Complicated [Dua belas - Fail]



Aku tidak pernah menduga akan ada kejadian seperti ini, hari ini. Abi memang kompor! Memaksa Farel untuk melakukan hal yang menurutku konyol. Mungkin Farel ingin mengatakan ini dari lama, hanya saja ia tidak punya keberanian dan hanya ada ketakutan yang amat besar.
“Kalau memang kamu gentle, katakan yang kutulis, di depan kelas!” ucap Abi, memberikan selembaran kertas berisi tulisan yang disuruhkan Farel untuk membaca di depan kelas.
Bagaimana tidak konyol, saat pelajaran berlangsung, Abi memaksa Farel melakukan hal konyol itu. Ditambah guru pelajaran matematikaku yang juga sedang berlangsung, tapi Bu Rini malah mendukung kejadian ini.
Satu kelas ramai dengan sorakan dukungan Farel agar membacakan apa yang Abi tulis. Ketiga temanku pun tidak berpihak padaku, sungguh aku malu.
“Ssssutt, Farel mau bicara.” ucap guruku di depan kelas.
Farel maju ke depan papan tulis, sambil membawa kertas itu. Berdiri tak tegap, wajah yang pucat, sangat terlihat bahwa Farel sangat nervous. Dia tertawa dan menjelaskan sambil berbisik, bahwa dia sangat deg-degan.
Beberapa temanku sudah memegang ponsel mereka dan mengarahkannya pada Farel yang ada di depan kelas, yang siap untuk bicara.
“Ayo dong baca!” sorak Abi.
“Em, Lun, jujur aku menyesal, aku mau minta maaf sama kamu karena kesalahanku yang kemarin, aku masih suka, sayang, dan cinta sama kamu, aku janji aku akan berubah….”
Belum selesai Farel bicara, satu kelas dan beberapa kompor di kelas sudah ramai berteriak ikut senang.
“Eh, tunggu, belum kelar ini. Ayo Rel, lanjutin!” kata Abi.
“Kamu mau ngga balikan sama aku?”
“CIYEEEEE, CIYEEEE. Terima Lun, terima!” kata beberapa temanku di kelas.
“Samperin dong, duduk di sebelahnya.” kata guruku.
Sial. Saat itu aku memang sedang duduk sendiri, karena teman sebangkuku—Sofi, beranjak dari duduknya dan memilih merekam semua adegan.
“Gimana?” katanya agak jaim.
“Apa?” kataku, malu-malu dan senyum-senyum tidak jelas.
Kami bicara berbisik. Satu kelas masih ramai dan beberapa ponsel dengan pancaran flash sudah berada di depanku dan Farel, sudah seperti selebritis saja.
Aku masih diam dengan senyuman, menunggu keadaan kelas sunyi sejenak. Bukan inginku didengar satu kelas, tapi percuma kalau aku bicara, Farel tidak begitu mendengar suaraku. Aku malas menjelaskan dua kali.
“Ehh, diam, Luna mau bicara…” ucap guruku, kurasa dia sangat mendukung.
“Lun, jangan bohongi perasaanmu.” ucap Marsha, di depanku.
Kebetulan, saat itu aku duduk paling pojok dekat tembok dan duduk di baris nomor dua, dan kursi depanku kosong, jadi aku bisa menangkap suara Marsha dari situ. Oke, kujelaskan pelan-pelan dan dengan kejujuran hati.
Sebenarnya, aku masih bingung harus menjawab apa, dan detik ini aku tak tau bagaimana perasaanku. Namun, aku harus menjelaskan.
“Rel, hari ini aku ngga nolak kamu, tapi juga ngga nerima kamu. Aku mau lihat perubahanmu dulu.” ya, itu hatiku. Tidak bisa menolak, namun juga tak mengiyakan.
“Tapi aku janji, aku akan berubah lebih baik.”
“Nah, aku mau lihat perubahan itu.”
“Jadi, gimana?”
“Ya tadi, aku ngga menolak dan aku juga ngga menerima.”
Mungkin hatinya serasa ada nuklir. Tapi mau bagaimana? Aku tidak bisa menerimanya begitu saja, apalagi setelah kuingat, bahwa tiga bulan yang lalu dia memutuskan hubungan. Rasanya masih sangat sakit. Sulit untukku mudah percaya dengan segala kata-katanya barusan, dan lagi dia begini karena pojokan dari Abi, bukan keinginan hatinya.
Ya, mungkin dia ingin melakukan ini dari lama, tapi tidak pernah muncul keberanian. Tetap saja, berbeda dengan pendapatku.
“Tapi masih ada kesempatan ngga, Lun?” tanya Marsha. Aku mengangguk dengan senyuman. Sebenarnya, aku sangat menaruh harapan padanya. Dia berubah jadi lebih baik dan akan membicarakan ini lagi empat mata, nanti.
Benar-benar konyol hari Kamis ini, tapi punya gejolak sendiri dalam hatiku. Aku malu, tapi tak dapat kubohongi, aku senang.
Kalau diingat, waktu pertama kali Farel menyatakan perasaannya, saat berdua denganku. Mengajak balikan, empat bulan lalu, di hadapan ketiga temanku dan mengajak balikan yang kedua kalinya, di depan kelas.
Mengajak balikan yang kedua? Wajar, aku tidak langsung menerima. Ini yang kedua! Mau sampai berapa kali lagi jika aku menerimanya hari ini? Itu sebabnya aku inginkan perubahan darinya.
Sepulang sekolah, dia mengajakku bicara empat mata, di balkon.
“Ada apa?”
“Aku ingin bertanya, sebenarnya kamu masih sayang ngga sih sama aku?”
“Aku sayang sama kamu.”
“Kenapa kamu inginkan perubahan dariku kalau memang kamu mencintaiku? Setelah kupikir, aku tidak bisa berubah jadi apa yang kamu mau, karena memang ini adanya aku.”
Aku tersenyum.
“Rel, berubah maksud aku tuh bukan berubah seperti yang kamu pikir. Berubah maksud aku itu, kamu ngga kaya dulu yang gampang buat ngomong putus. Bukan berubah jadi yang aku mau.”
“Ya tapi aku ngga bisa. Kalau kamu mikir, aku dekat dengan cewe manapun, itu hanya teman, dan tidak ada perasaan apapun. Kalau kamu tetap memaksaku berubah, aku ngga bisa.”
“Sekarang aku tanya sama kamu, selama kita jadian yang pertama sama yang kedua, pernah ngga aku nuntut kamu untuk jadi yang aku mau? Pernah ngga kamu ngerasa kalau aku melarangmu untuk tidak dekat dengan si ini atau si dia?”
“Ya engga sih—“
Kupotong omongannya.
“Nah, tuh kamu paham. Berubah yang kumaksud, supaya kamu bisa berpikir dewasa, tidak seperti anak kecil yang mudah mengambil keputusan. Aku mau nanya sama kamu, kenapa dulu kamu mutusin aku?”
“Aku lagi badmood dan sikapmu membuatku tambah emosi. Aku makin emosi dengan statusmu di twitter.”
Untuk kesekian kali aku tersenyum.
“Cuma karena status di twitter kamu mutusin aku. Kaya anak kecil ngga sih? Konyol. Harusnya masalah kaya gitu tuh bisa diomongin baik-baik. Kamunya juga ngga pernah cerita kalau kamu badmood, benar-benar ngga bisa diganggu. Asal kamu tau, sakit banget Rel, sakit. Apa lagi kamu tau, kamu mutusin aku di saat aku sayang-sayangnya sama kamu.” jelasku hampir menitihkan air mata.
Dia diam sejenak dengan tatapan mata ke atas, tak menoleh sedikitpun ke wajahku. Padahal, mataku selalu berusaha mencari tatap matanya.
“Tapi, kalau memang maumu begitu, aku ngga bisa, kalau kamu tetap memaksaku berubah, aku ngga bisa, dan kalau mau kamu jadi teman selama-lamanya, ngga papa. Jadi teman tak akan ada saling cemburu kan.” katanya.
“Tap—“ baru mulutku mangap untuk bicara, dia sudah pergi meninggalkanku.
“Yasudah” lalu Farel masuk ke kelas. Dan aku pergi ke kelas 11 IPA 1 untuk rapat kir.
‘Kenapa dia gak ngerti maksudku’ benakku.
“Bagaimana?” tanya Marsha, ketika aku duduk di sebelahnya. Aku ceritakan semua yang terjadi.
“Kok Farel gitu sih? Ih, nyebelin banget. Kayanya tadi dia baik-baik aja.” ucap Marsha yang juga ikutan kesal. Kami bicara dengan nada pelan.
Entah bagaimana perasaanku, aku tidak mengerti. Aku benar-benar bingung, dan kurasa aku tidak salah mengambil keputusan. Aku tidak menerimanya sekarang karena memang hatiku belum siap dipatahkannya untuk kesekian kalinya.
Siapa yang akan menjamin sikapnya lebih baik dari kemarin, jika tak ada perubahan? Siapa yang mau tangung jawab kalau nanti kejadian kemarin terulang lagi? Siapa?!
“Berubah maksudku kan bukan berarti dia harus jadi siapa yang kumau, bukan! Kenapa sih, dia ngga bisa berpikir panjang? Aku menyuruhnya berubah, supaya kejadian kemarin ngga terulang. Ah, bodoh!” kesalku jadi jatuh ke Marsha, saat kami pulang bareng, di motor. “Wajarlah kalau aku memintanya untuk berubah. Ini yang ketiga, Sha. Aku ngga mau ngerasain sakit yang sama dengan jarak waktu yang singkat ini.” aku masih terus bicara hingga Marsha benar-benar meresapi kata-kataku.
“Cewe minta cowonya berubah, wajar. Tapi kalau cowo? Kurang ajar. Kalau kata Esa, tulang rusuk cewe itu bengkok, dan ngga bisa dipaksa lurus. Jadi, kalau cewe dipaksa berubah, ya ngga bisa, bakalan patah yang ada tulang rusuknya. Beda sama cowo, katanya kan cewe itu tulang rusuknya cowo. Wajar kalau cewe banyak nuntut, karena cowo bakal jadi pemimpin, kalau dia mau jadi pemimpin yang baik.”
Aku diam mendengar penjelasan Marsha barusan dan aku cukup meresapi ucapannya. Perasaanku malam ini benar-benar ganjal. Baru belum lama komunikasiku dengan Farel sangat baik dan masih bercanda. Sekarang?
Keesokannya aku berusaha biasa saja. Tidak sedikitpun ada tampang galau di wajahku. Ya, menurutku, aku pandai menempatkan topeng di wajahku. Beda dengan raut wajahnya. Aku tidak menoleh sedikitpun ke arahnya, namun aku menyimpan kebencian pada diriku sendiri. Entah, aku membenci diriku sendiri.
Saat istirahat kedua, jam nya siswa cowo salat Jumat.
“Lun, kamu lihat matanya Farel ngga? Sembap loh, kaya habis nangis.” cerita Marsha yang beberapa kali bolak-balik ke tempat duduk Farel dan Abi.
“Aku ngga lihat. Ah, masa iya dia nangis? Untuk apa menangis? Baru pertama kali kan? Aku? Sudah sering menangis karenanya.” kataku, jaim.
Tapi, setelah kuputar otak, aku malah menyakiti diriku sendiri, telapak tanganku luka, hanya karena aku membuatnya menangis, jika benar dia menangis.
Aku malah menyesali keputusanku kemarin. Tapi, yasudahlah, menurutku tidak ada yang salah jika aku bersikap seperti kemarin. Positifnya, mungkin ini proses pendewasaan diri untukku dan dia.
Setelah selesai salat Jumat, Farel masuk ke kelas, dan aku penasaran dengan matanya. Kulihat tanpa dia sadar. Ya, matanya sembap dan agak berkantung. Bukan seperti kurang tidur, bola matanya seperti Rina kemarin yang habis menangis.
‘Maafkan aku, Rel’ benakku.
“Lun, tadi aku cerita-cerita dan menjelaskan semua pada Farel, akupun menjelaskan dengan perantara, tapi tetap saja dia keras dan ada satu alasan yang menurutku masuk akal. Memang, kamu takut yang dulu terulang. Dan dia bilang, mau sampai kapan kamu terus berpikir ke belakang. Bagiku, yang lalu ya sudah berlalu. Gitu katanya.” cerita Marsha.
Aku hanya mampu mendengar dan malas untuk menanggapi, walau kuulang terus ucapan Marsha di kepalaku.
Sudahlah, seminggu ke depan aku akan melaksanakan ujian akhir semester, aku malas memikirkan hal seperti ini. Kalaupun sudah jalan-Nya, dia akan kembali padaku, kok. Beberapa hari ini, aku tidak bertegur sapa dengannya.
7 Juni, sudah tiba hari di mana aku menjalankan ujian akhir semester hari pertama. Entah tidak atau aku sadari, aku satu ruangan dengan adik kelas yang kuperhatikan akhir-akhir ini. Trian namanya. Dia memang tidak duduk semeja denganku, tapi dengan teman sekelasku, Tiara.
Duduknya tidak jauh dari kursiku, sehingga aku masih mampu menangkap wajahnya. Memperhatikannya diam-diam, di tengah mengerjakan soal matematika memang sangat indah. Dan sesekali, Trian pun melihat ke arahku, malah aku yang menoleh.
Kujalani Sabtu, Senin, Selasa, dan Rabu dengan melihatnya selagi di kelas. Indah, dan dia malah terbawa dalam malamku sebelum tidur. Memikirkannya? Apakah ini cinta? Benarkah perasaanku pada Farel sudah hilang? Entah. Yang jelas, aku hanya melihat wajah Trian dalam malamku.
Mungkin bukan cinta, tapi benih cinta. Benih cintaku mulai hadir ketika seruangan dengan Trian. Tapi, benih cinta itu perlahan hilang ditelan gossip Tiara menyukai Trian. Cukup kaget. Karena aku menyukai Trian sudah dari lama sebelum Tiara tau Trian. Tapi pada kenyataannya, Tiara lebih dulu kenal dekat dengan Trian dibanding aku. Aku hanya bisa melihatinya dari jauh tanpa berani mengeluarkan suara dihadapannya.
Belum selangkah maju, sudah lebih dulu diselak. Mungkin ini takdirku dengan Farel. Farel? Magnet jenis apa yang ada di tubuhnya hingga mampu menarikku dan semakin kuat. Dan pedang dengan ketajaman macam apa yang juga mampu menyakitiku seketika yang ia mau.
Setelah selesai uas, aku dan dia kembali seperti biasa lagi, mencair lagi semenjak kebekuan beberpa hari lalu di antara kami. Tapi tetap saja, harus aku yang selalu diejeknya. Jumat ini tanggal 14. Marsha menghampiriku, dan dia bercerita.
“Lun, tadi Farel bicara padaku.”
“Bicara apa?” tanyaku.
“Gini, eh, Sha, Luna ngga ingat ya dengan tanggal ini? Gitu, hahahaha.”
“Terus mau apa kalau aku ingat??? Mau apalagi???” kataku jadi naik darah. Tapi Marsha malah tertawa puas.
Memang benar kan, untuk apa aku mengingat tanggal 14 lagi? Tak ada yang perlu diingat kan? Hanya untuk dikenang. Aku sudah terlalu lelah menyakiti diriku sendiri, dan aku cukup kasihan terus membiarkan mataku meneteskan air mata.
Namun, untuk jatuh cinta lagi pun tidak dapat restu dari yang maha kuasa. Dan takdirku, harus kembali meratapi masa lalu yang memang hanya itu peninggalan perasaanku. Sakit memang, namun aku tidak bisa menahan mereka untuk menimbulkan rasa cinta. Mungkin, Trian hanya kereta yang singgah sejenak. Tapi Farel, adalah stasiunnya yang akan tetap tinggal.
Beberapa malam, komunikasiku baik, sangat baik karena aku yang memulai menyapanya di sms, dan kami melanjutkannya di twitter hingga tengah malam. Sampai keesokan paginya pun kami masih lanjut mention-an.
Aku cukup melayang dengan segala kalimat manis di tengah candanya dalam percakapan itu. Dia bilang, aku menggemaskan karena sesekali membuatnya naik darah. Namun, bunga-bunga di hatiku perlahan gugur, saat siang sudah tak ada balasan mention darinya.
Malam ini, aku menerima satu foto. Foto yang cukup menggetarkan telapak tanganku ketika melihatnya dan mampu mengiris sedikit luka yang hampir kering.
Kurang apa hati seperti hatiku? Yang rela disakiti, rela untuk dilukai, dan menerima segala maaf secara tak langsung, walau tidak ada yang harus dimaafkan, dan tidak pernah ada maaf yang terucap darinya.
Kurang apa perasaan seperti perasaanku? Yang ingin jatuh cinta lagi, namun selalu kaubuat untuk tetap tinggal di rumahmu yang tak pernah kauhampiri. Kamu yang selalu mengunciku di rumah pengabaianmu dan sesukamu bisa kaudatang dan tinggali.
Apa aku kurang sabar menanggapi sikapmu? Apa air mataku kurang banyak untuk menangisi setiap lakumu? Apa hatiku kurang kuat untuk kausakiti? Atau mungkin aku kurang pintar untuk meninggalkanmu.
Diary of
Sudah Terlalu Jauh
Aku menyakiti diriku sendiri dengan cara masih mencintaimu. Seharusnya, kejadian yang pernah terulang itu tidak terulangi lagi untuk kesekian kalinya. Semakin sakit harus mengulang keperihan dalam kemasan berbeda.
Tapi, aku tak mampu menghindari perasaanku. Aku rindu senyumanmu yang hanya untukku. Sikapmu yang hanya untukku. Aku merindukan suaramu yang memanggil namaku. Tatapanmu, tawamu, yang hanya untukku.
Aku tidak ingin melihat sikapmu yang untuk mereka. Aku tidak ingin mendengar suaramu yang memanggil mereka. Mengapa? Aku sakit. Aku hancur. Perasaanku yang pernah kamu buat hancur, lalu kepingan yang kamu coba perbaiki, yang tak akan pernah sama, sekarang hancur sehancur-hancurnya.
Seribu wajah, katamu. Namun, aku hanya memiliki dua wajah untukmu. Biasa saja seperti yang kamu lihat, dan menangis di belakangmu. Seribu kebohongan, katamu. Mungkin aku hanya memilikki satu kebohongan, yaitu tersenyum saat melihat tingkahmu kepada mereka, di hadapanku. Seribu cinta, katamu. Entah seribu cinta untuk satu orang, atau seribu cinta untuk seribu orang. Yang jelas, aku hanya punya satu cinta sampai saat ini. Dan masih untuk orang yang membuat perasaanku hancur berkeping-keping.
Aku sadar, harusnya aku sudah tidak mencintaimu lagi. Di saat dekat denganmu pun, seakan kamu memaksa perasaanku untuk menghapusmu dari ingatanku. Tapi betapa bodohnya aku yang selalu memikirkanmu hanya karena kepengecutanmu. Hanya karena ucapan mereka. Hanya karena bahasa tubuhmu di belakangku.
Aku masih mencintaimu. Tapi sikapmu memaksaku untuk menghapusmu perlahan. Benarkah sudah tak ada cinta untukku di hatimu? Adakah satu dari mereka yang telah menggantikanku di hatimu?
Aku ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana hanya ada aku dan tokoh-tokoh yang kusutradarai sendiri dan bermain dalam imajinasi. Terlalu lama hidup dalam imajinasi, dunia nyata seakan mengetuk imajinasiku. Memaksaku keluar. Namun aku tidak siap untuk hidup di dunia nyata.
Hingga pada saatnya, seseorang datang memaksaku untuk melangkah di dunia nyata. Menyenagkan. Namun, kurasa aku sudah melangkah terlalu jauh bersamanya. Sampai kutemukan air mata, akibatnya. Dia membuatku lelah untuk kembali ke belakang; dunia imajinasiku. Dia memaksaku untuk tetap ada di sini, menontonnya bersama mereka. Namun, keberadaanku selalu tak dianggap. Selalu dipandang sebelah mata.
Aku ingin kembali ke imajinasiku. Aku menemukan kebahagiaanku sendiri. Aku menemukan kesedihanku sendiri. Tawa dan air mata yang kubuat sendiri. Aku ingin pulang ke duniaku. Bukan di sini, duniamu yang selalu membuatku menangis.
Bantu aku untuk mencari jalan pulang, tapi bukan jalan pulang ke hatimu. Bawa aku terbang jauh, lalu tinggalkan aku. Aku ingin sendiri, melupakan bayangmu. Dibuat sakit terus-menerus, membuatku seakan ditancap berulang kali dengan pedang panjang yang tumpul.
Semua terasa mudah bagimu karena cintamu tak sama dengan cintaku, dan luka yang sesekali kau rasakan, tidak seperti luka yang terus-terusan kamu berikan. Melupakanmu tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, mudahnya membalik telapak tangan itu seperti melupakanku. Ya kan?
Aku mencintaimu dengan air mata, tapi kamu melupakanku tanpa air mata. Aku masih melihatmu dengan mata batinku. Dan kamu sama sekali tidak melihatku. Dengan mata batin? Dengan kedua mataku, aku merasakan sakit luar biasa ketika melihatmu.
Aku hanya ingin menutup mata dan telingaku darimu. Aku sudah terlanjur jauh jalan di hatimu, dan aku akan berusaha kembali ke belakang, berlari sendirian. Aku tak akan melihatmu untukku lagi, namun aku akan melihatmu bahagia dengan duniamu, dengan mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]