Cerpen: Wasting to Waiting

Suara langkah kaki itu hampir tidak terdengar. Selepas turun dari tebengan kakaknya, Seina mindik melewati gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. Sebelum sampai di sekolah, Seina melirik arlojinya dan merasa bahwa ia akan telat. Sayangnya, kakaknya tidak menyadari hal itu, jadi langsung pergi setelah men-drop Seina.
Seina berhasil lolos melewati gerbang tanpa ketahuan satpam sekolah nya. Ia duduk di halte seberang gang masuk ke arah sekolahnya. Ia menunggu panggilan seseorang. Namun hampir semenit, panggilannya hanya dibalas nada sambung.
“Dean udah bangun belum, sih?!” gerutu Seina yang mencoba menghubungi Dean—kekasihnya—lagi. Di panggilan berikutnya, panggilannya di jawab di seberang sana.
“Halo, Na?” sahut Dean saat panggilan Seina tersambung.

“Kamu dari mana? Kok tadi teleponku ngga dijawab?”
“Aku baru sampe kampus. Berarti tadi lagi bawa motor.”
“Emang ngga berat?” Seina mencoba bercanda pada kekasihnya yang selera humornya hard.
“Kenapa?” bahkan Dean sama sekali tidak tertarik dengan guyonan Seina barusan.
“Kamu ada kelas ya?” tanya Seina.
“Eh iya, kamu kok bisa telepon? Kamu bolos ya?” selidik Dean.
“Ng... (terkikik).”

Dean menghela napas, terdengar di telinga Seina.
“Na, kamu udah kelas tiga. Ini masih minggu pertama kamu masuk sekolah, loh.”

“Yaudah sih, baru juga minggu pertama. Seriusnya nanti aja, semester depan kalo udah mau deket sama ujian nasional.”

Maklum, lah, pacar Seina yang dua tahun lebih tua darinya memang sedikit mementingkan hal-hal semacam ini. Dulu Dean seorang siswa sekaligus kakak kelas Seina yang terkenal akan ketampanan dan kecerdasannya di sekolah.
“Terus sekarang kamu di mana?” tanya Dean.

“Halte. Kamu jemput dong.”
“Aku ada kelas, Na. Lagian kamu kenapa bolos-bolos sih?”
“Aku telat. Danu lelet nyetirnya.”
“Danu Danu aja, dia kakak kamu tau.”
“Yaudah deh, kamu mau nemenin aku ngga? Jadi kamu ngga bisa, nih?”
“Aku kan udah bilang ada kelas, Na.”
“Temenin bolos, gitu. Kamu juga baru semester tiga. Serius-seriusnya nanti aja deh, De. Ayo lah, temenin aku. Masa aku sendirian sih. Aku ngga tau mau ke mana, ngga ada temen.” Seina masih mencoba membujuk kekasihnya.

Sempat tak ada jawaban dari Dean. Terdengar Dean sedang bicara dengan seseorang.
“Na, dosenku udah dateng. Aku tutup ya? Daah.”
Kemudian panggilannya berakhir di situ. Seina menatap layar ponselnya sengit. Kesal sebentar karena Dean.
“Susah deh ya anak berprestasi. Hah!”
.
Selepas satu jam memikirkan harus pergi ke mana, akhirnya Seina memutuskan untuk jalan-jalan ke mall. Menghabiskan uang saku mingguannya, mulai dari ke bioskop, jajan minuman di cafe, sampai makan siang di salah satu restoran junkfood di sini.
Seina sengaja melepas blazer abu-abu sekolah nya, meski tak menutup kemungkinan banyak yang tau Seina siswi asal sekolah mana saat melihat rok abu-abu selutut yang dipakainya.
Seina melirik arlojinya saat keluar dari bisokop.
“Jam tiga. Dean udah selesai kelas belum ya?” Seina sambil merogoh saku rok nya, berharap Dean memberinya kabar. “Kok dia ngga ngabarin apa-apa, sih? Bukannya kalo Senin tuh jadwal dia cuma sampe jam satu, ya?” Seina terus bermonolog.
Seina mengingat sesuatu setiap kali main ke mall kawasan Jakarta ini. Ada satu tempat yang rasanya sangat ingin ia musnahkan, terlebih saat ada salah satu karyawan yang bekerja di sana. Sekarang, kedua matanya jatuh ke tempat itu. Ke distro pakaian casual yang biasanya diramai pengunjung perempuan. Toko itu memang sepenuhnya menjual pakaian-pakaian wanita.
Seina mengajak kedua kakinya masuk ke sana, berharap yang ia cari ada di sana. Ia melihat-lihat outer yang digantung di sana, tapi matanya melirik setiap kali pegawainya bercengkrama dengan pelanggan.
Lima belas menit di sana dan yang ia cari tidak ada, Seina memutuskan untuk beranjak. Sebelum pulang, ia mampir membeli minuman yang biasa ia beli kalau sedang jalan bareng dengan Dean.
Matcha red bean large nya satu.” Seina memesan minuman yang sudah biasa ia pesan. Selama menunggu pesanannya dibuat, Seina mencoba menghubungi kekasihnya. Lagi dan selalu. Dean tidak akan langsung menerima panggilan Seina setiap kali dihubungi.
Seina menelepon Dean lagi. Sekarang minumannya sudah digenggamannya. Ia berjalan dengan langkah santai untuk sampai di lobi mall.
“Halo, Na, kenapa?”

“Kamu di mana? Kenapa sih telepon dari aku lama terus diangkatnya?”
“Kamu neleponnya pas aku lagi bawa motor terus.”
“Kamu di mana? Udah selesai ngampus?”
“Udah. Kamu di mana?”

Seina sempat kesal, ‘Kok lo ngga jawab pertanyaan gue dan malah nanya balik, sih?’ gerutunya dalam hati.
“Di PIM. Jemput aku dong.”

“Yaudah, aku ke sana.”

Dean langsung memutus sambungan sebelum Seina memberitahu di mana ia sekarang. Beberapa menit kemudian, Seina menerima pesan dari Dean kalau ia sudah ada di depan dan tidak memarkir. Alasannya agar bisa langsung keluar karena ia tidak berminat mampir.
“Kok cepet banget?” Seina mencurigai kekasihnya.

“Pegangan.” Dean hanya bicara begitu di balik helm yang hanya memperlihatkan kedua mata dan hidungnya.

Di perjalanan, bahkan mereka tidak membicarakan apapun, walaupun banyak pertanyaan yang berenang di kepala Seina. Ia hanya ragu untuk menanyakannya pada Dean. Meski pada akhirnya...
“De, aku ngga mau langsung pulang.”
Dean langsung menginjak rem. Padahal tinggal semeter perjalanan dan belok ke kiri, itu sudah sampai di komplek rumah Seina.
“Ini udah mau sampe rumah kamu loh Na.” Dean membuka kaca helm sambil menoleh ke belakang sedikit.

“Kamu ngga ngomong apa-apa juga sih daritadi. Ajak aku ngobrol kek, tanya aku mau ke mana. Lagian emang kamu mau langsung balik ke kosan?”
“Ya iya, ada tugas yang harus aku kerjain.”
“Tugas apaan sih? Perasaan baru masuk seminggu.”
“Kamu mau ke mana kalo ngga mau langsung pulang?”

Seina diam sejenak di balik punggung Dean.
“Aku boleh ikut kamu ngerjain tugas, ngga?” tanya Seina, dengan nada bicara hati-hati. Dean hanya menghela napas, kemudian putar balik arah motor dan langsung beranjak dari sana. Seina menyunggingkan senyum tanpa sepengetahuan Dean.
Diam nya Dean terkadang menandakan setuju.
.
Langit bahkan sudah kehilangan cahanya. Seina masih setia menemani Dean berkutik dengan tugasnya. Mereka berdua duduk di ruang tamu depan. Di sana memang khusus teman lawan jenis yang datang, karena Dean nge-kost di kosan khusus laki-laki.
“Kamu ngerjain tugas apa sih?” Seina mengalihkan pandangannya dari ponselnya, pindah tempat duduk ke sebelah Dean.

“Aku jelasin juga kamu ngga akan paham, Na.”

Seina melirik sengit, mencibir. Lalu pandangannya jatuh pada ponsel Dean yang menyela, yang Dean letakan di sebelah laptopnya. Belum sempat Seina melihat siapa yang mengirim pesan LINE, Dean langsung membalik ponselnya, membuat layar ponselnya di bawah.
“Aku ngga boleh lihat hape kamu, ya?” tanya Seina.
Sejak mereka memutuskan untuk pacaran, Dean membuat kesepakatan untuk tidak mengecek ponsel satu sama lain. Seina menyetuji meski kata hati nya tidak mengiyakan keinginan Dean.
“Emang mau lihat apa?” tanya Dean sambil menoleh ke arah Seina. Ditatap begitu, Seina malah tersenyum.

“Engga deh, ngga jadi.” Seina kembali asik dengan ponselnya. “De, emang kamu ngga pernah penasaran sama isi hape aku? Kadang aku penasaran sama isi hape kamu.” ucap Seina yang bersandar di bahu Dean.
“Eh, aku sampe lupa. Kamu mau aku anterin pulang ngga? Udah malem nih. Mama papa sama kakak kamu kayanya udah pulang juga kan.” Dean baru sadar kalau sekarang sudah malam... bagi ukuran anak SMA seperti Seina.
“Baru juga jam delapan.” Seina masih asik dengan ponselnya.
“Aku anterin pulang sekarang deh, nanti malah kemaleman lagi. Yuk.” Dean mematikan laptopnya, mengantongi ponselnya di saku jins dan bangunseraya menaruh laptop ke kamar kostnya. “Ayo Seina...” ucap Dean yang berdiri seusai mengunci kamar kostnya, sedangkan Seina masih duduk malas di sofa.
“Pulangnya nanti aja deh, maleman dikit. Biar sampe rumah aku langsung tidur.”
“Apaan deh. Ayo ah pulang, udah malem.” Dean menarik pergelangan tangan Seina.

Saat Dean sudah duduk di atas motornya, ia sempat melihat Seina yang menenteng blazer untuk menutupi pangkuannya saat nanti naik di belakang Dean. Lantas menyisakan kemeja seragam putih di tubuh Seina. Dean melepas jaketnya. Seina yang masih diam berdiri tanpa berpikir apapun, merasa kaget saat Dean menarik tangannya.
“Pake deh.” Dean memberikan jaket warna navy nya. Seina melakukannya malas-malasan. Sesungguhnya ia masih ingin bersama Dean.
Sepanjang perjalanan, Seina erat memeluk Dean dan menaruh dagunya di salah satu bahu Dean. Seina ingin lebih malam lagi untuk bisa sampai di rumah. Kuran lebih setengah jam perjalanan dari kosan Dean ke rumah Seina. Sesampainya di depan rumah Seina, gadis itu hanya memberikan jaket Dean dan masuk tanpa bicara apapun. Dean bahkan tak bertanya dan hanya menatap aneh.
Seina masuk dengan perasaan dan ekspresi wajah yang datar. Benar saja. Di sana masih ada orang yang malas ia lihat.
“Seina,” panggil mama. “Kenapa baru pulang jam segini?” tanyanya lagi. Pertanyaan mama menghentikan langkah Seina dan menghentikan obrolan malam yang hangat antara papa, mama, Danu, dan Anin.

“Abis ngerjain tugas di rumah temen, ma.” Seina bahkan tidak melihat ke arah mereka yang ada di ruang tv.
“Na, Anin bawain kamu rainbow cake nih.” ucap Danu, kakak Seina yang lima tahun lebih tua darinya.

Gadis yang duduk di sebelah Danu, tersenyum saat Seina melihat ke arah nya.
“Aku kenyang. Aku ke kamar ya, lanjutin aja obrolan kalian.” Seina langsung masuk ke kamar.
Seina duduk di kursi belajar yang menghadapkan langsung ke jendela depan. Tirainya masih terbuka dan ia dapat melihat suasan di luar rumahnya. Ia masih tidak mengerti dengan kenyataan yang terjadi padanya, dan ia masih kesal dengan apa yang menghampirinya.
Satu jam berlalu dan ia masih diam termenung ditempatnya. Ia melihat senyum di antara gadis yang menjadi kekasih Danu. Seina merasa iri dengan kisah cinta kakaknya dan kekasihnya.
“Mas Danu baru lulus kuliah langsung dapet kerja. Punya pacar yang kaya Anin. Baik, cantik, pinter. Nah, gue? Dean... Deandra Nugraha. Baik sih, ganteng juga ngga usah ditanya, pinter apa lagi. Cuma...” keluhan Seina menggantung begitu saja menemani bintang-bintang di langit malam ini.
.
Keesokan harinya saat pulang sekolah, Seina seperti biasa memberondongi Dean dengan segala macam kata di chat dan selalu berisik menggerutu karena panggilannya tidak langsung diterima oleh Dean. Seina belum beranjak dari balkon lantai 2, lantai deretan kelas 12 IPA maupun IPS. Padahal ransel itu sudah menemani punggungnya sejak satu jam yang lalu. Koridor juga sudah sepi. Hanya lapangan yang masih dipadati siswa yang sedang melakukan ekstrakurikuler basket.
Dua menit kemudian, ponselnya berdering. Nama Dean tertera di layar ponselnya. Seina hampir naik darah karena dibuat menunggu. Padahal tadi pagi Dean sudah janji untuk menjemput Seina, tepat jam setengah 3 sore—jam pulang sekolah Seina.
“Aku di depan gerbang Na.”
Tanpa Seina jawab, ia langsung memutus sambungan dan beranjak dari sana. Wajahnya bete bercampur kesal. Entah sikap seperti apa yang akan Seina berikan pada Dean saat bertatap muka nanti.
Dean melepas helmnya saat melihat Seina berjalan kearahnya.
“Na, tadi ada masalah di jalan. Ban motorku bocor, jadi aku nambel dulu.” ucap Dean.

“Terus kamu ngga ngabarin aku? Chat gitu. Hape kamu masih nyala, kan? Aku telepon juga ngga diangkat, aku chat ngga dibales.” Seina kesal mendengar alasan Dean.
“Ya iya masih nyala, tapi aku ngga pegang hape pas di bengkel. Aku juga ngga tau kamu nelepon.”

Sedetik kemudian, ponsel Dean berdering. Deringan itu Dean khususkan untuk personal message WhatsApp nya. Dean membeku saat Seina menatapnya sengit.
Mode silent kamu tuh cuma ke aku doang ya?”

“Aku baru ubah modenya tadi pas sampe. Udah deh buruan naik, ngga usah ada acara ngambek.” Dean seraya memakai helmnya.
“Aku pulang naik bus aja.” Seina langsung beranjak dari sana, tapi Dean buru-buru menarik tangan Seina.
“Sama aku. Cepet naik.”

Akhirnya mau tidak mau Seina naik.
“Aku belum mau langsung pulang ke rumah.”

“Terus mau ke mana?”
“Ke mana aja. Kamu ngga ada apa-apa kan abis ini? Kita jalan kek.”
“Kamu masih pake seragam. Aku males pergi kalo kamu masih pake seragam sekolah gitu.”
“Apaan sih? Kamu tuh lagi nyari alesan ya biar kita ngga pergi? Lagian juga selama ini aku terus yang ngajak jalan. Kamu cuma iya iya aja.”
“Kamu ngomong apa sih?”
“Yaudahlah aku turun di sini aja. Aku pergi sendiri aja.”
“Yaudah kita pergi. Kamu mau ke mana?”

Senyum Seina mengembang.
.
Mereka memutuskan untuk makan di salah satu cafe. Seina memperhatikan sejak tadi Dean hanya sibuk dengan ponselnya. Mereka duduk berhadapan, jadi Seina tidak tau apa yang Dean lakukan dengan ponselnya. Kemudian Dean menerima panggilan seseorang. Sempat terjadi perbincangan soal kuliah di sana.
“Kayanya aku harus berkali-kali nelepon dulu buat diangkat sama kamu, kalo temen-temen kamu ngga perlu berkali-kali ya supaya diangkat teleponnya sama kamu.” ucap Seina usai Dean menerima telepon.
Tapi ucapan Seina bagai angin lalu yang lewat begitu saja. Toh Dean melanjutkan kesibukannya dengan ponselnya.
“Aku capek ah ngajak kamu jalan. Ujung-ujungnya kaya jalan sendiri.”

“Hah? Eh, Na, kamu buruan ya makannya. Kayanya aku harus balik ke kampus lagi nih, dosen matkul yang tadi siang ngga ada ganti jadwal ke sore soalnya.” ucap Dean.
“Aku ngga suka makan diburu-buruin. Yaudah sana kalo harus balik ke kampus lagi.”

Dean hanya menatap saat Seina bicara begitu, kemudian bangun dari duduknya setelah mengirim sebuah pesan dan langsung mengambil jaketnya. Beranjak tanpa bicara apapun.
Sepuluh menit kemudian, Seina mengirim pesan untuk kakaknya.
Mas Danu, aku di cafe seberang kantor. Bisa nebeng balik gak?
.
“Pas banget, untung mas Danu ngga langsung berangkat tadi. Baru mau jalan sama Anin, eh taunya dia ada kelas pengganti. Padahal Anin lagi di deket sini juga.” ucap Danu saat Seina masuk ke mobil. Mendengar ucapan kakaknya, Seina langsung melempar tatap.

“Terus dia ke kampus sama siapa?”
“Sama temennya katanya.”
“Hari ini jadwalnya dia kerja di distro kan?”
“Iya.”
“Terus gimana deh kalo dia ada kelas pengganti gitu?”
“Ngga tau Na. Coba tanya langsung kalo penasaran.” goda Danu. Ia tau adiknya tidak suka dengan pacarnya itu.
“Males banget.”

Beberapa minggu berlalu...
“Hah? Di kantin fakultas? Kamu bolos lagi?” Dean kaget mendengar ucapan Seina di telepon kalau kekasihnya itu sedang berada di kantin fakultasnya.

“Kamu ke sini dong.”

Terdengar decakan di telinga Seina.
Dosen mata kuliah pagi ini memang belum datang. Dean meminta agar temannya mengabarinya kalau dosennya sudah datang. Ia harus menemui Seina dulu di kantin.
Seina duduk di ujung sana, ditemani jus alpukat dan kedua tangannya menggenggam ponsel. Dean menghampiri kekasihnya, duduk di hadapan Seina.
“Kamu ngapain di sini?”

“Aku bingung mau ke mana. Aku telat lagi. Main yuk. Ke Dufan?” senyum itu tergambar jelas di wajah Seina.
“Na, kamu udah kelas tiga. Serius dikit kenapa sih sama belajarnya. Kamu ngga puas selama kelas satu dua santai-santai bolos dan masih suka main? Papa mama kamu taunya kamu berangkat ke sekolah loh. Ngga takut mereka kecewa?”
“Ah, ngga asik. Serius banget sih.” Seina menyeruput minumannya lagi.
“Eh, ada dosen nih. Aku masuk kelas dulu deh. Kalo gitu terserah kamu deh mau ngapain di sini.” Dean langsung bangun dari duduknya dan beranjak meninggalkan Seina.

Seina masih memperhatikan punggung Dean yang semakin terlihat kecil karena semakin jauh langkah Dean dari pandangannya. Di ujung sana, Dean bertemu seseorang. Senyum dan percakapan itu terjadi di sana, hingga mereka naik tangga bersama.
“Susah deh kalo masih sering ketemu sama mantan.”
Setelah berkunjung ke kampus Dean, Seina pergi jalan-jalan sendiri lagi, menghabiskan waktu sampai saatnya jam pulang sekolah atau bahkan saat malam tiba. Seina menghabiskan waktunya bermain di Time Zone. Saat sadar sudah petang, ia meminta Dean menjemputnya.
Seina sengaja menunggu di depan mall, duduk di anak tangga sambil menyeruput minuman yang ia beli. Sudah hampir satu jam ia menunggu Dean. Saat motor Dean berhenti di dekatnya, Seina langsung berdiri.
“Lama banget sih. Kamu nganterin siapa dulu?”

“Buruan deh naik. Aku capek banget nih, mau buru-buru sampe kosan, mau tidur.”

Seina naik tanpa bicara apa-apa lagi.
.
Sesampainya di depan rumah Seina.
“Besok temenin aku yuk? Kamu ngga pulang ke rumah kan?” ajak Seina, mengingat besok hari Sabtu.

“Ke mana?”
“Dufan. Aku mau refreshing nih.”
“Lihat besok ya.”
“Emang ada acara ya?”
“Ngga ada sih. Tapi udah keburu janji sama temen, mau nganterin dia.”
“Kalo aku nanya namanya, kamu mau ngasih tau ngga?”
“Ezra. Dia minta ditemenin ke LTC, ada komponen yang mau dia beli buat projekan alat kelasnya dia.”
“Ooh. Yaudah, abis nemenin temen kamu, kita jalan ya? Besok kan malam Minggu. Udah lama kita ngga jalan. Ya?”
“Lihat besok, Seina.”

Seina hanya mengangguk, lalu masuk ke rumahnya tanpa menunggu Dean beranjak dari sana.
“Seina, besok jangan ke mana-mana ya. Kamu tau kan kita mau makan di luar sama Anin?” ucap mama dari dapur saat tau anak gadisnya masuk.

“Ngga tau ma, kayanya aku ada acara, udah keburu janji juga.” ucap Seina yan berjalan ke dapur, menuang segelas air.
“Acara apa? Sama siapa? Emang penting?” tanya mama.
“Sama Dean.”
“Yah, batalin dulu deh. Ngga penting-penting banget kan pasti?”
“Emang makan malem sama dia (Anin) hal yang penting? Aku ngga mau ah.” ucap Seina seraya berjalan masuk ke kamarnya.
“Na... Na... Kamu tuh kenapa deh sensi banget kalo ngebahas pacar kakakmu. Dia baik loh sama kamu.” ucapan mama hanya masuk telinga kiri dan keluar di telinga kanan Seina.

Keesokan siangnya, Seina sudah keluar dari rumah. Ia tidak mau dipaksa ikut acara makan malam bersama seseorang yang tidak ia suka. Ia tidak pernah tertarik saat papa mama dan Danu membahas Anin.
Seina hanya mengikuti kakinya ke mana ia akan pergi. Ia terbiasa pergi seorang diri, bahkan sebelum berkencan dengan Dean. Seina melirik arlojinya, sudah hampir jam empat, tapi tidak ada kabar apapun dari Dean. Seina mencoba menghubunginya. Seperti biasa, harus menunggu dan berkali-kali dulu baru diterima.
“Kamu di mana?”

“Lagi di jalan balik. Kita jadi ketemu?”
“Jadi. Aku di Margo.”
“Jauh banget. Terus aku harus ke Depok?”
“Ya iyalah.”
“Yaudah, tunggu ya.”

Seina sudah kesal, sebenarnya. Ia selalu kesal setiap kali harus menunggu kekasihnya. Seina sengaja main jauh, juga agar jauh dari kawasan yang akan didatangi keluarganya untuk makan malam bersama Anin.
Langit sudah gelap. Dua jam berlalu dan rasanya amarah Seina sudah tepat di ujung kepalanya. Dean lari secepat kilat untuk sampai di J.Co. Saat hampir sampai, ponselnya berdering tepat digenggamannya. Entah perasaan apa yang harus ia ekspresikan saat melihat siapa yang meneleponnya. Ia tau apa yang akan dikatakan seseorang yang menghubunginya.
“De, gue gugup.”

“Kan udah sering juga. Kenapa masih gugup? By the way, lo janji mau kasih tau ke gue setelah ini, kan? Awas aja bohong.” ucap Dean.
“Oke, siap. Yaudah deh, gue mau siap-siap dulu. Nanti gue telepon lagi ya.”
Good luck.

Dean mematikan sambungannya. Saat hampir melangkah untuk masuk ke J.Co, Seina sedang sengit memandang kearahnya. Dean langsung menghampiri gadis yang mengikat rambutnya seperti ekor kuda itu. Seina menyeruput minumannya untuk yang terakhir, lalu bangun saat Dean baru saja duduk.
“Na.” Dean mengejar Seina. “Seina.” Dean menarik tangan Seina.

“Kamu tau ngga sih aku nunggu kamu udah berapa lama? Kalo emang ngga mau jalan sama aku, ngga usah ngulur waktu kaya gini.”
“Na, aku ngendarain motor loh ke sini. Margonda juga macet. Kamu pikir malem Minggu gini jalan arah Depok lancar? Kamu nunggu lama karena dari siang kan kamu di sini?”
“Ya tetep aja—“
“Apa? Kamu ngga usah kaya anak kecil gini deh. Ngga usah ngambek-ngambek masalah waktu. Kamu minta kita ketemu, sekarang aku udah dateng jauh-jauh nyusul kamu ke sini tapi kamu nya malah nyebelin.”
“Kok jadi kamu yang marah-marah?”
“Aku ngga marah. Aku cuma ngga mau kamu kaya gini.”

Seina mengamati garis wajah seseorang dihadapannya. Bahkan terlihat bahwa Dean sedang merasa kesal dan marah.
“Tadi kamu terima telepon bisa senyum. Kok ketemu aku marah-marah gini sih? Kamu terima telepon dari siapa?”

“Ngga usah nanya yang ngga penting. Ayo deh ah, aku laper.” Dean langsung menarik tangan Seina untuk masuk ke salah satu restoran di sana.

Selama menunggu pesanan, Dean hanya sibuk dengan ponselnya. Pun Seina yang sedang menerima makian Danu karena di acaranya, adik perempuannya tidak bergabung dan memilih kesibukannya sendiri.
‘Yaah, siap-siap aja gue diomelin nih sampe rumah.’ batin Seina.
Pesanan Dean datang. Seina tidak memesan makan, ia hanya memesan minuman. Dean meletakan ponselnya dan mulai sibuk dengan makanannya. Tanpa Dean sadar, Seina sedang memperhatikan layar ponsel kekasihnya itu. Beberapa detik kemudian, pop up LINE itu menampilkan sebuah pesan.
“Kamu lagi chatting-an sama mantan kamu?”
Sontak Dean langsung menggamit ponselnya dan menaruhnya di saku jins.
“Aku temenan sama dia sekarang, jadi ngga usah dianggap masalah ya.” ucap Dean.

“De, kamu sesering itu pegang hape bahkan pas kita lagi berdua dan kamu chatting sama mantan kamu. Terus kalo lagi ngga sama aku, kamu selalu lama bales chat aku dan ngga langsung angkat telepon dari aku.”
“Selalu secara kebetulan kau telepon aku pas aku lagi bawa motor dan lagi ngga pegang hape. Na, aku ngga mau ribut.”
“Kamu pikir aku mau ribut? De, aku mau liat hape kamu.”
“Engga.” Dean melanjutkan menyuap makanannya.
“Aku ngga baca chatting-an kamu. Aku cuma mau liat kamu chatting-an sama siapa aja. Aku mau liat.”
“Engga.” Dean bahkan tidak melihat wajah Seina.
“Aku bahkan udah ngga komunikasi lagi sama Prianka.” Seina menyebut nama mantan kekasihnya yang hanya berbeda kelas dengannya.
“Aku ngga pernah nyuruh kamu buat ngga komunikasi sama mantan kamu.”
“Dean, aku beneran ngga boleh lihat hape kamu?” suara Seina kali ini terdengar lirih.
“Engga. Kalo aku bilang engga ya engga.” Dean menatap Seina. Tatapan Dean sengit, bertolak belakang dengan Seina yang sekarang menjatuhkan pandangannya ke lantai. “Kita udah sepakat ngga cek hape dari pertama kita jadian.”
“Kalo kita udah ngga jadian, aku boleh lihat hape kamu?”
“Apaan sih? Udah deh ah ngga usah penasaran. Aku ngga ngapai-ngapain, aku ngga ngelakuin hal yang bikin kamu curiga. Ngga usah mikir macem-macem. Na, aku minta kamu buat ngga cemburu sama mantan aku karena aku juga ngehormatin mantan pacar kamu. Masa lalu aku punya aku, masa lalu kamu punya kamu. Kita ya kita.” Dean menghentikan makannya sesaat.
“Kamu beda kalo sama aku.”
“Beda gimana sih?”
“Kamu masih sayang sama mantan kamu kan?” Seina memberanikan diri bertanya hal seperti ini. Dean selalu enggan tiap kali membahas masa lalu.
“Bukannya tadi aku udah bilang?”
“De, aku berhenti bahas masa lalu kalo kamu jawab pertanyaan aku sekali ini aja. Jawab dengan jujur.”

Dean masih enggan menanggapi pembicaraan Seina.
.
Hampir pukul sebelas malam saat Dean mengantar Seina sampai depan rumahnya. Seina melirik ke garasinya, ‘Mereka udah pulang.’ batin Seina.
“Kamu hati-hati ya baliknya, udah malem.” kata Seina.

“Iya.”

Seina berbalik untuk masuk ke dalam.
“Na,”
Seina menoleh.
“Aku sayang sama kamu, tapi maafin aku.”

“Kenapa?”
“Kayanya aku belum sepenuhnya lupa sama dia. Tapi aku udah ngga ada perasaan apa-apa.”

Sepersekian detik kemudian, Seinya tersenyum.
“Aku udah jawab. Jadi jangan bahas masa lalu lagi, oke?”
Seina hanya mengangguk, menyunggingkan senyum yang sangat ia usahakan. Setelah itu Dean pergi dari sana. Seina masuk ke dalam berharap semuanya sudah tidur, tapi rupanya Danu masih di depan tv.
“Gimana mas acaranya, lancar?” tanya Seina sebelum masuk ke kamarnya. Danu tidak menyahut. “Mas Danu?” Seina menoleh.

“Kenapa? Emang penting buat tau?”
“Loh, kok jutek sih? Kan aku nanyanya biasa aja. Lagian juga biasanya aku jarang ikut ngumpul kalo ada dia.”
“Kapan sih berhenti bilang Anin itu dengan sebutan dia? Senggak suka itu sama Anin ya? Kamu punya masalah apa sih sama Anin?” Danu malah jadi marah-marah.
“Mas Danu apaan sih malem-malem marah-marah gini cuma karena aku ngga gabung makan malem sama dia.”
“Na, mas Danu tuh saudara kamu satu-satunya. Jelas mas Danu marah kalo di acara penting kaya gini ngga ada adiknya.” tiba-tiba papa keluar dari kamar.
“Maksudnya? Acara penting? Cuma makan malem biasa aja kan.”
“Pertemuan keluarga hari ini tuh membicarakan pertunangan mas Danu sama Anin, Na.”

Mendengar ucapan papa barusan, membuat Seina terbelalak.
“Tunangan? Kalian seserius itu? Mas, kenapa harus dia sih?”

“Kamu kenapa sih? Kenapa kayanya benci banget sama Anin.”
“Ngga tau ah. Aku ngga tau harus seneng apa sedih.” Seina langsung menghambur ke kamar.

Malam ini perasaan Seina campur aduk. Ada hal yang sangat ingin membuatnya menangis, lalu tertawa, kemudian menangis lagi.
“Rasanya seseneng itu lihat kamu senyum, yaaah biarpun bukan karena aku. Rasanya mau egois, tapi aku sayang Dean.” Seina bermonolog di tengah kedua matanya yang sudah basah.
.
Akhir-akhir ini Seina jarang menghubungi Dean, pun Dean yang asik dengan kesibukannya dan ketenangannya karena tak diganggu Seina. Seina lebih sering merenung memikirkan apa yang akan ia hadapi menjelang hari pertunangan Danu dan Anin. Tinggal menghitung hari lagi.
Sepulang sekolah, tiba-tiba Dean sudah ada di depan sekolah Seina. Ia datang tanpa Seina minta.
“Kamu jemput aku?”
Dean langsung tersadar dari lamunannya.
“Eh, iya. Yuk.” Dean langsung memakai helmnya.
Di perjalanan pulan, tiba-tiba Dean membuka kaca helmnya. Tidak biasanya ia mengajak Seina mengobrol.
“Na.”

“Hm?” Seina sedikit memajukan kepalanya.
“Kamu jangan marah ya. Aku mau cerita sedikit.”
“Ya cerita aja De. Kenapa?”
“Ngga jadi deh, hehe.”
“Kenapa deh kamu. Tumben ngga jelas.”
“Na, Sabtu depan jati partner-ku ya.”
Partner apaan?”
“Aku diundang ke acara temenku. Kamu temenin aku ya. Putri lagi ngga bi...”
“Ngga bisa, aku juga ada acara.” Seina tau Dean hampir menyebut nama mantan kekasihnya.
“Na, aku ngga maksud. Maaf.”

Seina hanya diam.
.
Hingga sampai pada harinya.
Aku pergi sebentar ya, ke acara pentingnya Putri.
Dean mengirim pesan singkat ke Seina sebelum ia turun dari motornya. Hingga detik ini bahkan mantan kekasihnya tidak memberitahu siapa yang akan menjadi tunangannya. Putri menyuruh Dean datang sebagai kerabat terdekat kalau ia ingin tau siapa yang akan bertunangan dengannya.
Dean masuk ke tempat yang memang khusus untuk keluarga kedua belah pihak dan kerabat terdekat. Dean menghampiri Putri, tapi sangat terkejut saat melihat siapa yan berdampingan dengan mantan kekasihnya.
“Mas Danu?”

“Eh, Dean, dateng kok ngga bilang-bilang? Oh iya, Seina mana?”
“Seina? Mas, tapi kok nga bilang-bilang sih mau tunangan sama Putri?”
“Putri? Ooh, temen-temennya Anin manggil dia di kampus, Putri ya? Loh, De, emang Seina ngga cerita apa-apa? Nin, Dean nih.” Danu memanggil Anin. Anindita Putri.
“Wah, thankyou ya akhirnya dateng. Sekarang udah tau kan siapa yang tunangan sama gue?” ucap Anin.
“Nin, Dean pacarnya Seina.” ucap Danu.
“Hah serius? De kok lo ngga pernah cerita kalo lo pacaran sama Seina?” terlihat jelas bahwa Anin bahkan sangat kaget.

Dean sedang kebingungan sekarang. Bagaimana Seina? Apa ia tau tentang ini? Apa dia yang paling tau? Seina bahkan tau Dean dan Anin berpacaran saat masih di SMA. Apa hanya Seina yang tau semua ini?
Seina masih menunggu di ruangan yang disediakan untuk keluarga kedua belah pihak. Ia tau Dean sudah di luar dan bahkan sudah bertemu Danu ataupun Anin. Yang Seina pikirkan hanya perasaan Dean. Kemudian ponselnya berdering, Dean meneleponnya.
“Ya, De?”

“Kamu di mana? Aku mau ketemu.”
“Aku lagi ada acara—“
“Aku udah tau. Sekarang cepet keluar. Aku tunggu di deket parkiran.”

Seina keluar dan menemui kekasihnya setelah Dean memutus sambungan. Seina sedikit takut untuk menemui kekasihnya.
“Kamu tau semuanya? Iya kan?” tanya Dean.

“Ya tau lah. Yan tunangan sama kakak aku, mantan kamu.” Seina sengaja menjawab seketus mungkin, guna menahan gejolak perasaannya.
“Kamu tau dan ngga ngomong apa-apa sama aku.”
“Kamu pikir kamu tipe orang yang bisa aku ajak ngobrol hal ngga jelas, hah? Omongan aku aja jarang kamu tanggepin. Apa lagi soal pertunangan mas Danu? Kamu aja ngga pernah tertarik sama cerita kehidupan aku, apa lagi kakak aku. Kamu pikir aku bakal tiba-tiba cerita kalo mas Danu mau tunangan sama Anin, gitu? Mungkin aku cerita kalo kamu juga bilang kedekatan kamu sama Anin. Selama ini kan kamu ngga pernah mau bahas masa lalu. Kamu selalu bilang kan kalo masa lalu kamu punya kamu, masa lalu aku punya aku. Iya kan? Sekarang kamu masih marah ke aku gara-gara aku ngga pernah bahas mas Danu sama mantan kamu, iya?” semua yang Seina tahan akhirnya tumpah.

Dena hanya diam mendengar ucapan Seina.
“Sebelum aku tau mas Danu mau tunangan sama Anin, aku mau nyuruh kamu balik lagi ke orang yang bisa bikin kamu senyum, bahkan saat di telepon. Aku tau kamu masih suka sama Anin. Selama ini aku ngga pernah seneng sama Anin. Aku kesel kenapa cuma dia yang bisa bikin kamu seneng. Sekarang aku ngga tau harus gimana. Entah seneng lihat mas Danu samaAnin, atau sedih lihat kamu karena Anin tunangan sama orang lain.”

“Na, kamu ngomong apa sih.”
“Maafin mas Danu.” kedua mata Seina berkaca-kaca. Entah mengapa ia bicara seperti itu.
“Kamu tuh konyol banget sih ngomong kaya gitu.” Dean menarik Seina dan memeluknya.

.
“Nanti selesai PM (Pendalaman Materi) aku jemput ya?”

“Ngga usah. Aku ada kerja kelompok, De.”
“Di mana? Pulangnya mau aku jemput?”
“Ngga usah Dean...”
“Kenapa? Mau deh. Ya?”
“Aku kerja kelompoknya di rumahku.”
“Oh, bilang dong daritadi.”

Setelah itu Dean langsung memutus sambungan. Seina hanya mengernyitkan keningnya.
Belum selesai kerja kelompok dan masih ada beberapa teman Seina, motor Dean sudah nangkring di depan rumah Seina. Tanpa dipersilahkan, laki-laki itu masuk dan menunggu di teras depan rumah. Seina menghampiri Dean keluar.
“Kamu ngapain? Kan aku udah bilang ada kerja kelompok.”

“Iya aku tau. Makanya aku nunggu di luar. Selesai kerja kelompok kita makan nasi goreng di depan komplek ya.”
“Kenapa tadi ngga sekalian aja beli? Terus makan sendiri di sana. Udah buka kan?”
“Apaan sih, aku ngga mau makan sendiri.”
“Minta temenin Anin aja. Dia juga suka nasi goreng depan komplek.”
“Sana buruan deh selesaiin kerja kelompoknya, aku udah laper nih.” Dean mendorong Seina untuk masuk ke dalam.
“Telepon Anin buruan kalo udah laper.” Seina terus meledek kekasihnya.
“Oh iya, sini pinjem hape kamu.”
“Ngga ah, kan kita udah sepakat buat ngga—“
“Eh kamu nyebelin loh ya lama-lama. Mana sini ah buruan.”

Seina menggeleng.
“Na...”

“Iya bawel.”

Seina datang lagi dengan ponselnya, memberikannya pada Dean. Saat hendak berbalik, Dean menarik tangan Seina sambil memberikan ponselnya. Seina hanya menyunggingkan senyum melihat sikap Dean sekarang.
.
Beberapa hari menjelang Ujian Nasional, Seina malah semakin sulit dihubungi. Hari-hari Dean justru diselimuti khawatir dan gemas karena menunggu balasan pesan kekasihnya. Semua terbalik sejak kejadian beberapa bulan yang lalu.
Setiap pulang kuliah, Dean selalu mampir ke rumah Seina. Seperti hari ini, Dean datang untuk mengganggu Seina.
“Ngapain sih ke sini? Lusa aku UN.”

“Karena lusa kamu UN, makanya kamu udah ngga boleh belajar lagi.”
“Kenapa? Kok gitu?” Seina tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan sesekali sibuk dengan lembaran-lembaran kertas latihan ujian nasional yang berserakan di atas meja.
“Nanti kamu malah blank pas hari H.”
“Oh gitu ya?” Seina menoleh.
“Iya. Yaudah yuk temenin aku makan roti bakar.” Dean menarik tangan Seina.
“Ngga mau. Belum selesai belajarnya.” Seina melepas tangan Dean.
“Yaudah, aku temenin sampe kamu selesai belajar. Tapi nanti temenin ya?”

Seina hanya mengangguk sambil memahami istilah latin di lembar kertas biologi. Tersisa Dean yang tak lepas memperhatikan Seina belajar disampingnya.
“Susah ya Na?” tanya Dean.

“Menurut kamu?” Seina menyahut tanpa memandang Dean.
“Susah.”
“Yaiyalah. Dulu kamu anak IPS. Pasti susah lihat soal anak IPA.”

Dean malah terkikik.
Di detik berikutnya, Dean mengecup kening Seina dari samping. Membuat jantung Seina berhenti berdetak selama beberapa detik. Ia menoleh.
“Biar tambah semangat.” Dean tersenyum.
Seina masih memandang tanpa suara. Dean malah mengelus lembut kepala Seina.

END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]