran itu langsung membantu Karen berjalan
masuk ke mobil sedan silvernya.
~
“Sat, ngga cuman satu Sat. Tiga Sat, tiga!” gerutu Dimi
begitu Satria datang ke rumahnya.
“Iya, gue tau rasanya jadi elo yang suka sama cewek, tapi tuh cewek sering jalan sama cowok yang beda-beda.”
“Ah, parah. Gue ngga ngerti lagi sama si Karen, serius!”
“Ngga cocok lo sama dia. Udah hampir setahun mendem perasaan ke Karen, tapi Karen gebetannya di mana-mana.”
“Ah!”
“Iya, gue tau rasanya jadi elo yang suka sama cewek, tapi tuh cewek sering jalan sama cowok yang beda-beda.”
“Ah, parah. Gue ngga ngerti lagi sama si Karen, serius!”
“Ngga cocok lo sama dia. Udah hampir setahun mendem perasaan ke Karen, tapi Karen gebetannya di mana-mana.”
“Ah!”
Bingung harus ketawa sekencang-kencangnya atau merasa kasihan
pada sahabatnya yang sedang frustasi seperti ini.
Terhitung hari ini sampai tujuh hari ke depan, Karen tidak
masuk sekolah karena sakit. Karen kena tifus dan harus dirawat selama lima hari
di rumah sakit.
Bahkan Dimi benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya.
Rasa kesalnya pada Karen dan rasa ingin tau tentang keadaan Karen sekarang.
Hari ke enam Karen absen, beberapa perwakilan kelas dan wali
kelas Karen, menjenguknya di rumah.
Wali kelas, ketua kelas, Jessica (teman semeja Karen),
Satria, dan Dimi.
Sesampainya di depan rumah Karen.
Bahkan Dimi baru tau. Ia langsung segera menghafal jalan
untuk bisa sampai ke rumah Karen.
“Jess, jangan dandan mulu. Kita mau jenguk kali, bukan show
topeng monyet.” kata Satria pada Jessica yang sedang sibuk mewarnai bibirnya
sambil bercermin.
Dimi, Rio (ketua kelas), dan Bu Rininta hanya terkikik
mendengar ledekan Satria.
“Berisik lo! Gue ngelakuin ini demi masa depan. Kali aja ada Kak Keenan, atau Kak Kimi, atau ngga Kak Kafka juga ngga papa.” ucap Jessica.
“Berisik lo! Gue ngelakuin ini demi masa depan. Kali aja ada Kak Keenan, atau Kak Kimi, atau ngga Kak Kafka juga ngga papa.” ucap Jessica.
Mendengar salah satu nama yang Jessica sebut, membuat Dimi
langsung menoleh.
“Mari Bu, mas dan mbak silahkan masuk.” ucap pembantu di
rumah Karen.
Setelah dipersilahkan masuk, Bu Rininta sempat bertanya pada
pembantu di rumah Karen.
“Ibu sama Bapak Karen ke mana mbak?” tanya Bu Rininta.
“Ibu sudah ngga ada sejak melahirkan mbak Karen. Bapak kerja, mungkin sebentar lagi mas Kafka sama mas Kimi sampai rumah.”
“Oh gitu. Yaudah mbak, saya boleh lihat keadaan Karen?”
“Oh, boleh, mbak Karen juga baru aja bangun Bu.”
“Ibu sudah ngga ada sejak melahirkan mbak Karen. Bapak kerja, mungkin sebentar lagi mas Kafka sama mas Kimi sampai rumah.”
“Oh gitu. Yaudah mbak, saya boleh lihat keadaan Karen?”
“Oh, boleh, mbak Karen juga baru aja bangun Bu.”
Pembantu yang dipanggil mbak, mengantar Bu Rininta, Jessica,
dan Rio ke kamar Karen. Sedangkan Dimi dan Satria menunggu di ruang tamu.
Ada sesuatu yang menarik perhatian Dimi. Ia baru sadar dan
baru melihat foto keluarga yang dibingkai besar di sudut dinding.
Empat pria dan satu wanita.
Pria yang bisa Dimi tebak bahwa ia adalah Papanya Karen. Dan
dari ketiga pria lainnya, Dimi merasa pernah melihatnya.
Pria itu… yang menjemput Karen dengan mobil.
Hanya itu yang Dimi ingat dengan jelas.
Saat sebuah motor terparkir di garasi rumah Karen.
Cowok berseragam sekolah. Cowok yang sering Dimi lihat dan
selalu mengacak-acak rambut Karen saat Karen baru turun dari motor.
Dimi membaca name tag di
kemeja seragamnya.
Kafka Kusumadiwijaya.
“Temennya Karen?”
“I.. iya.”
“I.. iya.”
Kafka tersenyum.
“Mbak, temen-temennya Karen ngga dibuatin minum?” teriak
Kafka seraya berjalan menuju dapur.
“Lagi dibuatin, mas Kafka.”
“Kamarnya Karen di atas, belok kiri, yang di pintunya ada nomor empat.” ucap Kafka.
“Lagi dibuatin, mas Kafka.”
“Kamarnya Karen di atas, belok kiri, yang di pintunya ada nomor empat.” ucap Kafka.
Setelah Kafka menghilang dari pandangan Dimi dan Satria,
“Anjir. Doi kakaknya Karen, Dim. Mampus lo salah paham.
Hahahaha!” bisik Satria.
“Iya. Cowok yang jemput Karen pake mobil, itu juga kakaknya. Cuman gue nga tau siapa Kim—“
“Iya. Cowok yang jemput Karen pake mobil, itu juga kakaknya. Cuman gue nga tau siapa Kim—“
Seseorang masuk sambil membuka helm.
“Eh, siapa?” tanya cowok yang sambil menyeka rambut
gondrongnya.
“Temen-temennya Karen, Bang.” teriak Kafka yang baru keluar dari kamar mandi.
“Oh, hai (melambaikan tangan). Kaf, Bang Keenan ngga balik?” tanya Kimi.
“Ngga. Baru tadi pagi dia berangkat ke Surabaya.”
“Papa? Kok Karen ditinggal sama mbak aja sih di rumah. Gimana deh. Lo juga, harusnya ngga masuk dulu kek.” ucap Kimi.
“Papa di kantor lah. Kalo ngga ada ulangan, gue ngga masuk Bang.”
“Izinnya Karen tinggal sehari kan? Besok gue atau lo yang ngga masuk?”
“Gue aja.” kata Kafka.
“Yaudah. Gue juga deh.”
“Temen-temennya Karen, Bang.” teriak Kafka yang baru keluar dari kamar mandi.
“Oh, hai (melambaikan tangan). Kaf, Bang Keenan ngga balik?” tanya Kimi.
“Ngga. Baru tadi pagi dia berangkat ke Surabaya.”
“Papa? Kok Karen ditinggal sama mbak aja sih di rumah. Gimana deh. Lo juga, harusnya ngga masuk dulu kek.” ucap Kimi.
“Papa di kantor lah. Kalo ngga ada ulangan, gue ngga masuk Bang.”
“Izinnya Karen tinggal sehari kan? Besok gue atau lo yang ngga masuk?”
“Gue aja.” kata Kafka.
“Yaudah. Gue juga deh.”
Dimi berkali-kali mencaci dirinya dalam hati. Bagaimana bisa
dia cemburu dan merasa terhalangi oleh kakak kandung Karen?
Mendengar percakapan kedua kakak Karen, terlihat bahwa mereka
benar-benar menyayangi Karen.
Satria hanya menahan tawa melihat ekspresi Dimi sekarang.
~
“Ren.” Dimi menghampiri Karen di balkon sekolah.
“Apa?” tanya Karen setelah menyeruput minumannya.
“Tiket bioskop. Itu mau lo gunain sama siapa?”
“Apa?” tanya Karen setelah menyeruput minumannya.
“Tiket bioskop. Itu mau lo gunain sama siapa?”
Dimi sempat berpikir kalau Karen akan menggunaknnya dengan
seseorang yang mengantar Karen ke sekolah (sebelum ia tau bahwa ketiga pria itu
adalah kakaknya Karen).
“Lo penasaran banget?” tanya Karen. Dimi mengangguk.
“Bentar, gue telepon orangnya.”
“Bentar, gue telepon orangnya.”
Karen mengeluarkan ponselnya dan mencari satu nama di
kontaknya. Membuat Dimi menebak-nebak, siapa yang akan Karen hubungi.
Dua detik kemudian, ponsel Dimi yang
di-setting mode getar, bergetar di
saku celana Dimi.
Tertera nama ‘Karenina’ di layar
ponsel Dimi.
Dimi menatap Karen.
“Udah tau siapa yang mau gue ajak
buat gunain tiketnya?” tanya Karen sambil tersenyum.
Dimi terkikik.
“Kenapa deh lo batalin nontonnya?
Untung masih sisa seminggu, jadi sekarang sampe seminggu ke depan masih
berlaku.”
“Ya ada lah alesan konyolnya.”
“Dih, gitu. Oh iya, lo pasti pernah deh selintas punya pertanyaan siapa yang nganter-jemput gue sekolah.”
“Engga. Emangnya kenapa?”
“Serius, ngga pernah?” Karen menatap kaget.
“Biasa aja sih. Emangnya kenapa?”
“Iya, mau bilang aja sih kalo cowok-cowok ganteng itu kakak-kakak gue.”
“Oh, lo bungsu dari empat saudara ya?”
“Iya. Setiap kali jalan sama Kafka atau Kimi, pasti gue dikira pacarnya. Kalo jalan sama Kak Keenan, gue dikira selingkuhan atau simpenan. Hahahahaha!”
“Ya iyalah. Gue aja sempet ketipu. Eh, ternyata itu kakak lo.”
“Ya ada lah alesan konyolnya.”
“Dih, gitu. Oh iya, lo pasti pernah deh selintas punya pertanyaan siapa yang nganter-jemput gue sekolah.”
“Engga. Emangnya kenapa?”
“Serius, ngga pernah?” Karen menatap kaget.
“Biasa aja sih. Emangnya kenapa?”
“Iya, mau bilang aja sih kalo cowok-cowok ganteng itu kakak-kakak gue.”
“Oh, lo bungsu dari empat saudara ya?”
“Iya. Setiap kali jalan sama Kafka atau Kimi, pasti gue dikira pacarnya. Kalo jalan sama Kak Keenan, gue dikira selingkuhan atau simpenan. Hahahahaha!”
“Ya iyalah. Gue aja sempet ketipu. Eh, ternyata itu kakak lo.”
Karen menoleh.
“Berarti lo pernah penasaran dong
kalo gitu?”
“Hah? Eh, ngga gitu.”
“Halah, ngaku deh! Hahahaha!”
“Hah? Eh, ngga gitu.”
“Halah, ngaku deh! Hahahaha!”
Dimi malah ketawa dan tidak mengaku
bahwa ia (bahkan) sangat cemburu pada kakak-kakak Karen.
“Eh, btw mau nonton kapan?” tanya
Karen.
“Abis kita jadian.”
“Hah? Maksudnya?” Karen menatap bingung.
“Kita jadian dulu. Baru gue nerima ajakan nonton lo.”
“Abis kita jadian.”
“Hah? Maksudnya?” Karen menatap bingung.
“Kita jadian dulu. Baru gue nerima ajakan nonton lo.”
Karen berpikir sejenak. “Yaudah,
nontonnya pulang sekolah nanti.” kata Karen sambil tersenyum.
END
Komentar
Posting Komentar