Complicated [Tiga belas - Try]



Di tengah gelap, mataku masih terpaku pada layar ponsel. Jari dan otakku masih bersahabat untuk membaca dan membalas segala gombalan dari Farel. Keadaan kamu sudah baik, mungkin waktu ingin aku dan dia baik-baik saja.
Percakapan di DM malam ini membuatku tak ingin malam semakin larut. Namun, matahari bahkan bulan pun sudah bermimpi, dan Farel segera menyusul menemani bulan untuk tidur. Padahal aku belum ngantuk, dan masih ingin ditemaninya. Tapi aku tidak memaksanya untuk menemaniku, kubiarkan saja dia terlelap dalam mimpi baiknya.
Sesaat masih menampakan batang hidungku di timeline, lalu ada satu pesan di DM. Farel kah? Tapi dia sudah pamit untuk tidur tadi. Apa dia berubah pikiran dan tidak jadi untuk tidur? Begitu kubuka DM ku, sedikit aneh.
Temanku, atau lebih tepatnya teman sekelas Rama, meminta nomer ponselku dengan alasan ingin menambah teman kontak. Kevin namanya. Awalnya ragu, tapi kan dia juga temanku walau tidak pernah tegur sapa sekalipun. Aku memberi nomerku dengan ancangan untuk tidak aneh-aneh.
Setelah dia dapat nomer ponselku, tak lama dia mengirim chat lewat whatsapp. Tanggapanku dingin, sedingin sikap Farel kalau kami sedang tidak baik-baik saja. Aku bersikap seperti itu karena aku belum kenal dekat dengannya, dan faktor lain adalah; aku sedang baca novel.
Setiap berkomunikasi, aku tidak pernah bertanya apapun pada Kevin, selalu dia yang bertanya dan aku yang menjawab. Aku malas bertanya, karena aku malas untuk tau tentang dirinya. Dia selalu bercertia tanpa aku meminta. Tapi, ada satu cerita yang membuatku penasaran.
Dia menyukai teman sekelasku, Dini. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, jatuh cinta diam-diam, memperhatikan dari jauh tanpa berani menyapa, adalah tentang sikap Kevin untuk Dini.
“Coba saja dekati. Kamu ngga akan tau bagaimana responnya kalau kamu terus-terusan diam.”
“Ngga, menurutku ini baik. Biar saja aku mengangguminya dari sini.”
“Baik gimana? Ini sama saja penyiksaan. Cinta itu harus diungkapkan.”
“Sudahlah, ini keputusanku.”
Memberinya nasihat, sama saja bicara pada batu. Keras kepala, tidak bisa menerima masukan orang lain. Cinta tapi cuma bisa diam. Pria kok takut untuk memulai.
Dari hari ke hari, Kevin selalu memberi pertanyaan yang semakin malas kujawab. Cerita-ceritanya membuatku bergumam “Terus? Aku harus peduli, gitu?!”.
Daripada membuat orang sakit hati, kudengarkan saja cerita-cerita darinya, yang menurutku sangat tidak penting.
Perkenalanku dengan Kevin tidak membuat perasaanku bergeser. Tetap saja, masih Farel yang kucinta dan dia mencoba menjadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Tapi, kenapa kecepatan satu hari? Tak tau harus sedih atau tertawa.
Tapi, menjelang pagi di tanggal 10, tepatnya jam 00.01 aku menerima pesan di akun Line ku.
Selamat ulang tahun yang ke 17 ya, semoga di usia 17 ini semakin sukses dan semakin maju, dan semakin menjadi dewasa. Selamat ulang tahun Luna.
Tidak hanya dengan kalimat, namun juga pemberian clipart seseorang yang memberi bunga, pasangan cowo&cewe, balon, dan cake birthday. Walaupun hanya sekadar gambar, tapi kuanggap itu adalah atas dasar perasaan.
10 Juli ini bukan dia yang pertama, dia yang kedua. Karena Hana yang mengucapkan paling pertama, tepat di jam 00.00.
Mengingat ini adalah hari pertama puasa, mungkin ketiga temanku tidak akan membuat surprise apa-apa, seperti rutinitas kami berempat. Tidak masalah tidak ada surprise, setidaknya memberiku ucapan, tapi ini tidak sama sekali.
Harusnya 17 menjadi angka spesial di setiap usia, biasanya begitu kan? Tapi tidak untukku. Tidak bilang tahun ini 10 Juli terburuk, tapi bagaimana rasanya, ayah tidak ada di sini, oom ku pun tidak di sini, dan teman-temanku ke mana?
Seiring berjalannya detik, aku terus menanti keajaiban yang ada. Dan sekitar jam delapan malam, ketiga temanku datang membawa kue dan kado yang meraka buat seperti parsel. Tidak terlalu terkejut dengan kedatangan mereka, karena aku yakin mereka pasti datang.
Justru yang membuatku kaget saat sehari setelah ulang tahunku. Mungkin mamaku tau kesedihanku karena di hari ulang tahunku tidak ada ayahku. Seselesainya dari kamar mandi, dan saat aku membuka pintu kamar mandi, ayahku tepat di situ seraya membawa cake birthday yang menurutku tidak kecil ukurannya. Terharu. Ternyata ayah menyempatkan waktu untuk pulang walaupun tidak tepat hari ulang tahunku.
Beberapa hari kemudian, aku ke sekolah dengan status sebagai siswa kelas 12. Waktu terasa begitu cepat. Rasanya, baru kemarin perasaanku pada Farel tumbuh selagi masih kelas 10, sekarang sudah ada di tingkat akhir.
Komunikasiku dengan Kevin tidak putus sama sekali semenjak hampir sebulan yang lalu kami memulai komunikasi. Aku menanggapi santai dan biarkan seperti air mengalir. Hari ke hari, omongannya mulai aneh. Bukan Dini lagi yang ia ceritakan, melainkan aku.
Tak paham ini serius atau main-main, tapi aku menanggapinya dengan candaan. Aku masih sulit mencintai orang lain semenjak diputusi dulu, dan aku tidak bisa membuka hati begitu saja. Lagi pula, kata-katanya seperti main-main. Kenapa? Hari ini bilang A, besok bilang B. Aku jadi ragu, tapi sikap atau perlakuannya tidak membuatku kepikiran seperti aku memikirkan Farel sekalipun hanya diam.
Pernah sekali, aku diajak jalan oleh Kevin, tepat di tanggal 21, atau 3 bulan setelah mengenal dia. Kuterima ajakan itu, tapi batal karena cuaca tidak mendukung. Memang dasar, menjelaskan alasan itu padanya seperti menjelaskan pada anak usia 5 tahun. Pikirannya terlalu pendek, sikapnya dangkal. Tapi aku berusaha mengalah dan tetap menjadi air.
Keesokan harinya, aku mencoba mengirim pesan pada kakak kelas yang sampai saat ini masih kukagumi, hanya iseng sih, tapi ternyata dibalas. Bodohnya, aku beralasan salah kirim dengan mengetik bahwa sekarang sekolahku pakai cctv, selang beberapa menit, ada balasan. Dan kelakuanku sudah seperti mendapat hadiah satu milyar.
Ka Rifky menanggapi pesan singkatku. Aku tanggapi seperti tidak mengenalnya, tapi ternyata dia mengenalku, dan dia katakan, “Tau lah, kamu yang dulu pernah minta nomer hapeku ke Randy, jadi aku tau kamu yang mana. Memang kamu ngga tau aku yang mana?”
Melayang setelah baca kalimat itu!
“Kakak ini yang suka berdakwah itu kan?”
“Bukan. Itu Rifky yang suka dakwah, aku yang anak futsal.”
“Oh beda, kirain yang suka dakwah.”
“Ngga tau aku yang mana? Yaudah, nanti kalau liburan aku ke sekolah deh, biar kamu tau aku yang mana.”
Oh my God!
“Serius kak? Memang sekarang kakak di mana?”
“Aku sedang pendidikan di Jambi.”
Percakapan kami tidak selesai sampai situ, akulah yang aktif saat bercakap dengannya lewat sms. Ini adalah kali kedua aku menyapanya lewat pesan singkat, setelah kelas 10 dulu harus kuselesaikan komunikasi itu, karena aku tau Kak Rifky masih berpacaran dengan Ka Diva.
Aku ingin terus komunikasi dengan Kak Rifky walupun hanya hari Sabtu dan Minggu. Dan komunikasiku dengan Kevin juga masih baik, walau sampai saat ini belum pernah bertegur sapa.
Senin ini, tanggal 14 Oktober. Para alumni datang ke sekolah guna memberi motivasi untuk kelas 12 nya. Beberapa Kakak kelas yang datang dan sekarang mereka semua sudah menjadi mahasiswa di universitas masing-masing. Namun, bukan mereka yang kutunggu. Yang kutunggu adalah sosok tegap yang mengenakan pakaian dinasnya.
Saat bel istirahat, aku dan ketiga temanku keluar kelas untuk ke kantin.
“Lun, itu Ka Rifky Lun!” ucap Marsha yang melihat Ka Rifky di depan kelas 12 IPS 1, sedang mengobrol dengan salah satu guru. Aku mencari sosoknya, memastikan bahwa itu adalah dia.
Ternyata benar. Itu Ka Rifky, memakai seragam dinas polisi, sudah berbeda tampang rupanya. Dulu masih siswa SMA banget, sekarang wajahnya terlihat sangat berwibawa. Dan seselesai istirahat, aku masih berdiri di depan kelas, tapi berusaha untuk tidak terlihat olehnya.
“Ka, selesai ini kaka langsung pulang?”
“Nanti kaka ke kelas kamu, dek.”
Lagi-lagi serasa terbang ke luar angkasa. Tak lama, guru fisikaku, atau wali kelasku menyuruh kami semua masuk, karena akan ada alumni yang masuk ke kelas 12 IPA 1. Hatiku masih tidak bisa tenang. Begitu dua sosok tegap itu masuk ke kelas, beberapa teman langsung meledekku. Demi apapun aku tak bisa mengontrol degup jantungku.
Aku duduk di baris kedua dari pintu, nomer dua, sedangkan dia berdiri tepat di depan meja barisanku. Dari kelas satu mengagguminya, baru hari ini bisa mendengar suaranya. Bukan hanya dia yang berasal dari SPN Jambi, tapi dia lebih banyak bicara dibanding teman yang satunya.
Mataku tidak lepas dari dia yang masih terus bicara, walaupun dia tidak menatapku sama sekali. Tidak masalah, ini justru memudahkanku untuk tak lepas pandangan. Suaranya berat, tegap, dadanya bidang, sungguh bijaksana. Tapi sayang, aku masih takut untuk menyentuhnya. Karena dia masih menunggu kekasihnya, maksudku mantan kekasihnya untuk kembali lagi padanya.
Aku tidak tau dia mengenaliku atau tidak. Tidak penting, yang terpenting, aku bisa melihatnya sedekat ini. Dan sampai kapanpun, perasaan ini tak akan pernah terungkap, seberusaha apapun aku untuk mencintai pria lain, tetap Farel yang selalu jadi tujuanku.
Hampir sebulan setengah berlalu.
Karena kedapatan tugas matematika, Kamis ini aku dan beberapa temanku tidak langsung pulang ke rumah, tapi berniat mengerjakan tugas matematika itu di rumah Rina. Ada aku, Marsha, Sofi, Farel, dan Gamal. Bisa dibilang, kami berenam akhir-akhir ini selalu bareng-bareng. Tertawa, meledeki, atau apapun itu, kami pasti berenam.
Sesampainya di rumah Rina, kami tidak langsung pada tujuan utama, tapi lebih ke yang santai dan tertawa dulu. Ya beginilah kami, dominan ngobrol dibanding mengerjakan tugasnya. Aku tidak ingat kapan terakhir aku tertawa bersama Farel.
“Eh, main TOD yuk?” usul Marsha.
“Ah, males ah kalau ada tantangannya.” kata Rina.
“Yaudah, main jujur-juran aja. Kita duduk melingkar, terus muterin botol, berhentinya di mana, kita semua nanya sama yang kena.” ucap Marsha.
“Setuju setuju!” ucap Sofi.
Kami berenam duduk melingkar. Di sebelah kananku ada Gamal, Marsha, Farel, Sofi, dan Rina. Marsha mulai memutar botol itu. Menunggu botol itu berhenti, membuatku panik sendiri. Benar saja, kepala botol itu berhenti tepat ke arahku.
“Haaaaaa, oke aku nanya pertama!” ucap Marsha.
“Bagaimana perasaan kamu setelah putus dari Farel?” tanya Marsha. “Jawab jujur ya. Ngga jujur, ngga lulus UN!” lanjut Marsha.
“Hem, ya nyesek lah.” Jawabku tanpa berpikir lagi.
“Berapa persen kemungkinan kamu balikan sama Farel?” tanya Gamal.
“Aku ngga tau, aku ngga bisa memastikan. Semua tergantung tindakan.”
“Aku sekarang. Gimana perasaan kamu sama Kevin?” tanya Sofi.
“Loh, kok nanya dia?” bingungku.
“Bebas kan? Ayo jawab jujur.” kata Sofi.
“Biasa saja.” ucapku.
Setelah Rina bertanya, Farel kemudian bertanya.
“Tempo hari, kenapa kamu nge-line aku?”
Aku ingat, malam Minggu kemarin aku memang mengirim chat ke dia.
“Hayo jawab!” ledek Marsha.
“Lagi kepikiran aja.” jawabku dengan senhyum-senyum malu.
“Kangen?” tanya Marsha.
“Hemmmmm, mungkin.” kataku.
Setelah aku yang menjadi sasaran ditanya, lanjut ke Gamal, Marsha, Sofi, Rina, dan sampailah kepala botol itu ke arah Farel. Jujur, aku sangat berharap ada sesuatu di hari ini. Aku benar-benar menunggu jawaban dari Farel yang akan membuatku senyum-senyum. Aku yang bertanya pertama.
“Rel, gimana perasaan kamu setelah baca buku dariku?”
“Biasa aja.” jawabnya singkat.
Keadaan hening sesaat.
“Nggak terharu atau nangis, galau gitu?” tanya Marsha.
“Engga. Galau sih sedikit, sedikit ya.”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Gimana perasaan kamu sama Luna sekarang?” tanya Rina.
“Ya biasa aja, layaknya teman dekat seperti sekarang.”
“Berapa kemungkinan kamu balikan sama Luna?” tanya Gamal.
“Ngga tau. Fokus UN dulu aja, pasti kamu juga berpikir itukan Lun?” aku hanya tersenyum.
“Pernah suka sama cewe lain setelah putus dari Luna?” tanya Marsha.
“Pernah.”
DEG! Seperti peluru yang langsung menancap di jantung. Bukan patah hati, tapi langsung mati mendengar jawaban-jawaban dari Farel. Senyumku luntur seketika itu juga, bahkan untuk memasang senyum palsu pun aku tidak mampu. Bisu.
Selesai permainan, mereka langsung mengerjakan tugas matematika, terkecuali aku yang masih duduk menyandar dinding, dan Sofi yang menonton tv. Sesekali Gamal mendekatiku, memastikan aku baik-baik saja, atau justru sedang tidak baik-baik saja.
“Lun, kenapa sih daritadi diam saja?” tanya Gamal.
Aku diam seribu bahasa, hanya gelengan kepalaku yang memberikan isyarat pada Gamal.
“Kamu jangan diam dong. Aneh kalau kamu diam.”
Aku masih nyaman dengan kebisuanku. Aku juga tidak paham, kenapa aku memilih untuk diam. Rasanya, saat-saat seperti ini, diam lebih baik daripada bersuara. Karena memang nuraniku lebih pilih bungkam.
Tidak lama, Farel keluar dari kamar Rina. Karena memang Farel, Rina, dan Marsha mengerjakannya di kamar Rina.
“Lun, kenapa?” tanya Farel dengan cengengesannya.
“Ngga papa kok.” jawabku, datar.
Aku kembali membisu. Lamunan ini kubawa sampai rumah, kesekian kali aku melamunkan Farel ditemani malam dan kesunyian. Menjelang tidur, ponselku berdering. Line dari Farel. dia menanyakan keadaanku. Kupikir dia cukup peka untuk mengartikan kebisuaku selama di rumah Rina. Namun kukatakan bahwa aku baik-baik saja dan Farel terus mendesak, menunggu jawaban yang seharusnya dikatakan, dan jawaban sesungguhnya.
Tapi aku tidak bisa menjawab dengan sejujurnya, aku tak mungkin bilang kalau Farel sudah menyakitiku, bahwa Farel sudah membunuh penantianku, bahwa Farel sudah mengubur dalam-dalam kenangan, dan Farel sudah menghancurkan harapanku, tak mungkin.
Keesokan harinya, topengku dengan erat melekat di wajahku. Aku coba menceritakan pada kedua temanku, mereka duduk dibelakangku, Elsa dan Asya.
“Lun, ada satu lagu yang cocok dari kisahmu. Nih dengerin.”
Telah lama aku bertahan
Demi cinta wujudkan sebuah harapan
Namun kurasa cukup ku menunggu
Semua rasa t’lah hilang
Sekarang aku tersadar cinta yang
kutunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
bila kamu tak cinta lagi
Dahulu kaulah segalanya
Dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
Namun sekarang aku mengerti
Tak perlu menunggu sebuah cinta yang semu
Lagu yang kudengarkan dengan headset, sanggup membuatku diam untuk beberapa menit. Ternyata selama ini penantianku percuma, malah aku dibuat mati begitu saja. Seperti sudah tak ada rasa apapun, sekalipun rasa sakit.



Diary of
Telah Diujung Lelah
Hari-hari yang selalu menyiksaku. Memikirkan dan selalu mengharapkan akan hadirnya kamu. Tapi aku sadar, kita sudah semakin jauh. Keadaan ini membuatku semakin merindukan sosok yang tak akan mungkin datang.
Malam-malam yang akhir-akhir ini tidak pernah bersahabat denganku. Gelap selalu membawaku ke dalam lamunan. Beberapa lagu mampu menghadirkanmu dalam ingatanku, dan syair yang selalu aku resapi, selalu membawamu dalam bayanganku sebelum tidur.
Kamu selalu enggan untuk pergi dari pikiranku, sekalipun aku sangat lelah untuk berpikir. Aku tak mengerti, ada apa denganku. Dan aku tak pernah paham, mengapa selalu kamu. Kamu selalu menjadi penyebab segala perasaan.
Lamunan malam itu membuat amarahku memuncak. Namun kesabaranku membuat malam ini penuh air mata. Di tengah malam, kamu tega membuatku menjerit dalam hati. Aku bertekad untuk tidak memikirkanmu, walau malam ini saja.
Tapi, Sang Maha Segala malah menghadirkanmu dalam malamku. Kamu yang datang dalam curahan hati di sosial mediaku. Mengapa aku tak pernah bisa, mengapa aku selalu tak mendapat izin untuk tidak menangis satu malam saja?
Malam-malamku belakangan ini selalu ada air mata karenamu. Apapun tentang kamu, aku selalu menitihkan air mata. Aku terlanjur menjadikanmu satu-satunya dalam hati ini. Dan kamu pun terlanjur satu-satunya yang selalu jadi penyebab air mataku.
Kamu tak pernah mengerti, serapuh apa perasaan yang selalu berusaha untuk tegar. Kamu tak mengerti, sekeras apa usaha untuk tersenyum yang sebenarnya tidak bisa tersenyum. Kamu tak akan mengerti, selelah apa mata untuk menangis, yang sebenarnya sangat butuh istirahat. Dan kamu tak akan pernah mengerti, sesakit apa hati yang seharusnya sudah mati.
Kamu selalu menarik ulur perasaanku. Di saat perasaan ini merasa hancur dan ingin menyerah, kamu selalu datang menemani. Dan di saat perasaan ini yakin untuk menunggumu, kamu menghilang entah ke mana.
Kamu selalu menyapaku dengan tawa. Seandainya kamu mengerti, aku selalu membalas sapaanmu dengan air mata. Aku tak paham mengapa ada air mata. Seharusnya aku senang, kamu hadir menyapaku dengan tawa. Bagiku, tawamu adalah sedihku. Mengapa? Karena aku menangisi tawamu yang seharusnya seperasaan denganku. Kita tak sejalan.
Setelah kita selesai, aku selalu mencoba memahami setiap sikap darimu, mengerti setiap kalimat darimu, dan aku masih mencari celah dalam hatimu. Namun sampai saat ini masih menjadi misteri bagiku.
Misterimu membuatku lelah menunggu, lelah berharap, dan lelah menangis. Kakiku tak cukup kuat untuk menopang tubuhku lagi. Otak ku penuh dengan segala tentangmu, hingga membuatku sulit memikirkan kebahagiaan. Mataku lelah menangisimu dalam senyuman palsuku, membuatku buta akan indahnya dunia luar. Dan hatiku lelah merasakan perasaan ini, cinta yang akan selalu begini, tangisan yang akan selalu sama penyebabnya. Kurasa, keyboard ini juga lelah, selalu menjadi saksi atas perasaanku. Dan perasaanku sudah benar-benar lelah, sudah benar-benar ada di titik jenuh.
Senin ini, tanggal 2 Desember, aku memutuskan untuk menerima Kevin sebagai pacarku. Aku menerimanya tanpa bercerita panjang lebar pada ketiga sahabatku. Mungkin saran Elsa ada benarnya juga, “Coba saja. Kamu ngga akan tau kalau belum mencoba. Siapa tau Kevin bisa membuatmu melupakan Farel.”
Sebenarnya agak berat mengambil keputusan atas dasar coba-coba, dan kurasa tiga sahabatku kecewa dengan keputusanku, aku tau walaupun mereka diam melihatku berpacaran dengan Kevin.
Hari Kamis aku berangkat bareng bersama Kevin, beberapa temanku kaget melihat kedatanganku bersama Kevin. Bahkan Farel masih mampu tersenyum ketika melihatku berboncengan sepulang sekolah.
Delapan belas hari berpacaran dengan Kevin, tak pernah satu haripun tanpa masalah. Berpacaran dengannya seperti berpacaran dengan anak SMP. Tidak dewasa, dan dia tidak bisa menyeimbangiku. Menjadi kekasihnya tidak senyaman menjadi temannya.
Selagi berpacaran dengan Kevin, aku merasa jauh dari sahabat-sahabatku, Gamal, juga Farel. Awalnya aku biasa saja setelah putus dari Kevin, tapi setelah Sofi menceritakan bagaimana Kevin di kelasnya saat menceritakan tentangku, aku semakin yakin untuk tidak berhubungan apa-apa dengannya.
Sofi menceritakan padaku, dan dia tau dari salah satu teman sekelas Kevin yang peduli denganku. Katanya, aku bisa mendapatkan yang lebih baik dari Kevin.
Setelah hari itu, dan setelah Kevin memutuskanku, aku merasa tenang, dan sadar bahwa selama ini aku salah. Beberapa kali Kevin meminta kembali menjadi kekasihku lagi, namun aku tak bisa. Sifatnya terlalu kekanak-kanakan, labil, dan selalu tak pernah lelah mencari masalah. Aku juga manusia yang bisa lelah, dan aku bukan Tuhan yang selalu kuat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]