Complicated [Dua belas - Fail]
Aku
tidak pernah menduga akan ada kejadian seperti ini, hari ini. Abi memang
kompor! Memaksa Farel untuk melakukan hal yang menurutku konyol. Mungkin Farel
ingin mengatakan ini dari lama, hanya saja ia tidak punya keberanian dan hanya
ada ketakutan yang amat besar.
“Kalau
memang kamu gentle, katakan yang
kutulis, di depan kelas!” ucap Abi, memberikan selembaran kertas berisi tulisan
yang disuruhkan Farel untuk membaca di depan kelas.
Bagaimana
tidak konyol, saat pelajaran berlangsung, Abi memaksa Farel melakukan hal
konyol itu. Ditambah guru pelajaran matematikaku yang juga sedang berlangsung,
tapi Bu Rini malah mendukung kejadian ini.
Satu
kelas ramai dengan sorakan dukungan Farel agar membacakan apa yang Abi tulis. Ketiga
temanku pun tidak berpihak padaku, sungguh aku malu.
“Ssssutt,
Farel mau bicara.” ucap guruku di depan kelas.
Farel
maju ke depan papan tulis, sambil membawa kertas itu. Berdiri tak tegap, wajah
yang pucat, sangat terlihat bahwa Farel sangat nervous. Dia tertawa dan menjelaskan sambil berbisik, bahwa dia
sangat deg-degan.
Beberapa
temanku sudah memegang ponsel mereka dan mengarahkannya pada Farel yang ada di depan
kelas, yang siap untuk bicara.
“Ayo
dong baca!” sorak Abi.
“Em, Lun, jujur aku menyesal, aku mau minta maaf sama kamu karena kesalahanku yang kemarin, aku masih suka, sayang, dan cinta sama kamu, aku janji aku akan berubah….”
“Em, Lun, jujur aku menyesal, aku mau minta maaf sama kamu karena kesalahanku yang kemarin, aku masih suka, sayang, dan cinta sama kamu, aku janji aku akan berubah….”
Belum
selesai Farel bicara, satu kelas dan beberapa kompor di kelas sudah ramai
berteriak ikut senang.
“Eh,
tunggu, belum kelar ini. Ayo Rel, lanjutin!” kata Abi.
“Kamu mau ngga balikan sama aku?”
“CIYEEEEE, CIYEEEE. Terima Lun, terima!” kata beberapa temanku di kelas.
“Samperin dong, duduk di sebelahnya.” kata guruku.
“Kamu mau ngga balikan sama aku?”
“CIYEEEEE, CIYEEEE. Terima Lun, terima!” kata beberapa temanku di kelas.
“Samperin dong, duduk di sebelahnya.” kata guruku.
Sial.
Saat itu aku memang sedang duduk sendiri, karena teman sebangkuku—Sofi,
beranjak dari duduknya dan memilih merekam semua adegan.
“Gimana?”
katanya agak jaim.
“Apa?” kataku, malu-malu dan senyum-senyum tidak jelas.
“Apa?” kataku, malu-malu dan senyum-senyum tidak jelas.
Kami
bicara berbisik. Satu kelas masih ramai dan beberapa ponsel dengan pancaran flash sudah berada di depanku dan Farel,
sudah seperti selebritis saja.
Aku
masih diam dengan senyuman, menunggu keadaan kelas sunyi sejenak. Bukan inginku
didengar satu kelas, tapi percuma kalau aku bicara, Farel tidak begitu
mendengar suaraku. Aku malas menjelaskan dua kali.
“Ehh,
diam, Luna mau bicara…” ucap guruku, kurasa dia sangat mendukung.
“Lun, jangan bohongi perasaanmu.” ucap Marsha, di depanku.
“Lun, jangan bohongi perasaanmu.” ucap Marsha, di depanku.
Kebetulan,
saat itu aku duduk paling pojok dekat tembok dan duduk di baris nomor dua, dan
kursi depanku kosong, jadi aku bisa menangkap suara Marsha dari situ. Oke, kujelaskan
pelan-pelan dan dengan kejujuran hati.
Sebenarnya,
aku masih bingung harus menjawab apa, dan detik ini aku tak tau bagaimana
perasaanku. Namun, aku harus menjelaskan.
“Rel,
hari ini aku ngga nolak kamu, tapi juga ngga nerima kamu. Aku mau lihat perubahanmu
dulu.” ya, itu hatiku. Tidak bisa menolak, namun juga tak mengiyakan.
“Tapi
aku janji, aku akan berubah lebih baik.”
“Nah, aku mau lihat perubahan itu.”
“Jadi, gimana?”
“Ya tadi, aku ngga menolak dan aku juga ngga menerima.”
“Nah, aku mau lihat perubahan itu.”
“Jadi, gimana?”
“Ya tadi, aku ngga menolak dan aku juga ngga menerima.”
Mungkin
hatinya serasa ada nuklir. Tapi mau bagaimana? Aku tidak bisa menerimanya
begitu saja, apalagi setelah kuingat, bahwa tiga bulan yang lalu dia memutuskan
hubungan. Rasanya masih sangat sakit. Sulit untukku mudah percaya dengan segala
kata-katanya barusan, dan lagi dia begini karena pojokan dari Abi, bukan
keinginan hatinya.
Ya,
mungkin dia ingin melakukan ini dari lama, tapi tidak pernah muncul keberanian.
Tetap saja, berbeda dengan pendapatku.
“Tapi
masih ada kesempatan ngga, Lun?” tanya Marsha. Aku mengangguk dengan senyuman. Sebenarnya,
aku sangat menaruh harapan padanya. Dia berubah jadi lebih baik dan akan
membicarakan ini lagi empat mata, nanti.
Benar-benar
konyol hari Kamis ini, tapi punya gejolak sendiri dalam hatiku. Aku malu, tapi
tak dapat kubohongi, aku senang.
Kalau
diingat, waktu pertama kali Farel menyatakan perasaannya, saat berdua denganku.
Mengajak balikan, empat bulan lalu, di hadapan ketiga temanku dan mengajak
balikan yang kedua kalinya, di depan kelas.
Mengajak
balikan yang kedua? Wajar, aku tidak langsung menerima. Ini yang kedua! Mau
sampai berapa kali lagi jika aku menerimanya hari ini? Itu sebabnya aku
inginkan perubahan darinya.
Sepulang
sekolah, dia mengajakku bicara empat mata, di balkon.
“Ada
apa?”
“Aku ingin bertanya, sebenarnya kamu masih sayang ngga sih sama aku?”
“Aku sayang sama kamu.”
“Kenapa kamu inginkan perubahan dariku kalau memang kamu mencintaiku? Setelah kupikir, aku tidak bisa berubah jadi apa yang kamu mau, karena memang ini adanya aku.”
“Aku ingin bertanya, sebenarnya kamu masih sayang ngga sih sama aku?”
“Aku sayang sama kamu.”
“Kenapa kamu inginkan perubahan dariku kalau memang kamu mencintaiku? Setelah kupikir, aku tidak bisa berubah jadi apa yang kamu mau, karena memang ini adanya aku.”
Aku
tersenyum.
“Rel,
berubah maksud aku tuh bukan berubah seperti yang kamu pikir. Berubah maksud
aku itu, kamu ngga kaya dulu yang gampang buat ngomong putus. Bukan berubah
jadi yang aku mau.”
“Ya tapi aku ngga bisa. Kalau kamu mikir, aku dekat dengan cewe manapun, itu hanya teman, dan tidak ada perasaan apapun. Kalau kamu tetap memaksaku berubah, aku ngga bisa.”
“Sekarang aku tanya sama kamu, selama kita jadian yang pertama sama yang kedua, pernah ngga aku nuntut kamu untuk jadi yang aku mau? Pernah ngga kamu ngerasa kalau aku melarangmu untuk tidak dekat dengan si ini atau si dia?”
“Ya engga sih—“
“Ya tapi aku ngga bisa. Kalau kamu mikir, aku dekat dengan cewe manapun, itu hanya teman, dan tidak ada perasaan apapun. Kalau kamu tetap memaksaku berubah, aku ngga bisa.”
“Sekarang aku tanya sama kamu, selama kita jadian yang pertama sama yang kedua, pernah ngga aku nuntut kamu untuk jadi yang aku mau? Pernah ngga kamu ngerasa kalau aku melarangmu untuk tidak dekat dengan si ini atau si dia?”
“Ya engga sih—“
Kupotong
omongannya.
“Nah,
tuh kamu paham. Berubah yang kumaksud, supaya kamu bisa berpikir dewasa, tidak
seperti anak kecil yang mudah mengambil keputusan. Aku mau nanya sama kamu,
kenapa dulu kamu mutusin aku?”
“Aku lagi badmood dan sikapmu membuatku tambah emosi. Aku makin emosi dengan statusmu di twitter.”
“Aku lagi badmood dan sikapmu membuatku tambah emosi. Aku makin emosi dengan statusmu di twitter.”
Untuk
kesekian kali aku tersenyum.
“Cuma
karena status di twitter kamu mutusin aku. Kaya anak kecil ngga sih? Konyol. Harusnya
masalah kaya gitu tuh bisa diomongin baik-baik. Kamunya juga ngga pernah cerita
kalau kamu badmood, benar-benar ngga bisa
diganggu. Asal kamu tau, sakit banget Rel, sakit. Apa lagi kamu tau, kamu
mutusin aku di saat aku sayang-sayangnya sama kamu.” jelasku hampir menitihkan
air mata.
Dia
diam sejenak dengan tatapan mata ke atas, tak menoleh sedikitpun ke wajahku. Padahal,
mataku selalu berusaha mencari tatap matanya.
“Tapi,
kalau memang maumu begitu, aku ngga bisa, kalau kamu tetap memaksaku berubah,
aku ngga bisa, dan kalau mau kamu jadi teman selama-lamanya, ngga papa. Jadi
teman tak akan ada saling cemburu kan.” katanya.
“Tap—“ baru mulutku mangap untuk bicara, dia sudah pergi meninggalkanku.
“Yasudah” lalu Farel masuk ke kelas. Dan aku pergi ke kelas 11 IPA 1 untuk rapat kir.
“Tap—“ baru mulutku mangap untuk bicara, dia sudah pergi meninggalkanku.
“Yasudah” lalu Farel masuk ke kelas. Dan aku pergi ke kelas 11 IPA 1 untuk rapat kir.
‘Kenapa
dia gak ngerti maksudku’ benakku.
“Bagaimana?”
tanya Marsha, ketika aku duduk di sebelahnya. Aku ceritakan semua yang terjadi.
“Kok Farel gitu sih? Ih, nyebelin banget. Kayanya tadi dia baik-baik aja.” ucap Marsha yang juga ikutan kesal. Kami bicara dengan nada pelan.
“Kok Farel gitu sih? Ih, nyebelin banget. Kayanya tadi dia baik-baik aja.” ucap Marsha yang juga ikutan kesal. Kami bicara dengan nada pelan.
Entah
bagaimana perasaanku, aku tidak mengerti. Aku benar-benar bingung, dan kurasa
aku tidak salah mengambil keputusan. Aku tidak menerimanya sekarang karena
memang hatiku belum siap dipatahkannya untuk kesekian kalinya.
Siapa
yang akan menjamin sikapnya lebih baik dari kemarin, jika tak ada perubahan? Siapa
yang mau tangung jawab kalau nanti kejadian kemarin terulang lagi? Siapa?!
“Berubah
maksudku kan bukan berarti dia harus jadi siapa yang kumau, bukan! Kenapa sih,
dia ngga bisa berpikir panjang? Aku menyuruhnya berubah, supaya kejadian
kemarin ngga terulang. Ah, bodoh!” kesalku jadi jatuh ke Marsha, saat kami
pulang bareng, di motor. “Wajarlah kalau aku memintanya untuk berubah. Ini yang
ketiga, Sha. Aku ngga mau ngerasain sakit yang sama dengan jarak waktu yang
singkat ini.” aku masih terus bicara hingga Marsha benar-benar meresapi
kata-kataku.
“Cewe minta cowonya berubah, wajar. Tapi kalau cowo? Kurang ajar. Kalau kata Esa, tulang rusuk cewe itu bengkok, dan ngga bisa dipaksa lurus. Jadi, kalau cewe dipaksa berubah, ya ngga bisa, bakalan patah yang ada tulang rusuknya. Beda sama cowo, katanya kan cewe itu tulang rusuknya cowo. Wajar kalau cewe banyak nuntut, karena cowo bakal jadi pemimpin, kalau dia mau jadi pemimpin yang baik.”
“Cewe minta cowonya berubah, wajar. Tapi kalau cowo? Kurang ajar. Kalau kata Esa, tulang rusuk cewe itu bengkok, dan ngga bisa dipaksa lurus. Jadi, kalau cewe dipaksa berubah, ya ngga bisa, bakalan patah yang ada tulang rusuknya. Beda sama cowo, katanya kan cewe itu tulang rusuknya cowo. Wajar kalau cewe banyak nuntut, karena cowo bakal jadi pemimpin, kalau dia mau jadi pemimpin yang baik.”
Aku
diam mendengar penjelasan Marsha barusan dan aku cukup meresapi ucapannya. Perasaanku
malam ini benar-benar ganjal. Baru belum lama komunikasiku dengan Farel sangat
baik dan masih bercanda. Sekarang?
Keesokannya
aku berusaha biasa saja. Tidak sedikitpun ada tampang galau di wajahku. Ya,
menurutku, aku pandai menempatkan topeng di wajahku. Beda dengan raut wajahnya.
Aku tidak menoleh sedikitpun ke arahnya, namun aku menyimpan kebencian pada
diriku sendiri. Entah, aku membenci diriku sendiri.
Saat
istirahat kedua, jam nya siswa cowo salat Jumat.
“Lun,
kamu lihat matanya Farel ngga? Sembap loh, kaya habis nangis.” cerita Marsha
yang beberapa kali bolak-balik ke tempat duduk Farel dan Abi.
“Aku ngga lihat. Ah, masa iya dia nangis? Untuk apa menangis? Baru pertama kali kan? Aku? Sudah sering menangis karenanya.” kataku, jaim.
“Aku ngga lihat. Ah, masa iya dia nangis? Untuk apa menangis? Baru pertama kali kan? Aku? Sudah sering menangis karenanya.” kataku, jaim.
Tapi,
setelah kuputar otak, aku malah menyakiti diriku sendiri, telapak tanganku
luka, hanya karena aku membuatnya menangis, jika benar dia menangis.
Aku
malah menyesali keputusanku kemarin. Tapi, yasudahlah, menurutku tidak ada yang
salah jika aku bersikap seperti kemarin. Positifnya, mungkin ini proses
pendewasaan diri untukku dan dia.
Setelah
selesai salat Jumat, Farel masuk ke kelas, dan aku penasaran dengan matanya. Kulihat
tanpa dia sadar. Ya, matanya sembap dan agak berkantung. Bukan seperti kurang
tidur, bola matanya seperti Rina kemarin yang habis menangis.
‘Maafkan
aku, Rel’ benakku.
“Lun,
tadi aku cerita-cerita dan menjelaskan semua pada Farel, akupun menjelaskan
dengan perantara, tapi tetap saja dia keras dan ada satu alasan yang menurutku
masuk akal. Memang, kamu takut yang dulu terulang. Dan dia bilang, mau sampai
kapan kamu terus berpikir ke belakang. Bagiku, yang lalu ya sudah berlalu. Gitu
katanya.” cerita Marsha.
Aku
hanya mampu mendengar dan malas untuk menanggapi, walau kuulang terus ucapan Marsha
di kepalaku.
Sudahlah,
seminggu ke depan aku akan melaksanakan ujian akhir semester, aku malas
memikirkan hal seperti ini. Kalaupun sudah jalan-Nya, dia akan kembali padaku,
kok. Beberapa hari ini, aku tidak bertegur sapa dengannya.
7
Juni, sudah tiba hari di mana aku menjalankan ujian akhir semester hari
pertama. Entah tidak atau aku sadari, aku satu ruangan dengan adik kelas yang
kuperhatikan akhir-akhir ini. Trian namanya. Dia memang tidak duduk semeja
denganku, tapi dengan teman sekelasku, Tiara.
Duduknya
tidak jauh dari kursiku, sehingga aku masih mampu menangkap wajahnya.
Memperhatikannya diam-diam, di tengah mengerjakan soal matematika memang sangat
indah. Dan sesekali, Trian pun melihat ke arahku, malah aku yang menoleh.
Kujalani
Sabtu, Senin, Selasa, dan Rabu dengan melihatnya selagi di kelas. Indah, dan
dia malah terbawa dalam malamku sebelum tidur. Memikirkannya? Apakah ini cinta?
Benarkah perasaanku pada Farel sudah hilang? Entah. Yang jelas, aku hanya
melihat wajah Trian dalam malamku.
Mungkin
bukan cinta, tapi benih cinta. Benih cintaku mulai hadir ketika seruangan
dengan Trian. Tapi, benih cinta itu perlahan hilang ditelan gossip Tiara
menyukai Trian. Cukup kaget. Karena aku menyukai Trian sudah dari lama sebelum Tiara
tau Trian. Tapi pada kenyataannya, Tiara lebih dulu kenal dekat dengan Trian dibanding
aku. Aku hanya bisa melihatinya dari jauh tanpa berani mengeluarkan suara
dihadapannya.
Belum
selangkah maju, sudah lebih dulu diselak. Mungkin ini takdirku dengan Farel.
Farel? Magnet jenis apa yang ada di tubuhnya hingga mampu menarikku dan semakin
kuat. Dan pedang dengan ketajaman macam apa yang juga mampu menyakitiku
seketika yang ia mau.
Setelah
selesai uas, aku dan dia kembali seperti biasa lagi, mencair lagi semenjak
kebekuan beberpa hari lalu di antara kami. Tapi tetap saja, harus aku yang
selalu diejeknya. Jumat ini tanggal 14. Marsha menghampiriku, dan dia
bercerita.
“Lun,
tadi Farel bicara padaku.”
“Bicara apa?” tanyaku.
“Gini, eh, Sha, Luna ngga ingat ya dengan tanggal ini? Gitu, hahahaha.”
“Terus mau apa kalau aku ingat??? Mau apalagi???” kataku jadi naik darah. Tapi Marsha malah tertawa puas.
“Bicara apa?” tanyaku.
“Gini, eh, Sha, Luna ngga ingat ya dengan tanggal ini? Gitu, hahahaha.”
“Terus mau apa kalau aku ingat??? Mau apalagi???” kataku jadi naik darah. Tapi Marsha malah tertawa puas.
Memang
benar kan, untuk apa aku mengingat tanggal 14 lagi? Tak ada yang perlu diingat
kan? Hanya untuk dikenang. Aku sudah terlalu lelah menyakiti diriku sendiri,
dan aku cukup kasihan terus membiarkan mataku meneteskan air mata.
Namun,
untuk jatuh cinta lagi pun tidak dapat restu dari yang maha kuasa. Dan
takdirku, harus kembali meratapi masa lalu yang memang hanya itu peninggalan
perasaanku. Sakit memang, namun aku tidak bisa menahan mereka untuk menimbulkan
rasa cinta. Mungkin, Trian hanya kereta yang singgah sejenak. Tapi Farel,
adalah stasiunnya yang akan tetap tinggal.
Beberapa
malam, komunikasiku baik, sangat baik karena aku yang memulai menyapanya di sms,
dan kami melanjutkannya di twitter hingga tengah malam. Sampai keesokan paginya
pun kami masih lanjut mention-an.
Aku
cukup melayang dengan segala kalimat manis di tengah candanya dalam percakapan
itu. Dia bilang, aku menggemaskan karena sesekali membuatnya naik darah. Namun,
bunga-bunga di hatiku perlahan gugur, saat siang sudah tak ada balasan mention darinya.
Malam
ini, aku menerima satu foto. Foto yang cukup menggetarkan telapak tanganku
ketika melihatnya dan mampu mengiris sedikit luka yang hampir kering.
Kurang
apa hati seperti hatiku? Yang rela disakiti, rela untuk dilukai, dan menerima
segala maaf secara tak langsung, walau tidak ada yang harus dimaafkan, dan
tidak pernah ada maaf yang terucap darinya.
Kurang
apa perasaan seperti perasaanku? Yang ingin jatuh cinta lagi, namun selalu kaubuat
untuk tetap tinggal di rumahmu yang tak pernah kauhampiri. Kamu yang selalu
mengunciku di rumah pengabaianmu dan sesukamu bisa kaudatang dan tinggali.
Apa
aku kurang sabar menanggapi sikapmu? Apa air mataku kurang banyak untuk
menangisi setiap lakumu? Apa hatiku kurang kuat untuk kausakiti? Atau mungkin
aku kurang pintar untuk meninggalkanmu.
Diary
of
Sudah
Terlalu Jauh
Aku
menyakiti diriku sendiri dengan cara masih mencintaimu. Seharusnya, kejadian
yang pernah terulang itu tidak terulangi lagi untuk kesekian kalinya. Semakin
sakit harus mengulang keperihan dalam kemasan berbeda.
Tapi,
aku tak mampu menghindari perasaanku. Aku rindu senyumanmu yang hanya untukku.
Sikapmu yang hanya untukku. Aku merindukan suaramu yang memanggil namaku.
Tatapanmu, tawamu, yang hanya untukku.
Aku
tidak ingin melihat sikapmu yang untuk mereka. Aku tidak ingin mendengar
suaramu yang memanggil mereka. Mengapa? Aku sakit. Aku hancur. Perasaanku yang
pernah kamu buat hancur, lalu kepingan yang kamu coba perbaiki, yang tak akan
pernah sama, sekarang hancur sehancur-hancurnya.
Seribu
wajah, katamu. Namun, aku hanya memiliki dua wajah untukmu. Biasa saja seperti
yang kamu lihat, dan menangis di belakangmu. Seribu kebohongan, katamu. Mungkin
aku hanya memilikki satu kebohongan, yaitu tersenyum saat melihat tingkahmu
kepada mereka, di hadapanku. Seribu cinta, katamu. Entah seribu cinta untuk
satu orang, atau seribu cinta untuk seribu orang. Yang jelas, aku hanya punya
satu cinta sampai saat ini. Dan masih untuk orang yang membuat perasaanku
hancur berkeping-keping.
Aku
sadar, harusnya aku sudah tidak mencintaimu lagi. Di saat dekat denganmu pun,
seakan kamu memaksa perasaanku untuk menghapusmu dari ingatanku. Tapi betapa
bodohnya aku yang selalu memikirkanmu hanya karena kepengecutanmu. Hanya karena
ucapan mereka. Hanya karena bahasa tubuhmu di belakangku.
Aku
masih mencintaimu. Tapi sikapmu memaksaku untuk menghapusmu perlahan. Benarkah
sudah tak ada cinta untukku di hatimu? Adakah satu dari mereka yang telah
menggantikanku di hatimu?
Aku
ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana hanya ada aku dan tokoh-tokoh yang
kusutradarai sendiri dan bermain dalam imajinasi. Terlalu lama hidup dalam
imajinasi, dunia nyata seakan mengetuk imajinasiku. Memaksaku keluar. Namun aku
tidak siap untuk hidup di dunia nyata.
Hingga
pada saatnya, seseorang datang memaksaku untuk melangkah di dunia nyata. Menyenagkan.
Namun, kurasa aku sudah melangkah terlalu jauh bersamanya. Sampai kutemukan air
mata, akibatnya. Dia membuatku lelah untuk kembali ke belakang; dunia
imajinasiku. Dia memaksaku untuk tetap ada di sini, menontonnya bersama mereka.
Namun, keberadaanku selalu tak dianggap. Selalu dipandang sebelah mata.
Aku
ingin kembali ke imajinasiku. Aku menemukan kebahagiaanku sendiri. Aku
menemukan kesedihanku sendiri. Tawa dan air mata yang kubuat sendiri. Aku ingin
pulang ke duniaku. Bukan di sini, duniamu yang selalu membuatku menangis.
Bantu
aku untuk mencari jalan pulang, tapi bukan jalan pulang ke hatimu. Bawa aku
terbang jauh, lalu tinggalkan aku. Aku ingin sendiri, melupakan bayangmu.
Dibuat sakit terus-menerus, membuatku seakan ditancap berulang kali dengan
pedang panjang yang tumpul.
Semua
terasa mudah bagimu karena cintamu tak sama dengan cintaku, dan luka yang
sesekali kau rasakan, tidak seperti luka yang terus-terusan kamu berikan.
Melupakanmu tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, mudahnya membalik
telapak tangan itu seperti melupakanku. Ya kan?
Aku
mencintaimu dengan air mata, tapi kamu melupakanku tanpa air mata. Aku masih
melihatmu dengan mata batinku. Dan kamu sama sekali tidak melihatku. Dengan
mata batin? Dengan kedua mataku, aku merasakan sakit luar biasa ketika
melihatmu.
Aku
hanya ingin menutup mata dan telingaku darimu. Aku sudah terlanjur jauh jalan
di hatimu, dan aku akan berusaha kembali ke belakang, berlari sendirian. Aku
tak akan melihatmu untukku lagi, namun aku akan melihatmu bahagia dengan
duniamu, dengan mereka.
Komentar
Posting Komentar