Complicated [Enam - Trouble]
Keesokan harinya.
Tangan jahil temanku
mulai bermain. Sofi iseng memotretku dengan seseorang yang berdiri di sebelahku,
Farel. Meskipun dengan ketidakkesengajaan, tapi itu adalah foto pertamaku
dengannya. Aku cukup senang. Hari itu aku tidak pulang bareng dengannya, aku
pergi ke suatu tempat bersama Sofi. Dia pun mengertiku. Seperti biasanya,
ponselku tidak berdering sedikitpun, tidak bergetar, tidak ada satu pesan dari
siapapun, yang kuharap ada pesan dari Farel. Dia ke mana? Mungkin aku telah
terbiasa kalau setiap harinya tidak dikirimi sms olehnya.
Besoknya, ada upacara
sebelum libur idul fitri. Kami masih baik-baik saja. Namun, barisan aku dan Farel
berada jauh. Aku di depan, dia di belakang.
“Yuk, pulang.”
“Iya, nanti dulu, bareng sama yang lain.” kataku beralasan menunggu ketiga temanku dulu.
“Ayuk ahh, panas nihh.” katanya dengan malas-malasan.
“Iya, nanti dulu, bareng sama yang lain.” kataku beralasan menunggu ketiga temanku dulu.
“Ayuk ahh, panas nihh.” katanya dengan malas-malasan.
Kuturuti keinginannya,
kami pulang. Tak ada percakapan di sepanjang perjalanan menuju parkiran. Entah
apa yang membuatnya bungkam. Malasku pun menyerang.
Di motor, aku tidak mau
keadaan segaring kerupuk. Sebisa mungkin aku ciptakan percakapan, namun apa mau
dikata, pita suaraku seakan tertahan, tidak punya topik untuk dibicarakan. Kami
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kulihat wajahnya dari kaca spion,
sungguh, dia memasang wajah yang sangat badmood.
Aku tak tau dia kenapa.
“Tadi kamu sudah maju bahasa
Indonesia?” aku menghancurkan kediaman kami.
“Sudah.” tapi dia seakan akan tak mau ada pembicaraan.
“Sudah.” tapi dia seakan akan tak mau ada pembicaraan.
Yasudah, kalau memang
tak mau ada pembicaraan, kita diam saja. Aku dan dia diam sampai titik akhir
dia mengantarku pulang.
Sesampainya, aku hanya
bilang terimakasih padanya, tak berucap apa-apa lagi. Dia diam, aku pun diam. Aku
benar-benar malas untuk berdebat saat itu. Sampai larut pun dia tidak memberi
kabar apa-apa. Dia hanya mengabariku lewat pesan facebook. Aku benar-benar
kesal, tak tau harus melakukan apa-apa.
Aku hanya manusia
biasa, yang punya perasaan, yang punya batas kesabaran, yang berhak marah jika
emosi sudah lewat batasku. Aku menyerah, aku bingung, aku pun harus ikhlas
merelakan perasaanku.
“Kalau
kita berpacaran hanya untuk status, lebih baik kita berteman baik saja.”
Entah mengapa jariku
mengetik kalimat itu. Sedih sebenarnya, sakit sebenarnya, tapi bukankah lebih
sakit lagi jika aku mempertahnkan semua ini? Aku mencintainya, aku
menyayanginya, aku tak ingin kehilangannya, aku ingin mempertahankan semua, tapi
aku tak bisa. Sikapnya keras seperti batu. Aku tak sanggup bertahan dalam
ketidakjelasan ini. Dia tidak menggantungkanku, tapi apa jadinya jika suatu
hubungan tanpa komunikasi? Aku merasa ini hanya perjuangan seorang diri, dan
hanya aku yang berjuang.
“Yasudah
jika itu yang kamu mau. Terimakasih ya selama ini sudah mau menjadi kekasihku. Maafkan
aku kalau aku ada kesalahan. Aku ingin kita tetap berteman baik. Aku ngga mau
kita seperti teman-teman yang lain, sudah putus menjadi musuh, aku ngga mau
seperti itu. Kamu mau kan tetap berteman baik denganku?”
“Okey,
mauku juga seperti itu. Aku masih ingin berteman baik denganmu, aku ngga mau
menjadi musuh.”
Setelah itu, percakapan
kami sedikit agak canggung. Kami bukanlah lagi sepasang kekasih, tak akan lagi
pulang bersama, tak akan ada lagi yang menyuruhku salat, tak ada lagi yang
menungguku rapat KIR, tak ada lagi yang membuatku menunggu, dan mungkin tak ada
lagi yang membuatku menangis.
Tak ada lagi yang
membuatku menangis? Tapi, setelah kejadian ini, air mataku semakin menjadi-jadi,
isak di dadaku benar-benar sakit. Aku sulit bernapas pagi ini. Mataku sakit. Pikiranku
tak menentu. Namun aku berusaha menahan semuanya. Aku sedang beribadah, aku
harus menahan emosiku sampai saatnya tiba.
Menjalin hubungan dan
memutuskan hubungan. Tak ada perbedaannya. Hanya status saja yang berbeda. Saat
malam tiba, aku berpikir, aku bukanlah lagi kekasihnya. Bagaimana saat masuk
sekolah setelah hari raya nanti?
Kami kembali seperti
dulu. Saat pertama aku menolaknya. Canggung. Tapi, apakah dia membenciku? Aku
tidak tau. Yang jelas, hariku lebih banyak senyum dibanding saat masih
bersamanya. Bukan aku dan Farel yang menyesalkan keputusan ini, melainkan teman-temanku
dan teman-teman yang lain yang menyaksikan kami bukanlah lagi dua orang yang selalu bersama.
Dua bulan, delapan
hari. Bisakah sesingkat itu disebut menjalin kasih? Jarak waktu segitu,
dibilang PDKT pun kurang. Senyum yang aku perlihatkan kepada mereka ternyata
palsu. Aku masih suka termenung saat melihatnya. Positifku, kita akan jadi
teman baik. Farel bukanlah lagi kekasihku. Sikapnya menunjukkan kebiasaan sama
sekali terhadapku. Aku juga bisa, walau sebenarnya masih sangat sulit untuk
mengikhlaskannya.
“Entah kenapa. Aku
sangat yakin, bahwa suatu saat nanti aku akan kembali padanya.” aku bicara
begitu pada ketiga temanku. Mereka hanya bisa menghela napas.
Sepulang sekolah, di
depan gerbang.
“Lun, sebenarnya Farel
sudah menyukai seseorang sebelum dia jadian sama kamu.” cerita temanku, Bella.
Bayangkan, betapa
sakitnya jadi aku. Menjalin kasih dengan seseorang yang sudah menyimpan rasa
untuk orang lain. Perih, bukan?
Aku tidak bisa
berkomentar sedikitpun. Aku hanya tidak percaya, mengapa Farel sejahat itu
padaku. Itukah alasan dia mengapa tidak pernah menghubungiku selagi di rumah?
BBM-an sampai tidak ingat punya kekasih. Aku diam, tidak percaya dan tidak
terlalu menanggapi cerita Bella.
“Itu haknya Bell,
sekarang aku sudah tidak ada alasan apapun untuk marah. Farel bukan siapa-siapaku
lagi. Jadi, itu urusan dia.” aku sudah terlanjur sakit dengan semuanya. Aku
tidak menutup hati untuk siapapun.
Mulutku selalu
berbicara “Aku bisa tanpanya”, tapi kenyataannya terselip kata “Tidak” setelah aku.
Aku sudah membohongi hatiku. Namun mau bagaimana lagi? Sikapnya benar-benar
membunuhku perlahan. Aku disiksanya dengan sikap ketidakpekaannya dan
kecuekannya. Keinginan untuk seperti dulu ada, tapi bagaimana kalau sikapnya
masih seperti dulu? Aku takut. Aku tidak ingin mengambil risiko lebih berat
lagi. Aku hanya yakin, Farel akan menyesal suatu saat nanti.
Sampai saatnya temanku
di ekskul KIR minta nomer teleponku.
He’s
the savior.
Dia penyelamat hatiku
sebelum hatiku terlalu jauh tenggelam. Sebelum hatiku tenggelam terlalu dalam. Rama
orang yang asik. Aku merasakannya saat berkomunikasi lewat twitter. Dia baik,
sedikit frontal, tapi dia asik. Tapi saat bertemu langsung, dia jadi pendiam. Mengapa?
Entah.
Komentar
Posting Komentar