Complicated [Tiga belas - Try]
Di
tengah gelap, mataku masih terpaku pada layar ponsel. Jari dan otakku masih
bersahabat untuk membaca dan membalas segala gombalan dari Farel. Keadaan kamu
sudah baik, mungkin waktu ingin aku dan dia baik-baik saja.
Percakapan
di DM malam ini membuatku tak ingin malam semakin larut. Namun, matahari bahkan
bulan pun sudah bermimpi, dan Farel segera menyusul menemani bulan untuk tidur.
Padahal aku belum ngantuk, dan masih ingin ditemaninya. Tapi aku tidak
memaksanya untuk menemaniku, kubiarkan saja dia terlelap dalam mimpi baiknya.
Sesaat
masih menampakan batang hidungku di timeline,
lalu ada satu pesan di DM. Farel kah? Tapi dia sudah pamit untuk tidur tadi.
Apa dia berubah pikiran dan tidak jadi untuk tidur? Begitu kubuka DM ku,
sedikit aneh.
Temanku,
atau lebih tepatnya teman sekelas Rama, meminta nomer ponselku dengan alasan
ingin menambah teman kontak. Kevin namanya. Awalnya ragu, tapi kan dia juga
temanku walau tidak pernah tegur sapa sekalipun. Aku memberi nomerku dengan
ancangan untuk tidak aneh-aneh.
Setelah
dia dapat nomer ponselku, tak lama dia mengirim chat lewat whatsapp.
Tanggapanku dingin, sedingin sikap Farel kalau kami sedang tidak baik-baik
saja. Aku bersikap seperti itu karena aku belum kenal dekat dengannya, dan faktor
lain adalah; aku sedang baca novel.
Setiap
berkomunikasi, aku tidak pernah bertanya apapun pada Kevin, selalu dia yang
bertanya dan aku yang menjawab. Aku malas bertanya, karena aku malas untuk tau
tentang dirinya. Dia selalu bercertia tanpa aku meminta. Tapi, ada satu cerita
yang membuatku penasaran.
Dia
menyukai teman sekelasku, Dini. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, jatuh cinta
diam-diam, memperhatikan dari jauh tanpa berani menyapa, adalah tentang sikap
Kevin untuk Dini.
“Coba
saja dekati. Kamu ngga akan tau bagaimana responnya kalau kamu terus-terusan
diam.”
“Ngga, menurutku ini baik. Biar saja aku mengangguminya dari sini.”
“Baik gimana? Ini sama saja penyiksaan. Cinta itu harus diungkapkan.”
“Sudahlah, ini keputusanku.”
“Ngga, menurutku ini baik. Biar saja aku mengangguminya dari sini.”
“Baik gimana? Ini sama saja penyiksaan. Cinta itu harus diungkapkan.”
“Sudahlah, ini keputusanku.”
Memberinya
nasihat, sama saja bicara pada batu. Keras kepala, tidak bisa menerima masukan
orang lain. Cinta tapi cuma bisa diam. Pria kok takut untuk memulai.
Dari
hari ke hari, Kevin selalu memberi pertanyaan yang semakin malas kujawab. Cerita-ceritanya
membuatku bergumam “Terus? Aku harus
peduli, gitu?!”.
Daripada
membuat orang sakit hati, kudengarkan saja cerita-cerita darinya, yang
menurutku sangat tidak penting.
Perkenalanku
dengan Kevin tidak membuat perasaanku bergeser. Tetap saja, masih Farel yang
kucinta dan dia mencoba menjadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun
untukku. Tapi, kenapa kecepatan satu hari? Tak tau harus sedih atau tertawa.
Tapi,
menjelang pagi di tanggal 10, tepatnya jam 00.01 aku menerima pesan di akun
Line ku.
Selamat ulang tahun yang ke 17 ya,
semoga di usia 17 ini semakin sukses dan semakin maju, dan semakin menjadi
dewasa. Selamat ulang tahun Luna.
Tidak
hanya dengan kalimat, namun juga pemberian clipart
seseorang yang memberi bunga, pasangan cowo&cewe, balon, dan cake birthday. Walaupun hanya sekadar
gambar, tapi kuanggap itu adalah atas dasar perasaan.
10
Juli ini bukan dia yang pertama, dia yang kedua. Karena Hana yang mengucapkan
paling pertama, tepat di jam 00.00.
Mengingat
ini adalah hari pertama puasa, mungkin ketiga temanku tidak akan membuat surprise apa-apa, seperti rutinitas kami
berempat. Tidak masalah tidak ada surprise,
setidaknya memberiku ucapan, tapi ini tidak sama sekali.
Harusnya
17 menjadi angka spesial di setiap usia, biasanya begitu kan? Tapi tidak
untukku. Tidak bilang tahun ini 10 Juli terburuk, tapi bagaimana rasanya, ayah
tidak ada di sini, oom ku pun tidak di sini, dan teman-temanku ke mana?
Seiring
berjalannya detik, aku terus menanti keajaiban yang ada. Dan sekitar jam
delapan malam, ketiga temanku datang membawa kue dan kado yang meraka buat
seperti parsel. Tidak terlalu terkejut dengan kedatangan mereka, karena aku
yakin mereka pasti datang.
Justru
yang membuatku kaget saat sehari setelah ulang tahunku. Mungkin mamaku tau
kesedihanku karena di hari ulang tahunku tidak ada ayahku. Seselesainya dari
kamar mandi, dan saat aku membuka pintu kamar mandi, ayahku tepat di situ
seraya membawa cake birthday yang
menurutku tidak kecil ukurannya. Terharu. Ternyata ayah menyempatkan waktu
untuk pulang walaupun tidak tepat hari ulang tahunku.
Beberapa
hari kemudian, aku ke sekolah dengan status sebagai siswa kelas 12. Waktu
terasa begitu cepat. Rasanya, baru kemarin perasaanku pada Farel tumbuh selagi
masih kelas 10, sekarang sudah ada di tingkat akhir.
Komunikasiku
dengan Kevin tidak putus sama sekali semenjak hampir sebulan yang lalu kami
memulai komunikasi. Aku menanggapi santai dan biarkan seperti air mengalir.
Hari ke hari, omongannya mulai aneh. Bukan Dini lagi yang ia ceritakan,
melainkan aku.
Tak
paham ini serius atau main-main, tapi aku menanggapinya dengan candaan. Aku
masih sulit mencintai orang lain semenjak diputusi dulu, dan aku tidak bisa
membuka hati begitu saja. Lagi pula, kata-katanya seperti main-main. Kenapa?
Hari ini bilang A, besok bilang B. Aku jadi ragu, tapi sikap atau perlakuannya
tidak membuatku kepikiran seperti aku memikirkan Farel sekalipun hanya diam.
Pernah
sekali, aku diajak jalan oleh Kevin, tepat di tanggal 21, atau 3 bulan setelah
mengenal dia. Kuterima ajakan itu, tapi batal karena cuaca tidak mendukung.
Memang dasar, menjelaskan alasan itu padanya seperti menjelaskan pada anak usia
5 tahun. Pikirannya terlalu pendek, sikapnya dangkal. Tapi aku berusaha
mengalah dan tetap menjadi air.
Keesokan
harinya, aku mencoba mengirim pesan pada kakak kelas yang sampai saat ini masih
kukagumi, hanya iseng sih, tapi ternyata dibalas. Bodohnya, aku beralasan salah
kirim dengan mengetik bahwa sekarang sekolahku pakai cctv, selang beberapa
menit, ada balasan. Dan kelakuanku sudah seperti mendapat hadiah satu milyar.
Ka
Rifky menanggapi pesan singkatku. Aku tanggapi seperti tidak mengenalnya, tapi
ternyata dia mengenalku, dan dia katakan, “Tau lah, kamu yang dulu pernah minta
nomer hapeku ke Randy, jadi aku tau kamu yang mana. Memang kamu ngga tau aku
yang mana?”
Melayang
setelah baca kalimat itu!
“Kakak
ini yang suka berdakwah itu kan?”
“Bukan. Itu Rifky yang suka dakwah, aku yang anak futsal.”
“Oh beda, kirain yang suka dakwah.”
“Ngga tau aku yang mana? Yaudah, nanti kalau liburan aku ke sekolah deh, biar kamu tau aku yang mana.”
“Bukan. Itu Rifky yang suka dakwah, aku yang anak futsal.”
“Oh beda, kirain yang suka dakwah.”
“Ngga tau aku yang mana? Yaudah, nanti kalau liburan aku ke sekolah deh, biar kamu tau aku yang mana.”
Oh my God!
“Serius
kak? Memang sekarang kakak di mana?”
“Aku sedang pendidikan di Jambi.”
“Aku sedang pendidikan di Jambi.”
Percakapan
kami tidak selesai sampai situ, akulah yang aktif saat bercakap dengannya lewat
sms. Ini adalah kali kedua aku menyapanya lewat pesan singkat, setelah kelas 10
dulu harus kuselesaikan komunikasi itu, karena aku tau Kak Rifky masih
berpacaran dengan Ka Diva.
Aku
ingin terus komunikasi dengan Kak Rifky walupun hanya hari Sabtu dan Minggu.
Dan komunikasiku dengan Kevin juga masih baik, walau sampai saat ini belum
pernah bertegur sapa.
Senin
ini, tanggal 14 Oktober. Para alumni datang ke sekolah guna memberi motivasi
untuk kelas 12 nya. Beberapa Kakak kelas yang datang dan sekarang mereka semua
sudah menjadi mahasiswa di universitas masing-masing. Namun, bukan mereka yang
kutunggu. Yang kutunggu adalah sosok tegap yang mengenakan pakaian dinasnya.
Saat
bel istirahat, aku dan ketiga temanku keluar kelas untuk ke kantin.
“Lun, itu Ka Rifky Lun!” ucap Marsha yang melihat Ka Rifky di depan kelas 12 IPS 1, sedang mengobrol dengan salah satu guru. Aku mencari sosoknya, memastikan bahwa itu adalah dia.
“Lun, itu Ka Rifky Lun!” ucap Marsha yang melihat Ka Rifky di depan kelas 12 IPS 1, sedang mengobrol dengan salah satu guru. Aku mencari sosoknya, memastikan bahwa itu adalah dia.
Ternyata
benar. Itu Ka Rifky, memakai seragam dinas polisi, sudah berbeda tampang
rupanya. Dulu masih siswa SMA banget, sekarang wajahnya terlihat sangat
berwibawa. Dan seselesai istirahat, aku masih berdiri di depan kelas, tapi
berusaha untuk tidak terlihat olehnya.
“Ka,
selesai ini kaka langsung pulang?”
“Nanti kaka ke kelas kamu, dek.”
“Nanti kaka ke kelas kamu, dek.”
Lagi-lagi
serasa terbang ke luar angkasa. Tak lama, guru fisikaku, atau wali kelasku
menyuruh kami semua masuk, karena akan ada alumni yang masuk ke kelas 12 IPA 1.
Hatiku masih tidak bisa tenang. Begitu dua sosok tegap itu masuk ke kelas,
beberapa teman langsung meledekku. Demi apapun aku tak bisa mengontrol degup
jantungku.
Aku
duduk di baris kedua dari pintu, nomer dua, sedangkan dia berdiri tepat di
depan meja barisanku. Dari kelas satu mengagguminya, baru hari ini bisa
mendengar suaranya. Bukan hanya dia yang berasal dari SPN Jambi, tapi dia lebih
banyak bicara dibanding teman yang satunya.
Mataku
tidak lepas dari dia yang masih terus bicara, walaupun dia tidak menatapku sama
sekali. Tidak masalah, ini justru memudahkanku untuk tak lepas pandangan.
Suaranya berat, tegap, dadanya bidang, sungguh bijaksana. Tapi sayang, aku
masih takut untuk menyentuhnya. Karena dia masih menunggu kekasihnya, maksudku
mantan kekasihnya untuk kembali lagi padanya.
Aku
tidak tau dia mengenaliku atau tidak. Tidak penting, yang terpenting, aku bisa
melihatnya sedekat ini. Dan sampai kapanpun, perasaan ini tak akan pernah
terungkap, seberusaha apapun aku untuk mencintai pria lain, tetap Farel yang
selalu jadi tujuanku.
Hampir
sebulan setengah berlalu.
Karena
kedapatan tugas matematika, Kamis ini aku dan beberapa temanku tidak langsung
pulang ke rumah, tapi berniat mengerjakan tugas matematika itu di rumah Rina.
Ada aku, Marsha, Sofi, Farel, dan Gamal. Bisa dibilang, kami berenam
akhir-akhir ini selalu bareng-bareng. Tertawa, meledeki, atau apapun itu, kami
pasti berenam.
Sesampainya
di rumah Rina, kami tidak langsung pada tujuan utama, tapi lebih ke yang santai
dan tertawa dulu. Ya beginilah kami, dominan ngobrol dibanding mengerjakan
tugasnya. Aku tidak ingat kapan terakhir aku tertawa bersama Farel.
“Eh,
main TOD yuk?” usul Marsha.
“Ah, males ah kalau ada tantangannya.” kata Rina.
“Yaudah, main jujur-juran aja. Kita duduk melingkar, terus muterin botol, berhentinya di mana, kita semua nanya sama yang kena.” ucap Marsha.
“Setuju setuju!” ucap Sofi.
“Ah, males ah kalau ada tantangannya.” kata Rina.
“Yaudah, main jujur-juran aja. Kita duduk melingkar, terus muterin botol, berhentinya di mana, kita semua nanya sama yang kena.” ucap Marsha.
“Setuju setuju!” ucap Sofi.
Kami
berenam duduk melingkar. Di sebelah kananku ada Gamal, Marsha, Farel, Sofi, dan
Rina. Marsha mulai memutar botol itu. Menunggu botol itu berhenti, membuatku
panik sendiri. Benar saja, kepala botol itu berhenti tepat ke arahku.
“Haaaaaa,
oke aku nanya pertama!” ucap Marsha.
“Bagaimana perasaan kamu setelah putus dari Farel?” tanya Marsha. “Jawab jujur ya. Ngga jujur, ngga lulus UN!” lanjut Marsha.
“Hem, ya nyesek lah.” Jawabku tanpa berpikir lagi.
“Berapa persen kemungkinan kamu balikan sama Farel?” tanya Gamal.
“Aku ngga tau, aku ngga bisa memastikan. Semua tergantung tindakan.”
“Aku sekarang. Gimana perasaan kamu sama Kevin?” tanya Sofi.
“Loh, kok nanya dia?” bingungku.
“Bebas kan? Ayo jawab jujur.” kata Sofi.
“Biasa saja.” ucapku.
“Bagaimana perasaan kamu setelah putus dari Farel?” tanya Marsha. “Jawab jujur ya. Ngga jujur, ngga lulus UN!” lanjut Marsha.
“Hem, ya nyesek lah.” Jawabku tanpa berpikir lagi.
“Berapa persen kemungkinan kamu balikan sama Farel?” tanya Gamal.
“Aku ngga tau, aku ngga bisa memastikan. Semua tergantung tindakan.”
“Aku sekarang. Gimana perasaan kamu sama Kevin?” tanya Sofi.
“Loh, kok nanya dia?” bingungku.
“Bebas kan? Ayo jawab jujur.” kata Sofi.
“Biasa saja.” ucapku.
Setelah
Rina bertanya, Farel kemudian bertanya.
“Tempo hari, kenapa kamu nge-line aku?”
“Tempo hari, kenapa kamu nge-line aku?”
Aku
ingat, malam Minggu kemarin aku memang mengirim chat ke dia.
“Hayo
jawab!” ledek Marsha.
“Lagi kepikiran aja.” jawabku dengan senhyum-senyum malu.
“Kangen?” tanya Marsha.
“Hemmmmm, mungkin.” kataku.
“Lagi kepikiran aja.” jawabku dengan senhyum-senyum malu.
“Kangen?” tanya Marsha.
“Hemmmmm, mungkin.” kataku.
Setelah
aku yang menjadi sasaran ditanya, lanjut ke Gamal, Marsha, Sofi, Rina, dan
sampailah kepala botol itu ke arah Farel. Jujur, aku sangat berharap ada
sesuatu di hari ini. Aku benar-benar menunggu jawaban dari Farel yang akan
membuatku senyum-senyum. Aku yang bertanya pertama.
“Rel,
gimana perasaan kamu setelah baca buku dariku?”
“Biasa aja.” jawabnya singkat.
“Biasa aja.” jawabnya singkat.
Keadaan
hening sesaat.
“Nggak
terharu atau nangis, galau gitu?” tanya Marsha.
“Engga. Galau sih sedikit, sedikit ya.”
“Engga. Galau sih sedikit, sedikit ya.”
Aku
mengangguk dan tersenyum.
“Gimana
perasaan kamu sama Luna sekarang?” tanya Rina.
“Ya biasa aja, layaknya teman dekat seperti sekarang.”
“Berapa kemungkinan kamu balikan sama Luna?” tanya Gamal.
“Ngga tau. Fokus UN dulu aja, pasti kamu juga berpikir itukan Lun?” aku hanya tersenyum.
“Pernah suka sama cewe lain setelah putus dari Luna?” tanya Marsha.
“Pernah.”
“Ya biasa aja, layaknya teman dekat seperti sekarang.”
“Berapa kemungkinan kamu balikan sama Luna?” tanya Gamal.
“Ngga tau. Fokus UN dulu aja, pasti kamu juga berpikir itukan Lun?” aku hanya tersenyum.
“Pernah suka sama cewe lain setelah putus dari Luna?” tanya Marsha.
“Pernah.”
DEG!
Seperti peluru yang langsung menancap di jantung. Bukan patah hati, tapi
langsung mati mendengar jawaban-jawaban dari Farel. Senyumku luntur seketika
itu juga, bahkan untuk memasang senyum palsu pun aku tidak mampu. Bisu.
Selesai
permainan, mereka langsung mengerjakan tugas matematika, terkecuali aku yang
masih duduk menyandar dinding, dan Sofi yang menonton tv. Sesekali Gamal
mendekatiku, memastikan aku baik-baik saja, atau justru sedang tidak baik-baik
saja.
“Lun,
kenapa sih daritadi diam saja?” tanya Gamal.
Aku
diam seribu bahasa, hanya gelengan kepalaku yang memberikan isyarat pada Gamal.
“Kamu
jangan diam dong. Aneh kalau kamu diam.”
Aku
masih nyaman dengan kebisuanku. Aku juga tidak paham, kenapa aku memilih untuk
diam. Rasanya, saat-saat seperti ini, diam lebih baik daripada bersuara. Karena
memang nuraniku lebih pilih bungkam.
Tidak
lama, Farel keluar dari kamar Rina. Karena memang Farel, Rina, dan Marsha
mengerjakannya di kamar Rina.
“Lun,
kenapa?” tanya Farel dengan cengengesannya.
“Ngga papa kok.” jawabku, datar.
“Ngga papa kok.” jawabku, datar.
Aku
kembali membisu. Lamunan ini kubawa sampai rumah, kesekian kali aku melamunkan
Farel ditemani malam dan kesunyian. Menjelang tidur, ponselku berdering. Line
dari Farel. dia menanyakan keadaanku. Kupikir dia cukup peka untuk mengartikan
kebisuaku selama di rumah Rina. Namun kukatakan bahwa aku baik-baik saja dan
Farel terus mendesak, menunggu jawaban yang seharusnya dikatakan, dan jawaban
sesungguhnya.
Tapi
aku tidak bisa menjawab dengan sejujurnya, aku tak mungkin bilang kalau Farel
sudah menyakitiku, bahwa Farel sudah membunuh penantianku, bahwa Farel sudah mengubur
dalam-dalam kenangan, dan Farel sudah menghancurkan harapanku, tak mungkin.
Keesokan
harinya, topengku dengan erat melekat di wajahku. Aku coba menceritakan pada
kedua temanku, mereka duduk dibelakangku, Elsa dan Asya.
“Lun, ada satu lagu yang cocok dari kisahmu. Nih dengerin.”
“Lun, ada satu lagu yang cocok dari kisahmu. Nih dengerin.”
Telah lama aku bertahan
Demi cinta wujudkan sebuah harapan
Namun kurasa cukup ku menunggu
Semua rasa t’lah hilang
Demi cinta wujudkan sebuah harapan
Namun kurasa cukup ku menunggu
Semua rasa t’lah hilang
Sekarang aku tersadar cinta yang
kutunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
bila kamu tak cinta lagi
kutunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
bila kamu tak cinta lagi
Dahulu kaulah segalanya
Dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
Namun sekarang aku mengerti
Tak perlu menunggu sebuah cinta yang semu
Dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
Namun sekarang aku mengerti
Tak perlu menunggu sebuah cinta yang semu
Lagu
yang kudengarkan dengan headset,
sanggup membuatku diam untuk beberapa menit. Ternyata selama ini penantianku
percuma, malah aku dibuat mati begitu saja. Seperti sudah tak ada rasa apapun,
sekalipun rasa sakit.
Diary
of
Telah Diujung Lelah
Hari-hari
yang selalu menyiksaku. Memikirkan dan selalu mengharapkan akan hadirnya kamu.
Tapi aku sadar, kita sudah semakin jauh. Keadaan ini membuatku semakin merindukan
sosok yang tak akan mungkin datang.
Malam-malam
yang akhir-akhir ini tidak pernah bersahabat denganku. Gelap selalu membawaku
ke dalam lamunan. Beberapa lagu mampu menghadirkanmu dalam ingatanku, dan syair
yang selalu aku resapi, selalu membawamu dalam bayanganku sebelum tidur.
Kamu
selalu enggan untuk pergi dari pikiranku, sekalipun aku sangat lelah untuk
berpikir. Aku tak mengerti, ada apa denganku. Dan aku tak pernah paham, mengapa
selalu kamu. Kamu selalu menjadi penyebab segala perasaan.
Lamunan
malam itu membuat amarahku memuncak. Namun kesabaranku membuat malam ini penuh
air mata. Di tengah malam, kamu tega membuatku menjerit dalam hati. Aku
bertekad untuk tidak memikirkanmu, walau malam ini saja.
Tapi,
Sang Maha Segala malah menghadirkanmu dalam malamku. Kamu yang datang dalam
curahan hati di sosial mediaku. Mengapa aku tak pernah bisa, mengapa aku selalu
tak mendapat izin untuk tidak menangis satu malam saja?
Malam-malamku
belakangan ini selalu ada air mata karenamu. Apapun tentang kamu, aku selalu
menitihkan air mata. Aku terlanjur menjadikanmu satu-satunya dalam hati ini.
Dan kamu pun terlanjur satu-satunya yang selalu jadi penyebab air mataku.
Kamu
tak pernah mengerti, serapuh apa perasaan yang selalu berusaha untuk tegar.
Kamu tak mengerti, sekeras apa usaha untuk tersenyum yang sebenarnya tidak bisa
tersenyum. Kamu tak akan mengerti, selelah apa mata untuk menangis, yang
sebenarnya sangat butuh istirahat. Dan kamu tak akan pernah mengerti, sesakit
apa hati yang seharusnya sudah mati.
Kamu
selalu menarik ulur perasaanku. Di saat perasaan ini merasa hancur dan ingin
menyerah, kamu selalu datang menemani. Dan di saat perasaan ini yakin untuk
menunggumu, kamu menghilang entah ke mana.
Kamu
selalu menyapaku dengan tawa. Seandainya kamu mengerti, aku selalu membalas
sapaanmu dengan air mata. Aku tak paham mengapa ada air mata. Seharusnya aku
senang, kamu hadir menyapaku dengan tawa. Bagiku, tawamu adalah sedihku.
Mengapa? Karena aku menangisi tawamu yang seharusnya seperasaan denganku. Kita
tak sejalan.
Setelah
kita selesai, aku selalu mencoba memahami setiap sikap darimu, mengerti setiap
kalimat darimu, dan aku masih mencari celah dalam hatimu. Namun sampai saat ini
masih menjadi misteri bagiku.
Misterimu
membuatku lelah menunggu, lelah berharap, dan lelah menangis. Kakiku tak cukup
kuat untuk menopang tubuhku lagi. Otak ku penuh dengan segala tentangmu, hingga
membuatku sulit memikirkan kebahagiaan. Mataku lelah menangisimu dalam senyuman
palsuku, membuatku buta akan indahnya dunia luar. Dan hatiku lelah merasakan
perasaan ini, cinta yang akan selalu begini, tangisan yang akan selalu sama
penyebabnya. Kurasa, keyboard ini juga lelah, selalu menjadi saksi atas
perasaanku. Dan perasaanku sudah benar-benar lelah, sudah benar-benar ada di titik
jenuh.
Senin
ini, tanggal 2 Desember, aku memutuskan untuk menerima Kevin sebagai pacarku.
Aku menerimanya tanpa bercerita panjang lebar pada ketiga sahabatku. Mungkin
saran Elsa ada benarnya juga, “Coba saja. Kamu ngga akan tau kalau belum mencoba.
Siapa tau Kevin bisa membuatmu melupakan Farel.”
Sebenarnya
agak berat mengambil keputusan atas dasar coba-coba, dan kurasa tiga sahabatku
kecewa dengan keputusanku, aku tau walaupun mereka diam melihatku berpacaran
dengan Kevin.
Hari
Kamis aku berangkat bareng bersama Kevin, beberapa temanku kaget melihat
kedatanganku bersama Kevin. Bahkan Farel masih mampu tersenyum ketika melihatku
berboncengan sepulang sekolah.
Delapan
belas hari berpacaran dengan Kevin, tak pernah satu haripun tanpa masalah.
Berpacaran dengannya seperti berpacaran dengan anak SMP. Tidak dewasa, dan dia
tidak bisa menyeimbangiku. Menjadi kekasihnya tidak senyaman menjadi temannya.
Selagi
berpacaran dengan Kevin, aku merasa jauh dari sahabat-sahabatku, Gamal, juga
Farel. Awalnya aku biasa saja setelah putus dari Kevin, tapi setelah Sofi
menceritakan bagaimana Kevin di kelasnya saat menceritakan tentangku, aku
semakin yakin untuk tidak berhubungan apa-apa dengannya.
Sofi
menceritakan padaku, dan dia tau dari salah satu teman sekelas Kevin yang
peduli denganku. Katanya, aku bisa mendapatkan yang lebih baik dari Kevin.
Setelah hari itu, dan setelah
Kevin memutuskanku, aku merasa tenang, dan sadar bahwa selama ini aku salah.
Beberapa kali Kevin meminta kembali menjadi kekasihku lagi, namun aku tak bisa.
Sifatnya terlalu kekanak-kanakan, labil, dan selalu tak pernah lelah mencari
masalah. Aku juga manusia yang bisa lelah, dan aku bukan Tuhan yang selalu
kuat.
Komentar
Posting Komentar