Kegelisahan Seorang Aku



Hari sudah berganti menjadi sebuah pekan, dan pekan juga telah berubah menjadi bulan. Masa-masa itu telah berlalu, berubah menjadi suatu hari dan suatu keputusan yang harus dijalani.
Kebimbangan mulai menjalar menjadi keyakinan. Entah keyakinan jenis apa, menghadapi sesuatu yang bukan kemauan hati. Intinya, semua berdasarkan dorongan orang lain, dorongan mereka. Iya, mereka, bukan kata hati nurani.
Aku sudah mendapatkan apa yang mereka mau. Kebahagiaan mereka, keinginan mereka, harapan mereka, cita-cita mereka. Semua tentang mereka, impian mereka; aku yang menjalani.
Segala harapan mereka, bukanlah sesuatu yang kumau, bukan hal yang kusuka, bukan duniaku. Mungkin aku hanyalah seseorang yang mereka harapkan untuk meneruskan kegiatan mereka sekarang. Sedikit rumit, tapi resapilah. Rangkaian kata ini akan terasa miris apabila dibaca dan dihayati.
Aku pernah bercerita disebuah postinganku diblog. Tulisan ini adalah lanjutan untuk kata yang pernah kutulis dalam judul Kata Hati atau Kata Orang Tua? Aku menjelaskan tentang beberapa jalur yang kulalui untuk mendapatkan sebuah Perguruan Tinggi Negeri.
Aku mendapatkan 2 PTN dari banyak yang telah kudaftarkan. Pertama, aku diterima disebuah PTN, Politeknik Negeri Media Kreatif dengan program studi (prodi) Penerbitan. Dan yang kedua, aku diterima di Politeknik Negeri Jakarta dengan prodi Teknik Elektronika Industri.
Aku mendapatkan sesuatu yang kumau, juga yang orang tuaku mau. Senang bisa mendapatkan sesuatu yang kuinginkan, sesuai bakat dan minatku. Bahkan aku jauh lebih senang bisa membuat kedua orang tuaku tersenyum karena mendapatkan apa yang mereka harapkan.
Iya, aku senang menjadi sebab senyum dan air mata haru mereka, bukan karena diterima di PTN dengan prodi itu. Demi apapun, aku tidak pernah merasa senang secara batin bisa mendapatkan Teknik Elektronika Industri (TEI), aku hanya merasa senang dalam fisik. Di prodi Penerbitan, aku jauh lebih merasa senang dalam batin, jauh lebih bahagia. Tapi secara fisik, aku tidak akan pernah berjalan dalam prodi tersebut.
Taukah rasanya menjalani sesuatu yang bukan dari hati?
Aku paham, kata hati tidak pernah salah. Tapi, bagaimana dengan kata kedua orang tua? Bagaimana mungkin aku menjalani sesuatu tanpa restu orang tua? Dan bagaimana aku harus menjalani sesuatu tanpa keikhlasan hati?
Aku memang ingin membahagiakan kedua orang tuaku, membahagiakan orang-orang yang ada dalam hidupku. Tapi, apa hanya dengan cara ini mereka bahagia? Dengan cara mengorbankan kebahagianku yang membuat mereka bahagia?
Aku sadar. Aku hanya sebuah daging yang bernama, yang belum bisa memberi apa-apa pada mereka. Tapi aku sudah diakui Negara. Aku berhak berpendapat, aku berhak memilih, berhak memutuskan sesuatu.
Sampai akhirnya aku sadar, semua alasan tidak akan pernah mereka dengar. Pendapatku hanyalah angin lalu. Bahkan aku tidak punya pilihan. Aku tidak pernah mendapat sebuah pilihan.
Tidak ada kebebasan. Jalan yang harus kulalui adalah pilihan mereka. Aku? Aku hanya sesuatu yang akan selalu menurut perkataan mereka.
Memang, mereka tidak ada yang melarangku untuk menulis, meneruskan cita-citaku. Hanya saja, mereka menginginkan aku menempuh jalur yang akan selalu kurasa sulit untuk kulalui.
Dua pekan sudah aku menjalani hari-hariku sebagai seorang mahasiswi di prodi TEI. Aku melewati proses sebagai calon mahasiswa baru di PNJ. Satu hari terasa lama. Karena apa? Karena aku menjalani sesuatu yang sama sekali tidak kusuka.
Mungkin kalian bosan membaca kalimat semacam tadi. Jujur, bahkan aku bosan harus membahas ini berkali-kali. Entah sampai kapan arwah penasaranku berhenti mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berenang dikepalaku.
Setiap kali bertemu dengan Tuhanku, aku selalu meminta keikhlasan untuk menjalani semua ini. Telinga teman-temanku mungkin lelah mendengar keluhanku tentang ini. Ya, bahkan aku lelah harus bercerita tentang kebimbangan yang belum juga berakhir.
Entah sampai kapan aku harus menjalani ini. Aku ragu. Aku ingin menjalani sesuatu atas dasar kata hati, juga restu orang tua. Tapi kenyataannya, kata hati dan kata orang tua akan selalu bertolak belakang.
Aku merindukan masa putih abu-abuku. Merindukan jam masuk sekolah yang selalu tepat waktu, merindukan jam pulang sekolah yang selalu tepat waktu, walau jam pulang ke rumah tidak pernah tepat waktu.
Ya, masa lalu akan selalu indah. Semua kejadian yang terkenang, akan terasa indah bila teringat. Semua indah karena tidak akan pernah dilewati lagi. Semuanya sudah berlalu.
Aku mulai beranjak dewasa. Mulai melangkah untuk masa depan. Mulai mencari apa yang mereka harapkan. Aku sudah berjalan diatas sebuah harapan dan impian mereka.
Luruskan jalanku. Berikan keikhlasan untuk menghadapi semuanya. Berkahilah semua yang kupelajari. Kuatkan hati yang selalu menangis ini. Kuatkan fisikku untuk menghadapi sesuatu yang belum pernah kuhadapi sebelumnya. Bimbing langkah demi langkahku untuk mencapai sesuatu yang mereka banggakan. Berikan aku kesempatan untuk selalu membuat mereka tersenyum sampai pada puncaknya. Aku berdoa padaMu, Ya Allah.
Mungkin kalian sudah tau alasanku. Aku melakukan ini untuk membuat mereka bahagia, karena aku takut tidak punya waktu untuk membahagiakan mereka, membahagiakan kedua orang tuaku. Aku paham, jalanku tidak akan pernah lurus tanpa doa orang tuaku. Aku melakukan ini untuk mereka.
Ini adalah proses pendewasaanku. Semua situasi yang kuhadapi adalah guna melatih kesabaranku. Perjalanan ini akan kutempuh sampai aku menemukan titik untuk berhenti. Aku akan terus berusaha ikhlas menerima takdirku. Iya, ini takdir, bukan pilihan.
Takdir. Takdir. Takdir. Akankah semua indah pada waktunya? Aku selalu menunggu hari dimana semua harapanku datang. Aku selalu menunggu waktu, dimana bahagiaku juga bahagianya mereka. Aku akan selalu menunggu apa yang harus kutunggu.
Tiga tahun tidak akan tersa lama jika dijalani dengan kegembiraan. Aku harus bahagia dalam takdirku. Aku harus menghadapi semua yang telah digariskan Tuhan. Aku harus bisa melewati masa-masa ini. Aku harus bisa membuat mereka bangga. Aku harus bisa membuat mereka bahagia dengan cara mengorbankan kebahagiaanku.
Wait, aku terlalu egois jika mengatakan mengorbankan kebahagiaanku. Bukankah bahagia mereka adalah bahagiaku? Iya, tentu. Bahagiaku adalah berimajinasi. Imajinasi. Hanya itu yang membuatku bisa mendapatkan apa keinginanku. Hanya dalam imajinasi.
“Berserah pasrahkan semua, pada yang kuasa. Beri yang terbaik sepenuh jiwa. Berserah bukan berarti menyerah, tapi tak henti percaya. Bahwa kita memang pantas bahagia” – G.A.C
Mungkin, masa yang kuanggap sulit adalah sebuah perjalanan menuju pencapaian yang memuaskan. Mungkin, segala anggapan negatifku akan segera terjawab dengan rangkaian sesuatu yang positif dengan cara yang masih menjadi rahasiaNya. Mungkin, perjalanan yang akan terasa panjang ini bisa membuatku menemukan sesuatu yang belum pernah kutemui sebelumnya. Dan, mungkin, takdir ini adalah proses hidup yang akan berguna untuk kedepannya.
“Semakin tinggi usia lo, semakin tinggi level dan semakin berat cobaannya. Lo selalu bilang untuk ikhlas. Berpikir untuk bisa, lo pasti bisa. Semua demi orang tua lo. Cari temen yang bisa bantu lo, jangan terus mengandalkan satu orang. Lo pinter. Semua ngga ada yang kebetulan, semua ada yang ngatur dan lo tinggal ngejalanin peran lo. Jangan pernah berpikir ini susah. Kalo emang ini susah, ngga mungkin ngga ada jalan keluarnya. Semua pasti ada masanya. Ini awal dan pasti ada akhirnya. Semua demi lo, demi orang tua lo. Kalo lo sukses, lo juga yang akan ngerasain. Semangat! Untuk menjadi sukses, ngga mudah, semua butuh perjuangan. Motivasi yang paling bisa bikin lo semangat, ya diri lo sendiri. Jangan lupa berdoa setiap lo mau kuliah, biar berkah dan dipermudah Allah. Gue cuman bisa doain lo dari sini” – Inka.
“Seberat apapun yang lo hadapi, Allah pasti selalu ngebantu lo. Lo ngga pernah sendiri” – Heti.
“Lo boleh males dalam belajar, tapi jangan males untuk berorganisasi” – Yoyo.
“Semangat! Belajar mencintai dosen dan fisika dulu, lah” – Desu.
Mereka berempat adalah teman paling paling terdekat. Mereka selalu menyediakan telinga untuk menyambut rentetan kegelisahanku. Tanpa dukungan mereka, mungkin hanya keterpaksaan yang tetap kubawa dalam langkahku sekarang. Selain doa dari orang tua, peran mereka juga sangat penting dalam perjalananku hingga sampai dihari ini.
Terimakasih telah menjadi pendengarku, penasehatku, dan kehidupan kalian juga menjadi pelajaran untukku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]