Cerpen: Go On
Berkat mimpi Luna yang ia ceritakan ke Marsha, membuat gadis yang menjadi saksi hubungan teman-temannya itu tergerak untuk iseng mengirim pesan dengan mengomentari hal di social media sang pria.
Percakapan yang awalnya diciptakan hanya untuk mencari satu dua fakta baru, ternyata berlanjut. Marsha menginformasikan semua tek-tok-an pesannya di direct message oleh Farel. Tentu hal itu berhasil mengacak-acak hari Senin Luna.
Sejauh-jauhnya Luna berlari, sekuat-kuatnya pertahanan Luna akan kehidupan pahit percintaannya; ternyata runtuh juga jika sudah menyangkutpautkan Farel—pria satu dekadenya.
Hal yang dijembatani Marsha, berhasil membuat ketiganya bertemu di kedai kopi milik Farel. Tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah Luna. Akhirnya Luna dan Marsha ke sana, menemui Farel, setelah beberapa kali gagal karena jadwal yang sulit disatukan.
Di akhir pekan itu, mereka semua bertemu.
Dalam diri Luna, gadis itu ketakutan luar biasa. Luna yang dulu berbeda dengan yang dulu. Dari fisik, gadis itu cukup menimang untuk menerima ajakan Marsha bertemu denagn Farel. Dulu, Luna adalah sosok yang sangat dicintai Farel, pun sebaliknya. Sepuluh tahun berlalu, Luna jelas tidak menetap seperti Luna semasa SMA. Banyak perubahan dalam dirinya, dalam fisiknya. Kepercayaan dirinya sempat hilang saat Farel semangat untuk bertemu Marsha dan Luna. Juga jika fakta lain akan Luna dengar. Ia takut jika pada akhirnya harus mengetahui hal sejenis… Farel sudah memiliki wanita lain?
Tapi di akhir pekan, hari itu, ketiganya bertemu.
Jelas ledekan dan tawa sapa satu sama lain. Tapi Luna lebih banyak diam dan menghindari kontak mata dengan Farel. Telinganya diam-diam menikmati suara yang sudah lama ia rindukan? Untuk bersatu pandang, rasanya masih tidak percaya. Pertemuan kali terakhir di Agustus 2017, saat Luna siding untuk kelulusan kuliahnya. Setelah hari itu, mereka sama sekali belum pernah bertemu. Jelas jika kegugupan cukup tergambar jelas di raut Luna.
“Diem aja dia, Sha.” Farel bicara dengan Marsha, tapi
objeknya Luna.
“Kayanya grogi ketemu lo, Rel.” Marsha terbahak.
“Ngga, ya, biasa aja.” Luna mengelak sambil menyeruput
kopi yang dibuatkan Farel beberapa menit lalu.
“Lo kerja di mana… Sha?”
Padahal matanya sedang terpagut padaku. Tapi pertanyaannya tertuju untuk Marsha. Luna menghembus tawa. Ia tidak kesal. Karena memang Farel semenyebalkan itu, dan Luna sudah biasa.
“Hahahahahaha! Heh lo lagi ngomong sama Luna ya. Gue kira
lo bakal nanya Luna kerja di mana.” ucap Marsha.
“Gue udah tau kok Luna kerja di mana, makanya ngga
nanya.”
“Di mana emang?” tanya Luna.
“Cimory, kan?”
Marsha terbahak, disusul Farel yang juga memecah tawanya. Luna merapatkan bibirnya dengan tawa yang juga hadir, dan gadis itu menganggukkan kepalanya.
“Apa gue salah? Bener sih kayanya. Ya kan?” Farel
menatap Luna lagi.
“Bener kok, bener. Bener-bener salah.” Luna menyahut.
Itu hal sederahana, tapi Marsha selalu terbahak. Ia gemas sendiri melihat interaksi
dua insan yang masih sama-sama meneymbunyikan sesuatu di balik tubuh mereka.
“Lo kerja di yakult tuh jualan yang keliling gitu
bukan sih?” tanyanya, mencari topik.
“Engga, yang di kantornya, adminnya.”
“Terus kerjaan lo ngapain? Ngga ngapa-ngapain? Makan
gaji buta dong?”
“Sabar bego. Luna
belom jawab, lo udah nanya lagi. Kepo banget sih sama urusan mantan.” Marsha
meledek.
“Kan emang gue dari dulu kepo, Sha.”
Ternyata Farel tetap cerewet. Masih belum berubah.
“Eh, bentar. Ada yang beli.” Farel melangkah kembali
ke tempat ia melayani pembeli kopinya.
Luna berbisik ke Marsha, “Masih berisik Sha.”
“Ya emang dia dari dulu berisik kan? Hahaha.”
Selaras kemudian, Luna memainkan ponselnya. Mengecek twitter atau sekadar buka youtube. Marsha juga sibuk mencari posisi yang tepat untuk selfi. Kemudian Farel datang dan kembali duduk di hadapan keduanya.
“Lo biasanya tutup jam berapa Rel kalo hari Sabtu
gini?” tanya Marsha.
“Tergantung. Kalo lagi males, jam 7 udah tutup. Kalo
lagi rajin, ya jam 8 lah.”
“Oh cuma beda se-jam ya kalo lagi males atau rajin.”
Luna bersua, Marsha terbahak karena nada bicara temannya itu.
“Iya hahahahaha.”
“Lo mah ngga niat.” seru Marsha.
“Ya iseng-iseng aja, buat ngisi kesibukan di akhir
pekan.”
“Emang lo ngga punya pacar? Sabtu Minggu masih aja
kerja.” Marsha sedetik melirik Luna, tapi Luna sudah menaruh atensi. Ia sudah
mulai bisa menyeimbangi lawan bicaranya—dan menutupi kedok kegugupannya dengan
ekspresi datar nan dinginnya.
“Ada ngga ya?” Farel diam-diam melirik Luna—yang
sialnya Luna langsung menggerakan bola matanya ke sembarang arah. Farel
terbahak, disusul Marsha yang hampir tersedak takoyaki nya.
“Gue kira lo udah jadian sama keponakannya si tante.”
“Dia sih nyuruh gue ketemu ponakannya mulu.” ucap
Farel.
“Ya ketemu lah.” Luna menyahut, tapi pandangannya ke
ponsel.
“Kalo ngomong tuh sambil diliat orangnya.” komen Farel
sambil terbahak.
“Emang rela Lun? Eh.” Marsha terbahak.
“Lah kenapa nanya gue? Tanya Farel nya, mau apa engga
kalo udah diajak ketemu gitu.”
“Sha, kesel ngga sih kalo gitu?” Farel meledek.
“Kesel sih kayanya itu.”
“Ngga ya… ya ampun.”
“Masa?” tanya Farel.
“Ya… ya emang… emang kalo kesel kenapa, kalo ngga
kesel kenapa?”
Farel dan Marsha terbahak. Entahlah. Luna jadi bingung harus jawab apa.
“Rel, Luna kan posting sesuatu di blog lamanya. Udah
liat?” ucap Marsha.
“Sha. Ck.” Luna memberi sorot mata tajamnya.
“Aduh gue dipelototin.”
“Di blog yang lama?” tanya Farel.
“Lah, emang lo tau dia punya blog lain?” tanya Marsha.
“Blog yang isinya cowok-cowok plastik itu kan.”
“Hih sembarangan kalo ngomong.” jiwa Kpopers Luna
terguncang.
“Serius, tapi lo tau Rel?” selidik Marsha.
“Dikit doang.”
Luna terdiam. Dia tidak pernah berekspektasi kalau Farel tau sampai ke blog keduanya. Tapi, bisa saja Luna pernah tidak sengaja update story yang menunjukan tampilan muka blog keduanya. Iya kan? Semua bisa saja terjadi, dan hal yang Farel ketahui memang hanya ketidaksengajaan.
“Eh gue mau ke toilet dulu ya.” ucap Marsha.
“Ayo gue anter.” Luna sigap—karena ia tidak mau
dibiarkan berdua.
“Ngga usah, deket kok di situ. Udah lo di sini aja.”
Marsha buru-buru pergi meninggalkan kedua orang yang kini masih terjebak di
sudut kotak yang telah lama tertutup itu.
Luna diam, memainkan ponselnya. Farel pun sama, mengutak-atik ponselnya. Demi apapun, Luna tidak ada bahan bicara meski bahan menulis fun fiction selalu ada stock di kepalanya.
“Rel.”
“Lun.”
“Lo dulu aja.” kata Luna.
“Ngga, lo aja.” kata Farel.
Luna berdeham dengan bola mata yang terus bergerak.
“Kabar lo gimana?” Luna bertanya hal itu, karena di
mimpinya, ia tidak sempat menanyakan kabar Farel.
“Baik. Lo sendiri?”
“Baik juga.”
“Ternyata lo masih suka nge-blog ya.”
“Masih. Bingung juga kalo ngga ngeblog. Kan ngga bisa
jadi penulis, hahaha.”
“Masih aja. Jalanin aja sih apa yang ada sekarang.”
begitu katanya.
“Ya iya, makanya gue ngga bisa ngga nulis karena udah
ngga bisa jadi penulis.”
Farel mengangguk-angguk, “Ke sini si Marsha yang
jemput lo apa lo yang jemput Marsha?”
“Marsha yang jemput. Bolak-balik dong kalo gue jemput
Marsha dulu.”
“Ya kali aja, haha.”
“Lo kerja di mana deh?”
“GDC.”
“Bidang?”
“Ngikut bokap. Sejenisnya.”
“Oooh. Padahal dulu kuliahnya komputer-komputer gitu
kan?”
“Iya. Sama aja kan kaya lo. Kuliah apa, sekarang
kerjanya apa.”
“Iya juga…”
“Lo sama Marsha ke sini beneran cuma mau ke tempat gue
doang?”
“Tadi nemenin Marsha dulu, mau beli apa ya tadi buat
Aksa.”
“Oh iya. Sampe lupa gue, dia udah nikah.”
“Udah.”
“Lo ngga ada rencana?”
Luna diam. Kenapa dengan pertanyaan itu?
“Belum. Ngga tau deh, belum kepikiran juga.” Luna menjawab.
“Emang belum ada orangnya?”
Luna diam lagi. Kali ini agak lama. Dia sendiri bingung dengan situasinya saat ini.
“Ya, belum.” Luna terkekeh.
Farel menaikan alisnya, “Gue kira udah ada.”
“Lo kali yang udah ada. Iya kan?”
“Ngga tuh, belum juga.”
“Tadi yang dibahas Marsha keponakan tante-tante itu.
Emang ngga mau?”
“Ngga.”
Luna mengangguk-angguk, “Marsha lama banget deh di
toilet.” Ia merogoh ponsel untuk menghubungi temannya, tapi pesan singkat yang
masuk, membuatnya sedikit terbelalak, “Rel.”
“Hm?”
“Masa Marsha pulang duluan. Gue ditinggal. Gue kejar
aja kali ya? Pasti belum sampe parkiran juga.”
“Ngga usah. Sama gue aja nanti.”
“Hah?”
Farel melihat pergelangan tangannya, “Bentar, gue
tutup dulu.” Pria itu bangun untuk menutup kedai kopinya.
“Eh, jangan dong. Atau gue naik ojol aja deh. Serius,
gue ngga enak masa lo tutup cuma gara-gara ini.”
“Santai aja. Tunggu, bentar.”
Luna menghela napas. Tapi diam-diam ia tersenyum. Entah harus mengutuk atau berterimakasih ke Marsha?
MARSHAAAAAA. LO BENER-BENAR YA!!!! Luna mengirim pesan ke temannya itu—yang mungkin sedang dalam perjalanan pulang usai mengirim pesan, Lun gue duluan ya, laki gue nyuruh balik, Aksa pup. Semangat dianter pulang mantan haha!
“Yuk.” Farel sudah berdiri di samping Luna.
“Emang ngga papa?”
“Rumah lo sama rumah gue ngga ada sepuluh menit. Deket
ini. Kecuali kalo gue harus nganter lo ke Bekasi.”
“Iya sih hahaha. Males juga ngga sih nganter ke
Bekasi?”
“Ya ngga papa sih. Kesian juga kalo lo balik sendiri
ke Bekasi. Nanti diculik lagi.”
“Yaaa urusannya apa juga ngga sih kalo gue diculik?
Hahaha.”
“Ya nanti ngga ada lagi yang kaya lo.” Farel kemudian
berjalan lebih cepat usai escalator membawanya ke lantai berikutnya.
Farel dan Luna sudah ada di parkiran. Mobil?
“Dari rumah lo ke sini tuh ngga ada sepuluh menit.
Tapi pake mobil?” komen Luna.
“Tadi kan ujan, Lun.” Farel masuk lebih dulu, lalu
disusul Luna yang duduk di kursi sebelah pria itu.
Wangi. Entah aroma mobil Farel atau memang pria itu
yang keberadaannya kini lebih dekat dengannya.
“Lo pilek ya?” tanya Farel.
“Iya.”
“Pasti main ujan-ujanan.”
“Engga. Gara-gara radang.”
“Kalo gitu kebanyakan minum es.”
“Nah itu betul. Hahaha.”
Farel memutar audio di mobilnya. Suara radio dengan lagu-lagu masa lalu kini ada di antara keduanya. Menyelimuti dua insan yang terjebak lagi di sudut kotak itu.
“Loh, kan harusnya puter balik?” tanya Luna saat mobil
Farel harusnya putar balik untuk sampai ke rumah Luna.
“Emang iyaya? Yah kelewatan.”
“Terus ini mau muter di mana? Bumi wiyata? Atau
margonda yang arah kelapa dua?”
“Ngga tau. Liat aja nanti ini stir maunya muter di
mana.”
“Ngabis-ngabisin bensin sama tenaga aja lo.”
“Lun.”
“Kenapa?” Luna menoleh.
“Lo laper ngga?”
“Engga sih, biasa aja.”
“Gue laper lagi.”
“Ya makan.”
“Apaan ya? Saran dong.”
“Lo kalo nanya gue, jawaban gue paling ya junkfood
hahahaha.”
“Mekdi?”
“Itu termasuk junkfood juga sih.”
“Yaudah. Enak kali ya malem Minggu makan mekdi.”
“Enak makan mekdi nya apa makan sama siapanya…” Luna
membuang pandangan keluar jendela. Samar-samar suara dengus tawa itu menelusup
ke telinga Luna.
Restoran cepat saji itu ada di Margonda, ada juga di Kelapa Dua. Tapi kenapa roda empat yang Farel kendarai mulai memasuki kawasan Universitas Pancasila?
“Lo mau nyari mekdi yang logo restonya bukan M ya?”
Farel terbahak, “Apaan sih?”
“Ini udah arah Pasar Minggu.”
“Eh emang iya ya? Gue ngga sadar. Kok lo ngga
bilangin?”
“Dih? Yaudah, nanti nanjak fly over aja. Ke mekdi TB
Simatupang.”
“Oke.”
Mereka sudah melintasi jalanan baru yang terpisah jadi dua. Mobil Farel mengambil kanan ke arah Tanjung Barat.
“Heh, muter. Kok malah lurus?” ucap Luna, yang
lagi-lagi jalanannya kelewatan.
“Telat lo bilanginnya. Udahlah, cari yang searah pas
ketemu aja.”
Malam Minggu di pertengahan Maret ternyata masih disapa hujan. Laju mobilnya sedikit lebih lambat. Suasananya mulai dingin sampai Luna harus bersedekap mengumpatkan kedua telapak tangannya.
“Matiin aja kali ya AC nya?” tanya Farel.
“Jangan. Kecilin aja.” Farel melakukannya mengecilkan
pendingin di mobil itu.
Lagu yang kini terputar adalah lagu yang akhir-akhir selalu Luna dengar. Seluruh Nafas Ini. Sialan. Luna mengutuk dalam hati.
“Lun.”
“Apa?”
“Dulu kita ngga pernah kaya gini ya pas SMA?”
Luna melirik dengan ekor matanya, “Iya, engga.”
“Lun.”
“Apaan lagi?” Luna menoleh.
“Boleh ngga, gue deket lagi?”
“Ini deket.”
“Bukan gitu…”
“Yang jelas dong kalo ngomong.”
“Gue mau ngasih tau, kalo perasaan sedekade lo,
harusnya diterusin aja.”
Luna menatap Farel, pun pria itu. Beruntung mereka sedang terjebak di lampu merah. Jadi tidak terlalu membahayakan.
“Gue masih di tempat yang sama, Lun.”
END
Komentar
Posting Komentar