Cerpen: Menunggu Hatimu



Tidak percaya. Hari kelulusan sudah didepan mata. Hari yang akan mengakhiri masa putih abu-abu. Luri senang, karena selepas masa SMA, lepas pula masa-masa cinta yang pahit itu. Ya, semoga setelah lulus Luri sudah bisa merelakan semuanya.

Mengikuti kebiasaan remaja yang baru saja menerima hasil kelulusan. Senin ini, Luri pergi ke sekolah untuk melakukan rutinitas yang juga dilakukan senior sebelumnya yang sudah lebih dulu keluar dari sekolah ini.

Mengenakan seragam hari Selasa dan Sabtu; putih abu-abu. Luri berangkat sekitar pukul sembilan pagi bersama sahabatnya yang dikenalnya sejak masuk SMA. Rindita.
Setelah mendengar kepala sekolah sedikit berpidato, seluruh siswa-siswi seangkatan mulai memainkan pilok warna-warninya. Tentu, ini atas izin kepala sekolah. Boleh dilakukan, asal di dalam sekolah.

Beberapa kalimat dan tanda tangan sudah memenuhi seragam putih Luri. Tapi, sosok itu tidak mengisi sisa di kemeja putih ini. Luri sama sekali tidak melihatnya, bahkan di hari perpisahan ini.

“Luri!” teriak seseorang yang terlihat berlari kearah Luri. “Masih ada lapak di seragam lo, nggak? Sini, gue mau nyoret pake tanda tangan gue”.

Tanpa diminta, seseorang itu langsung memutar-mutar tubuh Luri untuk mencari lapak yang tersisa untuk dia tulis. Dia meninggalkan tinta hitam pekat itu diatas pundak kiri Luri.

“Nih, kasih tanda tangan lo juga dong di baju gue” katanya seraya memberikan spidol hitam dan menyerahkan tubuhnya. Luri hanya mencibir dalam hati. Luri memberikan tanda tangan dan beberapa kata dijejeran pundaknya.

“Heh, lo tanda tangan apa nulis cerpen, sih? Kok kayanya dari pundak kiri ke pundak kanan, ya?” ucapnya.
“Diem, deh” ucap Luri masih terus menulis. “Nih” Luri memberikan spidol miliknya, lalu pergi dari hadapannya.
“Buset. Si Luri kehabisan kertas buat nulis cerpen kali, ya!”

Luri memilih menyendiri di kantin. Sekedar minum es teh manis untuk menyegarkan tenggorokannya yang dibiarkan kering dari tadi. Tapi, berniat menyegarkan tenggorokan, rupanya hati juga minta segera disegarkan. Berusaha menghindar, malah terlanjur disapa.

“Hay, Ri” sapanya.

Ternyata, sosok yang dicari-carinya di lapangan, ada di kantin. Di ujung meja sana. Pantas Luri tidak melihatnya. Luri hanya tersenyum menjawab sapaannya.

Setelah mendapat sekantung es teh manis, Luri langsung pergi dari situ. Luri tidak akan terlena oleh suasana lagi. Luri tidak akan memanjakan situasi lagi. Luri pergi meninggalkan masa lalu.

“Eh, Luri. Dari mana?”

Luri berpapasan dengan Rindi diujung koridor sebelum berbelok kearah lapangan. Dia bertanya sesuatu layaknya orang paling bodoh sedunia.

“Dari mana? Emang ada apa lagi selain kantin disana?”

Jalan ini memang hanya untuk menuju ke kantin. Jelas, pertanyaan Rindi adalah pertanyaan bodoh menurut Luri.

“Maksud gue, mau kemana?” tanya Rindi seperti orang yang gugup.
“Lo kenapa, sih? Gugup gitu” Luri tak membiarkan pertanyannya terjawab, karena Luri memlih pergi meninggalkan Rindi.

Rindi melanjutkan langkahnya. Tapi, baru tiga kali melangkah.

“Rindi!” yang punya nama menghentikan langkahnya, berbalik ke sumber suara. “Nanti gue balik duluan, ngga nebeng sama lo” ucap Luri. Rindi hanya mengangguk tanpa kata.

Luri menggamit ranselnya yang diletakan di salah satu kursi yang ada di koridor. Baru bersiap melangkah, seseorang yang sangat malas Luri lihat wajahnya, datang dengan senyum terlebarnya.

“Apa?” Luri langsung menanyakan apa maksud tujuannya.
“Galak banget sih muka lo. Pulang sama gue, ya?” tawarnya.
“Makasih, tapi gue udah dijemput” jawab Luri, sinis.
“Dijemput siapa?”
“Kepo banget!”

Setelah itu, Luri pergi. Luri merasa risih dengan sosok yang selalu ingin tahu urusannya. Memang, dia siapanya Luri? Merasa orang penting di hidup Luri. Luri berbohong saat mengatakan bahwa dia dijemput. Tapi, kalau dijemput supir kopaja, mungkin benar.

Sesampainya di rumah, Luri malah merenung. Kenapa harus teringat lagi? Ah! Batin Luri. Setiap kali meneliti seluruh ruangan di rumahnya, Luri selalu ingat kejadian satu bulan yang lalu.

Satu bulan yang lalu, hubungannya dengan Ringgo masih sangat baik. Satu bulan yang lalu, Ringgo masih sering berkunjung ke rumah Luri. Mereka adalah sepasang kekasih sebelum akhirnya Ringgo memutuskan untuk menyelesaikan hubungannya dengan Luri, seminggu yang lalu. Luri tidak mengerti, mengapa Ringgo menyelesaikan hubungannya. Luri merasa bahwa dirinya tidak punya salah apapun.

Begitu ditanya alasannya, Ringgo hanya bilang, kalau dia ingin fokus pada masa kuliahnya. Tapi, setahu Luri, masa kuliah dimulai sekitar tiga sampai empat bulan mendatang. Luri rasa, itu bukan alasan yang sebenarnya.

Masih tergambar jelas saat Ringgo menemani Luri selepas kecelakaan motor seminggu setelah ujian nasional. Ringgo berada disamping Luri semalaman. Meskipun bukan hanya Ringgo yang menemani, tapi juga sahabatnya; Rindi.

Sudahlah. Mengapa jadi membahas masa lalu? Luri menghormati keputusan Ringgo. Mungkin memang sudah saatnya mereka memikirkan masa depan. Iya, seharusnya juga Luri memikirkan masa depan, bukan masa lalu.

Kehilangan? Sangat. Bahkan, sampai detik ini melewati hembusan napas Luri, rasa sakit itu masih menjelma sebagai udara yang berhembus di kamar Luri. Dan setiap kali Luri bernapas, kesakitan itu langsung menjalar ke seluruh tubuh Luri. Sakit.

Sebelum putus dengan Ringgo, selalu dialah yang menemani kesepian Luri. Kedua orang tuanya memilih menetap di Negara tetangga karena pekerjaan papanya yang tidak bisa ditinggal, dan mama memilih mengurus papa daripada menurus anak semata wayangnya.

Sebenarnya bukan kesepian mutlak, sih. Rumah yang berada di seberang rumah Luri, berpenghunikan seseorang yang sering datang seperti hantu. Datang tanpa diminta, pulang juga tanpa diantar.

Nindyo. Cowok yang selalu malas Luri lihat wajahnya. Benar, ini bukan kesepian yang mutlak. Nindyo sudah berdiri di depan pintu rumah Luri, terus memencet bel yang menurut Luri sangat mengganggu.

“Lo cukup pencet bel sekali dan gue bisa denger!” bentak Luri begitu membuka pintu. Tapi, cowok itu malah tersenyum.
“Gue boleh masuk?” tanyanya.
“Biasanya juga lo ngga pake nanya gitu langsung nyelonong, kan?”

Nindyo masuk tanpa dipersilahkan. Duduk diatas sofa ruang tv layaknya penghuni rumah. Membuka minuman kaleng yang dibelinya tadi di mini market, sebelum ke rumah Luri.

“Gue tahu, lo kan ngga bisa masak. Bibi juga lagi pulang kampung, orang tua di luar negeri, anak semata wayang, dan jomblo pula. Jadi gue kesini bawain lo cemilan” ucapnya tanpa melirik seincipun kearah Luri yang berdiri menyandar pada dinding belakang sofa.
“Nin, lo ngga punya kegiatan ya sampe ngerusuhin rumah gue kaya gini?” tanya Luri.
“Kegiatan gue ya ini, ngerusuhin rumah lo waktu lo sendirian di rumah” jawab Nindyo sambil cengengesan.

Luri bergegas mengambil ponselnya di kamarnya, di lantai 2. Menekan lima digit nomor dan memesan beberapa menu makanan.

“Lo ngapain delivery makanan sih? Gue kan bisa masakin makanan buat lo” ucap Nindyo.
“Dih? Suka-suka gue dong. Gue delivery pake duit gue ini, ngga pake duit lo” sewot Luri.
“Susah deh ah ngomong sama jones” gumam Nindyo.
“Apaan tuh?” tanya Luri.
“Jomblo ngenes” jawab Nindyo. Luri menoyor kepala Nindyo, lalu duduk disebelah Nindyo.

Luri merampas sebungkus keripik kentang dari genggaman Nindyo.

“Ternyata jones kalo laper, galak ya” gumam Nindyo.
“Diem, lo!” bentak Luri seraya mengganti chanel tv.
“Ri, tadi gue liat Rindi ngobrol berdua sama Ringgo” Nindyo membuka percakapan baru. Luri  berhenti mengunyah. “Terus?”.
“Ngga papa, sih” ucap Nindyo. “Kayanya lo udah males ya bahas mantan lo itu?” tanya Nindyo.
“Nin, lo tau ngga sih rasanya diputusin pas lagi cinta-cintanya? Rasanya diputusin padahal lagi ngga ada masalah apa-apa? Rasanya ditinggal orang yang cuman satu-satunya teman kesepian gue? 

Rasanya dibuang gitu aja setelah ngelakuin banyak hal? Tau, nggak?!” tanya Luri.
Luri bicara dengan nada yang tidak pelan. Terlihat kemarahan disetiap kata yang diucap. Dan tak bisa disembunyikan, kesedihan itu menguap hingga air mata itu menetes ditengah ucapan Luri.

Nindyo mengusap kedua pundak Luri. Lalu mengahapus air mata yang tersisa dipipi Luri.

“Gue tau, tapi gue belum pernah ngerasain. Kalau itu jenis kesakitan yang lo rasain, gue juga punya rasa sakit yang gue rasain. Tapi gimana sikap kitanya sendiri menghadapi rasa sakit itu” ucap Nindyo.
“Lo bisa ngomong gitu karena lo ngga ngerasain yang gue rasain”
“Gue ngerasain apa yang lo rasain. Karena lo selalu berbagi rasa pedih lo ke gue, Ri”

Luri melepas kedua tangan Nindyo dari pundaknya, menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Lalu menuju ruang tamu dan membukakan pintu untuk seseorang yang mengantar makanan yang tadi sudah dipesan Luri.

“Buat lo” Luri memberikan sebungkus cheese burger pada Nindyo.
“Thanks. Kalo masih laper, bilang gue ya. Biar gue masakin makanan buat lo. Gini-gini, gue jago masak, loh” Nindyo membanggakan dirinya sendiri.
“Lo pikir gue apa? Burger dengan ukuran large begini menurut lo ngga cukup buat cacing di perut gue?” semprot Luri.
“Bukan, biasanya kan orang yang lagi patah hati, makannya banyak” ucap Nindyo, santai. Luri hanya melirik sinis.

Seminggu setelah pengumuman kelulusan, adalah pemberitahuan tentang SNMPTN, atau keterimanya siswa di universitas melewati jalur undangan. Seluruh siswa bisa mengaksesnya lewat internet. Seperti hari ini, Luri dan Nindyo mengakses bersama-sama di rumah Nindyo.
“Ri, lo dapet Ri!” antusias Nindyo saat tahu bahwa Luri dapat SNMPTN. Tapi, Luri sepertinya biasa saja. Padahal dulu, Luri sangat berharap bisa keterima di universitas dan jurusan seperti yang sudah Luri dapatkan.
“Gue ngga minat” ucap Luri.
“Lo gimana sih? Dulu lo kepengin banget kan masuk UI? Ini lo udah dapet. S1 Sastra Indonesia! Ini kan mimpi lo? Sorry, sekarang bukan mimpi. Ini nyata Luri! Selamat ya!” Nindyo memeluk Luri. Luri hanya tersenyum.
“Lo bakalan ambil kan?” tanya Nindyo. Luri hanya mengangkat bahu. “Lo kenapa sih?” tanya Nindyo.

Luri menarik napas dalam-dalam. Berdiri di depan jendela kamar Nindyo.

“Masuk UI itu mimpi gue sama Ringgo. Gue sama dia sama-sama bikin target untuk bisa masuk UI. Tapi itu dulu, itu target waktu gue sama Ringgo masih pacaran” ucap Luri dengan nada bergetar.
“Tapi ini kan cita-cita lo. Apa lo rela ngebuang kesempatan ini? Lo rela ngebuang semua yang udah lo dapetin dengan usaha lo? Oke, anggap aja target lo dulu adalah loncatan supaya lo bisa semangat ngejar cita-cita lo. Dan sekarang lo udah dapetin itu semua”

Luri diam.

“Lo orang paling bodoh kalo lo ngebuang semua yang udah lo dapetin cuman karena masa lalu. Inget, Ri, lo hidup untuk masa depan, bukan untuk masa lalu”

Luri menatap teman sejak TK nya itu.

“Gue pengin liat senyum bangga kedua orang tua gue, Nin. Tapi mana? Besok wisuda, dan tanpa dampingan orang tua. Buat apa gue seneng dapet universitas impian gue, tapi kedua orang tua gue ngga ada disamping gue? Hambar, Nin” lirih Luri.
“Ri, jaman kan udah canggih. Lo bisa hubungin orang tua lo lewat skype. Kalopun orang tua lo ngga bisa dampingin wisudaan lo besok, kan masih ada orang tua gue. Nyokap bisa dampingin lo, gue bisa sama bokap”
“Ta—“
“Jangan pernah ngerasa ngga enak. Orang tua gue udah anggap lo kaya anak sendiri, malahan kadang mereka lebih sayang sama lo dari pada sama gue yang anak kandungnya sendiri”
“Ngga usah merendah deh lo. Lo kira mama papa gue ngga anggap lo anak juga? Gue berasa punya kakak kalo lo udah ketemu mama papa gue”

‘Kakak?’ batin Nindyo.

“Eh, terus lo bakal lanjut dimana?” tanya Luri.
“Belum tahu. Gue kan ngga dapet undangan” jawab Nindyo.
“Ikut simak aja. Biar satu kampus sama gue”
“Jadi lo ngambil nih?”
“Mungkin. Lo ikut simak ya?”
“Ngga ah, gue males belajar lagi hahaha. Segitu ngangeninnya gue ya sampe ngga mau pisah kampus sama gue?”
“GE-ER!” Luri menoyor kepala Nindyo.
“Hobi banget noyor kepala gue, sih lo” ucap Nindyo.

Keesokan hari saat wisuda, Luri berangkat bersama Nindyo dan kedua orang tua Nindyo. Mengikuti format Nindyo kemarin, Luri akan didampingi dengan mamanya Nindyo, dan Nindyo sendiri didampingi papanya.

Mobil yang dikendarai papa Nindyo berhenti di depan salon dekat rumah mereka. Salon yang merias mama Nindyo dan juga Luri.

Nindyo sibuk memainkan ponselnya di dalam mobil, disebelah papanya. Tak lama, di seberang mobil sudah ada dua wanita mengenakan kebaya. Begitu mama Nindyo dan Luri sampai di depan mobil, Luri masih juga menggerutu.

“Tante, ini makeup nya ketebelan. Luri jadi kaya ondel-ondel tau!”
“Kamu cantik, sayang. Tanya Dyo, deh tuh. Dyo, Luri cantik kan ya?”

Nindyo mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dan melirik kearah Luri. Untuk beberapa detik, mata itu tak berkedip.

“Lo cantik, Ri” gumam Nindyo.
“Biasa aja kali ngeliatnya. Kalo cantik, emang udah nasib gue sih ya” pede Luri.

Selama di dalam gedung, mata Nindyo sama sekali tak lepas dari Luri. Luri terlihat anggun dengan kebaya hitamnya. Begitu juga Nindyo, yang terlihat gagah dengan jas hitam yang dipadu dasi warna merah.

Mereka memang berbeda kelas, maka dari itu kedua orang tua Nindyo berbagi tugas untuk mendampingi Nindyo dan Luri.

Luri Rasilvera Nindya, XII IPS 1. Sudah tertempel di kuris barisan kelasnya. Sama juga seperti Nindyo Bryowijaya yang namanya tertempel di deretan kursi kelas XII IPS 2.

“Gue baru tahu kalo nama kita samaan” ucap Nindyo begitu acara usai dan menghampiri Luri ke barisan kelasnya. “Gue mikirnya selama ini nama lo itu cuman Luri Rasilvera, ternyata ada lanjutannya. Gue Nindyo, lo Nindya. Ciye, kita jodoh” ledek Nindyo.
“Apaan sih lo” ucap Luri.
“Ma! Mama! Tolong fotoin Nindyo sama Nindya, dong” pinta Nindyo pada mamanya. Nindyo memberikan ponselnya kepada mamanya.
“Bisa ngga sih ngga usah manggil gue Nindya?! Gue ogah disama-samain sama lo!” bisik Luri.
“Bodo” Nindyo merangkul Luri.
“Ih ngga usah pake rangkul segala!” Luri berusaha melepas tangan Nindyo dari pundaknya.

Klik. Beberapa foto Nindyo dan Luri sudah terabadikan diponsel Nindyo. Selesai berfoto dengan Nindyo, Luri mencari Rindi. Karena sejak bubaran, Rindi tidak terlihat lagi. Sepertinya, akhir-akhir ini Rindi menghindari Luri.

Lutut Luri terasa lemas saat melihat Rindi dan Ringgo di depan gedung. Mereka tertawa bersama setelah difoto. Luri masih dipersembunyiannya, ingin tahu apa yang Ringgo dan Rindi bicarakan disitu.

“Aku ngga enak sama Luri. Kita bilang sekarang aja deh ya?”
“Apaan sih kamu. Udahlah, lagian aku sama Luri kan udah ngga ada hubungan apa-apa. Lagian, dia juga udah baik-baik aja sama Nindyo”
“Kita tuh jahat banget ya? Tapi aku ngga bisa bohongin perasaan aku, kalo aku udah suka sama kamu, bahkan sebelum kamu pedekate sama Luri”
“Coba kalo dulu kamu kasih kode ke aku, aku ngga bakal nembak Luri. Hahahaha”

Bukan cuman lutut yang terasa lemas, tapi air mata mulai mengalir deras. Luri keluar dari persembunyiannya. Berdiri dengan air mata yang sudah melunturkan makeup diwajahnya.

“Penghianat. Seharusnya ngga gini caranya. Kalian bisa ngomong baik-baik sama gue!” ucap Luri ditengah isak air mata dan kemudian pergi meninggalkan Rindi dan Ringgo.
“Rin, Nggo, harusnya lo berdua sadar kalo kalian adalah dua orang terpenting di hidup Luri setelah kedua orang tuanya. Gue bisa jamin, ngga akan lo temuin sahabat sebaik Luri setelah lo sakitin dia. Dan lo, ngga akan pernah dapetin hati setulus perasaan kaya Luri” ucap Nindyo yang menonton kejadian tadi, dan setelah itu pergi menyusul Luri.

Luri duduk di dekat air mancur sekitar gedung, agak jauh dan sepi. Luri bisa menumpahkan seluruh kekecewaannya disitu. Menangis. Sendiri.

Lukisan perias tadi pagi sudah tak terlihat indah di wajah Luri. Berantakan. Luri tidak peduli, yang penting dia ingin membagi kesedihannya pada semesta.

“Gue benci kalian! Gue ngga akan pernah anggap lo sahabat! Rindi lo jahat” ucap Luri dalam isaknya.

Dalam tundukan itu, Luri melihat sepasang kaki. Luri mengangkat kepalanya, menghapus air matanya dengan punggung tangannya, membuang pandangan dari Nindyo. Nindyo duduk disebelah Luri, menggenggam kedua tangan Luri.

“Jangan buang air mata lo untuk orang kaya mereka” ucap Nindyo.

Luri berusaha untuk menahan air matanya, tapi tidak bisa. Luri menangis lagi, dan Nindyo membawa Luri dalam pelukan terhangatnya. Kalau bukan Nindyo, siapa lagi yang akan menampung air mata Luri seperti ini? Dan Nindyo membiarkan jasnya basah karena air mata Luri.

Malam ini, Nindyo menemani Luri diatas balkon rumah Luri. Luri duduk sambil memeluk lututnya, menatap kedepan tanpa sedetikpun berkedip.

“Ri, lo makan dong. Dari tadi pagi lo belum makan, nanti kalo lo sakit gimana? Besok kan kita berangkat ke Jogja” ucap Nindyo.
“Besok gue ngga ikut” ucap Luri.
“Hah?! Ngga, pokonya lo harus ikut”
“Gue ngga mau ngeliat Rindi sama Ringgo lagi, Nindyo! Seharusnya lo paham perasaan gue!”
“Gue selalu paham hati lo. Tapi menghindar bukan cara yang tepat”
“Usul apa yang lo punya? Nin, cinta itu pake perasaan, bukan logika. Susah buat dipikir pake akal sehat!”
“Cinta itu pake perasaan. Juga logika. Cinta tanpa logika itu sama aja napsu. Cinta tanpa perasaan, bukan cinta namanya. Bukan susah untuk dipikir pake akal sehat, tapi lo ngga ngegunain akal lo buat mikir kedepannya. Kalo kaya gini, lo tuh ngga bisa dibiarin sendirian, Ri. Kalo lo kesepian, yang ada lo selalu inget sama kesedihan lo. Buat apa buang-buang waktu untuk nginget masa lalu yang udah sama masa depannya? Kalo yang lalu aja udah nemuin yang baru, lo mau stuck aja, gitu?”
“Nin, tapi ini soal perasaan. Ngejalaninnya ngga segampang ngomong!”
“Tapi lo ngga akan bisa ngejalanin kalo lo ngga denger omongan gue tadi. Masa lalu itu emang sakit, tapi lebih sakit lagi kalo lo sama sekali ngga gerak dari masa lalu. Life must go on, lo ngga bisa terus-terusan terpuruk”

Untuk malam itu, Luri cukup tertampar oleh omongan Nindyo. Luri memutuskan untuk ikut perpisahan ke Jogja. Luri terpisah bus dengan Nindyo. Luri di bus 1, Nindyo di bus 3. Tapi Luri meminta pada panitia untuk dipindahkan ke bus 3. Kebetulan, dari bus 3 juga ada yang mau pindah ke bus 1.

Nindyo sedang mendengarkan music di iPodnya, bersandar pada jendela kiri bus. Selang berapa detik, Nindyo merasa ada yang duduk disebelahya.

“Luri?”
“Kursi ini udah ada yang nempatin, belum?”
“Udah”
“Oh, udah ya” Luri segera bangun dari duduknya, Nindyo menarik tangan Luri.
“Lo yang nempatin” ucap Nindyo, Luri kembali duduk. “Kenapa pindah bus?” tanya Nindyo.
“Bisa kan ngga usah nanya pertanyaan yang udah lo tau jawabannya?”
“Gitu aja sewot. Ngomong-ngomong, apa alesannya lo berubah pikiran?”
“Menurut lo?”
“Pasti karena gue, lah”. Luri bersiap menoyor kepala Nindyo, tapi Nindyo langsung memajukan kepalanya. “Kebaca banget! Hahahaha, emang enak meleset hahahaha” ucap Nindyo.

17 jam perjalanan. Membuat Nindyo dan Luri berkali-kali tertidur dan terbangun. Mendengarkan music guna menghilangkan rasa bosan, main game, abece 5 dasar, tebak-tebakan, atau apa saja sudah mereka lakukan. Tapi Jogja belum juga mereka pijak. Dan ini tempat makan yang terakhir—sebelum sampai di Jogja—yang mereka kunjungi.

Baru saja Nindyo hendak bangun untuk turun keluar bus. Tersadar bahwa seseorang disebelahnya masih pulas dengan pundak Nindyo yang dijadikan bantal oleh Luri. Nindyo baru saja mau menyentuh pipi Luri, namun gadis itu sudah mengangkat kepalanya dari pundak Nindyo.

“Ini dimana?” tanya Luri yang masih berusaha tersadar.
“Di tempat makan. Katanya, sekitar 2 jam lagi kita baru sampe di Jogja” jawab Nindyo.
“Yaudah, yuk, turun” kata Luri.
“Emangnya lo ngga kenyang? Ri, tiga bungkus lays udah lo abisin sendiri, roti gue juga lo makan, susu kaleng juga udah abis dua, masih belum kenyang?”
“Itukan cemilan, Nin, bukan makan berat. Udah ah misi, gue mau turun” kata Luri. Nindyo bangun dari duduknya sambil menggelengkan kepalanya.

Sekitar satu jam makan malam. Tapi Luri tidak menunggu yang lain selesai makan, hanya butuh 15 menit membuat sepiring nasi dan lauk Luri berpindah ke perutnya, setelah itu Luri naik ke bus. Karena menurutnya, pemandangan sepasang kekasih baru itu membuat mata Luri gatal.
Dua menit duduk di dalam bus, Nindyo sudah ada disebelah Luri.
 

“Naik juga lo”
“Masih ngantuk gue”

Nindyo meletakan kepalanya diatas pundak Luri, seperti yang Luri lakukan tadi, saat bersandar dipundak Nindyo.

“Eh!” gerutu Luri. Setelah itu, Luri tidak membantah. Hanya saja, rambut Nindyo yang sedikit gondrong sesekali menyentuh telinga Luri, dan itu membuat Luri bergidik.
“Yah, mati lagi hape gue. Gimana gue bisa ngabarin mama?!”

Luri melirik kearah Nindyo.
 

“Nin, pinjem hape lo dong. Boleh ya? Hape gue mati, gue mau ngabarin mama. Boleh kan?” Luri tau Nindyo sedang tertidur, tapi Nindyo mengangguk. “Mana hape lo?” tanya Luri. Seperti mengigau, 
 Nindyo merogoh ponselnya di saku celana jinsnya, dan memberikannya pada Luri.

Untung Luri tau kata sandi untuk membuka lock hape Nindyo. Jari Luri mulai mengarah ke icon gambar pesan. Tapi Luri benar-benar kaget, di inbox ada sebuah nama kontak yang mengundang rasa penasaran Luri. Bagaimana tidak, selama ini yang Luri tahu, Nindyo itu jomblo, tapi kenapa ada kontak yang bernamakan “Mine”.

Luri membaca conversation itu. Tapi, Luri seperti mengenal percakapan itu, bahkan mengenal betul susunan angka pemilik nomer Mine itu. Tunggu…

“Ini kan nomer gue?! Mine?” gumam Luri.

Sesampainya di Jogja, seluruh siswa sudah terbagi siapa yang akan sekamar dengan siapa. Untunglah Luri tidak sekamar dengan Rindi, karena Luri meminta panitia untuk tidak menyatukan Luri dengan Rindi.

Jam 3 pagi. Luri belum juga memejamkan matanya. Padahal, besok pagi seluruh siswa akan mengunjugi Borobudur, salah satu tempat yang tidak akan dilewati kalau berkunjung ke kota Gudeg ini. Setelah Borobudur, pantai Parangtritis yang menjadi destinasi terakhir hari ini.

Luri belum juga menemukan jawaban dari pertanyaan yang terus berenenag dikepalanya. Mine? Milikku? Apa maksudnya?

Sudah jam 6 pagi. Luri bergegas ke kamar mandi, berpakaian santai dan setelah itu pergi ke depan tempat terparkirnya bus. Dengan celana jins panjang, kaos berlengan panjang warna hitam, sepatu kets warna biru, dan tas selempang warna putih, Luri duduk di bangku nomor lima dari belakang.
Tak lama, cowok yang berdandan hampir sama dengan Luri duduk disebelahnya, hanya saja Nindyo tidak memakai tas selempang. Dan Nindyo menambahkan snapback warna hitam yang ia pakai memutar 180 derajat.

Bus sudah melaju. Sekitar 30 menit, bus rombongan SMA Budhi Warman sudah sampai lokasi. Luri turun dari bus setelah Nindyo turun. Tak lama, dua orang yang sempat menjadi orang penting dihidup Luri turun. Luri menangkap tatapan bersalah dimata sahabatnya, dulu. Tapi Luri berusaha bersikap dingin pada Rindi. Rindi bukan lagi sahabatnya. Sama seperti Rindi, Ringgo juga menatap Luri dengan tatapan bersalah.

Nindyo menggamit tangan Luri, berjalan lebih dulu. Luri tak mengerti, apa maksud genggaman ini? Mereka terus berjalan untuk sampai di puncak Borobudur.

“Nin, sewa payung, kek. Panas!” gerutu Luri.
“Emang dasar cewek, maunya disama-samain sama vampire, pada takut matahari” meskipun mencibir, Nindyo tetap saja menuruti keinginan Luri.

Mereka berjalan di bawah payung. Berdua. Sebenarnya, rasa penasaran itu masih menyelimuti Luri. Namun, Luri mengurungkan niat untuk bertanya.
Mereka sudah berdiri di depan puluhan anak tangga yang sesak dipenuhi pengunjung, bahkan touris.

“Kuat, ngga?” tanya Nindyo.
“Lo sendiri?” tanya Luri.
“Gue sih kuat. Setiap gue ke Jogja, gue pasti ke Borobudur” jawab Nindyo.
“Kalo gue pingsan, lo gotong gue ya” ucap Luri, konyol.
“Ngapain. Berat” ledek Nindyo. Luri menyikut perut Nindyo, lalu mulai menaiki anak tangga demi anak tangga. Luri memang baru sekali ke Jogja. Seandainya perpisahan sekolahnya ke Kuala Lumpur, Luri pasti khatam soal jalanan disana.

Lagi kesekian kali. Nindyo mengabadikan dirinya dan Luri di atas puncak Borobudur. Semua terlihat indah dari sini. Bahkan, senyum ikhlas di wajah Luri sangat terlihat jauh lebih indah dari sebelumnya.

“Nin, makasih ya” ucap Luri. “Buat apa?” Nindyo bertanya dengan kening berkerut.
“Lo udah ngebalikin kehidupan gue, kaya sebelum gue kenal Ring—“
“Jangan sebut nama itu lagi. Gue aja ngerasa benci banget sama itu orang”
“Oke. Bye the way, lo bakal kuliah dimana?” tanya Luri.
“Belum tahu, Ri”
“Mau sampe kapan belum tahunya?”
“Sampe…” Nindyo membiarkan ucapannya menggantung. ‘Sampe lo jadi pacar gue, Ri’ benak Nindyo.
“Heh!” Luri membuyarkan lamunan Nindyo.
“Sebentar lagi gue bakal daftar universitas, kok”
“Dimana?”
“Masih belum tahu, dibilang”
“Diluar kota ya?”
“Lo mau gue dorong kebawah dari atas sini, nggak?”
“Gitu aja sensi, Boy!” goda Luri seraya mencolek dagu Nindyo.

Semua kenangan semasa SMA sudah dilalui. Hingga kini…

“Kenapa lo telat sih?” tanya Luri.
“So… Sorry. Ri, happy birthday ya” ucap Nindyo.
“Lo kan udah ngucapin semalem hahaha. Yaudah yuk masuk”
“Luri”
“Ya?”
“Ada yang mau gue omongin sama lo”
“Apa? Serius banget kayanya”

Nindyo memberikan selembaran amplop berwarna putih. Luri menanggapinya dengan heran.

“Ini apa?” tanya Luri seraya membuka perekat amplop itu.

Luri membaca isi kertas di amplop itu. Seperti berdiri ditengah rumput yang luas, lalu membiarkan peluru mendarat di hati dan jantung Luri. Bulir air mata itu menetes lagi. Nindyo tidak menyangka, bahwa dia menjadi penyebab air mata Luri.

“New York? Harus banget, Nin?” tanya Luri, lirih. Nindyo diam, menunduk. “Kapan lo berangkat?”.
“Malam ini. Gue janji, gue pasti pulang ke Indonesia dalam keadaan utuh”
“Lo masih bisa becanda dalam keadaan kaya gini?”
“Maaf. Gue cuman ngga mau lo nangis terus, apa lagi nangisnya gara-gara gue” nindyo memeluk Luri. “Dan gue janji, gue pasti balik lagi kesini… buat lo” lanjut Nindyo.

Tapi, kepergian Nindyo ke New York tidak pernah membuatnya berhenti menghubungi Luri. Mereka tidak pernah melewatkan satu hari tanpa kabar. Bahkan Luri tidak pernah merasa bosan ketika berulang kali harus berusaha “jatuh cinta lagi” pada Nindyo. Walau banyak godaan di kampus, Luri berusaha mengingat Nindyo.

“Heh! Bengong mulu dari tadi. Mikirin apa sih?”
“Lagi nginget masa-masa kita dulu. Waktu di Jogja, waktu lo pergi ninggalin gue di hari ulang tahun gue”
“Serius nih cuman masa-masa kita yang lo inget? Mantan lo?”
“Apaan sih lo. Baru nyampe Jakarta tuh ngebahas yang enak kek, ini malah mancing bahas yang pahit!”
“Jadi mau bahasan yang manis, nih?”

Luri masih menikmati rasa cokelat yang menempel di lidahnya, sementara Nindyo merogoh sesuatu dari tas tentengnya. Sekotak kecil berwarna putih. Sepasang cincin yang sama, yang sekarang ada di depan mata Luri.

“Itu cincin?” tanya Luri.
“Menurut lo ini dua pasang ciki ring?”
“Hahahaha, maksud gue, ini cincin buat apa?”
“Tadi katanya mau bahas yang manis. Ini gue lagi coba bahas yang manis”
“Ini? Gue masih ngga ngerti”
“Harus banget ya gue to the point? Oke… Kapan kita ke KL supaya gue bisa langsung ngelamar lo?”
“Nge? Lamar? Hem, orang tua gue lagi di Jakarta kok”
“Yaudah yuk, kita ke rumah lo”
“Ih, lo buru-buru banget sih!”
“Nanti keburu ada mantan yang menyesal, yang dateng ke lo karena sekarang lo udah cantik”
“Jadi maksud lo, dulu gue jelek, gitu?!”

Nindyo sudah berjalan lebih dulu sambil mendorong kopernya, berjalan menuju keluar bandara.

“Nindyo, tunggu!” Luri berlari mengejar Nindyo. tegap mereka sudah sama. “By the way, nama kontak gue masih Mine?” tanya Luri yang hanya dijawab Nindyo dengan senyuman.
                                                                           END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]