Complicated [Delapan - Confused]
Hampir dua pekan
menjalin hubungan dengan Rama, dia memberi kabar yang cukup membuatku sedih. Mungkin
akan lebih jarang komunikasi, karena ponselnya rusak. Orangtuanya tak mengizinkannya
untuk pegang ponsel untuk beberapa hari ke depan. Jadi, Rama akan menghubungiku
sesaatnya dia pegang ponsel, milik mama atau papanya, mungkin.
Aku cukup sedih, namun
aku mengerti keadannya. Aku kuat dan aku bisa. Aku akan memahaminya, karena aku
mencintainya. Dari kenyataan yang harus aku hadapi, aku kuat-kuat saja kok
walaupun dia sudah tidak lagi pegang ponsel. Dia bisa meneleponku di waktu
senggang. Setiap pulang sekolah, dia pasti meneleponku. Setiap mamanya usai
kerja, dia mengajaku untuk sekadar komunikasi di twitter, dia pakai ponsel mamanya.
Sekali lagi dia mengajaku
jalan, ke toko buku lagi. Bosan sih, tapi selama dengannya, tidak masalah. Kali
ini beda. Dulu, kami masih teman ke tempat ini. Sekarang, aku sudah menjadi
pacarnya.
Entah apa namanya. Asik
di twitter, tapi tidak pernah saling sapa kalau bertemu langsung. Hanya sekadar
menyunggingkan bibir. Hanya sama-sama melirik. Apa susahnya menyapa? Waktu
sepulang KIR, aku pulang bareng dengan Marsha, sedangkan dia pulang bareng Aulia
dan Anggun. Aku berjalan di belakangnya. Dia tidak mengajakku berjalan
bersebelahan. Kupikir, saat sampai di ujung gerbang sekolah, dia akan
mengucapkan kata-kata padaku. “Hati hati” misalnya, atau sekadar bicara, “Aku
pulang duluan ya.”Atau mungkin basa-basi bertanya, “Kamu pulang dengan siapa?” Tidak.
Dia sama sekali tidak menoleh ke belakang. Dia tidak mengucapkan apa-apa.
“Lun, kok Rama gitu
sih? Dia ngga ngomong apa-apa ke kamu. Langsung nyelonong pulang tanpa pamit.”
“Entahlah, aku juga bingung Sha.” aku hanya mampu mengangkat bahuku.
“Seengganya bilang hati-hati kek’, ngajak pulang bareng kek’ walaupun naik angkutan umum, apakek’. Ini mah cuek banget.”
“Entahlah, aku juga bingung Sha.” aku hanya mampu mengangkat bahuku.
“Seengganya bilang hati-hati kek’, ngajak pulang bareng kek’ walaupun naik angkutan umum, apakek’. Ini mah cuek banget.”
Marsha yang sahabatku
dan bukan kekasih Rama saja merasa, betapa cueknya Rama padaku saat bertemu
langsung. Aku jadi tak mengerti.
“Tapi dia asik kalo di
twitter, kalo di sms…” aku menggantung ucapanku.
“Yasudah. Kamu kan sudah mendapatkan yang asyik di sms atau twitter. Tapi ya kalau bertemu langsung, seperti itu hahahaha.”
“Yasudah. Kamu kan sudah mendapatkan yang asyik di sms atau twitter. Tapi ya kalau bertemu langsung, seperti itu hahahaha.”
Ucapan Marsha barusan
memutar ingatanku ke masa lalu. Masa di mana saat aku masih dengan Farel. Farel
memang tidak pernah menghubungiku, tapi perhatiannya tertuang saat kami bertemu
langsung. Ada percakapan saat pulang bareng. Aku mendengar tawanya saat kami
sedang bersama.
“Rama itu kebalikannya Farel,
Lun.”
Tenggorokanku tercekat
mendengar ucapan Marsha. Marsha benar. Aku dan Rama hanya asyik di dunia maya,
sedangkan bersama Farel, aku asyik secara langsung dengannya. Namun, Rama jauh
lebih peduli padaku.
Di saat saat dia tidak
pegang ponsel, dia masih bisa menghubungiku, sekadar memberi kabar bahwa dia
baik-baik saja aku sudah senang. Kalau Farel? Tidak ada usahanya sama sekali,
padahal dia pegang dua ponsel.
Suatu hari.
“Lun, kamu masih jadian
dengannya?” tanya Fira, temanku sekaligus teman Farel.
“Masih, memang ada apa?”
“Ngga papa, aku cuma nanya kok.”
“Masih, memang ada apa?”
“Ngga papa, aku cuma nanya kok.”
Telingaku selalu
mendengar, banyak yang mengatakan bahwa Farel sebenarnya masih mencintaiku. Ada
kalimat, “Yahhh, kenapa Luna sudah jadian dengan Rama. Kenapa Luna tidak memberi
Farel kesempatan.” Aku berusaha mengabaikan kalimat itu, karena aku sudah
dengan Rama.
Akhir-akhir ini aku
selalu melihat Farel mendekati Rina, sahabatku. Sekadar menarik tangannya,
duduk di sebelahnya, memberi senyuman yang aku tak tahu apa artinya, membelai
rambutnya, menjahilinya, atau apalah yang seolah ingin membuatku jealous. Tapi mengapa harus Rina? Aku tidak
mengerti.
Di saat aku sedang
bicara berempat dengan sahabatku, Farel selalu datang. Bukan untuk menegurku,
tapi Rina. Aku tak mengerti dengan sikapnya. Apa mungkin Farel menyukai Rina? Entahlah,
nggak menutup kemungkinan juga kok. Malah aku senang kalau Farel bisa cepat move on.
Banyak kalimat yang
dipertegas di setiap percakapannya dengan Rina. Aku semakin tak mengerti. Bella
pernah bilang padaku,
“Farel tuh sebenernya
gengsi untuk bilang masih sayang sama kamu Lun.”
“Dia itu sering banget galauin kamu, Lun. Kamu pernah update tentang masa lalu yang baik, dan masa kini yang buruk, atau apalah aku ngga inget. Lalu Farel bilang, apa mungkin ya statusnya dia yang ini untukku. Gitu, Lun.” cerita Bella, yang sering kulihat Farel selalu menghampirinya. Mungkin sekadar curhat tentangku, barangkali.
“Dia itu sering banget galauin kamu, Lun. Kamu pernah update tentang masa lalu yang baik, dan masa kini yang buruk, atau apalah aku ngga inget. Lalu Farel bilang, apa mungkin ya statusnya dia yang ini untukku. Gitu, Lun.” cerita Bella, yang sering kulihat Farel selalu menghampirinya. Mungkin sekadar curhat tentangku, barangkali.
Sekali lagi aku dibuat
diam. Lalu apa yang harus aku lakukan? Menanyakan langsung ke Farel, gitu? Untuk
apa? Aku tak perlu ambil pusing, aku sudah bersama Rama. Jadi harusnya, masalah
sepele ini nggak perlu kuambil serius.
Lagi pula, sikapnya
berubah. Kurasa dia benar menyukai Rina. Memanggil Rina dengan sebutan “Bep” membuatku
menarik kesimpulan bahwa dia menyukai Rina. Sesekali Farel mengirim pesan
singkat padaku, tapi dia bertanya berapa nomer ponsel Rina. Untuk apa dia
bertanya padaku? Kenapa tidak, dia meminta pada Rina nya langsung? Aku malas
membalas pesan singkatnya.
Aku sedikit risih pada
sikap Farel yang menurutku agak berlebihan. Kalau memang menyukai Rina, ajak
pulang bareng, dan katakan bahwa aku menyukaimu. Seperti mengatakan padaku
dulu.
Sofi yang akhir-akhir ini
sering bersama Farel, menceritkan padaku tentang Farel. Aku mengabaikan itu
walaupun telinga dan otakku mencerna tiap paragraf yang Sofi ceritakan padaku. Entah
mengapa aku jadi dilema.
Sepulang sekolah,
seperti biasa, aku sekedar nongkrong di
warung pop ice depan sekolahku. Ada Rina, Bella, Fira, Fitri, Dini, Sofi, dan Farel
juga. Katanya, Farel berniat mengantar Bella pulang, dan mengantar Fira juga. Farel,
Sofi, Bella, dan Fitri pergi ke tempat entah apa namanya aku tak tahu. Di warung
pop ice hanya tinggal aku, Fira, Rina, dan Dini.
Rina dan Dini sibuk
bercerita tentang apapun, aku tak mendengar. Aku sibuk mendengar curhatan Fira,
tantang mantan kekasihnya yang juga temanku di kelas. Sebisa mungkin aku
tanggapi, dan sekedar memberi solusi.
Lumayan lama. Hampir
setengah jam. Farel dan Sofi kembali ke warung pop ice. Farel duduk di motornya,
di pinggir jalan, di sebelahku duduk, tanpa membuka helm. Fira masih bercerita
sampai aku harus bicara “Cuma satu yang bisa membuatnya berubah, penyesalan.” Aku
tak sadar bahwa di sebelahku ada Farel, kulirik dia. Wajahnya ditutupi helmnya.
Kulihat samar-samar, matanya lurus ke depan. Aku tidak bisa melihat raut
mukanya dengan jelas.
“Rel, turun aja, kita sharing bareng-bareng hahaha.” kataku
diselingi tawa. Kurasa, kami berteman baik setelah putus.
Aku dan dia jadi
seperti Tom & Jerry, ke manapun, di manapun, dan dalam keadaan apapun, ada
saja satu topik yang membuat kami harus bertengkar.
Dan kupikir, Farel
sudah bisa mengikhlaskan keadaan kami dulu. Kami yang sekarang hanyalah teman
biasa. Teman beradu kata-kata. Tak lama, Fira dan Farel pulang. Rina masih
bicara pada Dini. Di lain sisi, aku ngobrol dengan Sofi.
“Ada yang ingin
kuceritakan padamu, tentang Farel.”
“Cepat ceritakan.”
“Selagi di warung sosis tadi, aku banyak cerita tentangmu, begitupun Farel.”
“Tentangku? Tentang apa?”
“Dia bertanya, apa sebenarnya kamu masih memiliki rasa padanya. Apa kamu sudah bisa melupakannya. Kujelaskan padanya. Luna baru bisa melupakanmu, ya akhir-akhir ini. Dia kaget, ‘akhir akhir ini?’ begitu katanya. Yaa, Luna itu masih sering cari tau keadaanmu lewat twitter. ‘bagaimana bisa? Aku tidak berteman dengannya di twitter’. Luna pinjam twitter Rina untuk sekadar tau apa saja yang kamu tulis di twitter. Farel diam.”
“Cepat ceritakan.”
“Selagi di warung sosis tadi, aku banyak cerita tentangmu, begitupun Farel.”
“Tentangku? Tentang apa?”
“Dia bertanya, apa sebenarnya kamu masih memiliki rasa padanya. Apa kamu sudah bisa melupakannya. Kujelaskan padanya. Luna baru bisa melupakanmu, ya akhir-akhir ini. Dia kaget, ‘akhir akhir ini?’ begitu katanya. Yaa, Luna itu masih sering cari tau keadaanmu lewat twitter. ‘bagaimana bisa? Aku tidak berteman dengannya di twitter’. Luna pinjam twitter Rina untuk sekadar tau apa saja yang kamu tulis di twitter. Farel diam.”
[Saat
di warung sosis]
“Sof,
memang Luna tidak jealous melihat sikap Farel terhadap Rina?” tanya Fitri.
“Dia ngga mungkin jealous. Farel mendekati sahabatnya Luna sendiri, untuk apa Luna jealous? Toh, Rina pun sudah tau keburukan Farel.”
“Tuh, apa kubilang. Kamu salah cara Rel. Luna tuh ngga mungkin cemburu sama sahabatnya sendiri.” Bella ikut bicara.
“Dia ngga mungkin jealous. Farel mendekati sahabatnya Luna sendiri, untuk apa Luna jealous? Toh, Rina pun sudah tau keburukan Farel.”
“Tuh, apa kubilang. Kamu salah cara Rel. Luna tuh ngga mungkin cemburu sama sahabatnya sendiri.” Bella ikut bicara.
Sofi menceritakan
seperti itu, sedetail mungkin. Aku hanya membentuk garis dibibirku.
“Makanya tadi kamu ngga lihat Farel memanggil-manggil Rina seperti biasanya kan?”
“Iya sih. Ahh, aku jadi bingung.”
“Makanya tadi kamu ngga lihat Farel memanggil-manggil Rina seperti biasanya kan?”
“Iya sih. Ahh, aku jadi bingung.”
Sering aku duduk di depan
Farel. Bercerita, ngobrol. Membuatku jadi dekat lagi dengannya. Aku tetap
bersiteguh, aku punya Rama. Tapi, Abi, teman sebangku Farel, seperti
menyidangku.
“Lun, menghadap ke
arahku. Lebih baik kamu jujur sekarang. Kamu masih sayang kan sama Farel?”
“Apaan sih kamu.” jawabku diselingi tawa geli. Farel hanya menutup wajahnya dengan buku.
“Lun, kamu mah begitu. Aku sedang mengajakmu bicara.”
“Iya, apaan? Sudahlah, kamu mah ngaco Bi.”
“Loh, kok ngaco? Gini aja deh sekarang. Sof, kamu jadi pengacara Luna, aku jadi pengacara Farel. Aku mau mengintrogasimu Lun.”
“Apaan sih kamu.” jawabku diselingi tawa geli. Farel hanya menutup wajahnya dengan buku.
“Lun, kamu mah begitu. Aku sedang mengajakmu bicara.”
“Iya, apaan? Sudahlah, kamu mah ngaco Bi.”
“Loh, kok ngaco? Gini aja deh sekarang. Sof, kamu jadi pengacara Luna, aku jadi pengacara Farel. Aku mau mengintrogasimu Lun.”
Farel beranjak dari
kursinya, Sofi pun begitu. Abi pindah ke sebelahku. Bertanya-tanya yang
menurutku aneh.
“Memang kamu dan Rama
sudah berapa lama?”
“Jalan dua bulan. Kenapa?”
“Kok cepet banget sih. Lun, Farel tuh masih sayang benget sama kamu, tapi kamu malah jadian sama orang lain. Jahat kamu Lun.”
“Loh, kok jahat? Farel yang membuatku harus begini padanya.”
“Maksudmu bagaimana? Dia tuh sering Lun cerita padaku tentangmu. Tentang kamu mutusin dia lewat facebook, aku tau itu Lun. Sehabis kamu memutuskannya, kamu langsung mengajaknya bercanda. Aku sebagai cowo, membacanya tuh sakit banget Lun.”
“Salahnya dia dulu mengabaikanku.”
“Dia tuh mau balikan sama kamu Lun. Dia harus apa deh agar kamu bisa menerimanya lagi?”
“Ngga harus apa-apa kok. Lagian aku kan sudah ngga sendiri.”
“Aku tau kamu juga masih menyayangi Farel. Matamu ngga bisa berbohong.”
“Iya, aku masih menyayanginya. Hanya saja sayang sebagai teman. Ngga lebih.”
“Kamu bohong Lun. Sekarang gini deh, kamu pilih Rama atau Farel?”
“Ya jelas aku pilih Rama, lah.”
“Sekarang kamu bisa memilih Rama, tapi kamu ngga akan bisa memilih kalau dihadapkan keduanya.”
“Bisa kok, aku akan memilih Rama.” kataku sedikit canda.
“Engga, ngga akan. Kamu mau tau? Dia pernah jadiin foto bertuliskan ‘Laluna Alya’ DP BBM nya. Coba saja kamu lihat wallpaper hapenya, itu nama kamu.”
“Iya, aku sudah dengar ceritanya kok.”
“Nah, itu kamu tau. Dia sayang banget sama kamu Lun.”
“Aku tetap ngga bisa, Bi. Aku hanya bisa jadi temannya.”
“Jalan dua bulan. Kenapa?”
“Kok cepet banget sih. Lun, Farel tuh masih sayang benget sama kamu, tapi kamu malah jadian sama orang lain. Jahat kamu Lun.”
“Loh, kok jahat? Farel yang membuatku harus begini padanya.”
“Maksudmu bagaimana? Dia tuh sering Lun cerita padaku tentangmu. Tentang kamu mutusin dia lewat facebook, aku tau itu Lun. Sehabis kamu memutuskannya, kamu langsung mengajaknya bercanda. Aku sebagai cowo, membacanya tuh sakit banget Lun.”
“Salahnya dia dulu mengabaikanku.”
“Dia tuh mau balikan sama kamu Lun. Dia harus apa deh agar kamu bisa menerimanya lagi?”
“Ngga harus apa-apa kok. Lagian aku kan sudah ngga sendiri.”
“Aku tau kamu juga masih menyayangi Farel. Matamu ngga bisa berbohong.”
“Iya, aku masih menyayanginya. Hanya saja sayang sebagai teman. Ngga lebih.”
“Kamu bohong Lun. Sekarang gini deh, kamu pilih Rama atau Farel?”
“Ya jelas aku pilih Rama, lah.”
“Sekarang kamu bisa memilih Rama, tapi kamu ngga akan bisa memilih kalau dihadapkan keduanya.”
“Bisa kok, aku akan memilih Rama.” kataku sedikit canda.
“Engga, ngga akan. Kamu mau tau? Dia pernah jadiin foto bertuliskan ‘Laluna Alya’ DP BBM nya. Coba saja kamu lihat wallpaper hapenya, itu nama kamu.”
“Iya, aku sudah dengar ceritanya kok.”
“Nah, itu kamu tau. Dia sayang banget sama kamu Lun.”
“Aku tetap ngga bisa, Bi. Aku hanya bisa jadi temannya.”
Entah mengapa kata-kata
Abi masih terngiung di kepalaku. “Kamu
tak akan bisa memilih kalau dihadapkan keduanya.” Kujejerkan Farel dan Rama
di kepalaku. Siapa yang harus kupilih? Mengapa aku jadi bingung. Padahal kan
tadi aku bilang memilih Rama.
Farel dan Rama sama-sama
punya kekurangan dan kelebihan. Kelebihan Farel, selalu bisa membuatku nyaman
saat bercakap langsung dengannya, tapi dia bukan pria yang peka. Sedangkan Rama,
selalu mampu membuatku tenang, dia peduli, mengerti perasaanku, tapi itu hanya
di dunia maya, dalam kenyataan, Rama tidak ku kenal lagi, dia berubah cuek dan
pendiam.
Komentar
Posting Komentar