Cerpen: Let It Go
“Maaf aku telat”
Diandra, atau biasa dipanggil Dee—melirik jam ditangannya,
kemudian menghembuskan napas.
“Akhir-akhir ini kamu selalu telat. Alasannya apa hari ini?”
“Aku kan udah pernah bilang, aku ada jabatan di KSM, dan sekarang lagi sibuk ngurusin untuk lomba tiga bulan ke depan”
“Aku nunggu kamu lebih dari dua jam, Dir. Ngga bisa lebih lama lagi bikin aku nunggu?”
“Aku kan udah pernah bilang, aku ada jabatan di KSM, dan sekarang lagi sibuk ngurusin untuk lomba tiga bulan ke depan”
“Aku nunggu kamu lebih dari dua jam, Dir. Ngga bisa lebih lama lagi bikin aku nunggu?”
Dirma, kekasih Dee sejak dua tahun yang lalu—hanya diam mendengar
pertanyaan dari Dee.
Detik berikutnya, mereka sibuk dengan argumen hati
masing-masing. Menikmati dinginnya hujan dan angin malam ini. Dingin, tanpa
kehangatan.
Sangat terlihat kelelahan di wajah Dirma, juga Dee yang
menampilkan wajah dengan rasa serba salah. Entah siapa yang salah kali ini. Dee
yang terlalu egois, atau Dirma yang terus-terusan menguji kesabaran Dee.
“Halo, kenapa?” Dirma menerima satu panggilan. “Iya, sebentar
lagi. Disini masih hujan”. Klik. Panggilan terputus.
“Aku harus balik ke kampus” ucap Dirma seraya memasukkan
ponselnya ke saku celana jins coklatnya.
“Aku pulang sendiri?” tanya Dee.
“Kalo kamu mau pulang sekarang, kamu mau ikut aku hujan-hujanan? Aku sih terserah”
“Terus kamu tega ngebiarin aku sendiri disini? Sedangkan dari tiga jam yang lalu aku disini nungguin kamu, sekarang kamu mau ninggalin aku? Iya?”
“Aku pulang sendiri?” tanya Dee.
“Kalo kamu mau pulang sekarang, kamu mau ikut aku hujan-hujanan? Aku sih terserah”
“Terus kamu tega ngebiarin aku sendiri disini? Sedangkan dari tiga jam yang lalu aku disini nungguin kamu, sekarang kamu mau ninggalin aku? Iya?”
Dirma tak menjawab rentetan pertanyaan Dee. Dirma menekan
sebuah kontak di ponselnya untuk segera dihubungi.
“Aku udah telpon Ezra buat jemput kamu disini. Aku duluan”
kemudian, Dirma melaju dengan motornya dibawah guyuran hujan.
“Dirma. Ko Ezra sih!” sayang, ucapan Dee tidak tertangkap telinga Dirma.
“Dirma. Ko Ezra sih!” sayang, ucapan Dee tidak tertangkap telinga Dirma.
Dua puluh menit kemudian, sebuah mobil berhenti dihadapan
Diandra. Seorang pengemudi membuka kaca mobil sisi kiri depan.
“Hai, Dee” sapa Ezra dari dalam mobil. “Masuk” ucap Ezra.
Diandra masuk dengan suasana hati yang sulit ditebak. Ezra
adalah teman terdekat Dirma sejak SMA. Semasa SMA, Ezra, Diandra, dan Dirma
terjebak dalam cerita cinta segitiga. Ezra mencintai Diandra, begitu juga
Dirma. Namun Diandra lebih memilih Dirma. Dan sekarang, hubungan mereka tetap
baik—walau hubungan hati entah baik atau tidak.
“Kok lo mau aja disuruh Dirma buat jemput gue?” tanya Diandra
setelah duduk disamping Ezra.
“Dirma kan temen gue, lo pacarnya Dirma, berarti temen gue juga dong. Ya, masa gue tega ngebiarin cewek sendirian malem-malem, hujan lagi” jawab Ezra.
“Makasih ya” ucap Diandra sambil tersenyum pada cowok berdarah Jawa-Jerman ini. Ezra hanya membalas dengan senyum berkarismanya.
“Dirma kan temen gue, lo pacarnya Dirma, berarti temen gue juga dong. Ya, masa gue tega ngebiarin cewek sendirian malem-malem, hujan lagi” jawab Ezra.
“Makasih ya” ucap Diandra sambil tersenyum pada cowok berdarah Jawa-Jerman ini. Ezra hanya membalas dengan senyum berkarismanya.
~
“Lo ngga jadi nganterin Diandra?”
“Gue suruh Ezra yang nganterin dia balik”
“Serius lo? Sejak kapan sifat cemburuan lo luntur, Dir? Hahaha”
“Emang gue cemburuan? Dari kapan?”
“Begok lo”
“Gue suruh Ezra yang nganterin dia balik”
“Serius lo? Sejak kapan sifat cemburuan lo luntur, Dir? Hahaha”
“Emang gue cemburuan? Dari kapan?”
“Begok lo”
Sudah pukul sepuluh malam, Dirma masih di kampus. Panggilan
telpon dari kekasihnya tak satupun ia terima. Pesan singkat dan segala macam
jenis chat, juga Dirma abaikan. Dirma sendiri bingung, apa yang terjadi dengan
dirinya.
Keesokan harinya saat Diandra sampai di kampus, ia langsung
mencari kekasihnya. Diandra melangkahkan kakinya ke sekret KSM yang Dirma
ikuti.
“Pagi, ada Dirma ngga?” tanya Diandra.
“Dirma belum dateng Dee” jawab seseorang.
“Oh belum dateng, thanks ya” kemudian Diandra beranjak dari situ.
“Dirma belum dateng Dee” jawab seseorang.
“Oh belum dateng, thanks ya” kemudian Diandra beranjak dari situ.
Diandra berjalan menuju gedung kampusnya, yang tak jauh dari
sekret KSM. Dari ujung tangga, Dirma berjalan kearahnya, namun seseorang
memisahkan diri setelah Dirma melihat Diandra disitu.
“Kamu berangkat bareng cewek tadi?” tanya Diandra setelah
langkah mereka lebih dekat.
“Aku cuman nebengin dia, tadi ketemu di jalan” jawab Dirma.
“Yakin?” Diandra menatap mata Dirma.
“Aku cuman nebengin dia, tadi ketemu di jalan” jawab Dirma.
“Yakin?” Diandra menatap mata Dirma.
Dirma diam untuk beberapa detik.
“Semalem jadi balik bareng Ezra?” tanya Dirma.
“Jadi”
“Jadi?”
“Semalem jadi balik bareng Ezra?” tanya Dirma.
“Jadi”
“Jadi?”
Diandra mengangguk. “Kenapa?”
“Enak dong dianter pulang naik mobil?”
“Apaan sih”
“Kalo gitu, sering-sering aja ya aku minta tolong Ezra buat nganter kamu pulang”
“Loh? Kamu kenapa sih? Kemarin kan kamu yang nyuruh Ezra buat nganterin aku pulang. Kok sekarang ngomongnya gini?”
“Ada yang salah sama omonganku? Bener kan?”
“Enak dong dianter pulang naik mobil?”
“Apaan sih”
“Kalo gitu, sering-sering aja ya aku minta tolong Ezra buat nganter kamu pulang”
“Loh? Kamu kenapa sih? Kemarin kan kamu yang nyuruh Ezra buat nganterin aku pulang. Kok sekarang ngomongnya gini?”
“Ada yang salah sama omonganku? Bener kan?”
Tanpa menunggu ucapan Diandra selanjutnya, Dirma berjalan
meninggalkan Diandra yang masih bingung dengan semuanya.
“Dirma” Diandra mengejar langkah Dirma. “Dirma tunggu!”
Diandra meraih tangan Dirma.
“Aku udah ditunggu anak-anak yang lain di sekret. Kamu masuk kelas aja” ucap Dirma seraya menepis tangan Diandra yang melingkar ditangannya.
“Aku udah ditunggu anak-anak yang lain di sekret. Kamu masuk kelas aja” ucap Dirma seraya menepis tangan Diandra yang melingkar ditangannya.
Sore hari, menjelang adzan maghrib, Diandra kembali ke sekret
untuk menemui Dirma. Tapi Dirma tidak ada disana, bahkan beberapa temen bilang
kalau Dirma sudah pamit untuk pulang dari satu jam yang lalu.
Diandra berjalan dari kampus menuju gerbang utama kampus.
Jarak yang lumayan jauh ditempuh pejalan kaki, sekitar satu kilometer. Berjalan
dengan perasaan tak menentu sambil menendang kerikil yang ada. Tiba-tiba, suara
klakson berbunyi dari belakangnya. Bisa Diandra tebak, pasti Ezra.
“Ngga bareng Dirma?” tanya Ezra yang membuka kaca mobilnya
sambil mengendarai mengikuti langkah Diandra yang berjalan disebelahnya.
“Yang lo liat kaya gimana?” Diandra balik bertanya, membuat Ezra diam.
“Yaudah, balik sama gue yuk” ajak Ezra.
“Makasih deh, gue naik angkutan umum aja” jawab Diandra.
“Gue disuruh Dirma loh”
“Dirma yang nyuruh lo? Ketemu Dirma dimana?”
“Yang lo liat kaya gimana?” Diandra balik bertanya, membuat Ezra diam.
“Yaudah, balik sama gue yuk” ajak Ezra.
“Makasih deh, gue naik angkutan umum aja” jawab Diandra.
“Gue disuruh Dirma loh”
“Dirma yang nyuruh lo? Ketemu Dirma dimana?”
Ezra menghentikan mobilnya, keluar dari mobilnya dan berdiri
dihadapan Diandra.
“Emangnya seharian ini lo ngga ketemu dia?”
“Zra, itu bukan jawaban dari pertanyaan gue. Please, ngga usah basa-basi”
“Oke. Gue ngga ketemu Dirma, tapi dia nelpon gue tadi. Dia bilang, gue suruh nganterin lo balik”
“Ngga usah, gue balik sendiri aja”
“Dee, ini udah hampir malem. Lebih aman balik sama gue, gue anterin lo sampe depan rumah”
“Sekali lagi makasih” ucap Diandra yang kemudian meninggalkan Ezra.
“Emangnya seharian ini lo ngga ketemu dia?”
“Zra, itu bukan jawaban dari pertanyaan gue. Please, ngga usah basa-basi”
“Oke. Gue ngga ketemu Dirma, tapi dia nelpon gue tadi. Dia bilang, gue suruh nganterin lo balik”
“Ngga usah, gue balik sendiri aja”
“Dee, ini udah hampir malem. Lebih aman balik sama gue, gue anterin lo sampe depan rumah”
“Sekali lagi makasih” ucap Diandra yang kemudian meninggalkan Ezra.
Diandra sudah sampai di depan gerbang utama. Diandra
memutuskan untuk pulang naik taksi. Arah taksi tidak menjurus ke daerah rumah
Diandra, melainkan ke rumah Dirma.
Sesampainya di depan rumah Dirma, Diandra meneliti sekeliling
rumah itu, tidak terparkir motor Dirma. Kalau memang Dirma sudah pulang dari
kampus sejak sore tadi, kemana dia sekarang kalau motornya tidak ada di
rumahnya?
Diandra turun dari taksi. Memutuskan menunggu kekasihnya di
halaman depan rumahnya, tentu atas seizing yang punya rumah—tante Dirma. Orang
tua Dirma tidak tinggal di Jakarta, melainkan di Jogjakarta.
Satu jam menunggu, mata Diandra mulai lengket, bahkan nyamuk
sudah beberapa kali menggigit kulit tangan Diandra. Sekitar jam Sembilan lewat
tiga puluh menit, sebuah motor terparkir di halaman rumah.
Dirma kaget bukan main Diandra ada disana.
“Kamu ngapain disini?” tanya Dirma dengan tatapan marah.
“Cuman mau mastiin, kamu ada di rumah apa engga. Temen-temen kamu bilang, kamu udah pulang dari jam lima sore. Tapi jam segini baru sampe rumah. Kamu dari mana sih?” hanya terdengar nada lirih dalam setiap kata yang Diandra ucapkan.
“Cuman mau mastiin, kamu ada di rumah apa engga. Temen-temen kamu bilang, kamu udah pulang dari jam lima sore. Tapi jam segini baru sampe rumah. Kamu dari mana sih?” hanya terdengar nada lirih dalam setiap kata yang Diandra ucapkan.
Dirma menarik Diandra untuk menjauh dari bibir pintu. Dirma
mengajak Diandra ke depan gerbang rumah.
“Aku emang keluar kampus jam lima sore, maaf ngga ngabarin
kamu. Aku buru-buru, soalnya harus—“
“Harus apa? Kamu sibuk apa? Ngga bisa ngabarin aku tapi bisa nelpon Ezra untuk anterin aku pulang? Hah?”
“Harus apa? Kamu sibuk apa? Ngga bisa ngabarin aku tapi bisa nelpon Ezra untuk anterin aku pulang? Hah?”
Dirma diam.
“Sekarang kamu diam. Kamu ngga bisa jawab kan?” tanya Diandra.
“Terserah kamu, Dee. Aku mau istirahat” Dirma masuk ke dalam rumah, membiarkan Diandra sendirian.
“Sekarang kamu diam. Kamu ngga bisa jawab kan?” tanya Diandra.
“Terserah kamu, Dee. Aku mau istirahat” Dirma masuk ke dalam rumah, membiarkan Diandra sendirian.
Dirma berubah. Diandra benar-benar merasakan perubahan sikap
kekasihnya itu. Dulu, Dirma tak pernah bisa membiarkan Diandra sendirian.
Setiap pulang kuliah, kalau senggang, Dirma pasti mengantar Diandra sampai
rumah.
Duduk bersama diatas motor. Bicara ringan diiringi candaan
sederhana yang manis. Sayang, semua hanya masa lalu yang sudah sangat berbeda
di hari ini. Ya, itu kejadian yang Diandra rasakan tiga bulan yang lalu, yang
entah terakhir atau tidak.
Keesokan harinya di kampus, Diandra hanya menyendiri. Di
kantinpun sendiri, hanya ditemani beberapa buku dan segelas jus alpukat.
Diandra membuka laptopnya, mengerjakan sebagian laporan yang mulai menumpuk.
Tak lama, seseorang duduk dihadapannya. Diandra melirik siapa
yang ada didepannya. Seketika mood Diandra untuk mengerjakan tugas jadi hilang.
Diandra membuang pandangan.
“Aku mau kita break dulu”
ucap Dirma. Diandra menoleh kearah Dirma.
“Break? Kenapa? Ada yang salah sama hubungan kita?”
“Ngga tau. Tapi aku mau coba istirahat dari hubungan ini”
“Kamu pikir hubungan kita itu apa sih? Supir yang lagi ngetem bisa istirahat gitu?”
“Aku ngga butuh filosofi dari kamu. Yang jelas, aku mau terbebas dari sebuah ikatan sekarang ini”
“Tapi aku ngga mau”
“Kenapa?”
“Aku ngga mau ngelepas apa yang udah aku genggam erat dari lama”
“Dee, kita cuman butuh waktu untuk sama-sama sendiri”
“Butuh waktu sendiri bukan berarti melepas sebuah ikatan, Dir. Apa ada yang salah dari aku? Bilang yang mana yang salah dari aku, ngga usah kaya gini”
“Kamu ngga salah apa-apa”
“Yaudah, ngga perlu pake break segala”
“Tapi—“
“Kita ngga lagi ngejalanin hubungannya anak SMP yang bosen, putus, kangen, balikan”
“Tapi kita manusia yang kadang juga kaya anak SMP”
“Kita? Kita atau kamu? Pokoknya ngga Dir, aku ngga mau”
“Kamu keras kepala”
“Break? Kenapa? Ada yang salah sama hubungan kita?”
“Ngga tau. Tapi aku mau coba istirahat dari hubungan ini”
“Kamu pikir hubungan kita itu apa sih? Supir yang lagi ngetem bisa istirahat gitu?”
“Aku ngga butuh filosofi dari kamu. Yang jelas, aku mau terbebas dari sebuah ikatan sekarang ini”
“Tapi aku ngga mau”
“Kenapa?”
“Aku ngga mau ngelepas apa yang udah aku genggam erat dari lama”
“Dee, kita cuman butuh waktu untuk sama-sama sendiri”
“Butuh waktu sendiri bukan berarti melepas sebuah ikatan, Dir. Apa ada yang salah dari aku? Bilang yang mana yang salah dari aku, ngga usah kaya gini”
“Kamu ngga salah apa-apa”
“Yaudah, ngga perlu pake break segala”
“Tapi—“
“Kita ngga lagi ngejalanin hubungannya anak SMP yang bosen, putus, kangen, balikan”
“Tapi kita manusia yang kadang juga kaya anak SMP”
“Kita? Kita atau kamu? Pokoknya ngga Dir, aku ngga mau”
“Kamu keras kepala”
Setelah bicara begitu, Dirma pergi dari kantin. Sedangkan
Diandra masih mencari maksud dari permintaan Dirma. Ada apa sih dengan Dirma?
Sore ini, Diandra menemui Dirma di kelasnya. Meminta Dirma
untuk mengantar Diandra pulang.
“Aku ngga bisa, aku ada futsal”
“Yaudah aku ikut”
“Terserah, tapi aku sampe malem loh ya”
“Iya ngga papa”
“Yaudah aku ikut”
“Terserah, tapi aku sampe malem loh ya”
“Iya ngga papa”
Sesampainya di sebuah lapangan futsal indoor di daerah yang berada tak jauh dari kampus, Dirma langsung
mengganti kaos hitam polos berkerahnya dengan kaos tim futsal kelasnya.
Selama permainan berlangsung, Diandra memperhatikan seorang
wanita yang duduk tak jauh dari dirinya. Wanita itu sepertinya sekampus,
Diandra pernah melihat, tapi tak ingat melihatnya kapan dan dimana. Dia sedang
asik memainkan ponselnya.
Diandra pergi ke toilet sebentar, sekitar lima menit,
kemudian Diandra kembali ke tempat tadi ia duduk menonton Dirma. Belum sempat
duduk ditempatnya, Diandra mendengar sebuah obrolan dari balik tembok.
“Lo kesini buat nemenin Dirma?”
“Iyalah. Lo pikir gue kesini ngapain kalo bukan buat nonton Ka Dirma”
“Gila, berani banget lo. Lo ngga tau ceweknya Dirma juga kesini?”
“Emang iyaya? Ah, bodo, bentar lagi juga ceweknya diputusin”
“Iyalah. Lo pikir gue kesini ngapain kalo bukan buat nonton Ka Dirma”
“Gila, berani banget lo. Lo ngga tau ceweknya Dirma juga kesini?”
“Emang iyaya? Ah, bodo, bentar lagi juga ceweknya diputusin”
Percakapan itu. Diandra kenal suara itu. Ezra. Tapi suara
wanita itu, Diandra tak tau itu suara siapa. Diandra keluar dari
persembunyiannya, kembali duduk seperti semula, dengan keadaan wajah yang biasa
saja.
“Hai, Zra. Kesini juga?” sapa Diandra. Justru Ezra yang kaget
setengah mati disapa Diandra.
“Eh, hai Dee. Lo kesini?” ucap Ezra, gugup.
“Iya, nemenin Dirma. Ngomong-ngomong, ini cewek lo? Kenalin dong ke gue”
“Eh, hai Dee. Lo kesini?” ucap Ezra, gugup.
“Iya, nemenin Dirma. Ngomong-ngomong, ini cewek lo? Kenalin dong ke gue”
Wanita yang duduk diantara Ezra dan Diandra menatap Ezra
bingung.
“Temen gue” kata Ezra.
“Oh, temen. Tapi kalian cocok loh kalo dilihat-lihat” ucap Ezra.
“Oh, temen. Tapi kalian cocok loh kalo dilihat-lihat” ucap Ezra.
Tiba-tiba, Dirma datang pada mereka bertiga.
“Lagi pada ngobrol? Seru banget kayanya” ucap Dirma.
“Dir, cewek ini sama Ezra cocok banget ya? Kenapa mereka ngga jadian aja ya” ucap Diandra.
“Jadian?” Dirma menatap cewek yang ada disamping Diandra.
“Iya, jadian. Mukanya mirip, kayanya jodoh deh”
“Lagi pada ngobrol? Seru banget kayanya” ucap Dirma.
“Dir, cewek ini sama Ezra cocok banget ya? Kenapa mereka ngga jadian aja ya” ucap Diandra.
“Jadian?” Dirma menatap cewek yang ada disamping Diandra.
“Iya, jadian. Mukanya mirip, kayanya jodoh deh”
~
“Tadi kamu sok asik banget sama Chika”
“Chika? Chika itu siapa?”
“Yang tadi ngobrol sama kamu sama Ezra”
“Oh jadi namanya Chika”
“Harusnya kamu ngga usah ngomong kaya tadi sama dia”
“Kenapa? Ada yang sakit hati kalo aku bilang Chika dan Ezra cocok?”
“Chika? Chika itu siapa?”
“Yang tadi ngobrol sama kamu sama Ezra”
“Oh jadi namanya Chika”
“Harusnya kamu ngga usah ngomong kaya tadi sama dia”
“Kenapa? Ada yang sakit hati kalo aku bilang Chika dan Ezra cocok?”
Dirma diam, membeku mendengar pertanyaan Diandra.
“Yaudah yuk pulang, udah malem” ajak Dirma.
“Yaudah yuk pulang, udah malem” ajak Dirma.
Tanpa ada yang menyadari, dibalik pundak Dirma, air mata
Diandra tumpah. Sesampainya di depan rumah Dirma, Diandra menghapus sisa air
mata yang ada di pipinya.
“Kamu kenapa?” tanya Dirma.
“Drama gue tadi jelek ya?” tanya Diandra dengan mata berkaca-kaca, membuat Dirma bingung.
“Drama gue tadi jelek ya?” tanya Diandra dengan mata berkaca-kaca, membuat Dirma bingung.
“Suatu tamparan buat gue. Seorang cowok yang gue sayang dari
tiga tahun yang lalu, cowok yang selalu gue percaya, ternyata main perasaan di
belakang gue. Entah apa yang membosankan dari diri gue sampe cowok yang gue
sayang berpaling hati. Dirma, sekarang gue tau alesan lo mau kita break. Chika, iya kan? Detik ini juga,
gue ikutin mau lo. Gue sayang banget sama lo, sampe gue ngga tega untuk ngga
ikutin mau lo. Kita sampe sini aja”
“Dee, aku—“
“Semoga sesuatu yang hilang dari gue, bisa lo temuin di Chika”
“Diandra—“
“Hati-hati pulangnya”
“Semoga sesuatu yang hilang dari gue, bisa lo temuin di Chika”
“Diandra—“
“Hati-hati pulangnya”
Bagi Diandra, break dalam
suatu hubungan tidak pernah ada. Yang ada hanya bertahan atau selesai. Ketika
seseorang sudah bicara tentang kelelahan dalam suatu hubungan, akhirilah.
Karena menahan seseorang untuk tetap mencintai bukan hal yang mudah, jadi
biarkan dia pergi mencari kenyaman pada seseorang yang lain. Dan ketika semua
telah berakhir, jangan pernah berharap semua rasa dan keadaan akan tetap sama
saat hubungan itu terulang kembali.
END
Komentar
Posting Komentar