Di Bawah Hujan
Aku suka ketika turun hujan.
Tidak. Sebenarnya biasa saja.
Namun, setiap kali turun hujan, aku seperti merasa bumi juga sedang merasakan apa yang aku rasakan.
Aku suka berada di bawah guyuran hujan.
Tidak. Sebenarnya tidak terlalu.
Namun, setiap kali berada di antara tetesannya, aku merasa baik-baik saja, karena air mataku ikut terhapus oleh rintikannya.
Tidak banyak yang tau bagaimana keadaan seseorang saat ia di bawah guyuran hujan.
Kadang, ia tidak selalu baik-baik saja.
Meski hanya air mata yang tidak kentara karena air hujan, namun hatinya juga terluka, tapi perihnya tidak luntur begitu saja karena air hujan.
Aku suka menangis dan bermonolog di bawah air hujan.
Tidak. Tidak selalu air mataku menetes di bawah hujan.
Kadang, meski hujan tidak datang, perasaanku selalu diguyur hangatnya air mata.
Mungkin tidak terlalu banyak bicara ketika perasaanku benar-benar sesak.
Karena setiap kali menuangkan kalimat dalam ucapan, kesempatanku selalu selesai dalam sepersekian detik.
Aku tidak pernah punya kesempatan untuk bicara dalam waktu yang ada. Tidak seperti hujan yang selalu punya kesempatan untuk datang saat langit merasa sesak.
Hanya beberapa orang yang tau tentang air mataku, tentang sesaknya perasaanku, tentang sakit hati yang tanpa pengungkapan.
Bahkan hujan tidak tau kenapa aku berada padanya dan air mataku menderas.
Bahkan langit yang sedang muram hanya bergumam melihatku tersedu.
Ia hanya melihat dari sana.
Seandainya ia bisa memeluk, meski hanya satu kali dan hanya sesaat, setidaknya ia membuatku tenang walau hanya dengan mengusap bahuku.
Tidak. Sebenarnya biasa saja.
Namun, setiap kali turun hujan, aku seperti merasa bumi juga sedang merasakan apa yang aku rasakan.
Aku suka berada di bawah guyuran hujan.
Tidak. Sebenarnya tidak terlalu.
Namun, setiap kali berada di antara tetesannya, aku merasa baik-baik saja, karena air mataku ikut terhapus oleh rintikannya.
Tidak banyak yang tau bagaimana keadaan seseorang saat ia di bawah guyuran hujan.
Kadang, ia tidak selalu baik-baik saja.
Meski hanya air mata yang tidak kentara karena air hujan, namun hatinya juga terluka, tapi perihnya tidak luntur begitu saja karena air hujan.
Aku suka menangis dan bermonolog di bawah air hujan.
Tidak. Tidak selalu air mataku menetes di bawah hujan.
Kadang, meski hujan tidak datang, perasaanku selalu diguyur hangatnya air mata.
Mungkin tidak terlalu banyak bicara ketika perasaanku benar-benar sesak.
Karena setiap kali menuangkan kalimat dalam ucapan, kesempatanku selalu selesai dalam sepersekian detik.
Aku tidak pernah punya kesempatan untuk bicara dalam waktu yang ada. Tidak seperti hujan yang selalu punya kesempatan untuk datang saat langit merasa sesak.
Hanya beberapa orang yang tau tentang air mataku, tentang sesaknya perasaanku, tentang sakit hati yang tanpa pengungkapan.
Bahkan hujan tidak tau kenapa aku berada padanya dan air mataku menderas.
Bahkan langit yang sedang muram hanya bergumam melihatku tersedu.
Ia hanya melihat dari sana.
Seandainya ia bisa memeluk, meski hanya satu kali dan hanya sesaat, setidaknya ia membuatku tenang walau hanya dengan mengusap bahuku.
Komentar
Posting Komentar