Cerpen: Finding Nemo



Kalista sedang menikmati makan siangnya setelah melewati perjalanan panjang Ottawa-Jakarta, setelah tiga tahun tinggal di sana karena meneruskan pendidikan selepas SMA. Hari ini Kalista berkunjung ke Jakarta karena sudah lama tidak ke sini, mumpung sedang libur musim panas.
Mommy. Sebuah nama yang tertera di layar ponselnya ketika Kalista baru saja membuka mulut untuk menyantap cheese burger deluxe.
“Hallo, Ma?” Kalista bersuara lebih dulu.
“Dek, kamu udah sampe Jakarta?”
Mamanya selalu begitu, manggil Kalista ‘Dek’ padahal Kalista tidak punya Kakak.
“Udah, Ma. Dari setengah jam yang lalu. Ma, aku pulang ke rumah sama siapa? Oom Jake ngga bisa jemput karena lagi pulang kampung kan? Aku naik taksi aja nih?” tanya Kalista pada Mamanya.
“Kamu tunggu aja ya. Nanti ada yang jemput kamu, Mama udah telepon dia. Tunggu aja.” ucap Mama.
“Siapa? Percuma kalo dia tau aku, tapi aku ngga tau dia. Nanti kalo aku diculik gimana?”
“Hush!”
Kalista kaget saat seseorang duduk di hadapannya. Cowok yang mengenakan kaos belang-belang oren-hitam. Who is he? Tanya Kalista dalam benaknya.
“Ma, nanti aku telepon lagi.” ucap Kalista seraya memutus sambungan dengan Mamanya.
Cowok di hadapan Kalista sedang asyik memainkan ponselnya tanpa melihat Kalista.
“Maaf Mas, siapa ya?” tanya Kalista.
“Udah selesai? Yuk balik.” cowok itu berdiri.
Kalista masih duduk dan melanjutkan makan siangnya.
“Kok ngga berdiri? Lo Kalista kan?” ucap cowok itu.
Kalista melirik cowok itu.
“Lo yang disuruh Mama buat jemput gue?” tanya Kalista.
“Lebih tepatnya nyokap gue yang nyuruh gue jemput lo.”
“Nyokap lo? Ih, gue ngga ngerti deh. Who are you?” tanya Kalista.
“Jangan banyak tanya. Buruan selesaiin makan lo.” kata cowok itu.
Mendengar ucapan cowok itu, Kalista kesal dan langsung menatap cowok itu geram. Kenal juga tidak, tapi bisa-bisanya dia bersikap seperti itu. Aneh!
Setelah selesai makan, Kalista berdiri di hadapan cowok itu.
“Gue udah selesai.”
Tak lama, cowok itu juga berdiri. Bersiap meninggalkan Kalista.
“Eh, Nemo. Tolong bawain koper gue.” Kalista menarik ujung kaos cowok itu.
Nemo?
“Apa kata lo tadi? Nemo?” cowok itu berbalik dan mengrenyitkan dahi.
“Jangan banyak nanya, bawain aja koper gue.” Kalista berjalan meninggalkan cowok itu sambil tersenyum jahil.
Saat mereka sampai di parkiran, Kalista sudah duduk manis di dalam mobil. Sedangkan cowok itu masih sibuk memasukan koper dan bawaan-bawaan Kalista lainnya.
“Lo tuh baru balik dari luar negeri apa mau pulang kampung sih? Banyak banget bawaannya.” gerutu cowok itu seraya masuk ke mobilnya.
“Ya gue kan emang pulang kampung.”
Mereka mulai meninggalkan Bandara Soetta.
“Mo, nyalain musik dong. Sepi banget kaya di kuburan.”
Kalista memang seperti itu orangnya. Tidak bisa jaim sedikit, walaupun sama seseorang yang baru dikenalnya.
“Nyalain aja sendiri.” kata cowok itu.
“Ngga jadi deh.”
Kemudian Kalista memasang headset di kedua telinganya.
“Ren, gue udah di Jakarta nih. Kapan ngumpul? Ajak Mia sama Derby juga.” ucap Kalista yang sedang menelepon temannya melalui headset.
Cowok itu melirik, dilirik balik oleh Kalista.
“Ooh, gitu. Sialan juga si Derby. Giliran gue balik, dia malah berangkat. Yaudah, nanti malem bertiga aja. Nanti gue telepon si Derby buat buru-buru ngambil tiket penerbangan ke Jakarta.” ucap Kalista.
“Oke deh, see you ya.” Kalista mematikan sambungannya.
Lalu ia memutar lagu dari ponselnya, dan mulai bernyanyi serasa tidak ada siapapun di sini.
So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go
'Cause I'm leaving on a jet plane
I don't know when I'll be—“
“Berisik!”
Cowok di samping Kalista melepas headset yang terpasang di telinga kiri Kalista.
“Eh, ih ngeselin deh lo!”
“Lo kan lagi di mobil gue, jadi lo ngga boleh berisik.” kata cowok itu.
“Lo tuh siapa sih? Ngeselin banget!” kesal Kalista.
Kalista mencari kontak Mamanya. Untuk beberapa detik, Kalista mendengar nada sambung dari ponselnya.
“Ma! Aku tuh dijemput siapa sih ini? Kok orangnya senyebelin ini?!” ucap Kalista sambil sesekali melirik cowok di sebelahnya.
“Kamu ngga tau dia siapa?” tanya Mamanya di ujung telepon.
“Engga.”
Mamanya tertawa. “Kalian ngobrol-ngobrol aja, nanti juga tau setelah ngobrol banyak.”
“Maksud Mama?”
“Pokoknya kalian ngobrol-ngobrol aja. Udah ya, Mama lagi nyetir. Bye, Dek.” Mamanya memutus sambungan.
Kalista menoleh ke arah cowok itu.
“Eh, Nemo. Mama gue kenal sama lo?” tanya Kalista dengan seenak dengkul masih memanggil cowok tampan itu ‘Nemo’.
“Kenal. Kali.” jawab cowok itu, datar. Tatapan masih lurus pada jalanan.
“Kalo Mama kenal lo, dan tadi lo bilang lo disuruh nyokap lo buat jemput gue, berarti nyokap lo kenal sama gue dong?”
“Bisa ngga sih ngga usah berisik dan ngga banyak nanya?” cowok itu bicara dengan nada bicara yang keras, membuat Kalista kaget.
Kalista diam. Kalista sebal dengan orang-orang yang bicara dengan nada tinggi. Kalau sudah menghadapi seseorang seperti itu, ia akan langsung diam dan enggan memulai pembicaraan lagi.
Kalista benar-benar diam. Suasana menjadi dingin terlebih saat sedang terjebak macet di bawah guyuran hujan.
Sesekali, cowok itu melirik Kalista. Mata Kalista melihat keluar jendela mobil, memperhatikan rintik-rintik hujan di luar.
“Eh, laper ngga lo?” tanya cowok itu. Kalista diam. “Kalista?” cowok itu menyebut nama Kalista. Kalista mengabaikan dan kemudian memasang headset.
Cowok itu menghela napas panjang.
Sesampainya di rumah, cowok itu langsung mengeluarkan barang bawaan Kalista.
Seorang wanita paruh baya sudah berdiri di depan pintu rumah Kalista, tersenyum saat melihat Kalista turun dari mobil.
“Aunti!” teriak Kalista sambil memeluk wanita paruh baya yang dipanggil Aunti.
“Aunti kangen Non Kalista. Gimana perjalanan dari luar negeri?” tanya Aunti Surti.
“Capek, Aunti. Oh iya, Aunti ngga ikut Oom Jake pulang ke Jogja?”
“Engga. Kalo Aunti ikut Oom Jaka, nanti Non Kalista sama siapa di sini?” Aunti tersenyum.
“Ja-Ka?”
“Oom Jake, maksud Aunti.”
Kalista memang seperti itu. Bik Surti dipanggil Aunti, Pak Jaka dipanggil Oom Jake. Karena sering bolak-balik Jakarta-Amerika, ia tidak biasa memamnggil nama Bik Surti atau Pak Jaka. Jadilah nama unik yang Kalista buat untuk pembantu di rumah dan supirnya.
“Aunti, aku masuk ya, mau ganti baju. Abis ini kita makan makanan yang aku bawa dari sana.” Kalista masuk ke dalam rumahnya.
“Iya Non..” ucap Aunti.
Lalu, Aunti menghampiri cowok yang masih mematung di depan mobilnya sambil memegang koper dan bawaan-bawaan lainnya.
“Mas Abim, makasih ya sudah mengantar non Kalista.” ucap Aunti.
“Iya Bik, sama-sama. Yaudah, saya pamit pulang dulu ya.”
‘Abim?’ benak Kalista. Kalista memutar bola matanya, lalu mengabaikan apa yang ada di pikirannya.
Malamnya, di sebuah Caffe daerah Kemang. Kalista memarkirkan mobilnya di sebelah mobil yang sudah sangat ia kenal.
“Tumben Iren sama Mia ngga ngaret.” kemudian Kalista masuk.
Kalista masuk dan mencari dua temannya.
“Kalista!” teriak seorang perempuan.
“Hai!” Kalista langsung mengambil langkah seribu dan memeluk kedua temannya semasa SMA.
“Parah, kangen lo banget!” ucap Iren.
“Kal, kayanya udah lama banget ya ngga ngeliat lo.” kata Mia.
“Kenapa emang Mi?” tanya Kalista.
“Kok lo kurusan sih.” kata Mia.
“Mi, bukan Kalista yang kurusan, tapi lo aja yang gemukan.” kata Iren.
“Mia tetep cantik mau gendutan juga.” ucap Kalista.
“Oh ya, gimana Derby?” tanya Iren.
“Besok gue suruh balik dari Sydney. Hahaha, jahat banget ya gue?”
“Serius? Dia mau?” tanya Mia.
“Kalo ngga gue yang beliin tiketnya, mana mau dia. Lagian ngga penting banget sih ke sana cuman mau nemuin cowoknya. Dia ngga mikirin kita yang jomblo apa?”
Iren yang sedang minum, langsung tersedak.
“Kita? Lo putus sama Teidra?” tanya Iren.
“Tey mah udah ke laut.” Kalista mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
“Kapan?” tanya Mia.
“Sekitar setahun yang lalu.”
“Alasannya?” tanya Mia, lagi.
“Kenapa deh. Katanya kalo jatuh cinta, ngga butuh alasan. Terus kalo putus kenapa butuh alasan?” tanya Kalista.
Iren dan Mia diam. Kalista membuat teman-temannya berpikir.
“Bener juga sih.” kata Iren.
Kalista melihat seseorang yang belum lama ia lihat. Nemo!
“Nemo? Ngapain dia ke sini?” ucap Kalista, pelan.
“Nemo? Siapa?” tanya Iren.
“Masa lo ngga tau Ren? Itu loh, temennya dori.” kata Mia.
“Yeeh!”
Cowok itu melirik Kalista dari tempat duduknya. Cowok itu, Abimanyu namanya.
Seselesai bertemu dengan Iren dan Mia, mereka berpisah di parkiran.
“Kal, ketemu bareng Derby lagi kapan?” tanya Iren sebelum masuk ke mobilnya.
“Gue udah bilang sama dia, besok kita bertiga jemput dia di bandara. Pada bisa kan?”
“Gue sih besok free. Ngga tau deh si Mia.” kata Iren.
“Bisa kok.” jawab Mia yang sudah duduk manis di dalam mobil Iren.
“Besok dia penerbangan jam 4 sore dari sana, berarti jam 1 siang di sini. Besok setelah zuhur gue jemput kalian.” kata Kalista.
“Oke. Atur aja.” kata Iren.
“Yaudah, balik sana. Udah malem, nanti dimarahin Mama.” ledek Kalista.
“Sialan lo. Kaya lo ngga dimarahin Mama aja.” kata Iren yang sudah menyalakan mesin mobilnya.
“Mama Papa masih di Ottawa.” Kalista meledek kedua temannya sambil menjulurkan lidah.
“Serius? Eh, jangan bandel lo! Langsung pulang ke rumah.” ucap Mia.
“Masih jam sepuluh. Masih sore.”
“Ta, jangan macem-macem deh mentang-mentang ngga ada orang tua di rumah.” kata Iren.
“Hahahahaha! Bawel lo, udah sana.”
“Kita duluan ya Kal, hati-hati lo baliknya.” kata Iren.
Mobil Iren mulai menjauh dari Caffe. Baru saja hendak masuk mobil, Abim keluar dari Caffe.
“Lo mau langsung pulang kan?” tanya Abim yan membuat Kalista kaget.
“Emangnya kenapa kalo ngga langsung pulang?” Kalista bertanya balik.
“Ngga. Nanya aja. Tinggal mobil lo di sini aja, nanti gue telepon orang buat nganter mobil lo ke rumah. Lo balik sama gue.”
“Eh, lo itu siapa sih? Lo kenal banget gue emang? Kok sikap lo seolah-olah udah deket banget sama gue.”
“Emangnya kalo iya, kenapa?”
“Ya lo siapa?” Kalista mulai kesal.
Abim diam.
“Pokoknya lo harus gue anter. Langsung pulang ke rumah.”
“Ngga. Gue ada janji sama orang, minggir ah.” Kalista membuka pintu mobilnya.
“Kal, percaya sama gue. Gue kenal baik sama lo. Jadi ngga usah mikir aneh-aneh.”
“Ngga mau.”
Abim menarik tangan Kalista.
“Eh! Lepas ngga!” ucap Kalista, buru-buru Abim memaksanya masuk ke dalam mobilnya.
Di dalam mobil, Kalista hanya memainkan ponselnya.
“Nemo.” panggil Kalista.
“Gue bukan Nemo. Visi misi lo manggil gue Nemo tuh apa? Nama gue Abim.”
“Lagian pas pertama ketemu, lo ngga jawab pertanyaan gue tentang siapa nama lo. Karena lo pake kaos belang-belang oren-hitam, yaudah gue panggil Nemo aja.”
“Apa gue perlu manggil lo Dori karena sekarang lo pake baju biru?” ledek Abim.
“Apaan deh. Lo kan udah tau nama gue.”
Abim tersenyum.
Keesokan harinya, ketika Kalista hendak pergi menjemput Iren dan Mia, ia baru sadar bahwa semalam pulang tanpa mobil.
“Dasar pembohong!” kesal Kalista. “Gue mau telepon Abim tapi ngga punya nomornya. Gimana ya?” Kalista berpikir keras. “Aah, Aunti!” Kalista masuk lagi ke dalam rumahnya, bertanya pada Aunti.
“Aunti, kayanya kan Aunti kenal deket ya sama Abim. Punya nomor teleponnya ngga?”
“Bukannya Non Kalista lebih kenal deket ya sama Mas Abim?”
“Aku kenal deket sama dia? Ketemu dia aja baru dua hari yang lalu di bandara.”
“Masa sih?” Aunti jadi kebingungan sendiri.
“Tapi kayanya dia kenal aku banget deh. Dia tuh siapa ya? Ih, aneh.”
“Non Kalista ngga ingat Mas Abim?”
“Inget Abim? Emang aku pernah kenal dia sebelumnya?”
Aunti seperti mengingat sesuatu.
“Ngga Non, ngga papa.”
“Yaudah, Aunti punya nomornya Abim ngga?”
“Sebentar, Aunti lihat dulu ya. Kayanya sih ada.”
Setelah menemukan nomor ponsel Abim, Kalista langsung menghubunginya.
“Nemo sang pembual. Di mana mobil gue?!” tanya Kalista.
“Semalem gue lupa bilang, orang yang nganterin mobil lo baru bisa ngambilnya barusan. Hahahaha, maaf ya. Tungguin aja. Paling setengah jam lagi nyampe.”
Kalista melirik arlojinya. 12.30 PM.
“Kalo gitu gue ngga mau tau. Buruan lo ke rumah gue, gue pinjem mobil lo. Gue mau jemput temen-temen gue. Lima belas menit dari sekarang.”
“Ngga mau.”
“Abim! Tanggung jawab!” kesal Kalista.
“Gue ngga mau.”
Kalista langsung memutus sambungan. Abim malah terkikik.
Akhirnya Kalista pergi ke rumah Iren naik taksi.
~
“Jadi mobil lo masih di Caffe yang semalem?” tanya Iren ketika Kalista baru sampai rumahnya.
“Iya. Udah deh yuk ah, pake mobil lo dulu. Udah mau jam satu, nanti telat.”
“Iya bentar, gue ganti baju dulu.” Iren masuk ke kamarnya.
“Buruan, kita juga harus jemput Mia dulu.”
Sepuluh menit kemudian, Kalista dan Iren pergi menjemput Mia lalu langsung melesat ke bandara.
Sesampainya di bandara, mereka bertiga menunggu kedatangan Derby di salah satu restoran cepat saji.
“Kal, udah ngasih tau Derby kalo kita di sini?” tanya Mia.
“Udah kok. Paling bentar lagi batang hidungnya kelihatan.” jawab Kalista.
Semenit kemudian.
“KALISTA, IREN, MIA!” teriak Derby. Derby langsung memeluk ketiga teman-temannya.
“Kal gue kangen banget sama lo!” ucap Derby.
“Jadi ngga kangen gue nih?” kata Mia.
“Uuuu, baper! Kangen lah.”
“Mi, wajarlah Derby paling kangen sama Kalista. Udah tiga tahun ngga ketemu. Kita berdua kan baru ketemu Derby sebulan yang lalu.” ucap Iren.
Mia memang anaknya begitu. Telmi, alias telat mikir.
“Oh, iya ya..”
“Ngomong-ngomong, gimana sama Abimanyu?” tanya Derby.
Derby memang teman yang paling dekat dengan Kalista. Derby tahu semua tentang percintaan Kalista.
“Abimanyu? Kok lo kenal dia sih?” tanya Kalista.
Derby melirik Iren dan Mia. Iren menggeleng pelan.
“Jadi lo belum inget?” tanya Derby.
“Inget? Inget apaan?” tanya Kalista yang memasang tatapan bingung.
“Ngga, ngga papa.” kata Derby.
Kalista berpikir keras saat mengingat ucapan Aunti dan Derby. Mama juga pernah bilang hal yang mengganjal. Sebenarnya, siapa Abimanyu?
Tengah malam sekitar pukul setengah satu pagi.
“Lo dari mana aja?” tanya seorang cowok yang duduk di sofa ruang tv.
“Ngapain lo di sini?” tanya Kalista.
“Aunti lo nyuruh gue ke sini, karena dia ada urusan mendadak jadi harus pergi ke Jogja.”
Kalista mengabaikannya.
“Kalista. Gue nanya lo. Lo dari mana jam segini baru pulang?” tanya Abim.
Kalista menghentikan langkahnya. Diam, dan mulai meneteskan air mata.
“Abis nyari seseorang. Orang yang udah lama banget mau gue temuin. Terakhir ketemu dia, tiga tahun yang lalu, pas dia nganterin gue ke Amerika.”
“Siapa?” tanya Abim.
Kalista berbalik menghadap Abim.
“Lo ngga akan kenal dia.” ucap Kalista.
Kalista menangis. Abim mendekat dan meraih pundak Kalista.
“Nangis sampe lo puas, Kal.” ucap Abim seraya membelai rambut Kalista.
Bau ini. Wangi parfum ini. Kepala Kalista tiba-tiba sakit. Ia memegangi kepalanya.
“Kal, lo kenapa?” tanya Abim.
“Kepala gue. Sakit.” Kalista mengeram kesakitan. Ada bayangan masa lalu yang terlihat di matanya.
“Kenapa harus Amerika sih Kal? Kalo lo jauh, gue kan jadi ngga bisa noyor kepala lo lagi.” ucap Abimanyu.
“Lo bisa sesekali ke sini. Gue juga bisa sesekali ke Jakarta. Kaya kita hidup di hutan belantara aja sih. Kan internet udah canggih.” ucap Kalista.
-
“Gue Teidra. Kayanya kita sama-sama dari Jakarta ya?”
“Nama gue Kalista. Iya sih kayanya. Seneng bisa ketemu temen yang sama-sama dari Jakarta.” Kalista tersenyum ketika bertemu dengan teman yang sama-sama dari Indonesia.
-
“Bi, gue jadian sama cowok Bi! Dan ternyata dia juga orang Indo. Kapan-kapan gue kenalin ke lo ya.”
“Jadian? Namanya siapa? Kok lo ngelanggar janji kita sih? Kita berdua kan udah janji supaya ngga ada yang pacaran sampe lulus kuliah. Curang lo!” ucap Abim di telepon.
“Hahahaha. Tapi takdir berkata lain, Bi. Oh iya, kalo ketemu Derby, Mia, sama Iren, salam ke mereka ya. Bilang kalo gue kangen banget sama mereka.”
“Lo ngga kangen sama gue?”
“Engga, biasa aja.”
“Serius lo?
“Bercanda deh! Kangen lo banget kok. I swear.”
“Kalo kangen, ya ke sini lah.”
“Nanti ya. Gue juga niatnya mau ke Jakarta sama Teidra.”
“Nama cowok lo?”
“Yes! He is so handsome… more than you!” ledek Kalista.
“Ya gue mah apa. Kalo gue ganteng, yang jadi pacar lo bukan Teidra. Tapi gue.”
“Hahahahaha. Udah ah jangan sedih-sedihan. Gue lagi seneng tauk.”
-
“Kal, lo ngga papa?” Abim mengelus pipi Kalista.
Tatapan Kalista masih buyar. Kalista memegan kedua pipi Abim.
“Kal?”
“Kepala gue pusing banget, Bi.”
“Bi?”
Kemudian Kalista pingsan.
Keesokan pagi menjelang siang. Kalista membuka kedua matanya perlahan. Ia menatap segala sesuatu yang ada di depan matanya.
“Kal, lo udah sadar?” Derby menghampiri Kalista. Kemudian disusul Mia dan Iren.
Kalista berusaha bangun.
“Jangan terlalu banya gerak. Tiduran aja, ngga papa kok.” ucap Iren.
“Gue di mana?” tanya Kalista.
“Lo di rumah sakit. Semalem lo pingsan dan langsung dibawa ke sini.” jawab Derby.
“Oh iya, tadi Mama lo telepon. Mama lo minta kita-kita buat jagain lo.” kata Mia.
“Yang bawa gue ke sini siapa?” tanya Kalista.
Derby, Iren, dan Mia kompak menoleh ke seseorang yang sedang berbaring di sofa.
“Abi?”
“Lo udah inget?” tanya Derby dengan mata terbelalak.
Kalista menghembuskan napas.
Kecelakaan satu tahun yang lalu, setelah Kalista putus dengan Teidra. Saat itu Kalista mengalami benturan keras di kepalanya, sampai membuatnya lupa ingatan.
Sejak saat itu, mungkin hingga kemarin. Kalista hanya lupa dengan Abimanyu. Dokter di sana bilang, bahwa seseorang yang benar-benar melekat di pikiran dan kehidupan Kalista yang justru sangat sulit untuk diingat.
“Iya. Gue udah inget semuanya.”
Kalista melepas infus yang menempel di tangannya, bangun dan menghampiri Abim yang sedang tidur di atas sofa.
Kalista meneteskan air mata sambil memegang tangan Abim.
Perlahan, Abim membuka matanya. Saat sadar kalau Kalista ada di hadapannya, Abim langsung bangun dari tidurnya.
“Kal, lo udah sadar?” tanya Abim yang memegang pundak Kalista. “Lo kenapa? Kok nangis?” tanya Abim.
Kalista memeluk Abim.
Abim melirik Derby, Iren, dan Mia. Tapi ketiga teman Kalista hanya melempar senyum.
“Kenapa cuman lo yang gue lupa. Kenapa lo ngga pernah berusaha buat bikin gue inget sama lo.” Kalista menangis di pelukan Abim.
“Karena gue yakin, dengan gue selalu di samping lo, pasti ada saatnya lo inget semuanya.” ucap Abim.
“Percuma kalo gue marah sama lo tentang hari kemarin. Gue bener-bener udah inget semuanya, Bi.”
Kalista  melepas pelukannya. Abim menghapus air mata Kalista.
“Kal, gue bener-bener ngga deket sama cewek manapun di kampus. Gue terus-terusan kepikiran lo setiap kali deket sama cewek.”
“Satu tahun lagi.” ucap Kalista.
“Akhirnya setelah sekian lama Abim menghilang dari dalam pikiran Kalista, sekarang udah ketemu ya Kal.” ucap Derby yang duduk di samping Kalista.
“Ren, fix, cuman kita berdua sekarang yang jomblo.” kata Mia sambil merangkul Iren.
“Dari kita berempat, selain Derby siapa lagi yang punya pacar?” tanya Kalista.
“Lo lah! Pake nanya.” kata Iren.
“Gue ngga jadian sama Abi.” ucap Kalisata yang kemudian melirik cowok di sebelahnya.
“Ya gue mah tunggu Kalista nembak gue aja.” kata Abim.
“Dih, kok gue sih?!” Kalista menatap Abim sengit.
“Jadi lo nunggu gue tembak nih?”
Kalista diam.
~
“Gimana rasanya udah balik jadi Kalista yang dulu?” tanya Abim.
“Seneng.”
“Seneng doang?”
“Emang mau apa lagi?”
“Ah, lo emang ngga kasihan sama gue, Kal. Gue bener-bener marah waktu jemput lo di bandara. Gue pikir lo udah inget sama gue, ternyata belum.”
“Ya udahlah, itu kan dulu. Yang penting sekarang gue udah inget semuanya.”
“Iya. Dan udah harus balik ke kehidupan semula juga.”
Kalista tersenyum melihat wajah bete Abim.
“Kenapa sih? Kok bete gitu.”
“Kesel aja kenapa sebulan itu cepet banget. Lagian kan lo masuk kuliah masih dua minggu lagi. Kenapa balik sekarang coba?”
“Banyak yang harus gue urus Bi di sana.”
“Rasanya mau ngambil cuti buat ikut lo ke Amrik.”
“Kalo cuti mulu, lulusnya kapan? Terus kita jadiannya kapan?”
“Kalista!”
“Hahahaha. Apa?”
“Kita udah jadian!”
“Janji kita kan setelah lulus, Bi.”
“Anggap aja kalo gue lupa. Lagian lo juga udah ngelanggar. Jadi janjinya udah ngga ada.”
“Kok gitu?”
“Pokoknya kita udah jadian. Dan dikit lagi gue bakal ngerasain yang namanya LDR.”
Kalista tertawa. Kemudian hening.
“Bi, gue seneng.”
“Karena gue kan?” Abim tersenyum.
Kalista menopang dagunya sambil memperhatikan Abim menyetir.
“Kenapa?” tanya Abim sambil mencubit hidung mancung Kalista.
“Aaah! Sakit.” Kalista berusaha melepaskan cubitan tangan Abim.
Abim tertawa.
Kalista mencium pipi kiri Abim. Sontak Abim langsung menoleh ke arah Kalista. Tapi Kalista malah melebarkan bola matanya sembari tersenyum.
“Genit lo!”
Mereka tertawa bersama, hingga akhirnya mobil Abim sudah memasuki kawasan Bandara Soekarno-Hatta.
END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]