Jeritan Dalam Kebisuan
Hujan malam ini cukup mewakilkan perasaanku.
Derasnya air yang turun mewakilkan air mata yang menetes.
Suara jarum jam seakan membunuhku secara perlahan.
Perlahan kamu datang dalam ingatan.
Luka lama terasa kesekian kali.
Hati yang berdarah masih dari penyebab yang sama.
Pernyataanmu menyaat lapisan harapan.
Dan rasa sakit ini terlalu kebal untuk dirasa.
Lantunan suara indah tidak berhasil membuatku lupa tentang ini.
Manisnya rasa cokelat pun tak mampu menghentikan.
Sapaan mereka tidak terindahkan.
Hanya bayanganmu yang terasa di depan mata.
Aku bukanlah siapa-siapa untuk meminta apapun padamu.
Bahkan semenit waktu untuk duduk disebelahku pun aku tak berhak.
Aku terlanjur menjadi sisa kenangan yang tidak akan kamu pungut lagi.
Sekalipun terjatuh ke yang paling dalam, tanganmu tidak lagi untukku.
Menyendiri sudah jadi kebiasaanku.
Tapi apa-apa sendiri juga tak selamanya baik, termasuk mencintai.
Apa yang kamu rasakan saat ini?
Apa yang kamu harapkan saat ini?
Tolong, jangan buat malamku semakin menyedihkan.
Pelupuk ini sudah lelah menampung air mata yang sesegera jatuh.
Jangan biarkan perasaan ini terluka lagi.
Aku lelah menyembuhkan kesakitan ini sendiri.
Andai mataku cukup mewakilkan perasaanku, bahwa aku mencintaimu.
Andai semua ucapanku mampu mewakilkan keinginanku, bahwa aku takut kehilanganmu.
Andai barisan kalimat ini mampu membuatmu menarik lagi perasaan yang hampir putus.
Andai bahasa tubuhku mampu kau pahami bahwa aku ingin terus bersamamu.
Masih layakkah perasaan ini bersandar dalam teduhnya hatimu?
Aku lelah berlalari mengejar sesuatu yang terus menjauh.
Masihkah diri ini menjadi satu-satunya dalam hidupmu?
Aku bingung mengartikan setiap apapun yang terjadi.
Apa penantian dan kesakitan ini akan berakhir bahagia?
Apa kamu dan aku bisa menjadi apa yang seharusnya?
Apa perasaan ini tidak sepihak?
Apa kamu seseorang yang pertama, yang akan jadi yang terakhir?
Derasnya air yang turun mewakilkan air mata yang menetes.
Suara jarum jam seakan membunuhku secara perlahan.
Perlahan kamu datang dalam ingatan.
Luka lama terasa kesekian kali.
Hati yang berdarah masih dari penyebab yang sama.
Pernyataanmu menyaat lapisan harapan.
Dan rasa sakit ini terlalu kebal untuk dirasa.
Lantunan suara indah tidak berhasil membuatku lupa tentang ini.
Manisnya rasa cokelat pun tak mampu menghentikan.
Sapaan mereka tidak terindahkan.
Hanya bayanganmu yang terasa di depan mata.
Aku bukanlah siapa-siapa untuk meminta apapun padamu.
Bahkan semenit waktu untuk duduk disebelahku pun aku tak berhak.
Aku terlanjur menjadi sisa kenangan yang tidak akan kamu pungut lagi.
Sekalipun terjatuh ke yang paling dalam, tanganmu tidak lagi untukku.
Menyendiri sudah jadi kebiasaanku.
Tapi apa-apa sendiri juga tak selamanya baik, termasuk mencintai.
Apa yang kamu rasakan saat ini?
Apa yang kamu harapkan saat ini?
Tolong, jangan buat malamku semakin menyedihkan.
Pelupuk ini sudah lelah menampung air mata yang sesegera jatuh.
Jangan biarkan perasaan ini terluka lagi.
Aku lelah menyembuhkan kesakitan ini sendiri.
Andai mataku cukup mewakilkan perasaanku, bahwa aku mencintaimu.
Andai semua ucapanku mampu mewakilkan keinginanku, bahwa aku takut kehilanganmu.
Andai barisan kalimat ini mampu membuatmu menarik lagi perasaan yang hampir putus.
Andai bahasa tubuhku mampu kau pahami bahwa aku ingin terus bersamamu.
Masih layakkah perasaan ini bersandar dalam teduhnya hatimu?
Aku lelah berlalari mengejar sesuatu yang terus menjauh.
Masihkah diri ini menjadi satu-satunya dalam hidupmu?
Aku bingung mengartikan setiap apapun yang terjadi.
Apa penantian dan kesakitan ini akan berakhir bahagia?
Apa kamu dan aku bisa menjadi apa yang seharusnya?
Apa perasaan ini tidak sepihak?
Apa kamu seseorang yang pertama, yang akan jadi yang terakhir?
Komentar
Posting Komentar