Cerpen: Kamis Sore
“Shar! Tunggu”
Langkahku terhenti mendengar namaku dipanggil. Aku menoleh ke
belakang. Seseorang berjalan setengah berlari menghampiriku. Aku tetap diam
sampai dia berada di depanku.
“Ada yang harus aku omongin ke kamu” ucap pemilik bola mata
coklat itu.
“Mau ngomong apa?” tanyaku tanpa rasa penasaran sedikitpun.
“Ngga disini. Ikut aku yuk” dia menarik pergelangan tangan kananku.
“Mau ngomong apa?” tanyaku tanpa rasa penasaran sedikitpun.
“Ngga disini. Ikut aku yuk” dia menarik pergelangan tangan kananku.
Masih di sekitar kampus. Kami berjalan ke suatu tempat. Lapangan
basket dekat gedung jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan. Tempat dimana
pertama kali aku bertemu dengannya.
“Kamu masih ingat tempat ini?” tanyanya.
“Masih” jawabku dengan anggukan. “Ada apa? Tumben ngajak aku kesini”.
“Ingat, kapan pertama kali kita ketemu?”
“Masih” jawabku dengan anggukan. “Ada apa? Tumben ngajak aku kesini”.
“Ingat, kapan pertama kali kita ketemu?”
Pertanyaan yang aneh menurutku. Untuk apa dia bertanya
seperti itu? Seolah mengujiku, ingatkah aku saat pertama kali bertemu
dengannya, dan kejadian yang membuat kami sedekat ini. Jelas, aku akan selalu
mengingatnya.
“Kamis sore, pekan pertama bulan September, tiga bulan yang
lalu” jawabku penuh keyakinan.
“Ternyata kamu masih mengingatnya. Aku pikir, kamu lupa”
“Lalu?”
“Kamis sore di pekan pertama Desember. Shar, aku mencintaimu”
“Ternyata kamu masih mengingatnya. Aku pikir, kamu lupa”
“Lalu?”
“Kamis sore di pekan pertama Desember. Shar, aku mencintaimu”
Dia bilang apa? Mencintaiku? Apa aku tidak salah dengar? Mataku
langsung mengunci kedua matanya, berusaha mencari candaan ini. Namun, aku hanya
menemukan keseriusan disetiap garis wajahnya. Iya, dia bilang bahwa dia
mencintaiku.
“Kamu bercanda?” tanyaku diselingi tawa meledek.
“Aku ngga pandai membuat candaan tentang perasaan” jawabnya.
“Hem, lalu aku harus apa setelah kamu bilang mencintaiku?”
“Gimana tentang perasaan kamu selama ini?”
“Masih sama seperti pertama kali aku bilang ke kamu”
“Aku ngga pandai membuat candaan tentang perasaan” jawabnya.
“Hem, lalu aku harus apa setelah kamu bilang mencintaiku?”
“Gimana tentang perasaan kamu selama ini?”
“Masih sama seperti pertama kali aku bilang ke kamu”
Aku melihat senyum yang mengembang di wajahnya.
Laki-laki yang sekarang berdiri di depanku, seniorku di kampus, sosok yang selalu penuh tanda tanya, pemilik sikap dingin terhadap siapapun, sifat pendiamnya yang terkadang membuatku lelah. Tapi pengakuan yang barusan, membuatku mencari rasa yang lebih dari rasa bahagia.
Laki-laki yang sekarang berdiri di depanku, seniorku di kampus, sosok yang selalu penuh tanda tanya, pemilik sikap dingin terhadap siapapun, sifat pendiamnya yang terkadang membuatku lelah. Tapi pengakuan yang barusan, membuatku mencari rasa yang lebih dari rasa bahagia.
Aku pernah mengatakan hal yang sama sekitar dua pekan yang
lalu. Ya, aku bukan wanita yang sanggup memendam perasaan. Aku bicara, bahwa
aku menyayanginya lebih dari rasa sayang seorang junior terhadap seniornya.
2 pekan yang lalu.
“Ka, maafin aku”
“Maaf? Maaf kenapa Shar?”
“Aku—aku suka sama kakak”
“Maaf? Maaf kenapa Shar?”
“Aku—aku suka sama kakak”
Dalam sekejap waktu, ada diam diantara kami, di tengah dua
anak manusia yang sedang duduk bersebelahan.
“Kamu ngga perlu minta maaf Shar. Kamu ngga salah apa-apa”
ucapnya.
Aku masih dalam tundukanku.
“Kakak seneng, kamu jujur sama perasaan kamu”
“Aku janji, aku ngga akan minta apa-apa dari kakak setelah aku ngomong barusan. Aku ngga perlu tau apa yang ada di pikiran ka Dimas tentang aku. Aku cuman mau berbagi rasa sama seseorang yang aku sayang. Sekali lagi aku minta maaf sama kaka”
“Jangan minta maaf kalau ngerasa ngga punya salah. Perasaan kamu ngga salah, Sharen”
“Kakak seneng, kamu jujur sama perasaan kamu”
“Aku janji, aku ngga akan minta apa-apa dari kakak setelah aku ngomong barusan. Aku ngga perlu tau apa yang ada di pikiran ka Dimas tentang aku. Aku cuman mau berbagi rasa sama seseorang yang aku sayang. Sekali lagi aku minta maaf sama kaka”
“Jangan minta maaf kalau ngerasa ngga punya salah. Perasaan kamu ngga salah, Sharen”
Aku tidak bicara apa-apa lagi, begitupun dia. Kami terlalu
asik dengan pikiran masing-masing. Ada rasa lega setalah aku utarakan semuanya.
Terserahlah aku bagaimana di mata ka Dimas.
“Udah mau malem. Kamu ngga pulang?” tanyanya sambil melirik
jam tangannya. Mungkin itu cara halus untuk menghindari kontak mata antara
kami, atau mungkin, dia ingin menyudahi hari ini.
“Ini mau pulang. Kaka sendiri ngga pulang?”
“Kaka masih harus ngurus macem-macem buat lomba sebentar lagi”
“Oh, gitu. Yaudah, Sharen duluan ya ka”
“Ini mau pulang. Kaka sendiri ngga pulang?”
“Kaka masih harus ngurus macem-macem buat lomba sebentar lagi”
“Oh, gitu. Yaudah, Sharen duluan ya ka”
Aku bangun dari dudukku dan berlangkah seribu meninggalkan
pengisi hatiku saat ini.
“Sharen” panggilnya yang membuatku menoleh ke belakang. “Hati-hati
di jalan” ucapnya dengan lambaian tangan, dan kubalas dengan senyuman.
Ka Dimas meneliti wajahku dari dekat. Sangat dekat.
“Shar?”
“Shar?”
Aku masih menunduk, tidak bisa mengangkat wajahku.
“Pipimu merah. Apa jantungmu berdetak lebih cepat?” tanyanya dengan senyum meledek. Aku mendorong tubuhnya ke belakang.
“Engga, biasa aja. Jangan ge-er” kataku.
“Pipimu merah. Apa jantungmu berdetak lebih cepat?” tanyanya dengan senyum meledek. Aku mendorong tubuhnya ke belakang.
“Engga, biasa aja. Jangan ge-er” kataku.
Dia meraih kedua tanganku.
“Kamu harus tau, ini bukan hal yang mudah buatku. Aku sulit merasakan cinta, tapi karena kamu, aku tau harus bagaimana menghadapimu”
“Aku?”
“Iya, kamu. Kamu sebab dari semua rasaku”
“Bukannya kamu ngga suka basa-basi ya? Jangan membuat rumit, aku ngga paham”
“Temani langkahku”
“Maksudnya?”
“Aku tau kamu paham. Tapi kamu pura-pura ngga paham. Iya kan?” ucapnya dengan wajah yang sangat lucu. Aku tersenyum.
“Langkahmu mau kutemani kemana?”
“Kemanapun aku melangkah”
“Kamu harus tau, ini bukan hal yang mudah buatku. Aku sulit merasakan cinta, tapi karena kamu, aku tau harus bagaimana menghadapimu”
“Aku?”
“Iya, kamu. Kamu sebab dari semua rasaku”
“Bukannya kamu ngga suka basa-basi ya? Jangan membuat rumit, aku ngga paham”
“Temani langkahku”
“Maksudnya?”
“Aku tau kamu paham. Tapi kamu pura-pura ngga paham. Iya kan?” ucapnya dengan wajah yang sangat lucu. Aku tersenyum.
“Langkahmu mau kutemani kemana?”
“Kemanapun aku melangkah”
Hari ini. Iya, hari ini, hari Kamis di bulan Desember. Mulai hari
ini, aku bukan lagi seseorang yang hanya bisa berharap. Entah bagaimana rencana
Tuhan atas semua ini. Senior yang kupuja sejak tiga bulan yang lalu. Dimas.
Aku terlalu sulit mendeskripsikannya. Yang jelas, from now, He is my boy!
END
Komentar
Posting Komentar