Cerpen: Apology



Nara duduk di depan cermin di kamarnya. Ia teringat sesuatu ketika melihat sebuah kotak yang ia taruh di sudut meja.
Kubus berwarna merah muda berukuran tiga puluh kali tiga puluh. Sebuah kotak yang sudah lama ia asingkan dari pandangannya, meskipun ia taruh di tempat yang mudah untuk dilihat. Sebuah kotak yang semua isinya mampu mengembalikan pemberi dan segala kenangan yang sakit untuk diingat.
Nara masih takut untuk membukanya meski sudah sangat lama. Air matanya selalu jatuh ketika memorinya harus terpaksa mengingat semua kejadian itu. Dadanya selalu sesak ketika semua gambarannya muncul kembali di pikirannya.
Nara masih belum bisa mengikhlaskan semua yang terjadi meski itu sangat menyakitinya. Entah. Rasa sedihnya terlalu ambigu.
~
Di sebuah tempat yang sudah biasa Nara datangi untuk bertemu seseorang. Nara sudah duduk dengan manis di hadapan cangkir berisi kopi yang mungkin sedang menertawakannya karena menunggu seseorang.
“Halo, kamu di mana? Aku udah di tempat biasa.” ucap Nara yang sedang menghubungi seseorang.
Sambungan yang baru terhubung sejak setengah jam yang lalu.
“Maaf, sebentar lagi aku sampai. Tunggu sebentar, sayang.” ucap seseorang di ujung telepon.
“Oke, aku tunggu.” ucap Nara yang kemudian memutus sambungannya.
Bahkan bukan untuk pertama kalinya Nara menerima perlakuan seperti ini dari kekasihnya. Ia selalu menunggu, tapi ia selalu tersenyum ketika kekasihnya bicara bahwa ia akan datang. Meskipun terkadang kekasihnya tidak akan datang.
Arlojinya sudah hampir membentuk sudut siku-siku. Langit juga sudah gelap dan terlihat mendung.
Hampir tiga jam Nara menunggu.
Ia kesal, tapi tidak bisa melampiaskannya. Terlalu sayang atau terlalu bodoh?
Nara bangun dari duduknya dan memutuskan untuk pulang. Ia berjalan keluar dari café. Tapi begitu sampai bibir pintu café, seorang pria yang mengenakan jaket biru dongkernya datang dan langsung memeluk Nara.
“Maaf aku bikin kamu nunggu.” ucap Nial.
Nial. Satu-satunya pria yang sangat Nara cinta, melebihi papa angkatnya yang sudah mengasuhnya sejak kecil—sejak Nara harus kehilangan kedua orang tuanya.
Nara membalas pelukan Nial.
“Ngga papa. Kamu berniat untuk dateng aja aku seneng.” ucap Nara dalam pelukan Nial.
Nial melepas pelukannya.
“Sebagai permintaan maaf, aku nurutin kamu deh mau ke mana aja malam ini.” ucap Nial.
“Kalau kamu capek, kita pulang aja juga ngga papa.” Nara tersenyum.
Nial bergumam.
“Iya sih, aku lumayan capek. Ngga papa kalau langsung pulang? Eh, tapi aku udah nawarin kamu loh ya.”
“Iya, ngga papa. Masih ada lain waktu.”
“Yaudah, aku anter kamu pulang ya.” Nial menggandeng tangan Nara dan berjalan menuju mobilnya.
Selama di perjalanan pulang, Nara hanya memandangi wajah kekasihnya yang pandangannya fokus ke depan memperhatikan jalanan.
Ia mengingat bagaimana mereka bisa bertemu dan kemudian dekat. Hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih.
Nara jadi senyum-senyum sendiri. Tidak, Nara selalu tersenyum kalau melihat kekasihnya, memandangi Nial seperti ini. Ia selalu bahagia.
Tidak ada perbincangan apapun selama di perjalanan. Semua ucapan serasa tersangkut di ujung tenggorokan. Hanya lagu-lagu dari radio saja yang menyelingi kesunyian mereka berdua.
Sesampainya di depan rumah Nara.
“Kamu ngga mau masuk dulu?” tanya Nara.
Nial melirik arlojinya, “Kayanya langsung balik. Kamu juga harus istirahat. Aku juga mau langsung pulang.” jawab Nial.
“Yaudah, makasih ya. Aku masuk. Daah Nial.” Nara melambaikan tangan pada kekasihnya.
Nial hanya tersenyum.
Begitu Nara hilang dari pandangan, Nial menghubungi seseorang melalui telepon selularnya.
“Masih pada di sana?” tanya Nial.
“Masih. Lo ke sini lagi ngga?” tanya seseorang yang berkomunikasi dengan Nial.
“Ke sana lah. Gue udah nganterin dia pulang kok.”
Sambungan terputus dan Nial langsung melaju dengan mobilnya.
~
Dengan keyakinan penuh Nara menggamit kotak itu. Perlahan, ia membukanya. Dari sekian banyak benda, yang paling pertama menarik perhatiannya adalah sebuah amplop berisi surat dari seseorang.
Surat yang selalu takut untuk Nara baca kembali.
Perlahan, Nara membuka lipatan pertama surat itu. Paragraf pertama yang masih sulit Nara terima.
Belum sempat Nara membaca sepenuhnya, kepalanya terasa sakit. Ia kembali melipat surat itu dan memasukkan ke amplopnya.
Ia merindukannya.
~
Nara menunggu Nial di depan gedung kampus jurusannya. Mereka satu kampus, tapi berbeda jurusan.
Berkali-kali Nara menghubungi Nial, tapi tidak diangkat. Nara sudah biasa diabaikan ketika menghubungi kekasihnya.
Nara memeluk tubuhnya di bangku halte depan gedung jurusannya. Ia masih menunggu kekasihnya meski hujan sudah mulai turun.
Saat sebuah mobil berhenti di depan halte, Nara langsung masuk setelah senyumnya mengembang karena akhirnya Nial datang.
Nial tidak bicara apa-apa pada kekasihnya. Ia hanya diam seribu bahasa, bahkan sama sekali tidak melempar tatap pada Nara.
“Nial, kamu ngga papa?” tanya Nara.
“Engga kok.” jawab Nial, dingin, tanpa melirik Nara yang tatapannya penuh untuk Nial.
Nara melihat di ujung mata kiri Nial lebam dan sedikit luka.
“Muka kamu kenapa?” Nara menyentuh wajah Nial, tapi tangannya ditepis Nial.
“Aku ngga papa!” bentak Nial.
“Aku cuman nanya. Kamu kenapa sampe matanya begitu? Kamu ribut sama orang?” Nara memberondongi Nial dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Kamu jangan banyak tanya, Ra. Diam dan duduk manis aja.” ucap Nial.
“Tapi seenggaknya kamu harus cerita sama aku kalau lagi ada masalah. Jangan kamu pendam.”
Nial hanya diam. Ia hanya menatap jalanan. Beberapa kali tangan kanannya memijat kepalanya.
“Kamu laper ngga?” tanya Nara seraya memegang bahu kiri Nial.
Tapi Nial mengerang kesakitan.
“Eh, kenapa? Maaf.” ucap Nara yang langsung panik.
Bahkan Nial harus menghentikan mobilnya. Wajahnya menunjukkan bahwa ia benar-benar kesakitan.
“Kamu kenapa?” tanya Nara menunjukkan kekhawatirannya.
“Aku udah bilang kamu cukup diam aja kan?!” ucap Nial sambil marah-marah dan memegangi bahu kirinya.
“Ya kamu kenapa? Jangan ada yang ditutup-tutupin gini dong!” Nara jadi kesal karena sikap yang Nial berikan.
Nial menatap wajah kekasihnya dengan tatapan kesakitan. Tiba-tiba Nial mengeluarkan air matanya.
“Ma.. maaf. Kamu kenapa? Nial, aku ngga maskud.” Nara menghapus air mata Nial dengan suara khawatirnya.
~
Air mata yang jatuh ke pipinya, bukan karena Nara. Bahkan Nara juga mengeluarkan air mata saat tau bahwa setiap air mata yang keluar dari matanya bukan untuknya.
Nara benar-benar jatuh cinta padanya. Seseorang yang selalu memberi rasa sakit yang lukanya membekas lama di hatinya.
Nara teramat cinta meski sudah sejauh ini. Ia belum bisa melupakannya. Bahkan ia masih berada di samping Nial meski ia tau bahwa dirinya bukanlah satu-satunya.
~
“Maafin aku Ra.” ucap Nial seusai menjelaskan sesuatu sambil menahan sakit di bahunya.
Nara menahan air matanya. Mengangguk pelan sambil menatap wajah Nial. Bahkan Nara masih memberikan telapak tangannya untuk menghapus air mata Nial.
Mereka melanjutkan perjalanan. Tidak ada percakapan sama sekali. Hening. Terlebih Nara, ia sibuk merapikan perasaannya yang sudah hancur sejak tadi setelah mendengar pernyataan Nial.
Nara bukan satu-satunya wanita di hati Nial. Nial mencintai orang lain yang sudah lebih lama berada di hatinya.
Sebelum bertemu Nara, Nial sempat bertemu seseorang.
Seseorang yang menjadi kerabat dekat wanita yang Nial cinta selain Nara. Pertemuan mereka selalu berakhir dengan perkelahian dan selalu menyisakan luka di wajah dan tubuh Nial.
Nial rela sakit untuk bertemu wanita yang ia cinta, meski tidak pernah dipertemukan. Usaha dan lebam di tubuh Nial selalu menjadi sia-sia.
Sesampainya di rumah, Nara hanya bisa merenung. Bagaimana bisa ia menerima perlakuan Nial yang seperti itu?
Ia benar-benar jatuh cinta pada sosok yang ia kenal sejak setahun yang lalu.
~
Nial menggengam gelas berisi minuman di sebuah bar. Untuk sesaat, Nara terlintas di pikirannya.
Ia berpikir mengapa sudah sejauh ini, perasaannya masih belum bisa menerima. Berkali-kali mencoba, tapi sebuah nama yang melekat di hati dan pikirannya belum juga terhapus.
Wanita yang sudah lama pergi dari hidupnya. Yang ia cinta sudah pergi secara egois meninggalkan Nial.
Nial meneguk minuman di gelasnya.
Tak lama, Nial pergi dari bar. Menyusuri jalanan yang hanya terang karena lampu-lampu jalan. Keadaan jalan yang sudah sepi dari lalu-lalang kendaraan.
Ia berhenti di persimpangan. Bersandar pada kursi mobil. Sesekali, tatapannya teralih pada ponselnya yang ia taruh di kursi di sampingnya.
Ponsel yang sejak lama berdering karena panggilan seseorang. Panggilan yang sudah berpuluh-puluh tidak terjawab. Panggilan tidak terjawab dari satu nama yang sama—Nara.
Sekali lagi, ponsel Nial berdering. Ia mengangkatnya.
“Kamu di mana? Kenapa baru angkat teleponku? Kamu ngga kenapa-napa kan?” tanya Nara di ujung telepon.
Nial diam untuk beberapa detik.
“Nial? Kamu masih di sana kan? Kamu denger suara aku kan?”
“Ra, bisa ketemu?” tanya Nial.
“Hah? Sekarang banget? Ini udah malem, sayang.” ucap Nara.
“Ada yang bener-bener harus aku omongin sama kamu, Ra.”
“Yaudah, di mana?”
“Aku tunggu di perempatan jalan dekat rumah kamu.”
“Iya, aku ke sana.”
Sambungan mereka terputus.
Di rumah Nara, ia langsung memakai jaket yang ia gantungkan di belakang pintunya. Sebelum keluar kamar, ia sempat melirik jam di dindingnya.
10.15.
Ia keluar setelah mengambil kunci mobilnya.
Nara melihat seseorang yang sedang duduk di atas mobil sedan hitam. Nara menghentikan mobilnya begitu melihat Nial di sana.
Nara turun dari mobilnya dan menghampiri Nial.
“Ada apa ngajak aku ketemu malem-malem gini?” tanya Nara yang berdiri di hadapan Nial.
Nial mengangkat kepalanya.
“Bahkan kamu benar-benar dateng nemuin aku.” ucap Nial.
“Maksud kamu?” Nara menatap bingung.
“Ra..” gumam Nial.
“Apa? Ngomong aja.” Nara menanggapi dengan sumringah.
Wajah Nial yang seperti biasa tidak membuat Nara mempunyai prasangka apa-apa.
“Aku rasa kita ngga bisa ngelanjutin semua ini.” ucap Nial.
Senyum di wajah Nara memudar.
“Kamu jangan bercanda deh malem-malem gini.” Nara tertawa.
“Aku ngga bercanda. Aku serius. Bahkan aku capek sama semua kepura-puraan ini.”
Nara menelan ludah.
“Jadi kamu mau kita ketemu malem-malem gini cuman buat ngomong ini? Ngga penting.” Nara berbalik dan berjalan menuju mobilnya.
Nial menarik tangan Nara.
“Ra!”
“Aku engga. Aku ngga capek walaupun aku tau gimana perasaan kamu sebenernya. Kamu ngga bisa gini! Bahkan kamu tau kalo aku baik-baik aja sama semua kebohongan kamu. Aku ngga masalah walaupun aku bukan satu-satunya yang ada di hati kamu. Aku baik-baik aja, jadi kamu ngga perlu bilang kalau hubungan kita ngga bisa dilanjutin.” ucap Nara sambil menatap tajam kedua mata Nial.
Nial memegang kedua bahu Nara.
“Kamu ngga bisa gini, Nial. Di awal kamu bilang kalau hubungan kita bisa berlanjut ke ikatan yang lebih serius. Kamu juga bilang kalau kamu bakal jagain aku. Aku ngga bisa terima kalau kamu ngga mau ngelanjtin semuanya.” lanjut Nara.
“Ra, aku udah terlalu banyak kasih luka ke kamu. Karena kamu udah tau semuanya, dengan berlanjutnya hubungan kita bikin aku ngerasa semakin berdosa.” ucap Nial.
“Aku ngga keberatan karena pengakuan kamu. Aku bilang aku baik-baik aja. Oke, kalau karena aku tau semuanya itu bikin kamu ngerasa berdosa. Aku akan bersikap seolah aku ngga tau apa-apa dan ngga denger pengakuan kamu waktu itu. Beres.” ucap Nara yang masih keras kepala.
“Aku ngga bisa. Udah waktunya kamu berhenti ngelakuin hal-hal bodoh. Udah saatnya waktu kamu ngga sia-sia karena aku.”
Nara menatap kedua mata Nial dengan air mata yang sudah siap jatuh ke pipi.
“Aku sayang kamu. Semua kepura-puraan kamu, semua kesakitan yang kamu kasih ke aku, semuanya apapun yang ada di diri kamu, aku udah terlanjur percaya. Bahkan aku—“
“Berhenti jadi orang bodoh yang percaya sama aku.” ucap Nial.
Nara langsung menepis kedua tangan Nial yang menggantung di bahunya.
“Aku ngga mau denger apa-apa lagi dari kamu.” Nara meninggalkan Nial dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.
Nara berjalan menuju mobilnya. Nial membiarkan pemilik tubuh langsing itu menjauh darinya dan sama sekali tidak menahannya.
Nara menangis begitu masuk ke dalam mobilnya. Ia melihat tubuh yang mematung dari kaca spion mobilnya.
Sebuah tubuh yang kemudian masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan Nara bersama air matanya.
~
Sambil mengemudikan mobilnya, Nial mengingat percakapannya saat pertama kali bertemu Nara.
Karena seorang teman, ia dipertemukan dengan Nara.
Sebuah lisan yang ia ucapkan saat pertemuannya dengan Nara selesai.
‘Dia mirip seseorang.’ ucap Nial pada seorang teman yang mempertemukannya dengan Nara.
‘Siapa yang lo maksud seseorang?’ tanya teman Nial.
‘Seseorang yang sedang terbaring di rumah sakit. Udah lama banget ngga dengar suaranya, tapi Nara bikin gue ngerasa kalau seseorang yang terbaring lama di rumah sakit, udah bangun dari komanya.’ gumam Nial sambil tersenyum parau.
‘Yaudah, terus apa yang mau lo lakuin? Deketin Nara biar kangen lo sembuh?’ ledek temannya.
Nial tertawa.
‘Lo pasti punya nomor teleponnya kan?’ tanya Nial diselingi tawa.
~
Kamu selalu menunggu di tempat yang sama seperti biasa,
tapi aku sudah pergi
Jangan percaya padaku seperti orang bodoh
Aku berkata akan melindungimu selamanya,
tapi itu semua bohong
Paragraf pertama yang Nara baca dari surat yang warna kertasnya sudah putih kekuningan.
Ia tidak kuasa menahan berat di pelupuknya. Air mata Nara membasahi surat yang kini sudah Nara buka sepenuhnya.
Bahkan kamu tau bahwa aku jenis pria yang egois
Maaf, aku tidak bisa melindungimu
Maafin aku. Aku harap kamu akan melupakanku juga
Meskipun sakit, janji yang pernah kita buat untuk selamanya
Maaf karena aku tidak bisa menjaganya
“Nial…” gumam Nara di tengah isak air matanya.
~
Nara langsung pergi ke rumah sakit begitu mendapat kabar bahwa Nial mengalami kecelakaan.
Perasaannya semakin hancur kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Nial. Ia berjalan dengan langkah seribu untuk sampai ke ruangan tempat Nial dirawat.
Sesampainya di depan sebuah ruangan dengan pintu berkaca sedikit, ia melihat kekasihnya di dalam.
Nara tidak bisa lagi menahan air matanya.
Sakit yang Nial rasakan karena alat-alat yang menempel di tubuhnya, juga terasa di tubuh Nara. Bahkan lebih sakit saat harus melihat orang yang sangat ia cinta berada di sana untuk menahan sakitnya.
Nara bersandar di dinding depan ruangan tempat Nial berada. Perlahan, ia menjatuhkan tubuhnya. Nara masih menangis.
“Siapa lagi yang aku punya selain kamu? Aku udah kehilangan mama papa sejak kecil. Aku ngga mau kehilangan orang yang aku cinta juga. Nial, bangun…” gumam Nara dengan isak dan sesak di dadanya.
Tengah malam, di rumah sakit, seseorang duduk di samping Nara.
“Lo ngga pulang Ra?”
Seorang teman yang mempertemukan Nara dengan Nial.
“Gue masih mau nunggu Nial sadar, Dan.” jawab Nara.
“Gue ngga tau harus ngomong hal ini atau engga ke lo.” ucap Ardan.
“Apa? Apapun tentang Nial, tolong ceritain ke gue.” kata Nara.
“Sebelum kecelakaan, Nial datang ke pemakaman seseorang. Mungkin lo udah tau siapa seseorang itu. Bahkan Nial belum sempet ngelihat dia.”
“Dia? Siapa yang lo maksud?”
“Caroline. Pacarnya yang dirawat di rumah sakit ini juga. Dia koma dan hanya bertahan dengan alat selama hampir satu tahun setengah. Mungkin sebenarnya Olin udah lama ngga ada, tapi keluarganya masih berharap ada keajaiban. Semalam semua alat yang terpasang di tubuh Olin dilepas, karena dokter bilang udah ngga memungkinkan seseorang yang koma selama setahun lebih bakal sembuh dan bangun lagi. Dan bener, Olin udah ngga ada. Nial langsung terpukul banget begitu tadi pagi dapet kabar kaya gitu.” cerita Ardan.
Nara diam untuk beberapa detik sebelum akhirnya meneteskan air matanya lagi.
“Keluarga Olin ngga pernah baik sama Nial. Bahkan selama setahun setengah Olin dirawat, Nial ngga pernah punya kesempatan buat ngelihat Olin. Nial baru ngelihat Olin lagi tadi pagi, beberapa menit sebelum Olin dimakamkan.” lanjut Ardan.
Nara masih diam dan menangis. Ardan berusaha untuk menenangkan temannya ini.
“Terus gimana bisa dia kecelakaan??” tanya Nara sambil menangis.
“Gue ngga tau alasan pastinya. Tapi gue rasa, dia bener-bener terpukul. Maaf kalau gue harus ngomong gitu ke lo, Ra.”
“Dan, gue sama sekali ngga masalah. Bahkan gue rela nemenin dia ke pemakaman Caroline seandainya dia minta. Jadi kejadian kaya gini ngga akan terjadi. Seandainya tadi pagi gue ngehubungin dia…” ucap Nara dengan nada bicara yang penuh penyesalan.
“Jangan nyalahin diri lo gitu Ra.”
Nara menutup wajahnya, menangis dibalik kedua telapak tangannya.
~
Dan aku berharap aku hanyalah salah satu dari banyak orang dalam hidupmu yang datang dan pergi
Aku berharap seperti air mata dan bunga sakura yang jatuh
Akan ada kehidupan baru tumbuh dari itu semua
Dan aku harap kenangan kita yang pendek dan indah seperti matahari terbenam
Aku berharap semua hal ini dapat mendorong punggungmu dengan nyaman
Meskipun kau belum bisa mengangkat kakimu dari tanah
“Kenapa sakitnya masih terasa walaupun udah satu tahun berlalu?” gumam Nara sambil menatap tulisan tangan Nial.
Nara menghapus air matanya dan mengambil kacamata hitam di laci mejanya. Ia pergi dari kamarnya dengan kertas surat yang masih ia genggam.
~
Nara menyusuri jalanan bertanah, sendirian.
Meski matanya ditutupi kacamata, tapi air matanya tidak akan bisa berhenti menetes dari kedua matanya.
Bunga yang ia taruh di atas dua gunungan tanah berumput.
Aku menyesal karena aku belum sanggup hingga akhir
Aku hanya menunjukkan sebagian hal kecil dari diriku
Maafkan aku karena aku tidak mampu
Aku harap kamu bertemu seseorang yang lebih baik dibanding aku
Kemudian Nara melipat surat dari Nial setahun yang lalu dan memasukkannya ke dalam tas.
“Aku ngga tau siapa yang harus aku temuin di saat aku kehilangan kamu. Bahkan di keadaan seperti ini, aku harus nyaksiin kalian berdua tidur nyenyak bersebelahan.” ucap Nara seraya memeluk dan mencium batu nisan bertuliskan nama Nial Janitra Kusuma yang berada di samping makam Caroline.
END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]