Cerpen: At The Past
Luna berjalan keluar dari gedung yang memberinya ilmu selepas
masa SMA. Sendiri. Siang ini tepat pukul satu siang, dan Luna harus segera
sampai suatu tempat secepat mungkin. Karena beberapa orang sudah menunggunya
sejak setengah jam yang lalu. Harusnya mereka janjian jam setengah satu siang,
tapi karena ada problem, Luna baru
bisa selesai kuliah jam satu siang.
Luna menunggu angkutan umum dibawah teriknya matahari. Untung
saja Luna mengenakan t-shirt panjang, jadi tangannya bisa terlindungi dari
matahari. Sekitar lima menit menunggu angkutan yang akan membawanya ke daerah
Depok, dan setelah itu Luna naik, untunglah ia masih dapat tempat untuk duduk. Baru
saja Luna duduk, ponselnya berdering menandakan satu pesan diterima.
‘Lo udah balik? Cepet banget. Kenapa ngga nunggu gue sih?’
Pesan dari salah satu teman kuliah Luna, namun diabaikannya. Entah mengapa pikiran Luna masih tertinggal di masa lalu. Sekitar dua puluh menit Luna berada di angkutan itu, dan angkutan itu berhenti tepat di salah satu café di daerah Margonda. Luna segera berjalan menuju café tersebut. Dan setelah membuka pintu, Luna mencari meja yang hanya dihuni tiga orang. Tidak sulit untuk mencarinya, karena kebetulan café itu tidak terlalu ramai.
Pesan dari salah satu teman kuliah Luna, namun diabaikannya. Entah mengapa pikiran Luna masih tertinggal di masa lalu. Sekitar dua puluh menit Luna berada di angkutan itu, dan angkutan itu berhenti tepat di salah satu café di daerah Margonda. Luna segera berjalan menuju café tersebut. Dan setelah membuka pintu, Luna mencari meja yang hanya dihuni tiga orang. Tidak sulit untuk mencarinya, karena kebetulan café itu tidak terlalu ramai.
“Emh, ngaret” ucap Sofi.
“Maaf hehehe, tadi ada kendala di kampus” ucap Luna.
“Kebiasaan SMA nya ga pernah ilang. Janjian jam berapa, datengnya sejam kemudian” ucap Marsha.
“Lo semua dateng barengan?” tanya Luna yang sudah duduk disebelah Rina, dihadapan Marsha dan Sofi.
“Gue duluan yang nyampe, sepuluh menit gue duduk, Rina sama Marsha dateng” jawab Sofi.
“Eh eh cerita dong, asik gak belajar di kuliah kalian. Gue penasaran. Baru ketemu sekarang kan kita” cecar Luna pada ketiga teman SMA nya.
“Gue yaa lumayan lah. Tapi berat ngejalanin jadi anak fotografi, berat harus bawa-bawa ginian” jawab Marsha menunjukan kamera SLR nya. Maklum, anak fotografi.
“Lo gimana Rin? Asus udah ganti jadi mac belom hahaha?”
“Ibu gue lagi nabung buat beli gituan. Ribet sumpah, basicnya kan gue emang gaada dasar desain. Kalo desain di buku gambar mah masih gampang, lah ini mah” cerita Rina, sekarang dia anak design grafis di kampusnya, yang menjadi kampus Marsha juga.
“Lo gimana Sof? Enak ga belajar hitung-hitungan?”
“Apa bedanya sama lo. Kalo gue enak-enak aja kuliah disana, sekalian cuci mata setiap hari. Sumpah ya ganteng-ganteng banget!” cerita Sofi antusias.
“Cuci mata tiap hari, tapi gebetan belom ada” celetuk Marsha.
“Ehh sorry sorry to say, gebetan mah udah ada kali” ucap Sofi.
“Kenalin ke kita dong. Ah parah lo mah” ucap Rina.
“Tunggu, kalo Sofi udah ada gebetan, Rina gimana? Udah punya?” tanya Luna.
“Maaf hehehe, tadi ada kendala di kampus” ucap Luna.
“Kebiasaan SMA nya ga pernah ilang. Janjian jam berapa, datengnya sejam kemudian” ucap Marsha.
“Lo semua dateng barengan?” tanya Luna yang sudah duduk disebelah Rina, dihadapan Marsha dan Sofi.
“Gue duluan yang nyampe, sepuluh menit gue duduk, Rina sama Marsha dateng” jawab Sofi.
“Eh eh cerita dong, asik gak belajar di kuliah kalian. Gue penasaran. Baru ketemu sekarang kan kita” cecar Luna pada ketiga teman SMA nya.
“Gue yaa lumayan lah. Tapi berat ngejalanin jadi anak fotografi, berat harus bawa-bawa ginian” jawab Marsha menunjukan kamera SLR nya. Maklum, anak fotografi.
“Lo gimana Rin? Asus udah ganti jadi mac belom hahaha?”
“Ibu gue lagi nabung buat beli gituan. Ribet sumpah, basicnya kan gue emang gaada dasar desain. Kalo desain di buku gambar mah masih gampang, lah ini mah” cerita Rina, sekarang dia anak design grafis di kampusnya, yang menjadi kampus Marsha juga.
“Lo gimana Sof? Enak ga belajar hitung-hitungan?”
“Apa bedanya sama lo. Kalo gue enak-enak aja kuliah disana, sekalian cuci mata setiap hari. Sumpah ya ganteng-ganteng banget!” cerita Sofi antusias.
“Cuci mata tiap hari, tapi gebetan belom ada” celetuk Marsha.
“Ehh sorry sorry to say, gebetan mah udah ada kali” ucap Sofi.
“Kenalin ke kita dong. Ah parah lo mah” ucap Rina.
“Tunggu, kalo Sofi udah ada gebetan, Rina gimana? Udah punya?” tanya Luna.
Rina diam sambil senyum-senyum sendiri. Begitupun Marsha dan
Sofi.
“Eh ada apasih kok gue gatau? Ahhh jawab” tanya Luna yang kepo-nya mulai keluar.
“Lo tau gak dia jadian sama siapa?” tanya Marsha sambil menahan tawa.
“Enggak, emang siapa?”
“Lo dulu deh Lun, lagi deket sama siapa” ucap Rina.
“Gue? Ih ko jadi gue. Gue mah ga deket sama siapa-siapa” ucap Luna.
“Alah alah kamu nak. Emang kita ngga tau lo sering balik bareng cowo hahahaha” ledek Marsha.
“Eh ada apasih kok gue gatau? Ahhh jawab” tanya Luna yang kepo-nya mulai keluar.
“Lo tau gak dia jadian sama siapa?” tanya Marsha sambil menahan tawa.
“Enggak, emang siapa?”
“Lo dulu deh Lun, lagi deket sama siapa” ucap Rina.
“Gue? Ih ko jadi gue. Gue mah ga deket sama siapa-siapa” ucap Luna.
“Alah alah kamu nak. Emang kita ngga tau lo sering balik bareng cowo hahahaha” ledek Marsha.
Balik bareng cowo? Luna sering diantar pulang beberapa teman
cowonya, maklum, anak elektro kebanyakan cowo di kampus Luna. Tapi yang paling
sering adalah Elang. Elang? Luna ngga ada apa-apa dengan Elang. Luna seperti
memutar otak.
“Kalian pernah liat gue balik bareng cowo? Dimana? Ko ngga
manggil?”
“Gue pernah liat di parkiran Gramedia sebulan yang lalu, gue baru nyampe, lo udah nanjak mau balik” ucap Sofi.
“Ohh! Itu Elang, temen gue. Ga ada apa-apa sama dia, ih males banget ada apa-apa sama dia” elak Luna.
“Emmm emmm emmm muka lo merah hahahahaha” ledek Marsha.
“Jadi udah move on nih?” tanya Sofi. Luna diam. “Farel sering nanyain lo ke gue”
“Gue pernah liat di parkiran Gramedia sebulan yang lalu, gue baru nyampe, lo udah nanjak mau balik” ucap Sofi.
“Ohh! Itu Elang, temen gue. Ga ada apa-apa sama dia, ih males banget ada apa-apa sama dia” elak Luna.
“Emmm emmm emmm muka lo merah hahahahaha” ledek Marsha.
“Jadi udah move on nih?” tanya Sofi. Luna diam. “Farel sering nanyain lo ke gue”
Luna menangkap tatapan mata Sofi, mencari tau arti ucapannya,
meyakinkan hatinya bahwa Sofi sedang tidak bercanda.
“Ngapain dia nanyain gue ke lo? Emang dia gabisa ngontak gue? Lebay amat” ketus Luna.
“Jadi beneran masih nyangkut sama yang lama? Emang selama hampir satu semester ini, cowo Unas ga ada yang nyangkut?” tanya Marsha.
“Ngapain dia nanyain gue ke lo? Emang dia gabisa ngontak gue? Lebay amat” ketus Luna.
“Jadi beneran masih nyangkut sama yang lama? Emang selama hampir satu semester ini, cowo Unas ga ada yang nyangkut?” tanya Marsha.
Luna menopang dagunya dengan tangan kanannya. Luna menggelengkan
kepalanya pelan. Memasang tatapan lirih, dan mengingat semua kejadian manis
bersama Farel selagi di SMA.
“Farel pasti udah punya pacar” gumam Luna.
“Belum, tapi yang suka banyak” ucap Sofi.
“Farel pasti udah punya pacar” gumam Luna.
“Belum, tapi yang suka banyak” ucap Sofi.
Luna menghembuskan nafasnya pelan. Tiba-tiba ponsel Luna berdering
tanda telepon masuk. Luna melihat nama di layar ponselnya. ‘Elang’?
‘Ngapain sih ah’ benak Luna dan langsung mereject panggilan seseorang.
“Ko ga diangkat Lun?” tanya Sofi.
“Ngga penting. Eh, origami yuk, udah lama ga foto kan kita?”
“Ayo ayo!” seru Rina.
‘Ngapain sih ah’ benak Luna dan langsung mereject panggilan seseorang.
“Ko ga diangkat Lun?” tanya Sofi.
“Ngga penting. Eh, origami yuk, udah lama ga foto kan kita?”
“Ayo ayo!” seru Rina.
Mereka menyusuri jalanan Margonda dengan menaiki angkutan
umum. Sebenarnya Rina membawa kendaraan, tapi kendaraannya di titipkan di rumah
Sofi, karena memang café tempat mereka nongkrong
tadi tidak jauh dari rumah Sofi.
Sesampainya di salah satu mall yang namanya khas dengan
daerah Margonda, mereka langsung melangkahkan kaki mereka ke salah satu studio
foto yang sering mereka kunjungi semasa SMA. 32 gaya habis di dalam studio
foto. Hitung-hitung untuk melepas rindu. Sebagai anak kuliah, tidak banyak
waktu yang ada untuk sekedar foto-foto seperti sekarang, apalagi bersama teman
lama.
Seselesai dari origami, mereka juga harus mengisi perut di
salah satu foodcourt yang kebetulan selantai dengan origami. Makan? Sedaritadi
di café, mereka hanya memesan minum, bahkan Marsha habis 2 gelas minuman selama
menunggu Luna.
Selesai sudah melepas rindu kepada tiga teman terbaik Luna
semasa SMA. Dalam waktu dekat ini Luna akan menemui teman semasa SMP yang
kebetulan juga mencar kuliahnya.
Berjalan di tengah senja yang hampir habis, membuat Luna
tidak bisa juga melupakan sosok yang mengisi hatinya dari semenjak masuk SMA. Kenapa
rasanya sulit untuk menghapusnya dari ingatan? Kuliah hampir berjalan enam
bulan, tapi belum ada juga pengganti ‘penyebab segala perasaan’ di hati Luna.
Luna merindukan Farel. Merindukan penyebab segala perasaan. Kapan
mereka bertemu lagi? Terakhir bertemu, ya saat buka puasa bersama Juli lalu. Meskipun
mereka masih satu kota, namun waktu seakan sempit untuk mempertemukan mereka. Luna
selalu berharap Farel muncul di layar ponselnya, namun semuanya sia-sia. Mungkinkah
Farel sudah menemukan seseorang yang baru?
Mudah saja bagi Luna untuk bertemu dengan Farel, kalau ia
mau. Farel satu kampus dengan Sofi. Bisa saja Sofi membantu Luna, tapi
ketidakyakinan untuk bertemu itu ternyata lebih besar dari rasa rindu Luna. Tidak,
bukan, bukan ketidakyakinan yang lebih besar dari rasa rindu itu. Luna hanya takut
mengganggu hari-hari Farel, iya, hanya itu.
Untuk memperhatikan Farel dari jauh saja Luna tidak bisa. Lalu
bagaimana bisa rasa itu masih tertanam dalam hati Luna? Bagaimana bisa, tidak
adanya waktu untuk menatap namun rasa itu masih ada? Bagaimana bisa, lingkungan
yang telah berubah, membuat Luna semakin sulit menghapus masa lalunya?
Langkah Luna sudah lepas dari masa SMA enam bulan yang lalu. Luna
sudah mulai berjalan di dunianya yang baru. Bertemu teman baru, belajar hal
baru, segalanya baru. Namun pengisi hatinya belum juga berubah. Dan meskipun
Luna telah jauh melangkah dari masa putih abu-abu, memori Luna masih berjalan
di tempat.
Seseorang yang baru, yang selalu ada buat Luna, tidak cukup
membuat Luna jatuh cinta padanya. Kapan semua berakhir? Kadang, mulut Luna
telah yakin untuk merelakan yang seharusnya pergi, namun hati tidak pernah
yakin untuk melepas semuanya.
Keesokannya sampai kampus, Luna masuk kelas, mengikuti mata
kuliah hari ini. Sosok yang berada di ujung memperhatikan Luna sejak tubuhnya
masuk ke ruangan. Dan seselesai mata kuliah, Luna tidak langsung beranjak dari
kursinya, meskipun teman-temannya sudah mengajaknya ke kantin.
“Kenapa kemarin telpon gue lo reject?” tanya sosok yang sudah
duduk disamping Luna.
“Lagi jalan sama temen, Lang” jawab Luna santai sambil memainkan ponselnya.
“Segitunya apa sampe ngga bisa ngabarin?” tanya Elang. Luna berhenti memainkan ponselnya, menoleh kearah Elang.
“Ko lo ngomong gitu? Emangnya harus ya gue ngabarin lo kalo mau kemana-mana?” tanya Luna.
“Em ya ngga juga sih. Tapi lo bikin gue panik kemaren” kata Elang.
“Lang…lang. khawatirin fans lo aja noh yang masih ngejar-ngejar lo hahaha” ledek Luna.
“Gini banget yah. Gue dikejar masa lalu, dan yang gue kejar juga masih ngejar masa lalunya”
“Lagi jalan sama temen, Lang” jawab Luna santai sambil memainkan ponselnya.
“Segitunya apa sampe ngga bisa ngabarin?” tanya Elang. Luna berhenti memainkan ponselnya, menoleh kearah Elang.
“Ko lo ngomong gitu? Emangnya harus ya gue ngabarin lo kalo mau kemana-mana?” tanya Luna.
“Em ya ngga juga sih. Tapi lo bikin gue panik kemaren” kata Elang.
“Lang…lang. khawatirin fans lo aja noh yang masih ngejar-ngejar lo hahaha” ledek Luna.
“Gini banget yah. Gue dikejar masa lalu, dan yang gue kejar juga masih ngejar masa lalunya”
Luna yang hendak berdiri dari duduknya, jadi kembali duduk
dan menatap Elang dengan tatapan yang tak biasa.
“Maksud lo?” tanya Luna.
“Engga. Emang gue ngomong apa tadi?”
“Ditanya ko malah nanya balik!” ucap Luna yang segera meninggalakan Elang.
“Hahahaha gitu aja marah. Eh tungguin” susul Elang dengan tawa khasnya.
“Maksud lo?” tanya Luna.
“Engga. Emang gue ngomong apa tadi?”
“Ditanya ko malah nanya balik!” ucap Luna yang segera meninggalakan Elang.
“Hahahaha gitu aja marah. Eh tungguin” susul Elang dengan tawa khasnya.
Mereka berjalan di koridor kampus.
“Lun buru-buru banget sih jalannya. Mau ngambil gaji apa?” tanya Elang yang berusaha menyamakan langkahnya dengan Luna.
“Lagian ngapain ikutin gue?” tanya Luna.
“Lo mau kemana sih?”
“Ketemu orang”
“Ketemuan mulu. Sama mantan ya?”
“Lun buru-buru banget sih jalannya. Mau ngambil gaji apa?” tanya Elang yang berusaha menyamakan langkahnya dengan Luna.
“Lagian ngapain ikutin gue?” tanya Luna.
“Lo mau kemana sih?”
“Ketemu orang”
“Ketemuan mulu. Sama mantan ya?”
Luna berhenti. Mengamati arti bicara sosok yang sekarang ada
di depannya.
“Bisa ngga sih ngga usah ngomong kaya gitu sama gue? Ngga ada pembicaraan lain?”
“Yakan emang hobi lo mikirin mantan, Lun”
“Terus masalahnya buat lo apa?”
“Bisa ngga sih ngga usah ngomong kaya gitu sama gue? Ngga ada pembicaraan lain?”
“Yakan emang hobi lo mikirin mantan, Lun”
“Terus masalahnya buat lo apa?”
Elang diam menatap Luna yang matanya sudah mulai memerah. Ia memilih
tutup mulut, Elang takut Luna akan menangis, walau sebentar lagi air mata itu
tumpah. Memang tidak ada yang salah dari ucapan Elang. Namun ucapannya membuat
Luna kembali menyusun serpihan kenangan masa lalunya.
Luna segera pergi dari hadapan Elang, namun Elang menarik
tangan Luna.
“Gue minta maaf Lun” ucap Elang. Luna melepas genggaman itu, lalu pergi dari hadapan Elang.
“Gue minta maaf Lun” ucap Elang. Luna melepas genggaman itu, lalu pergi dari hadapan Elang.
“Kenapa lo masih sayang sama mantan lo, Lun. Disini ada yang
lebih peduli sama lo daripada mantan lo yang ngebiarin lo ngga bisa lupain masa
lalu itu. Seandainya lo tau, sakitnya lo yang masih sayang sama mantan lo, ngga
lebih sakit dari apa yang gue rasain, rasa sayang sama seseorang yang masih
sayang sama mantannya” gumam Elang.
Komentar
Posting Komentar