Complicated [Lima - Sad]



2 pekan bersamanya. Cukup ada senyum yang terselip, walaupun masih ada kegalauan yang selalu kututupi.
Tanggal 19, aku dan teman-temanku yang lain, yang tergabung dalam ekstrakulikuler KIR di sekolah, berangkat ke Sukabumi dengan tujuan ekspedisi tahunan. Aku benar-benar berharap ada pesan-pesan yang sedikit posesif dari Farel. Meneleponku pagi-pagi hanya untuk bilang “Hati hati sayang. Sebelum berangkat, cek kembali bawaanmu, apakah sudah semua atau belum, kamu sudah makan? Kamu jangan aneh-aneh ya di sana. Jaga kesehatan, jangan lepas dari pembimbing. Aku mengantarmu sampai bus ya?”.
Tapi pada kenyataannya, ia tidak begitu. Ya. Itu hanya khayalanku yang tak akan terjadi.
Harus aku lagi yang menghubunginya duluan. Tapi apa? Sms dariku tidak dibalas. Mungkin masih tidur. Itu pikir positifku. Tapi iseng, aku pinjam ponsel Sofi, dan mengirim BBM ke Farel, selang beberapa detik, ada balasan.
Menurutmu, sakitkah jika pesanmu lebih dulu kau kirim, namun tidak ada balasan, tapi di kontak orang lain, dia cepat membalasnya? Sakit bukan?
Sakit bukan main!
Di tanggal 4 pertama, akulah yang mengucapkan lebih dulu. Jam dua belas lewat sedikit aku mengucapkan “Selamat tanggal empat, Rel.”, namun tanggapannya garing, seperti tidak ada apa-apa. Mungkin baginya, hari peringatan itu tidak penting. Fine, aku pahami hatinya.
Enam hari kemudian, aku ulang tahun. Aku benar-benar berharap dia lah yang pertama memberi ucapan, meneleponku kalau perlu. Sengaja, aku mengajaknya sms-an sampai malam, sehari sebelum hari ulang tahunku. Aku dan dia sama sekali tidak membahas tanggal 10 esok. Apakah dia lupa? Atau mungkin dia tidak tau?
Beberapa menit sebelum jam dua belas, aku tidur. Berharap ketika bangun, nama Farel ada di paling bawah karena mengucapkan paling pertama. Entah apa yang membangunkanku, jam satu pagi aku terbangun. Ku cek ponsel ada tiga pesan. Berharap ada dari Farel. Yap! Temanku, Dini yang paling pertama mengucapkan. Yang kedua dari ayahku, dan yang ketiga dari sahabatku sejak SMP, Hana.
Aku tersenyum menahan tangis, tidak ada pesan apapun dari Farel. Apakah ini surprise? Aku tidak mengerti. Aku membuka akun twitterku. Kakak kelasku yang kukenal ketika ekspedisi tahunan, ia mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Setelah itu, aku melanjutkan tidurku. Sekitar jam setengah tiga pagi, aku terbangun. Aku tidak mengerti kenapa begitu. Mungkinkah aku sangat berharap Farel mengucapkan selamat ulang tahun untukku?
Aku mengecek ponselku. Ada pesan darinya. Kupikir aku akan tersenyum lega membacanya. Tapi nyatanya, seperti ingin meneteskan sesuatu.
From: Farel
Sayang, selamat ulang tahun ya. Maaf aku lupa
L semoga panjang umur, tambah cantik, tambah pinter, dan berbakti sama orangtua kamu. Maaf aku ngga bisa kasih kamu sesuatu.
Tak terselip harapan “Semoga kita langgeng.” kah? Padahal, temanku menyelipkan doa itu untukku dan Farel. Tidak apa. Yang menyakitkan bagiku, mengapa ada kata Lupa? Apa mungkin ingatannya sudah tidak mampu mengingat dua digit tanggal lahirku? Apa otaknya tidak bisa menampung tanggal itu? Apa yang ada dipikirannya saat itu?
Aku tidak mau memperpanjang ini. Tak apa, yang penting ia mengucapkan dan ada doa untukku. Sebenarnya, perasaanku sudah tidak seenak dulu. Setiap hari aku hanya membahas kesedihanku karena Farel. Bukankah harusnya menceritakan kesenangannya bersama kekasih? Menurutku, senang karenanya bisa terhitung jari selama satu bulan menjalin dengannya.
Liburan semester akan selesai beberapa hari lagi dan aku akan menjadi siswa kelas dua SMA di sekolahku. Aku masuk dikelas 11 IPA 2 bersama ketiga temanku, begitupun Farel. Hari pertama di kelas 11. Baru masuk saja, aku sudah bercerita tentang kegalauanku karena Farel pada teman-temanku. Aku tidak melanjutkan ceritaku, karena dari sudut tangga, Farel datang. Ia melewatiku, namun tak ada sapaan, hanya senyuman yang entah ikhlas atau terpaksa. Dia menghampiri teman-temannya, termasuk Farah. Aku? Oh, mungkin hanya iklan.
Adzan zuhur sudah berkumandang dan seharusnya para siswa melaksanakan salat, tapi aku masih duduk santai di kursiku.
“Salat Lun.” kata Farel.
“Iya, nanti.” jawabku, datar.
Kebiasaan burukku adalah selalu menunda salat, sekalipun Farel yang menyuruh.
“Sekarang.”
“Iya, nanti, sama teman-temanku juga.”
“Emang salat sendiri kenapa sih?”
Tak sempat kujawab pertanyaannya yang menunjukkan seolah ia sudah kesal. Dia keluar, mungkin salat.
Aku, Marsha, dan Rina keluar kelas. Sofi? Ia tidak masuk hari itu. Aku melihat Farel di depan meja piket. Sedang mengobrol dengan teman-temannya. Tak memperdulikan aku lewat. Aku dan temanku salat di mushola. Selesai salat zuhur, kukira aku akan bertemu Farel. Oh mungkin dia sudah salat selagi aku di kantin tadi. Karena sebelum ke mushola, aku ke kantin dulu.
Aku kembali ke kelas. Apa yang kudapati? Aku lihat Farel tertidur di kursi paling belakang. Aku tidak tega membangunkannya. Apa selesai salat, dia langsung tertidur? Sepertinya tidak. Tidak mungkin sekilat itu. Dari lantai tiga ke lantai satu, kembali lagi ke lantai tiga cukup memakan waktu lho. Kusimpulkan, Farel tidak salat.
Saat bel pulang sekolah dan saat dia mengajakku pulang.
“Yuk, pulang.” dengan mata merah ia bicara itu.
“Kamu salat dulu.”
Dia malah tertawa. Mengikuti Rina dan Marsha yang menertawakannya.
“Iya, nanti di rumah aja. Yuk pulang, aku ngantuk banget.”
“Lihat sekarang jam berapa. Udah hampir setengah tiga. Kamu salat di sini aja.”
“Nanti aja di rumah, keburu kok. Yuk, aku ngantuk.”
“Pokoknya kamu salat di sini. Nanti sampai rumah takutnya kamu langsung tidur.”
“Engga, aku langsung salat sampai rumah.”
Siapa yang akan menjamin ucapannya? Aku tidak percaya.
“Yaudah, kalau kamu ngga salat di sini, aku minta jemput.”
“Eh iya iya iya. Aku salat.”
Apa sih maksudnya dia? Menyuruhku salat, tapi dia malah tidur. Keterlaluan. Bisakah ini disebut kebohongan?
Lagi-lagi kami harus menjenguk Desi yang masuk Rumah Sakit, ia terkena penyakit tipus. Selagi ngobrol bersama Desi dan ibunya, Farel terus mengajak pulang. Kenapa sih dia? Di motor pun dia hanya melihat jam yang melingkar di tangannya. Mau bertanya, tapi aku takut.
Di rumah, ku sms saja. Ternyata dia mau pergi ke Grogol. Aku sudah sangat benci kalau dia mau pergi ke Grogol atau MTA (Mall Taman Anggrek). Sekali, dia pernah mengajakku ke MTA, tapi aku menolak. Mengapa aku benci? Dia lupa denganku kalau sudah ke Grogol. Entah tempat apa itu. Sebenarnya sih bukan hanya saat dia ke Grogol lupa dengankunya. Setiap harinya pun mungkin lupa denganku, tapi aku sabar.
Aku ingat. Dia dan keluarganya berlibur ke Pulau Seribu. Pergi pagi-pagi hari. Dia mengirim sms padaku hanya untuk minta ditemani karena dia kesepian. Apakah dia sms aku duluan kalau hanya kesepian? Aku relakan membuka mataku yang masih lengket itu hanya untuk menemani dia sms-an. Seenak hatinya, dia mengirim pesan singkat,
From: Farel
Yaudah ya sayang, aku mau tidur dulu, masih ngantuk banget. Nanti aku kabarin lagi ya.
Good job! Mataku sudah terlatih untuk menemani pagimu, setelah mataku terbuka lebar-lebar, kamu meninggalkanku. Aku menunggu sekitar enam jam, baru dia ada kabar. Itu pun aku yang mengirim pesan singkat untuknya.
From: Farel
Aku sudah sampai lokasi, sayang.
Setelah kubalas pesan singkatnya, dia tidak membalas pesan singkatku lagi. Namanya juga liburan, waktu yang sangat singkat untuk siswa semacam kami. Tapi kan tidak harus melupakanku juga. Ya, itulah dia. Keseringan lupa denganku. Apa mungkin tak ingat ya?
Jam satu, jam dua, jam tiga, sampai jam sepuluh malam dia tidak ada kabarnya. Ke mana dia? Ditelan hiu kah? Atau terbawa ombak? Apa mungkin tersangkut ke palung laut? Mataku tidak sanggup untuk menunggu kabar darinya. Aku tertidur. Hingga paginya aku bangun, ada satu pesan darinya. Dia mengirim pesan singkat sekitar jam satu pagi. Dua belas jam tanpa kabar. Aku tetap sabar. Karena dia kan sedang liburan, ku wajarkan itu.
Esok harinya ya seperti biasa. Sms seperti niat tidak niat. Hilang-hilangan, lebih baik kutinggal tidur. Toh dia pun tidak mencariku. Sebenarnya, dalam detik menunggunya, aku berusaha menahan butiran yang ingin sekali keluar dari kelopak mataku. Tapi susah. Sangat susah.
Adakah kekasih yang meninggalkan kekasihnya selama dua belas jam? Sekalipun ada, itu sudah di ujung jalan atau mungkin memang ada sesuatu yang mengharuskan tidak memberi kabar, dan sekalipun ada, itu hanya aku. Hanya aku dan dia.
Saat dia dan keluarganya pergi ke Bandung, aku sudah khawatir, dia tidak akan menghubungiku. Benar saja. Alasan yang tidak masuk di akal. Chargenya ketinggalan di Jakarta, jadi tidak bisa menghubungiku. Memang ibunya tidak punya ponsel? Papanya? Kakaknya? Saudaranya?
Aku tidak menuntutnya untuk menghubungiku tiap menit, setidaknya dia memberi kabar supaya aku tidak khawatir. Apa sih susahnya? Salah kalau aku butuh kabarnya? Aku ikhlas dia tidak bertanya “Kamu sudah makan? Kamu lagi apa? Jangan lupa salat ya.” aku ikhlas. Tapi setidaknya, aku tidak salah kan meminta kabar darinya?
Seingatku, dia punya dua ponsel. Satu blackberry, dan satunya lagi ponsel yang biasa. Dia bilang, ponsel yang sering ia gunakan adalah ponsel yang biasanya, dan dia bilang kalau ponselnya rusak, jadi tidak bisa menghubungiku. Alhasil, dia hanya mengirim pesan lewat facebook. Kenapa tidak, sim card yang biasa ia gunakan untuk menghubungiku, ia tukar ke BB nya? Akan lebih mudah menghubungiku kan? Tapi dia lebih memilih membiarkan ponselnya rusak dan menghubungiku lewat facebook. Ya, aku terima. Aku masih sabar.
Ramadhan kali ini aku punya kekasih. Tapi tak menjamin akan ada yang membangunkan sahur malam ini, dan tak ada yang mengucapkan selamat buka puasa di hari pertama puasa. Dia asik dengan keluarga besarnya di Bandung. Bukankah harusnya begitu? Lebih mementingkan keluarga, kekasih nomer sekian. Ya, aku paham.
Bersyukur sekali, aku bisa sms-an dengannya, walaupun dia membalas agak lama. Tak apa bagiku. Dia membalas pesanku selang sepuluh menit saja aku sangat bersyukur.
To: Farel
Kamu lagi apa?
Sepuluh menit..
From: Farel
Lagi ngobrol sama saudaraku.
Mengetik..
To: Farel        
Aku ganggu ya? Yaudah, lanjutkan mengobrolnya.
Aku menebak, dia pasti akan menyudahi obrolan dengan saudaranya dan memilih untuk sms-an denganku. Beberapa menit kemudian, satu pesan diterima.
From: Farel
Yaudah, maaf ya sayang, aku ngobrol sama saudara aku dulu. Hehehe.
Seperti di hempaskan dari atap sekolahku di lantai empat ke lantai satu. Flat face. Aku tak lagi membalas pesannya. Aku biarkan dia mengobrol dengan saudaranya. Logikaku, mereka jarang bertemu, dan aku memaklumi. Aku sabar.
Kalau sabarku di ibaratkan sampah-sampah di Jakarta, mungkin sudah dapat berjuta-juta kubik. Tapi aku tak mau mencari ribut dengannya. Aku diam bukan berarti tidak peduli, aku hanya tidak mau kelewat emosi. Aku mencintainya dan aku takut kesabaranku berujung pahit.
Beberapa hari kemudian, dia kembali ke Jakarta. Masuk sekolah seperti biasa. Sepulang sekolah, dia bilang padaku.
“Kenapa sih kamu ngga pernah mau gabung dengan Rahma dan yang lainnya?”
Memang, dari kelas satu, aku tidak begitu dekat dengan gerombolan yang menurutku anak-anak pintar seperti Rahma dan teman-temannya. Tapi, semenjak aku berpacaran dengan Farel, seperti ada air yang mengalirkanku untuk dekat dengan mereka semua.
“Memang kamu nggak lihat perubahanku selama ini?”
“Ya memangnya aku harus memperhatikanmu setiap saat? Engga kan..”
Mulutku tak dapat terbuka lagi. Seperti terkunci setelah Farel bicara barusan.
Beberapa hari kemudian, aku dan dia sms-an. Sore ini, dia bilang akan pergi ke rumah saudara dan sekitar jam tujuh malam dia memberi kabar bahwa dia sudah sampai rumah. Sekitar tiga jam pesan singkat ku tak dia balas, dan ketika dia membalas,
From: Farel
Aku menginap di rumah saudara.
Bukankah tadi dia bilang sudah sampai rumah? Apa maksudnya? Dia membohongiku?
To: Farel      
Tadi kamu bilang sudah sampai di rumah? Kamu bohong?
Beberapa menit kemudian.
From: Farel
Ko? Yaudah, terserah kamu. Kalau tau begini, aku ngga akan memberitahumu lagi kalau aku mau pergi kemana-mana.
Mengapa dia bilang begitu? Salahku kah? Jelas-jelas ini salahnya. Dia membohongiku dan dia tidak akan mengatakan padaku kalau dia ingin pergi ke manapun. Dalam malam, aku menangisinya.
Tidak terasa, aku dan dia sudah berjalan dua bulan. Namun perjalanan menuju dua bulan, sangat lama bagiku. Selama aku berpacaran, dua bulan selalu menjadi titik akhir hubunganku. Apakah yang ini akan seperti satu mantanku dulu? Yang jelas, Marsha berteriak,
“Happy mensiv ya buat Farel dan Luna yang ke dua bulan. Langgeng, semoga Farel nya tambah sayang, tambah peka, Luna ngga galau galau terus.”
Sedikit memalukan, tapi semoga Farel sadar akan ucapan Marsha tadi. Bayangkan, di depan kelas dalam keadaan sudah jam nya pulang sekolah. Ramai.
Saat ada acara buka puasa bersama dengan teman-teman kelas satu, aku diajak Farel, tapi sebisa mungkin aku mencari alasan untuk menolak. Aku tidak mengerti mengapa aku menolak. Aku malah mengadakan buka puasa bersama dengan ke empat temanku.
“Giliran sama teman, bisa. Tapi sama anak kelas ngga mau.”
“Tapi, bukanya gitu, aku—“
“Sudah, iya, aku paham.”
“Rel…”
“Iya aku paham.”
Dia tidak mau mendengar penjelasan apa-apa dariku.
Setelah buka puasa bersama dengan teman-temanku, ada ajakan buka bersama dari ekskulku. KIR.
Aku menyempatkan waktu untuk datang. Selagi aku dan anggota yang lain rapat membicarakan akan buka puasa bersama di mana, Farel dengan setia menungguku di depan kelas sampai aku selesai rapat. Setelah fix, esoknya tinggal membicarakan jam berapa dan di mana kami mengumpul.
Saat itu, hatiku benar-benar terbakar melihat DP BBM Farel bersama Adlina, temanku yang pernah menjadi kekasih Farhan, cowo yang kusuka dulu. Memang, tidak hanya berdua, namun tetap saja aku cemburu. Aku tidak suka.
“Kamu kenapa?” tanya Farel.
Aku berjalan memepet balkon sekolah lantai tiga.
“Aku ngga suka display picture kamu.” lalu kutinggalkan dia dan aku menghampiri teman-teman ekskulku. Tak lama, dia menghampiriku.
“Sudah aku ganti.” katanya sambil terkikik melihat sikapku.
Aku terdiam.
Sore menjelang magrib, aku dan Marsha pergi ke tempat di mana anak-anak KIR mengumpul untuk buka puasa bersama. Tidak terlalu ramai. Di sana ada Ka Radho, Ka Ivan, Ka Ilham, Aulia, Marsha, Rina, Sofi, Novi, Rama, dan aku. Di tengah jalan, kami bertemu Ka Ega, dia ikut namun hanya mengantarkan ke tempat makannya saja, setelah itu dia pamit pulang.
Kami memesan makanan dan duduk di tempat yang sudah di-booking terlebih dahulu. Saung Seribu Pulau, kami makan di situ. Lumayan enak hidangannya, tapi bagiku, menu makan yang tersedia dalam satu piring perporsinya adalah tiga porsiku. Aku tak cukup banyak ngobrol dengan mereka, aku hanya memperhatikan teman-temanku yang tertawa karena banyolan Marsha. Karena aku sangat bersyukur, dalam suasana seperti itu, sangat jarang aku bisa sms-an dengan Farel. Keajaiban apa ini? Namun tetap saja, balasnya lama. Tapi aku tak menyesali itu, karena bagiku itu hanya beberapa kali terjadi saat itu.
Dua hari setelah buka puasa bersama dengan anggota ekskulku, Farel mengajaku buka puasa bersama, karena hari itu bertepatan dengan hari ulang tahun Farel. Aku ingin jadi orang pertama yang bisa memberinya selamat dan doa. Aku relakan menahan kantukku hanya untuk mengucapkan selamat padanya, yang pertama.
8 Agustus, jam 23.55. Aku sanggupkan mataku untuk terbuka, walau sebenarnya sangat perih. Untuk menghilangkan kantuk, kubuka saja netbook-ku, kumainkan twitterku, ternyata masih banyak yang on. Sudah 23.58, aku mulai mengetik segala doa dan harapan di ponselku, untuknya.
Dan jam 00.01 pagi, tanggal 9 Agustus, aku mengirimkan pesan singkat itu padanya. Entah penting baginya atau tidak ucapan sepagi itu. Sialnya, pesan itu pending. Aku menyadarinya saat jam 00.21 pagi. Kalau aku mengirim pesan itu lagi, apakah aku masih jadi orang pertama yang memberinya ucapan? Aku tak peduli, yang penting aku sudah memberinya ucapan.
Aku sudah merangkai kata-kata kalau aku bertemu dengannya di sekolah. Tapi setelah melihat wajahnya, mendadak keberanianku hilang. Aku tak bisa, aku malu. Dia hanya diledeki teman-temanku.
Saat menuruni tangga,
“Nanti kamu ada waktu ngga?”
“Memang kenapa?”
“Aku mau ngajak kamu buka puasa bareng.”
“Sama siapa saja?”
“Aku, Citra, kekasihnya, Farah, dan Vino, kalau sama kamu ya jadinya sama kamu.”
“Hmm, yasudah lihat nanti ya.”
“Kabarin aku ya kalau jadi.”
“Iya.”
Di parikran..
“Rel, pulsa bisa dong yang sepuluh.” ucap satu temannya.
“Apaan sih.” ucapnya dengan nada sedikit canda.
“Kamu ulang tahun kan sekarang?”
“Memang iya? Farel kan lahirnya tanggal tiga puluh satu bulan tiga belas hahahaha!” celetukku.
“Oh berarti dia ada yang lain. Iyadeh iya.” kata Farel menyindirku dengan nada sedikit jealous. Aku hanya tertawa di situ. Aku dan dia pulang. Saat ingin sampai rumahku, sekali lagi aku mengucapkan secara langsung.
“Rel, sekali lagi selamat ulang tahun ya.”
“Iya makasih ya sayang.”
Lalu aku pulang ke rumah, meminta saran Marsha, apakah aku harus ikut ajakan Farel atau tidak.
“Ikuuuuuuttt Lunnn, kapan lagi…. Siapa tau, dengan ini dia bisa lebih peka”
“Gitu ya Sha? Yaudah, aku terima ajakannya.”
Kuputuskan, aku menerima ajakan Farel.
Aku mulai mencari pakaian mana yang cocok untuk kupakai. Aku bingung karena ini pertama kalinya aku pergi keluar bersama cowo. Aku memakai kaus merah, celana panjang hitam, dan rambutku diikat setengah. Entah apa aku di matanya saat itu. Dia mengenakan kaus hitam dan celana panjang hitam, dipadu dengan jaket yang biasa dia pakai ke sekolah. Aku merasa getaran yang begitu hebat dalam hatiku. Aku tidak mengerti. Aku sudah biasa duduk di belakangnya, tapi mengapa ini berbeda? Getaran yang tidak biasa. Apa mungkin ini pertama kalinya aku pergi dengannya bukan ke sekolah? Mungkin.
Kita seperti orang bodoh. Kita? Mungkin lebih tepatnya adalah aku. Kita diam, sama-sama sibuk memainkan ponsel. Ada percakapan sedikit, namun itupun membahas ketiga teman kami yang belum datang.
Bagaimana tidak seperti orang bodoh, kalau adzan maghrib jam enam kurang, tapi jam setengah lima sudah sampai. Setelah kedua temanku datang—Citra dan kekasihnya, dan adzan pun sudah berkumandang.
Aku tak larut dalam pembicaraan mereka. Aku hanya diam, dan hanya sesekali ikut bicara. Aku duduk di sebelah Farel. Tidak seperti bayanganku. Farel lebih banyak tertawa dengan Citra dan kekasihnya. Aku sabar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]