Complicated [Lima - Sad]
2 pekan bersamanya. Cukup
ada senyum yang terselip, walaupun masih ada kegalauan yang selalu kututupi.
Tanggal 19, aku dan
teman-temanku yang lain, yang tergabung dalam ekstrakulikuler KIR di sekolah,
berangkat ke Sukabumi dengan tujuan ekspedisi tahunan. Aku benar-benar berharap
ada pesan-pesan yang sedikit posesif dari
Farel. Meneleponku pagi-pagi hanya untuk bilang “Hati hati sayang. Sebelum
berangkat, cek kembali bawaanmu, apakah sudah semua atau belum, kamu sudah
makan? Kamu jangan aneh-aneh ya di sana. Jaga kesehatan, jangan lepas dari
pembimbing. Aku mengantarmu sampai bus ya?”.
Tapi pada kenyataannya,
ia tidak begitu. Ya. Itu hanya khayalanku yang tak akan terjadi.
Harus aku lagi yang
menghubunginya duluan. Tapi apa? Sms dariku tidak dibalas. Mungkin masih tidur.
Itu pikir positifku. Tapi iseng, aku pinjam ponsel Sofi, dan mengirim BBM ke Farel,
selang beberapa detik, ada balasan.
Menurutmu, sakitkah
jika pesanmu lebih dulu kau kirim, namun tidak ada balasan, tapi di kontak
orang lain, dia cepat membalasnya? Sakit bukan?
Sakit bukan main!
Di tanggal 4 pertama,
akulah yang mengucapkan lebih dulu. Jam dua belas lewat sedikit aku mengucapkan
“Selamat tanggal empat, Rel.”, namun tanggapannya garing, seperti tidak ada apa-apa.
Mungkin baginya, hari peringatan itu tidak penting. Fine, aku pahami hatinya.
Enam hari kemudian, aku
ulang tahun. Aku benar-benar berharap dia lah yang pertama memberi ucapan,
meneleponku kalau perlu. Sengaja, aku mengajaknya sms-an sampai malam, sehari
sebelum hari ulang tahunku. Aku dan dia sama sekali tidak membahas tanggal 10
esok. Apakah dia lupa? Atau mungkin dia tidak tau?
Beberapa menit sebelum
jam dua belas, aku tidur. Berharap ketika bangun, nama Farel ada di paling
bawah karena mengucapkan paling pertama. Entah apa yang membangunkanku, jam
satu pagi aku terbangun. Ku cek ponsel ada tiga pesan. Berharap ada dari Farel.
Yap! Temanku, Dini yang paling pertama mengucapkan. Yang kedua dari ayahku, dan
yang ketiga dari sahabatku sejak SMP, Hana.
Aku tersenyum menahan
tangis, tidak ada pesan apapun dari Farel. Apakah ini surprise? Aku tidak mengerti. Aku membuka akun twitterku. Kakak
kelasku yang kukenal ketika ekspedisi tahunan, ia mengucapkan selamat ulang
tahun padaku. Setelah itu, aku melanjutkan tidurku. Sekitar jam setengah tiga
pagi, aku terbangun. Aku tidak mengerti kenapa begitu. Mungkinkah aku sangat
berharap Farel mengucapkan selamat ulang tahun untukku?
Aku mengecek ponselku. Ada
pesan darinya. Kupikir aku akan tersenyum lega membacanya. Tapi nyatanya, seperti
ingin meneteskan sesuatu.
From: Farel
Sayang, selamat ulang tahun ya. Maaf aku lupa L semoga panjang umur, tambah cantik, tambah pinter, dan berbakti sama orangtua kamu. Maaf aku ngga bisa kasih kamu sesuatu.
Sayang, selamat ulang tahun ya. Maaf aku lupa L semoga panjang umur, tambah cantik, tambah pinter, dan berbakti sama orangtua kamu. Maaf aku ngga bisa kasih kamu sesuatu.
Tak terselip harapan “Semoga
kita langgeng.” kah? Padahal, temanku menyelipkan doa itu untukku dan Farel. Tidak
apa. Yang menyakitkan bagiku, mengapa ada kata Lupa? Apa mungkin ingatannya
sudah tidak mampu mengingat dua digit tanggal lahirku? Apa otaknya tidak bisa
menampung tanggal itu? Apa yang ada dipikirannya saat itu?
Aku tidak mau
memperpanjang ini. Tak apa, yang penting ia mengucapkan dan ada doa untukku. Sebenarnya,
perasaanku sudah tidak seenak dulu. Setiap hari aku hanya membahas kesedihanku
karena Farel. Bukankah harusnya menceritakan kesenangannya bersama kekasih? Menurutku,
senang karenanya bisa terhitung jari selama satu bulan menjalin dengannya.
Liburan semester akan
selesai beberapa hari lagi dan aku akan menjadi siswa kelas dua SMA di
sekolahku. Aku masuk dikelas 11 IPA 2 bersama ketiga temanku, begitupun Farel. Hari
pertama di kelas 11. Baru masuk saja, aku sudah bercerita tentang kegalauanku
karena Farel pada teman-temanku. Aku tidak melanjutkan ceritaku, karena dari
sudut tangga, Farel datang. Ia melewatiku, namun tak ada sapaan, hanya senyuman
yang entah ikhlas atau terpaksa. Dia menghampiri teman-temannya, termasuk Farah.
Aku? Oh, mungkin hanya iklan.
Adzan zuhur sudah
berkumandang dan seharusnya para siswa melaksanakan salat, tapi aku masih duduk
santai di kursiku.
“Salat Lun.” kata
Farel.
“Iya, nanti.” jawabku, datar.
“Iya, nanti.” jawabku, datar.
Kebiasaan burukku
adalah selalu menunda salat, sekalipun Farel yang menyuruh.
“Sekarang.”
“Iya, nanti, sama teman-temanku juga.”
“Emang salat sendiri kenapa sih?”
“Iya, nanti, sama teman-temanku juga.”
“Emang salat sendiri kenapa sih?”
Tak sempat kujawab
pertanyaannya yang menunjukkan seolah ia sudah kesal. Dia keluar, mungkin salat.
Aku, Marsha, dan Rina
keluar kelas. Sofi? Ia tidak masuk hari itu. Aku melihat Farel di depan meja
piket. Sedang mengobrol dengan teman-temannya. Tak memperdulikan aku lewat. Aku
dan temanku salat di mushola. Selesai salat zuhur, kukira aku akan bertemu Farel.
Oh mungkin dia sudah salat selagi aku di kantin tadi. Karena sebelum ke
mushola, aku ke kantin dulu.
Aku kembali ke kelas. Apa
yang kudapati? Aku lihat Farel tertidur di kursi paling belakang. Aku tidak
tega membangunkannya. Apa selesai salat, dia langsung tertidur? Sepertinya
tidak. Tidak mungkin sekilat itu. Dari lantai tiga ke lantai satu, kembali lagi
ke lantai tiga cukup memakan waktu lho. Kusimpulkan, Farel tidak salat.
Saat bel pulang sekolah
dan saat dia mengajakku pulang.
“Yuk, pulang.” dengan mata merah ia bicara itu.
“Kamu salat dulu.”
“Yuk, pulang.” dengan mata merah ia bicara itu.
“Kamu salat dulu.”
Dia malah tertawa. Mengikuti
Rina dan Marsha yang menertawakannya.
“Iya, nanti di rumah aja.
Yuk pulang, aku ngantuk banget.”
“Lihat sekarang jam berapa. Udah hampir setengah tiga. Kamu salat di sini aja.”
“Nanti aja di rumah, keburu kok. Yuk, aku ngantuk.”
“Pokoknya kamu salat di sini. Nanti sampai rumah takutnya kamu langsung tidur.”
“Engga, aku langsung salat sampai rumah.”
“Lihat sekarang jam berapa. Udah hampir setengah tiga. Kamu salat di sini aja.”
“Nanti aja di rumah, keburu kok. Yuk, aku ngantuk.”
“Pokoknya kamu salat di sini. Nanti sampai rumah takutnya kamu langsung tidur.”
“Engga, aku langsung salat sampai rumah.”
Siapa yang akan
menjamin ucapannya? Aku tidak percaya.
“Yaudah, kalau kamu ngga salat di sini, aku minta jemput.”
“Eh iya iya iya. Aku salat.”
“Yaudah, kalau kamu ngga salat di sini, aku minta jemput.”
“Eh iya iya iya. Aku salat.”
Apa sih maksudnya dia? Menyuruhku
salat, tapi dia malah tidur. Keterlaluan. Bisakah ini disebut kebohongan?
Lagi-lagi kami harus
menjenguk Desi yang masuk Rumah Sakit, ia terkena penyakit tipus. Selagi
ngobrol bersama Desi dan ibunya, Farel terus mengajak pulang. Kenapa sih dia? Di
motor pun dia hanya melihat jam yang melingkar di tangannya. Mau bertanya, tapi
aku takut.
Di rumah, ku sms saja. Ternyata
dia mau pergi ke Grogol. Aku sudah sangat benci kalau dia mau pergi ke Grogol
atau MTA (Mall Taman Anggrek). Sekali, dia pernah mengajakku ke MTA, tapi aku
menolak. Mengapa aku benci? Dia lupa denganku kalau sudah ke Grogol. Entah
tempat apa itu. Sebenarnya sih bukan hanya saat dia ke Grogol lupa dengankunya.
Setiap harinya pun mungkin lupa denganku, tapi aku sabar.
Aku ingat. Dia dan
keluarganya berlibur ke Pulau Seribu. Pergi pagi-pagi hari. Dia mengirim sms
padaku hanya untuk minta ditemani karena dia kesepian. Apakah dia sms aku
duluan kalau hanya kesepian? Aku relakan membuka mataku yang masih lengket itu
hanya untuk menemani dia sms-an. Seenak hatinya, dia mengirim pesan singkat,
From: Farel
Yaudah ya sayang, aku mau tidur dulu, masih ngantuk banget. Nanti aku kabarin lagi ya.
Yaudah ya sayang, aku mau tidur dulu, masih ngantuk banget. Nanti aku kabarin lagi ya.
Good
job!
Mataku sudah terlatih untuk menemani pagimu, setelah mataku terbuka lebar-lebar,
kamu meninggalkanku. Aku menunggu sekitar enam jam, baru dia ada kabar. Itu pun
aku yang mengirim pesan singkat untuknya.
From: Farel
Aku sudah sampai lokasi, sayang.
Aku sudah sampai lokasi, sayang.
Setelah kubalas pesan
singkatnya, dia tidak membalas pesan singkatku lagi. Namanya juga liburan,
waktu yang sangat singkat untuk siswa semacam kami. Tapi kan tidak harus
melupakanku juga. Ya, itulah dia. Keseringan lupa denganku. Apa mungkin tak
ingat ya?
Jam satu, jam dua, jam
tiga, sampai jam sepuluh malam dia tidak ada kabarnya. Ke mana dia? Ditelan hiu
kah? Atau terbawa ombak? Apa mungkin tersangkut ke palung laut? Mataku tidak
sanggup untuk menunggu kabar darinya. Aku tertidur. Hingga paginya aku bangun,
ada satu pesan darinya. Dia mengirim pesan singkat sekitar jam satu pagi. Dua
belas jam tanpa kabar. Aku tetap sabar. Karena dia kan sedang liburan, ku
wajarkan itu.
Esok harinya ya seperti
biasa. Sms seperti niat tidak niat. Hilang-hilangan, lebih baik kutinggal
tidur. Toh dia pun tidak mencariku. Sebenarnya, dalam detik menunggunya, aku
berusaha menahan butiran yang ingin sekali keluar dari kelopak mataku. Tapi
susah. Sangat susah.
Adakah kekasih yang
meninggalkan kekasihnya selama dua belas jam? Sekalipun ada, itu sudah di ujung
jalan atau mungkin memang ada sesuatu yang mengharuskan tidak memberi kabar, dan
sekalipun ada, itu hanya aku. Hanya aku dan dia.
Saat dia dan
keluarganya pergi ke Bandung, aku sudah khawatir, dia tidak akan menghubungiku.
Benar saja. Alasan yang tidak masuk di akal. Chargenya ketinggalan di Jakarta,
jadi tidak bisa menghubungiku. Memang ibunya tidak punya ponsel? Papanya? Kakaknya?
Saudaranya?
Aku tidak menuntutnya
untuk menghubungiku tiap menit, setidaknya dia memberi kabar supaya aku tidak
khawatir. Apa sih susahnya? Salah kalau aku butuh kabarnya? Aku ikhlas dia
tidak bertanya “Kamu sudah makan? Kamu lagi apa? Jangan lupa salat ya.” aku
ikhlas. Tapi setidaknya, aku tidak salah kan meminta kabar darinya?
Seingatku, dia punya
dua ponsel. Satu blackberry, dan satunya lagi ponsel yang biasa. Dia bilang,
ponsel yang sering ia gunakan adalah ponsel yang biasanya, dan dia bilang kalau
ponselnya rusak, jadi tidak bisa menghubungiku. Alhasil, dia hanya mengirim
pesan lewat facebook. Kenapa tidak, sim card
yang biasa ia gunakan untuk menghubungiku, ia tukar ke BB nya? Akan lebih mudah
menghubungiku kan? Tapi dia lebih memilih membiarkan ponselnya rusak dan
menghubungiku lewat facebook. Ya, aku terima. Aku masih sabar.
Ramadhan kali ini aku
punya kekasih. Tapi tak menjamin akan ada yang membangunkan sahur malam ini,
dan tak ada yang mengucapkan selamat buka puasa di hari pertama puasa. Dia asik
dengan keluarga besarnya di Bandung. Bukankah harusnya begitu? Lebih
mementingkan keluarga, kekasih nomer sekian. Ya, aku paham.
Bersyukur sekali, aku
bisa sms-an dengannya, walaupun dia membalas agak lama. Tak apa bagiku. Dia
membalas pesanku selang sepuluh menit saja aku sangat bersyukur.
To: Farel
Kamu lagi apa?
Kamu lagi apa?
Sepuluh menit..
From: Farel
Lagi ngobrol sama saudaraku.
Lagi ngobrol sama saudaraku.
Mengetik..
To:
Farel
Aku ganggu ya? Yaudah, lanjutkan mengobrolnya.
Aku ganggu ya? Yaudah, lanjutkan mengobrolnya.
Aku menebak, dia pasti
akan menyudahi obrolan dengan saudaranya dan memilih untuk sms-an denganku. Beberapa
menit kemudian, satu pesan diterima.
From: Farel
Yaudah, maaf ya sayang, aku ngobrol sama saudara aku dulu. Hehehe.
Yaudah, maaf ya sayang, aku ngobrol sama saudara aku dulu. Hehehe.
Seperti di hempaskan
dari atap sekolahku di lantai empat ke lantai satu. Flat face. Aku tak lagi membalas pesannya. Aku biarkan dia
mengobrol dengan saudaranya. Logikaku, mereka jarang bertemu, dan aku memaklumi.
Aku sabar.
Kalau sabarku di
ibaratkan sampah-sampah di Jakarta, mungkin sudah dapat berjuta-juta kubik. Tapi
aku tak mau mencari ribut dengannya. Aku diam bukan berarti tidak peduli, aku
hanya tidak mau kelewat emosi. Aku mencintainya dan aku takut kesabaranku
berujung pahit.
Beberapa hari kemudian,
dia kembali ke Jakarta. Masuk sekolah seperti biasa. Sepulang sekolah, dia
bilang padaku.
“Kenapa sih kamu ngga pernah
mau gabung dengan Rahma dan yang lainnya?”
Memang, dari kelas
satu, aku tidak begitu dekat dengan gerombolan yang menurutku anak-anak pintar
seperti Rahma dan teman-temannya. Tapi, semenjak aku berpacaran dengan Farel,
seperti ada air yang mengalirkanku untuk dekat dengan mereka semua.
“Memang kamu nggak lihat
perubahanku selama ini?”
“Ya memangnya aku harus memperhatikanmu setiap saat? Engga kan..”
“Ya memangnya aku harus memperhatikanmu setiap saat? Engga kan..”
Mulutku tak dapat
terbuka lagi. Seperti terkunci setelah Farel bicara barusan.
Beberapa hari kemudian,
aku dan dia sms-an. Sore ini, dia bilang akan pergi ke rumah saudara dan sekitar
jam tujuh malam dia memberi kabar bahwa dia sudah sampai rumah. Sekitar tiga
jam pesan singkat ku tak dia balas, dan ketika dia membalas,
From: Farel
Aku menginap di rumah saudara.
Aku menginap di rumah saudara.
Bukankah tadi dia
bilang sudah sampai rumah? Apa maksudnya? Dia membohongiku?
To:
Farel
Tadi kamu bilang sudah sampai di rumah? Kamu bohong?
Tadi kamu bilang sudah sampai di rumah? Kamu bohong?
Beberapa menit
kemudian.
From: Farel
Ko? Yaudah, terserah kamu. Kalau tau begini, aku ngga akan memberitahumu lagi kalau aku mau pergi kemana-mana.
Ko? Yaudah, terserah kamu. Kalau tau begini, aku ngga akan memberitahumu lagi kalau aku mau pergi kemana-mana.
Mengapa dia bilang
begitu? Salahku kah? Jelas-jelas ini salahnya. Dia membohongiku dan dia tidak
akan mengatakan padaku kalau dia ingin pergi ke manapun. Dalam malam, aku
menangisinya.
Tidak terasa, aku dan
dia sudah berjalan dua bulan. Namun perjalanan menuju dua bulan, sangat lama
bagiku. Selama aku berpacaran, dua bulan selalu menjadi titik akhir hubunganku.
Apakah yang ini akan seperti satu mantanku dulu? Yang jelas, Marsha berteriak,
“Happy mensiv ya buat Farel
dan Luna yang ke dua bulan. Langgeng, semoga Farel nya tambah sayang, tambah
peka, Luna ngga galau galau terus.”
Sedikit memalukan, tapi
semoga Farel sadar akan ucapan Marsha tadi. Bayangkan, di depan kelas dalam
keadaan sudah jam nya pulang sekolah. Ramai.
Saat ada acara buka
puasa bersama dengan teman-teman kelas satu, aku diajak Farel, tapi sebisa
mungkin aku mencari alasan untuk menolak. Aku tidak mengerti mengapa aku
menolak. Aku malah mengadakan buka puasa bersama dengan ke empat temanku.
“Giliran sama teman,
bisa. Tapi sama anak kelas ngga mau.”
“Tapi, bukanya gitu, aku—“
“Sudah, iya, aku paham.”
“Rel…”
“Iya aku paham.”
“Tapi, bukanya gitu, aku—“
“Sudah, iya, aku paham.”
“Rel…”
“Iya aku paham.”
Dia tidak mau mendengar
penjelasan apa-apa dariku.
Setelah buka puasa
bersama dengan teman-temanku, ada ajakan buka bersama dari ekskulku. KIR.
Aku menyempatkan waktu
untuk datang. Selagi aku dan anggota yang lain rapat membicarakan akan buka
puasa bersama di mana, Farel dengan setia menungguku di depan kelas sampai aku
selesai rapat. Setelah fix, esoknya tinggal membicarakan jam berapa dan di mana
kami mengumpul.
Saat itu, hatiku
benar-benar terbakar melihat DP BBM Farel bersama Adlina, temanku yang pernah
menjadi kekasih Farhan, cowo yang kusuka dulu. Memang, tidak hanya berdua,
namun tetap saja aku cemburu. Aku tidak suka.
“Kamu kenapa?” tanya
Farel.
Aku berjalan memepet
balkon sekolah lantai tiga.
“Aku ngga suka display picture kamu.” lalu kutinggalkan
dia dan aku menghampiri teman-teman ekskulku. Tak lama, dia menghampiriku.
“Sudah aku ganti.” katanya sambil terkikik melihat sikapku.
“Sudah aku ganti.” katanya sambil terkikik melihat sikapku.
Aku terdiam.
Sore menjelang magrib,
aku dan Marsha pergi ke tempat di mana anak-anak KIR mengumpul untuk buka puasa
bersama. Tidak terlalu ramai. Di sana ada Ka Radho, Ka Ivan, Ka Ilham, Aulia, Marsha,
Rina, Sofi, Novi, Rama, dan aku. Di tengah jalan, kami bertemu Ka Ega, dia ikut
namun hanya mengantarkan ke tempat makannya saja, setelah itu dia pamit pulang.
Kami memesan makanan
dan duduk di tempat yang sudah di-booking
terlebih dahulu. Saung Seribu Pulau, kami makan di situ. Lumayan enak
hidangannya, tapi bagiku, menu makan yang tersedia dalam satu piring
perporsinya adalah tiga porsiku. Aku tak cukup banyak ngobrol dengan mereka,
aku hanya memperhatikan teman-temanku yang tertawa karena banyolan Marsha. Karena
aku sangat bersyukur, dalam suasana seperti itu, sangat jarang aku bisa sms-an
dengan Farel. Keajaiban apa ini? Namun tetap saja, balasnya lama. Tapi aku tak
menyesali itu, karena bagiku itu hanya beberapa kali terjadi saat itu.
Dua hari setelah buka
puasa bersama dengan anggota ekskulku, Farel mengajaku buka puasa bersama,
karena hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun Farel. Aku ingin jadi orang
pertama yang bisa memberinya selamat dan doa. Aku relakan menahan kantukku
hanya untuk mengucapkan selamat padanya, yang pertama.
8 Agustus, jam 23.55.
Aku sanggupkan mataku untuk terbuka, walau sebenarnya sangat perih. Untuk
menghilangkan kantuk, kubuka saja netbook-ku,
kumainkan twitterku, ternyata masih banyak yang on. Sudah 23.58, aku mulai
mengetik segala doa dan harapan di ponselku, untuknya.
Dan jam 00.01 pagi,
tanggal 9 Agustus, aku mengirimkan pesan singkat itu padanya. Entah penting
baginya atau tidak ucapan sepagi itu. Sialnya, pesan itu pending. Aku menyadarinya saat jam 00.21 pagi. Kalau aku mengirim
pesan itu lagi, apakah aku masih jadi orang pertama yang memberinya ucapan? Aku
tak peduli, yang penting aku sudah memberinya ucapan.
Aku sudah merangkai
kata-kata kalau aku bertemu dengannya di sekolah. Tapi setelah melihat
wajahnya, mendadak keberanianku hilang. Aku tak bisa, aku malu. Dia hanya
diledeki teman-temanku.
Saat menuruni tangga,
“Nanti kamu ada waktu ngga?”
“Memang kenapa?”
“Aku mau ngajak kamu buka puasa bareng.”
“Sama siapa saja?”
“Aku, Citra, kekasihnya, Farah, dan Vino, kalau sama kamu ya jadinya sama kamu.”
“Hmm, yasudah lihat nanti ya.”
“Kabarin aku ya kalau jadi.”
“Iya.”
“Memang kenapa?”
“Aku mau ngajak kamu buka puasa bareng.”
“Sama siapa saja?”
“Aku, Citra, kekasihnya, Farah, dan Vino, kalau sama kamu ya jadinya sama kamu.”
“Hmm, yasudah lihat nanti ya.”
“Kabarin aku ya kalau jadi.”
“Iya.”
Di parikran..
“Rel, pulsa bisa dong yang sepuluh.” ucap satu temannya.
“Apaan sih.” ucapnya dengan nada sedikit canda.
“Kamu ulang tahun kan sekarang?”
“Memang iya? Farel kan lahirnya tanggal tiga puluh satu bulan tiga belas hahahaha!” celetukku.
“Oh berarti dia ada yang lain. Iyadeh iya.” kata Farel menyindirku dengan nada sedikit jealous. Aku hanya tertawa di situ. Aku dan dia pulang. Saat ingin sampai rumahku, sekali lagi aku mengucapkan secara langsung.
“Rel, pulsa bisa dong yang sepuluh.” ucap satu temannya.
“Apaan sih.” ucapnya dengan nada sedikit canda.
“Kamu ulang tahun kan sekarang?”
“Memang iya? Farel kan lahirnya tanggal tiga puluh satu bulan tiga belas hahahaha!” celetukku.
“Oh berarti dia ada yang lain. Iyadeh iya.” kata Farel menyindirku dengan nada sedikit jealous. Aku hanya tertawa di situ. Aku dan dia pulang. Saat ingin sampai rumahku, sekali lagi aku mengucapkan secara langsung.
“Rel, sekali lagi
selamat ulang tahun ya.”
“Iya makasih ya sayang.”
“Iya makasih ya sayang.”
Lalu aku pulang ke
rumah, meminta saran Marsha, apakah aku harus ikut ajakan Farel atau tidak.
“Ikuuuuuuttt Lunnn,
kapan lagi…. Siapa tau, dengan ini dia bisa lebih peka”
“Gitu ya Sha? Yaudah, aku terima ajakannya.”
“Gitu ya Sha? Yaudah, aku terima ajakannya.”
Kuputuskan, aku
menerima ajakan Farel.
Aku mulai mencari pakaian
mana yang cocok untuk kupakai. Aku bingung karena ini pertama kalinya aku pergi
keluar bersama cowo. Aku memakai kaus merah, celana panjang hitam, dan rambutku
diikat setengah. Entah apa aku di matanya saat itu. Dia mengenakan kaus hitam
dan celana panjang hitam, dipadu dengan jaket yang biasa dia pakai ke sekolah. Aku
merasa getaran yang begitu hebat dalam hatiku. Aku tidak mengerti. Aku sudah
biasa duduk di belakangnya, tapi mengapa ini berbeda? Getaran yang tidak biasa.
Apa mungkin ini pertama kalinya aku pergi dengannya bukan ke sekolah? Mungkin.
Kita seperti orang
bodoh. Kita? Mungkin lebih tepatnya adalah aku. Kita diam, sama-sama sibuk
memainkan ponsel. Ada percakapan sedikit, namun itupun membahas ketiga teman
kami yang belum datang.
Bagaimana tidak seperti
orang bodoh, kalau adzan maghrib jam enam kurang, tapi jam setengah lima sudah
sampai. Setelah kedua temanku datang—Citra dan kekasihnya, dan adzan pun sudah
berkumandang.
Aku tak larut dalam
pembicaraan mereka. Aku hanya diam, dan hanya sesekali ikut bicara. Aku duduk
di sebelah Farel. Tidak seperti bayanganku. Farel lebih banyak tertawa dengan Citra
dan kekasihnya. Aku sabar.
Komentar
Posting Komentar