Complicated [Tujuh - After]
Rama membuatku sedikit
melupakan Farel. Rama selalu bisa membuatku tertawa. Tidak dengan Farel, yang
selalu membuatku menangis.
Sebelum Rama datang ke
hidupku, aku sedang berada dalam lingkaran masalah di rumah.
“Ka, De, Mama mau
bicara.” panggil Mamaku.
Aku dan Lala berjalan
mengikuti Mama ke kamarnya. Aku dan Lala duduk. Mamaku bicara dengan wajah
tenang dan kepala dingin. Aku tak bisa meraba hatinya. Entah apa yang
sebenarnya terjadi. Aku bukanlah orang yang peduli terhadap masalah selain
masalah pribadiku. Aku terlihat lebih cuek dengan masalah di rumah. Aku seakan-akan
tak mau tahu apa yang terjadi di rumah.
“Seandainya terjadi apa-apa
dengan mama dan ayah, kaka sama ade tidak boleh sedih ya.”
Aku tau, Mama hanya
ingin menutupi kesedihannya dariku dan Lala. Ya, aku bisa menebak. Aku mengerti
maksud Mama. Namun di situ, di situasi itu, aku membisu.
Apa-apa yang baru saja Mama
bilang, itu apa? Berpisah? Mungkin. Masa bodo lah. Aku tidak mau tau. Tapi kan
mereka orangtuaku. Ini pun menyangkut aku dan masa depanku.
“Mungkin mama akan mendapatkan
yang lebih baik lagi dari ayah. Kaka sama ade jangan sedih kalau itu semua
terjadi.”
Apa mama pikir hatiku
batu? 16 tahun aku melihat kalian berdua sebagai orangtuaku. Tidak segampang
membalikan telapak tangan untuk membuang semua kenangan yang pernah terjadi. Sama
seperti kenanganku dan Farel. Tidak mudah.
Aku tidak ingin ada
orang lain yang menggantikan posisi ayahku. Aku hanya ingin ayah dan mama yang
sudah mebuatku ada di sini. Bukan orang lain.
Di situ aku masih diam.
Aku diam karena aku tidak disuruh berkomentar apa-apa. Memang kan tidak ada
yang perlu dikomentari. Namun nada dan bahasa mama bicara, seolah membuatku
ingin melakukan hal yang paling aku benci; menangis.
Mataku menatap langit-langit
kamar. Aku tak sanggup untuk membendung semuanya. Ada perasaan kecewa yang amat
dalam jika semua benar terjadi. Air mataku terjatuh, dadaku sakit sampai aku
tak kuat untuk mengucap satu kata pun.
“Kakak sebagai anak
pertama tidak bisa diam saja. Harus ada tindakan dari kakak.” Mama bicara
seperti itu.
Aku masih diam,
merenung, memikirkan ucapan mama. Aku pun didesak untuk selalu berbicara pada ayahku.
Apakah aku akan jadi penyelamat semua ini?
Dalam diriku, ada
keinginan untuk memperbaiki semuanya. Aku turuti keinginan mamaku untuk bicara
pada ayahku. Mungkin aku sudah membuat ayahku menyesal dengan semua yang dia
lakukan.
Saat bicara dengan Ayah
di telepon, aku tidak bisa menahan tangis itu. Semuanya meledak. Di satu sisi, aku
ingin memperbaiki hubungan mama dengan ayah, tapi aku sendiri jadi bingung.
“Kakak tuh sebagai anak
pertama harus bisa bicara yang tegas supaya ayah tidak mengulangi kesalahannya.
Kakak udah besar. Kakak ngga bisa diam saja. Kakak ngga mau kan buat mama
sedih? Kakak ngga mau kan mama pisah sama ayah? Cuma kakak yang bisa membuat ayah
sadar atas kesalahannya. Bantu mama menyelesaikan masalah ini.”
Apa harus anak pertama
yang menyelesaikan masalah orangtuanya? Mengapa harus aku? Kalian semua
menyuruhku untuk menyelesaikan masalah kalian.
Wajarkah seorang siswa
kelas 2 SMA menghadapi masalah perceraian orangtuanya? Kalian tidak memikirkan
perasaanku. Kalian hanya menjerit di telingaku, tanpa mau mendengar jeritanku.
Waktu perkumpulan KIR
untuk rapat pemilihan pengurus baru oleh adik kelas, aku hanya bisa diam dan
tersenyum semampunya. Aku lelah menangis. Aku tak mungkin memperlihatkan
wajahku yang sedih di depan mereka. Sahabatku, Marsha, meminta nomer telepon
adik-adik kelas. Daripada sunyi, aku menghampiri Marsha yang sedang keliling
minta nomer ponsel, dan aku bicara,
“Ngga ada yang minta
nomer ponselku apa?!” nada bicaraku yang sangat ingin ada seseorang yang
meminta nomer ponselku.
Sore ini aku les
fisika, tapi mama terus meneleponku. Apa mama tidak berpikir sedikit saja
tentang perasaanku? Aku sudah lelah menjalani tugasku sebagai siswa SMA,
ditambah lagi harus menjalani tugasku sebagai anak pertama. Ada Lala, mengapa
harus selalu aku? Bukankah aku dan Lala sama saja? Sama-sama anak kalian yang
berhak bicara pada ayahnya.
“Mereka egois. Mereka
tidak memikirkanku. Mereka tidak memikirkan posisiku.” aku menaruh pundak
kepada ketiga temanku.
“Sabar Lun, ini semua pasti selesai. Kamu terus berdoa sama Allah ya, minta jalan keluarnya. Sekarang ini kamu ikuti saja keinginan mamamu.” saran Sofi.
“Tapi mereka seperti ngga peduli dengan keadaanku. Aku cape. Setiap hari pulang sekolah telat, sampai rumah harus menghadapi masalah mereka. Apa harus aku yang menyelesaikan semuanya?”
“Mungkin memang cuma kamu yang bisa. Lakukan semampumu Lun..”
“Semua pasti indah pada waktunya, kamu harus kuat.”
“Sabar Lun, ini semua pasti selesai. Kamu terus berdoa sama Allah ya, minta jalan keluarnya. Sekarang ini kamu ikuti saja keinginan mamamu.” saran Sofi.
“Tapi mereka seperti ngga peduli dengan keadaanku. Aku cape. Setiap hari pulang sekolah telat, sampai rumah harus menghadapi masalah mereka. Apa harus aku yang menyelesaikan semuanya?”
“Mungkin memang cuma kamu yang bisa. Lakukan semampumu Lun..”
“Semua pasti indah pada waktunya, kamu harus kuat.”
Semangat teman-temanku
benar-benar berharga untukku.
Sedaritadi les fisika,
aku sempat cek twitterku. Sepi. Waktu aku mengklik Direct Messages, selagi loading, aku mengklik tombol close. Untuk apa aku mengecek DM, tak
mungkin ada DM dari siapa-siapa.
Pulang ke rumah dengan
perasaan hancur. Serasa ingin menutup mata dan telinga jika harus ada di rumah.
Kebiasaanku adalah main twitter setiap malam, sekedar me-refresh kepalaku dari bermacam-macam masalah yang aku hadapi.
Ada satu DM. Entah dari
siapa. Loading-nya membuatku dag dig
dug. Ahh, kurasa Sofi. Saat lingkar loading
berhenti, aku benar-benar kaget. Rama, temanku di ekskul KIR. Dia minta nomer ponselku.
Jantungku serasa ingin copot. Tanpa pikir panjang aku langsung memberinya.
Lima menit, sepuluh
menit, satu jam, dua jam. Sampai akhirnya aku ngantuk, belum juga ada balasan
DM darinya. Kuputuskan untuk mengeceknya besok.
Dari tanggal 13 sampai tanggal 18 tak juga ada
balasan DM darinya, aku pun pasrah. Terserahlah, yang meminta kan dia ini. Sampai-sampai,
aku sedang mention-an dengan Marsha,
tiba-tiba saja ada mention masuk dari
Rama, iseng ku lihat timeline nya.
Selama lima hari dia
menunggu DM dariku. Tapi, aku kan sudah membalasnya? Aku coba retweet saja deh update-nya itu, hanya untuk memastikan.
Aku langsung mengirim
DM padanya, sedikit ada percakapan di situ, lalu kuberikan nomer ponselku. Tak
lama, dia mengirim pesan singkat padaku.
Aku tak percaya, sosok
yang dulu hanya kulirik sebelah mata, sekarang bisa sms-an. Sebelah mata? Dulu
dia adalah satu-satunya siswa cowo kelas 10 yang cukup aktif di KIR. Aku mulai
mengenalnya saat kami ekspedisi di Ujung Genteng, Sukabumi. Dulu aku masih
bersama Farel, jadi aku hanya menganggapnya biasa saja. Tapi tak ada yang
mengira, sekarang aku sedang sms-an dengan Rama.
Tapi aku bersyukur. Aku
tidak sepenuhnya berteman dengan air mata. Saat itu, ada Rama yang bisa
membuatku melupakan masalahku di rumah. Aku bersyukur saat itu Rama meminta
nomer ponselku, setidaknya ponselku tak sepi. Jadi, aku punya teman ngobrol
untuk sekadar sms-an.
Hari Kamis ini Rama
memintaku untuk menemaninya ke toko buku, beli buku rumus fisika katanya. Aku
dan Rama satu jurusan, namun kami beda kelas. Menurutku, Rama asik, lucu, baik,
dan tidak membosankan.
“Kamu mau ngga
menemaniku membeli buku rumus fisika?” tanyanya lewat sms.
“Hm, lihat besok ya. Soalnya besok aku ada janji sama temanku.”
“Oke, kabari aku yaa.”
“Hm, lihat besok ya. Soalnya besok aku ada janji sama temanku.”
“Oke, kabari aku yaa.”
Aku bingung, aku sudah
lebih dulu membuat janji kepada teman-temanku, tapi Rama mengajakku ke toko
buku. Aku sangat ingin menemani Rama. Aku sangat ingin bicara lebih dekat
dengannya.
Esoknya, kami berempat
ngumpul tak begitu lama, jadi aku memutuskan untuk menerima ajakan Rama. Aku
pun langsung mengabarinya. Aku dan Rama ketemuan di pos polisi, daerah pal,
tepatnya pertigaan. Mengapa aku dan dia janjian di sana? Mengapa dia tidak
menjemputku? Rama bukanlah cowo yang ke mana-mana pergi dengan motor layaknya
anak muda jaman sekarang. Kami pergi naik kendaraan umum. Aku tidak keberatan
dengan itu.
Di angkutan umum aku
dan dia tidak banyak bicara, mungkin karena ada sahabatku, Sofi. Rama jadi
pendiam. Padahal, kalau kami sedang sms-an atau mention-an di twitter, Rama orang yang rame dan seru, asyik. Sofi
tidak ikut denganku, dia turun di depan Jalan Pinang, nama jalan ke rumahnya. Aku
dan Rama melanjutkan perjalanan ke toko buku.
Lumayan lucu. Setelah
turun dari angkutan umum, dia lebih dulu jalan mendahuluiku. Harusnya kan dia
jalan berdampingan denganku, karena aku wanita dan dia pria. Entahlah. Kami
mengelilingi rak-rak buku besar di situ. Aku benar-benar rishi. Saat menemani Rama,
ponselku berkali-kali berdering. Siapa lagi kalau bukan mama.
Sempatnya menyuruhku
ini itu saat aku tidak di rumah. Seharusnya, ini dibicarakan bersama-sama di rumah,
bukan di luar rumah seperti ini. Aku jadi malu sendiri pada Rama. Walaupun Rama
tidak tahu masalahku di rumah, aku tetap tidak enak padanya. Pikiranku jadi
terbagi dua. Antara senang dan sedih, antara tersenyum dan menangis. Tapi tak
mungkin aku menangis di depan Rama. Tak mungkin juga aku menceritakan pada Rama
tentang apa yang sedang terjadi padaku. Aku tak ingin menghancurkan suasana
ini.
Saat selesai mencari
buku, dan Rama pun sudah membayar buku yang ia beli, dia bertanya padaku.
“Aku sudah membeli buku. Sekarang kita mau ke mana lagi?”
“Hm…terserah kamu”
“Loh ko terserah aku? Bukunya sudah ketemu, jadi seterah kamu mau ke mana sekarang.”
“Terserah kamu aja, Ram…”
“Aku sudah membeli buku. Sekarang kita mau ke mana lagi?”
“Hm…terserah kamu”
“Loh ko terserah aku? Bukunya sudah ketemu, jadi seterah kamu mau ke mana sekarang.”
“Terserah kamu aja, Ram…”
Kami bicara seperti itu
sepanjang lantai dua menuju lantai satu. Di luar toko buku pun kami masih
bingung mau kemana.
“Ke mana lagi nih?”
“Terserah kamu Rama.”
“Seterah kamu aja Lun…”
“Loh, aku bingung nih jadinya.”
“Yaudah, kita pulang aja.”
“Terserah kamu Rama.”
“Seterah kamu aja Lun…”
“Loh, aku bingung nih jadinya.”
“Yaudah, kita pulang aja.”
Sedari tadi kami saling
melontarkan kata “terserah” dan “seterah”, menurutku itu lucu. Tapi berakhir
dengan keputusan untuk pulang ke rumah masing-masing saja. Aku dan dia lumayan
banyak obrolan dibanding seberangkatnya tadi. Aku duduk bersebelahan dengannya.
Dia bicara tidak menatapku, padahal aku sangat ingin melihat wajahnya dari
dekat. Sesekali dia melirikku, namun tak lebih dari lima detik. Mengapa?
Bisa disebut kencan
pertama. Tapi aku tidak menganggap itu sebuah kencan, aku hanya menemaninya ke toko
buku, sudah. Dia yang memakai kemeja kotak-kotak benar-benar membuatku jadi
senyum-senyum sendiri saat di jalan pulang. Kami berpisah di pal, karena beda angkutan
umum.
Aku melambaikan tangan
ketika angkutan umum yang kutumpangi jalan duluan. Sesampainya di rumah, ada
getaran di hatiku. Mungkinkah getaran yang Rama berikan masih terasa? Bukan,
ini bukan getaran yang Rama beri, tapi getaran dengan masalah yang sedang kuhadapi
di rumah. Aku bingung harus melakukan apa.
Jumat, Sabtu, Minggu, Senin,
Selasa, Rabu, Kamis.
Ngumpul KIR, aku dan Rama
sama-sama terdiam. Dia keluar kelas, mengirim pesan singkat padaku. Aku
disuruhnya keluar, tapi aku tak mau karena Anggun, ketua KIR sedang bicara. Tak
lama dia masuk. Aku tak bisa menebak raut wajahnya. Dia biasa saja.
Sepulang KIR, aku
lanjut les fisika, di situ aku sambil sms-an dengan Rama, tanpa sadar bahwa aku
juga whatsapp-an dengan Farel. Namun
lebih dominan ke Rama.
“Aku
udah ngga kuat menahan perasaan ini. Aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Kamu mau
terima aku?”
Aku senyum-senyum
sendiri membacanya, padahal kan aku lagi belajar fisika. Yaa, sudah saatnya
akupun bilang tentang perasaanku padanya. Aku juga menyukainya. Tanpa sadar,
aku sudah jadi pacarnya sejak tiga menit yang lalu.
27 September menjadi
saksi bisu kesenanganku dengannya. Aku menikmati ini. Dia perhatian, dia cepat
membalas sms, twitter, dan dia tidak ragu untuk meneleponku. Suaranya benar-benar
kurindukan.
Badai pasti berlalu. Kesedihanku
tentang masalah di rumah, usai. Ayahku dan mamaku sudah baikan, dan tak ada
lagi niatan berpisah. Begitupun perasaanku. Benar-benar pelangi setelah hujan.
Komentar
Posting Komentar