Cerbung: Encoder Love [Chapter 1]
Senin pagi di ruang kelas XI Sosial 2.
Shinta hanya mencari kesibukan dengan ponselnya. Bingung
harus melakukan apa. Tidak seorangpun yang ia kenal di kelas ini. Sibuk membuka
satu akun ke akun lainnya, me-refresh
dan terakhir menekan tombol home.
Kedua mata indahnya melirik bibir pintu, melihat siapa yang
selanjutnya datang. Berharap ada seseorang yang ia kenal.
Dulu, semasanya kelas sepuluh SMA, Shinta bukan orang yang
mudah bergaul. Ia hanya tau wajah siapa yang ada di sini, namun tidak
mengenalnya.
Napas beratnya terdengar saat seseorang yang baru datang dan
hendak berjalan ke arah Shinta.
“Lo di kelas ini juga?” tanya cowok yang setiap mengenakan
seragam, kemejanya selalu dikeluarkan.
“Juga? Ah, udah gue duga lo masuk kelas ini.” keluh Shinta.
“Hadiah terburuk banget harus sekelas sama lo.” ucap Nathan.
“Yaudah gih sana pindah kelas!” bentak Shinta.
“Hadiah terburuk banget harus sekelas sama lo.” ucap Nathan.
“Yaudah gih sana pindah kelas!” bentak Shinta.
Shinta berdiri dan keluar dari kelas. Meninggalkan Nathan
yang sebenarnya menyembunyikan senyumnya. Dari semenjak kelas sepuluh, Nathan
selalu suka menggoda Shinta.
Shinta berdiri di bibir pintu. Ia hampir saja menabrak
seseorang yang hendak masuk.
“So—Shinta?” sapa seseorang yang hampir Shinta tabrak.
“Viona? Lo di kelas ini?” tanya Shinta.
“Iya, gue di Sosial dua. Lo juga?” wajah Viona dipenuhi senyum dengan gigi kelincinya.
“Akhirnya ketemu temen yang dikenal. Semeja sama gue ya.” ucap Shinta.
“Meja lo di mana? Biar gue naro tas dulu.”
“Itu, baris ke tiga nomor tiga. Yang ada tas warna putih.”
“Oke.”
“Viona? Lo di kelas ini?” tanya Shinta.
“Iya, gue di Sosial dua. Lo juga?” wajah Viona dipenuhi senyum dengan gigi kelincinya.
“Akhirnya ketemu temen yang dikenal. Semeja sama gue ya.” ucap Shinta.
“Meja lo di mana? Biar gue naro tas dulu.”
“Itu, baris ke tiga nomor tiga. Yang ada tas warna putih.”
“Oke.”
Viona masuk dan meletakan ranselnya di sebelah ransel Shinta.
Setelah itu, Viona keluar kelas menghampiri Shinta.
“Kenapa kita ngga di kelas aja Shin?” tanya Viona.
“Masih sepuluh menit lagi masuknya. Lagi pula, biasanya kalau baru masuk setelah kenaikan kelas kan paling ngga belajar.”
“Masih sepuluh menit lagi masuknya. Lagi pula, biasanya kalau baru masuk setelah kenaikan kelas kan paling ngga belajar.”
Viona hanya tersenyum kecil mendengar pernyataan Shinta.
“Dari kelas sepuluh dua, siapa aja yang masuk Sosial dua?”
tanya Viona.
“Belum tau lagi selain gue sama Nathan.” jawab Shinta.
“Nathanello yang ikut ekskul musik?” Viona meyakinkan.
“Belum tau lagi selain gue sama Nathan.” jawab Shinta.
“Nathanello yang ikut ekskul musik?” Viona meyakinkan.
Shinta menghentikan langkahnya, diikuti Viona.
Perlahan-lahan, Shinta menoleh pada Viona, seolah menyimpan tanya—seberapa
terkenalnya seorang Nathan?
“Pertanyaan lo seolah-olah Nathan terkenal banget di
sekolah.” ucap Shinta.
“Emangnya lo ngga tau? Semenjak penampilan dia di pensi tahunan kemarin, seketika namanya sering gue denger di mana-mana. Pas gue kepoin, taunya anak sepuluh dua.” jelas Viona.
“Emangnya lo ngga tau? Semenjak penampilan dia di pensi tahunan kemarin, seketika namanya sering gue denger di mana-mana. Pas gue kepoin, taunya anak sepuluh dua.” jelas Viona.
‘Pensi? Oh iya, pensi tahunan pas
liburan kemarin kan gue ngga dateng. Hm…’ benak Shinta.
“Heh, kok bengong?” tegur Viona.
“Hah? Ngga kok.”
“Hah? Ngga kok.”
Tring…. Tring… Tring….
“Udah bel, yuk ke kelas. Mau tau siapa wali kelas kita.” ucap
Shinta langsung menggandeng tangan Viona.
Pak Richard sudah ada di dalam kelas. Sepertinya, beliau yang
akan jadi wali kelas. Setahu Shinta, Pak Richard terkenal dengan ketampanannya
sebagai guru sejarah. Siapapun terutama murid cewek, ngga akan rela ketinggalan
jam pelajaran sejarah—kalau yang mengajar Pak Richard—meskipun pelajarannya
sangat membosankan.
Masih ada dua kursi yang kosong—di sebelah meja Shinta dan
Viona. Di sekolah ini, sudah ditentukan agar selalu menerima 40 siswa/siswi di
setiap kelas. Berarti masih ada dua murid yang seharusnya ada di kelas ini.
“Shinta.” panggil seseorang yang duduk di belakangnya.
“Serius cuman gue sama lo aja yang masuk kelas ini? Ah, gila. Yang lain pada masuk kelas mana sih?” tanya Nathan.
“Ya masuk selain kelas ini lah.” jawab Shinta santai.
“Serius cuman gue sama lo aja yang masuk kelas ini? Ah, gila. Yang lain pada masuk kelas mana sih?” tanya Nathan.
“Ya masuk selain kelas ini lah.” jawab Shinta santai.
Nathan menjitak pelan kepala Shinta. Viona hanya menahan tawa
mendengar jawaban Shinta. Ya memang benar sih~
“Selamat pagi anak-anak.” ucap Pak Richard.
“Pagi, Pak.”
“Pagi, Pak.”
Bola mata Pak Richard jatuh pada meja yang kosong.
“Tunggu, seharusnya masih ada yang datang.” ucap Pak Richard.
Tok. Tok.
“Maaf, Pak. Kita telat.” seseorang mewakili temannya untuk
bicara dan masuk ke kelas.
“Ya, silahkan masuk dan duduk di kursi yang tersisa.” ucap Pak Richard.
“Ya, silahkan masuk dan duduk di kursi yang tersisa.” ucap Pak Richard.
“Dari kelas gue bener-bener cuman gue sama Nathan yang masuk
kelas ini.” bisik Shinta. Ada nada kecewa di dalamnya.
“Yaudah, kan ada gue.” Viona tersenyum.
“Yaudah, kan ada gue.” Viona tersenyum.
“Rey, Wa!” ucap Nathan.
“Eh, Nathan! Kita sekelas?” tanya Rey.
“Iya!”
“Aish. Sekelas sama vokalis.” ledek Dewa.
“Eh, Nathan! Kita sekelas?” tanya Rey.
“Iya!”
“Aish. Sekelas sama vokalis.” ledek Dewa.
“Baik anak-anak. Selamat datang di kelas sebelas Sosial dua.
Dan saya di sini akan jadi wali kelas kalian…”
“Yeay! Serius kan Pak?” tanya seorang teman perempuan.
“Iya. Untuk memulai hari ini, mari kita awali dengan perkenalan. Siapa nama kalian, dari kelas mana, dan apa tujuan kalian masuk ke kelas Sosial.”
“Iya. Untuk memulai hari ini, mari kita awali dengan perkenalan. Siapa nama kalian, dari kelas mana, dan apa tujuan kalian masuk ke kelas Sosial.”
“Di mulai dari…….”
~
“Ciye yang cuman berdua dari kelas sepuluh dua. Ehem.” ledek
Dewa yang menghampiri kursi Nathan.
“Jangan-jangan kalian jodoh.” ledek Viona.
“Vi!” Shinta memelototi Viona.
“Jangan-jangan kalian jodoh.” ledek Viona.
“Vi!” Shinta memelototi Viona.
Seseorang melirik Nathan, kemudian melirik Shinta.
Lalu, Nathan, Dewa, dan Rey keluar kelas. Viona dan Shinta
bergegas pergi ke kantin.
Di kantin.
“Eh, kok kita belum dapet jadwal pelajaran ya? Harusnya kan
udah.”
“Mungkin abis jam istirahat ini Shin. Tadi kan Pak Richard udah nentuin organisasi kelas. Paling sekretaris lagi minta ke TU.”
“Semoga ngga lanjut belajar deh hari ini. Masih kurang banget liburannya.”
“Mungkin abis jam istirahat ini Shin. Tadi kan Pak Richard udah nentuin organisasi kelas. Paling sekretaris lagi minta ke TU.”
“Semoga ngga lanjut belajar deh hari ini. Masih kurang banget liburannya.”
Selagi Shinta bicara, Viona tidak terlalu mendengarkan.
Pandangannya teralih karena sesuatu.
“Nathan, Dewa, Rey!” panggilnya.
Sang empunya nama menoleh, lalu menghampiri.
“Meja kita cukup kok buat lima orang.” ucap Viona.
Ketiga cowok di hadapan Viona dan Shinta saling melirik.
“Udah, jangan kelamaan lirik-lirikan. Duduk aja sini. Ngga
papa kan Shin? Temen sekelas ini.” ucap Viona.
“Yaudah, ngga papa. Lagi pula meja yang lain ngga ada yang
kosong.” ucap Rey duduk di sebelah Shinta.
Kemudian Dewa duduk di sebelah Viona, dan Nathan duduk di
sisi yang berbeda dari yang lainnya.
“Kalian berdua ngga makan?” tanya Rey.
“Udah tadi. Eh iya, alasan lo keren banget deh Rey.” puji Viona.
“Keren apanya? Biasa banget gitu. Cuman mau nyusul bokap ke Belanda dan jadi diplomat.” kata Nathan.
“Seenggaknya Rey punya cita-cita dan ngga masuk ke jurusan yang diminati orang lain.” ucap Shinta, menyindir seseorang.
“Udah tadi. Eh iya, alasan lo keren banget deh Rey.” puji Viona.
“Keren apanya? Biasa banget gitu. Cuman mau nyusul bokap ke Belanda dan jadi diplomat.” kata Nathan.
“Seenggaknya Rey punya cita-cita dan ngga masuk ke jurusan yang diminati orang lain.” ucap Shinta, menyindir seseorang.
Nathan melirik dengan tatapan membunuh, namun dibalas senyum
asam oleh Shinta.
“Kalo di sekolah ini ada jurusan Sastra, pasti gue masuk
situ.” ucap Nathan.
“Tapi Than, jadi penulis ngga harus masuk Sastra kok.” ucap Dewa sambil mengunyah makanannya.
“Nah, betul tuh kata Dewa.” ucap Viona.
“Tapi kayanya alasannya Shinta lebih lucu deh. Masuk Sosial karena ngga mau ketemu fisika sama kimia, hahahahahaha!” ucap Rey.
“Itu sih konyol. Hidupnya cuman ngikutin air ngalir, hahahahaha!” ledek Nathan.
“Eh, udah. Tapi ngga ada ikan yang secantik Shinta.” ucap Viona seraya menyubit kedua pipi Shinta.
“Ngga papa Vi, orang sabar dimudahkan jalannya, kok.” ucap Shinta yang membuat Nathan senyum.
“Shin, emang selama ini kaki lo kenapa?” tanya Dewa.
“Kenapa gimana maksudnya?” Shinta malah bingung dengan pertanyaan Dewa.
“Tadi kata lo biar dimudahkan jalannya?” Dewa memasang tatapan innocent.
“Tapi Than, jadi penulis ngga harus masuk Sastra kok.” ucap Dewa sambil mengunyah makanannya.
“Nah, betul tuh kata Dewa.” ucap Viona.
“Tapi kayanya alasannya Shinta lebih lucu deh. Masuk Sosial karena ngga mau ketemu fisika sama kimia, hahahahahaha!” ucap Rey.
“Itu sih konyol. Hidupnya cuman ngikutin air ngalir, hahahahaha!” ledek Nathan.
“Eh, udah. Tapi ngga ada ikan yang secantik Shinta.” ucap Viona seraya menyubit kedua pipi Shinta.
“Ngga papa Vi, orang sabar dimudahkan jalannya, kok.” ucap Shinta yang membuat Nathan senyum.
“Shin, emang selama ini kaki lo kenapa?” tanya Dewa.
“Kenapa gimana maksudnya?” Shinta malah bingung dengan pertanyaan Dewa.
“Tadi kata lo biar dimudahkan jalannya?” Dewa memasang tatapan innocent.
Nathan dan Rey menatap Dewa. Viona menggaruk kepalanya yang
tidak gatal.
“Ada yang salah?” tanya Dewa seraya melirik empat orang yang
berada di hadapannya.
“Iya Wa, biar dimudahkan jalannya. Jalan sama lo, misalnya.”
ucap Shinta.
Dewa tersedak. Kaget mendengar ucapan Shinta.
“Eh, eh, lo kenapa?” tanya Shinta.
“Lo ngga pernah digombalin cewek ya Wa? Sampe kaget gitu.” kata Rey.
“Tau lo, sedih banget.” kata Nathan.
“Bukan gitu…”
“Ahh, udah udah udah, emang dasar aja lo yang jomblo menyedihkan.” kata Nathan.
“Siyal lo! Kaya taken aja lo.” kata Dewa.
“Hahahahahaha!”
“Lo ngga pernah digombalin cewek ya Wa? Sampe kaget gitu.” kata Rey.
“Tau lo, sedih banget.” kata Nathan.
“Bukan gitu…”
“Ahh, udah udah udah, emang dasar aja lo yang jomblo menyedihkan.” kata Nathan.
“Siyal lo! Kaya taken aja lo.” kata Dewa.
“Hahahahahaha!”
Selesai jam pelajaran, Viona meminta Shinta untuk menemaninya
melihat anggota ekskul musik latihan di aula. Saat itu, anggota ekskul musik—Nathan,
Dewa, dan Rey—sudah lebih dulu keluar kelas.
“Ayolah Shin, sekalian gue mau lo ngakuin kalo mereka semua
emang keren.” ucap Viona.
“Apanya yang keren sih? Orang-orang dengan suara kaya mereka mah banyak di pinggir jalan, bawa gitar sambil nenteng bungkus permen, terus ke angkot-angkot deh.”
“Eh, emang pengamen! Mereka kece-kece. Apa lagi ada Kak Teyta.”
“Kak Teyta? Senior yang perfect itu? Ah males ah.”
“Ayolah Shin. Temenin gue. Gue ngga biasa sendiri.”
“Bukannya udah biasa sendiri ya? Hahahaha!”
“Lo mah ah.” Viona cemberut.
“Iya, gue temenin. Pertama dan terakhir.”
“Eh kok gitu?”
“Mau apa engga?”
“Iya.. Iya..”
“Apanya yang keren sih? Orang-orang dengan suara kaya mereka mah banyak di pinggir jalan, bawa gitar sambil nenteng bungkus permen, terus ke angkot-angkot deh.”
“Eh, emang pengamen! Mereka kece-kece. Apa lagi ada Kak Teyta.”
“Kak Teyta? Senior yang perfect itu? Ah males ah.”
“Ayolah Shin. Temenin gue. Gue ngga biasa sendiri.”
“Bukannya udah biasa sendiri ya? Hahahaha!”
“Lo mah ah.” Viona cemberut.
“Iya, gue temenin. Pertama dan terakhir.”
“Eh kok gitu?”
“Mau apa engga?”
“Iya.. Iya..”
Di aula sudah ada beberapa anggota ekskul musik yang
berkumpul. Dan beberapa adik kelas yang sedang menjalani masa orientasi—yang
sengaja datang untuk melihat salah satu ekskul yang ada di sekolah.
Viona dan Shinta sudah duduk di kursi yang tersedia.
Shinta menunggu siapa yang akan berdiri dibalik gitar, bass,
dan duduk di belakang drum. Ia tau siapa yang akan berdiri sambil menggenggam microphone—Teyta.
Suara gitar mulai tertelan melalui telinga Shinta. Suara
indah senior cantik itu membuat Shinta terpesona untuk pertama kalinya.
Kombinasi alunan senar dan suara indah membuat pemilik
jantung sang pemain gitar berdetak lebih cepat.
“When you love someone, you’re heart
beat beats so loud. When you love someone, your feet can’t feel the ground.”
Mata bulat Shinta menangkap sepasang mata.
‘Kenapa tatapannya begitu tajam?’
Ada yang berbisik dalam hati.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar