Cerpen: Semua Karena-Nya



“Ngga kerasa ya, kita udah jadi kelas dua belas aja, hahahaha” ucap Lisa di ruangan osis, siang ini.
“Ketawa mulo lo, hapalin tuh lirik” ucap Devira, sebagai ketua osis.
“Sorry” datar Lisa.
Seminggu menjelang masuknya siswa tahun ajaran baru, para pengurus osis sibuk mempersiapkan semuanya, mulai dari lagu yang akan dinyanyikan selagi masa orientasi, gerakan yang menurut mereka aneh. Namun harus mereka lakukan, inilah tuntutan pengurus osis.
“Bentar ah, gue cape, haus” ucap Lisa, duduk di lantai, bersandar pada dinding kelas di lantai satu. Tiba-tiba seseorang menghampiri, duduk dalam posisi yang sama dengan Lisa, dan memberikan sebotol air mineral.
“Nih” ucap Zera, salah satu adik kelas Lisa.
“Ih, baik banget sih lo Ze, tau aja gue haus, makasih ya” ucap Lisa lalu meneguk air yang Zera berikan.
Hari demi hari dilalui para pengurus osis dengan enjoy, sampai tiba saatnya. Hari Senin, hari dimana siswa menengah pertama yang akan menjadi calon siswa menengah atas harus melewati masa-masa orientasinya di SMA Budhi Wiyata.
Di ruang osis.
“Eh eh, muka gue udah jutek belum?” tanya Lisa yang memasang tampang jutek.
“Heh, muka jutek lo ga perlu dibuat-buat, diem aja lo udah jutek, Sa hahaha” ucap Devira.
“Bener tuh hahahahahaha” ucap Kinan yang membuat bibir Lisa maju tiga senti.
Pera pengurus osis sudah tau harus ada di gugus mana mereka. Semua sudah di kelompokan oleh pembina osis. Gugus meteor akan dimasuki tiga mentor, yaitu Devira, Lisa, dan Zera. Gugus meteor ada di lantai empat, ruangan paling pojok kanan. Mereka bertiga siap memandu siswa-siswi untuk naik ke lantai empat.
Di gugus meteor, ketiga mentor itu memperkenalkan diri kepada adik kelas.
“Kami bertiga adalah mentor kalian disini. Nama saya Devira Syahbian, dari kelas dua belas ipa satu” perkenalkan Devira dengan tampang garang.
“Nama saya Zera Fabian, dari kelas sebelas ipa dua” ucap Zera dengan tampang mematikan.
“Nama saya Alisa Ahzarra, dari kelas dua belas ipa satu” ucap Lisa dengan tampang sangat amat jutek.
“Senyum dikit kali kak, jutek banget” terdengar satu suara dari barisan paling belakang pojok.
“Heh, maju kamu!” ucap Devira. Lisa masih menatap anak laki-laki itu dengan tampang mematikan. Devira mengamati huruf demi huruf yang tertera di kemeja seragam anak itu. Dia menjawab, namun dengan suara samar yang sulit Devira dengar.
“Ini nih laki? Ini yang nyuruh kakanya senyum? Mana, sampe depan malah ciut! Laki, ngomong tuh yang jelas! Laki apa banci?!” bentak Zera. Cowok itu menunduk.
“Minta maaf sama kakanya!” ucap Devira. Lisa masih diam, menyandar di papan tulis dengan kedua lengan yang dilipat.
Cowok itu menghampiri Lisa, berdiri didepannya, masih menunduk.
“Masa orientasinya tuh belum dimulai ya. Kalian tuh masih tiga hari lagi ngejalanin mos. Kamu. Belum mulai aja udah songong. Siapa nama kamu?” tanya Lisa, pelan tapi mengiris. Cowok itu masih diam.
“Kenapa nunduk? Ngga berani liat muka saya yang jutek? Jawab!!” bentak Lisa. Pelan-pelan cowok itu mengangkat kepalanya. Lisa menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu senyum sinis. Kemudian Lisa memicingkan mata kearah nametag yang terpasang di kemeja seragam cowok itu.
“Al-fre-do-jo-va-no” begitu Lisa mengeja nama cowok dihadapannya.
“Maaf kak” ucap Alfredo.
“Hah? Apaan? Ngga denger” kata Lisa.
“Kalo laki tuh yang tegas ngomongnya!” ucap Zera dengan tegas.
“Ngomong lagi, kakaknya ngga denger” ucap Devira tak kalah tegas.
“Saya minta maaf kak” sekali lagi Alfredo meminta maaf dengan suara volume yang normal.
Lisa mengangguk tanda ia telah memaafkannya, dan mempersilahkan Alfredo duduk.
“Lain kali, jangan kaya gitu lagi. Pelajaran buat kalian, kalian tuh adik kelas, ngga seharusnya songong sama kakak kelas. Kalian sekolah disini, berarti kalian siap untuk jadi disiplin” jelas Zera.
“Kakak akan menjelaskan apa yang harus kalian bawa besok” ucap Devira. Devira menjelaskan, mulai dari topi yang dibuat dari koran, tas karung, tali sepatu dengan warna yang berbeda, nametag, kaus kaki warna warni, kalung permen, menu makan, buah, dan sejenisnya.
“Oh iya, mulai besok dan selama tiga hari ke depan, atau selama kalian menjalani masa orientasi, kalian harus sampai di sekolah maksimal setengah tujuh pagi, ngga boleh ada yang telat, kalau telat dapat hukuman, dan ngga boleh diantar sampai depan gerbang” jelas Lisa.
“Terus sampe mana kak? Ngga boleh bawa motor?” lagi-lagi anak itu yang bertanya.
“Kalau dari arah jalan raya, sampe jembatan gang sawi dianterinnya, kalau dari arah dalem, sampe pertigaan aja” jawab Lisa. Anak itu mengangguk tengil, membuat Lisa semakin kesal.
Selanjutnya, selain mengenalkan sekolah, masing-masing mentor di tiap gugus memperkenalkan nyanyian serta gerakan yang harus adik kelasnya ikuti, menghapalkan doa sebelum dan sesudah belajar, serta janji siswa. Dan setelah itu, mentor menentukan siapa yang menjadi ketua kelas di gugus meteor.
“Siapa yang siap jadi ketua kelas disini? Menyerahkan diri atau kakak-kakaknya pilih?” tanya Devira sedikit canda.
“Lo aja lo aja”
“Ngga ah, ngga mau”
“Eh eh lo aja!” kelas mulai ramai.
“Sshuttt udah udah, daripada berisik, biar kakak-kakaknya aja yang nentuin” ucap Devira.
Semua diam, dan mentor-mentor itu berdiskusi sebentar untuk menentukan siapa yang menjadi ketua kelas.
“Kakak-kakaknya sepakat, Alfredo yang jadi ketua kelas” ucap Devira.
Alfredo yang sedari tadi tidak ikut berisik, kaget namanya disebut sebagai ketua kelas.
“Hah? Saya?” tanya Alfredo.
“Iya, kamu” ucap Devira.
Tiba-tiba mata Alfredo tertuju pada satu mata dengan tegap yang berdiri disamping Devira. Ada tatapan membunuh dimata Lisa, senyum tipis yang dapat Alfredo artikan, bahwa itu senyum balas dendam.
Setelah hari itu selesai, para osis tidak langsung pulang, melainkan berkumpul dulu di ruang osis.
“Sa, kenapa sih lo ngusulin Alfredo buat jadi ketua kelas?” tanya Devira.
“Punya dendam kesumat tuh kak Lisa, hahahaahaha” ucap Zera.
“Kesel aja gue sama dia. Tengil, ngeselin banget. Mau banget gue marah-marah didepan mukanya besok” bicara Lisa.
“Tapi kalo Alfredo ngga bikin kesalahan, gimana? Masa mau lo marah-marahin?” tanya Devira.
“Ya gue cari-cari kesalahan lah” nada bicara Lisa semakin mengobar-ngobar.
“Hati-hati berurusan sama adik kelas loh kak” ucap Zera.
“Berurusan? Ih, males banget punya urusan sama ade kelas tengil ngeselin kaya gitu” kata Lisa.
Devira dan Zera hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Lisa. Keesokan harinya, di mos hari pertama. Lisa kebagian menunggu didepan gerbang. Diujung jalan sudah ada masing-masing pengurus osis yang lainnya.
‘Nih dia nih manusianya’ batin Lisa.
“Mana nametagnya?” tanya Lisa.
“Ini kak” jawab Alfredo sambil memberikan selembar kertas berwarna biru yang dilaminating.
“Ko warnanya biru ginian?”
“Loh, emang kaya gimana kak?”
“Kaya gini” ucap Lisa sambil menjejerkan kartu miliknya dan kartu milik Alfredo. “Masih normal kan matanya?” tanya Lisa sambil mnegembalikan kartu milik Alfredo.
“Yang penting warnanya biru kak”
“Tapi salah. Besok buat lagi, yaudah masuk” kata Lisa memberi jalan untuk Alfredo.
“Kartunya kak?” tanya Alfredo dengan wajah polos.
“Ya ngga dibalikin lah, kan tadi kakak suruh buat baru besok”
“Oh” kemudian anak itu masuk.
Bel berbunyi, tanda masa orientasi hari pertama dimulai.
Setelah memimpin doa, Alfredo dan teman-temannya turun mengikuti mentornya untuk ke lapangan. Berbaris sesuai gugus, a\Alfredo ada di paling depan, dan dihadapannya kini ada Lisa, tepat satu meter didepannya. Lagi-lagi menatap dengan tatapan saling membunuh.
Yang harus mereka lakukan adalah meminta tanda tangan kakak osis. Mudah kalau dibayangkan, tapi para pengurus osis yang cerdas ini menukar nametagnya dengan nametag teman se-osis lainnya, jadi, mereka tidak memakai nama sebenarnya. Ini semakin membuat adik kelasnya kesulitan dan semakin berusaha.
Lisa menyandar di gawang, beberapa adik kelas mengerubuni untuk meminta tanda tangan. Lisa masih datar menatap siswa yang sedang di orientasi.
“Bisa apa kalian?” tanya Lisa.
“Potong bebek deh kak potong bebek”
“Coba”
Para siswa itu menyanyikan lagu serta gerakan potong bebek yang sudah diperkenalkan oleh mentor masing-masing di gugusnya. Setelah selesai menyanyi, mereka semua menumpuk bukunya untuk dapat tanda tangan Lisa.
“Emang nama kakak siapa?” tanya Lisa sambil melihat tumpukan buku paling atas, disitu terdapat nama Kinan Marshanda. “Kak Kinan kan?”
“Itu bukan nama kakak” ucap Lisa kemudian pergi meninggalkan mereka.
Seru memang menjadi osis ketika terjun di masa orientasi.
Setelah selesai acara meminta tanda tangan kakak osis, semua kembali ke masing-masing gugus untuk makan siang.
“Dimakan makannya, buah jeruknya juga harus dihabiskan, jangan sampai ada yang sisa” ucap Devira sambil keliling kelas, begitu juga Lisa dan Zera.
Setelah selesai makan siang.
“Ini buah jeruk siapa?” tanya Lisa, yang menemukan satu buah jeruk dibawah kolong meja.
“Punya saya kak” jawab suara yang duduk disitu, Alfredo.
“Kenapa ngga dihabisin?”
“Saya bawa dua kak, kali aja kakaknya ada yang mau, atau buat kakak aja juga ngga papa”
Wajah Lisa masih memasang tampang jutek, namun dibalik wajah itu, Lisa sangat ingin tertawa. Devira pun sudah cengengesan sambil menatap langit-langit kelas, dan beberapa anak pun sudah ada yang tertawa.
“Diam! Alfredo, habiskan buah jeruknya. Salah kamu bawanya dua, kamu harus menghabiskan makanan dan minuman yang kamu bawa” ucap Zera.
“Ngga mau ah kak, nanti kalo saya muntah, gimana?”
‘Mau banget gue tempong pake jeruk sih lo!!’ benak Lisa.
“Habiskan atau hukuman?” tantang Zera.
“Hukumannya apa dulu?” tengil Alfredo.
“Saya mau kamu bawakan delapan belas tanda tangan kakak osis, besok”
“Hah? Besok? Gila kali”
“Berani bantah?!” tanya Zera, marah.
“Maaf kak, iya saya bawa delapan belas tanda tangan besok”
‘Tengil banget ni anak’ benak Lisa.
“Hahahahahaha, belagu banget sih” cibir Devira.
“Coba sekarang kamu baca janji siswa” suruh Zera.
Alfredo pun membacakannya dengan lantang dan jelas, tanpa salah sedikitpun.
“Big family” suruh Devira. Lagi-lagi Alfredo hapal dengan lirik dan gerakan. Devira dan Zera saling melirik.
“Yaudah kamu boleh duduk” ucap Zera.
Esoknya, dihari kedua masa orientasi. Para siswa calon kelas sepuluh sudah siap baris di lapangan untuk mengejar tanda tangan kakak osis.
‘Jangan harap lo dapet tanda tangan gue’ benak Lisa sambil melihat langkah Alfredo dari kejauhan. Saat tatapan mereka bertemu, Alfredo melangkah kearah Lisa.
“Kak, minta tanda tangannya dong”
“Bisa apa?” sebenarnya Lisa ragu menanyakan ini pada siswa yang satu ini, ingatannya untuk menghapal sembilan lagu dengan gerakan sekaligus janji siswa sangat cepat.
“Kakak maunya saya ngapain?” tanyanya yang membuat Lisa ingin melempar sepatu ke wajahnya.
“Ngapain aja”
“Kakak mau saya nyanyiin sembilan lagu dengan gerakan? Apa mau denger saya baca janji siswa?”
Lisa mulai menatap mata anak itu lebih dalam.
“Kenapa ngeliatin saya kaya gitu?”
“Coba liat bukunya”
Alfredo memberikan bukunya.
“Tujuh belas tanda tangan?”
Alfredo mengangguk puas.
“Udah banyak, jadi ngga perlu dapet tanda tangan saya” ucap Lisa menjatuhkan buku Alfredo, kemudian pergi.
Alfredo mengejar Lisa.
“Kak, kak, kenapa saya ngga dapet tanda tangan kakak? Saya berhak kan dapet tanda tangan kakak? Ayolah kak, tanda tangan dibuku saya” pinta Alfredo.
“Saya juga punya hak untuk ngasih tanda tangan ke kamu atau engga. Saya ngga mau tanda tangan dibuku kamu”
“Kak, gaboleh pelit-pelit, nanti makamnya sempit. Ayolah kak, cuman kakak doang yang belum tanda tangan, saya harus nyerahin delapan belas tanda tangan ke ka Zera nih hari ini”
“Terus saya harus peduli?”
“Ngga usah peduli juga ngga papa kok, kakak cuman harus tanda tangan disini” ucap Alfredo dengan senyum sambil menaik-turunkan alisnya. Lisa menggelengkan kepala, lalu pergi. Bel pun berbunyi, tanda istirahat selesai.
Di gugus meteor.
“Mana yang saya suruh ngasih delapan belas tanda tangan ke saya?” tanya Zera didepan kelas.
‘Kayanya si Alisa dendam banget sih sama gue, ini juga paling akal-akalannya aja nyuruh gue dapetin delapan belas tanda tangan, dan dia bakal ngehukum gue lagi karena gue cuman dapet tujuh belas, plus gue ngga dapet tanda tangannya, cantik permainan lo’ benak Alfredo.
Alfredo melangkah mendekati Zera yang duduk dikursi guru, lalu memberikan bukunya yang berisikan tanda tangan.
“Ko cuman tujuh belas? Tanda tangan siapa yang ngga dapet?”
“Kak Alisa” jawab Alfredo.
“Emang kamu ngga usaha? Kalo kakaknya ngga mau ngasih tanda tangan, ya usaha dong!”
“Udah, tapi kak Alisa tetep ngga mau”
“Kalo usaha, ngga mau, ya rayu” ucap Devira sambil melirik Lisa. Lisa menoleh dengan tatapan mematikan kearah Devira.
“Saya ngga mau tau, gimanapun caranya kamu harus dapet delapan belas. Sekarang kamu harus dapetin tanda tangan ka Alisa” ucap Zera.
Alfredo melangkah kearah Lisa.
“Kak, minta tanda tangannya dong”
“Eh, ya jelas kak Alisa ngga mau ngasih tanda tangan, kamu aja mintanya kaya ngajak ribut” kata Zera yang bangun dari kursi guru.
“Maaf maaf, yaudah, kak Alisa, saya boleh ngga dapet tanda tangan kakak?” ucap Alfredo dengan nada halus. Lisa menggelengkan kepalanya.
“Saya harus apa supaya dapet tanda tangan kakak?”
Lisa mengangkat bahu. Alfredo menghela napas.
Besok adalah hari terakhir masa orientasi. Dan besok, adalah hari pembalasan, dimana adik kelas bebas meluapkan kemarahannya kepada kakak kelas. Ini kesempatan emas bagi Alfredo Jovano.
Seluruh panitia osis sudah berdiri membentuk lingkaran, dan siapa saja dari seluruh adik kelas yang ingin marah-marah, membentak, atau mencaci, dipersilahkan masuk ke lingkaran tersebut.
Dan Alfredo sudah masuk kedalam lingkaran, begitu teman-teman menyapa Alfredo. Edo berdiri didepan Lisa, tepat di depan Lisa. Tidak begitu banyak yang membalas kekesalannya pada Lisa, karena Lisa terlihat banyak diam dilapangan. Hanya Edo lah yang membalas kekesalan pada Lisa.
Sepuluh detik Edo menatap Lisa.
“Lo itu kakak osis paling ngeselin, muka lo paling jutek, pokonya paling bikin orang naik darah. Tapi kalo diperhatiin sedeket ini, gue ngga bisa marah sama lo, kak Alisa” ucap Edo.
Deg! ‘Sa, lo ngga papa kan Sa. Kenapa deg-degan gini’ benak Lisa.
Setelah acara pembalasan itu selesai, semua siswa diwajibkan untuk melihat demo eskul di lapangan. Dan setelah selesai, mereka semua kembali ke kelas. Di papan tulis sudah terpajang user twitter kakak osis, dan bermacam kata-kata.
Edo seperti menelusuri satu papan tulis, ‘@AlisaAhza’ benak Edo. Setelah membaca tulisan itu, entah mengapa Edo jadi senyum-senyum sendiri. Dan ketika delapan belas kakak osis masuk ke gugus meteor untuk meminta maaf, yang mewakilkan mereka semua adalah Devira sebagai ketua osis.
Lisa diam, menunduk, dan sesekali tersenyum. Tapi saat Lisa menatap disatu sisi, ada mata yang memperhatikannya sejak tadi, kursi paling belakang.
Saat istirahat kedua..
“Udah bel, bagi yang muslim bisa langsung ke musolah” ucap Zera, kemudian keluar bersama Devira, diikuti Lisa paling belakang. Lalu….
“Kak Alisa” panggil seseorang sekaligus bangun dari duduknya.
“Apa?” langkah Lisa terhenti untuk melihat siapa yang hendak mendekat kearahnya. Edo.
“Diluar ajadeh” mereka berdua melangkah keluar kelas.
“Kenapa de?”
“Jangan panggil de, gue-lo aja biar akrab, lo bisa panggil gue Edo”
“Oh, iya Edo, kenapa?” tanya Lisa masih dengan tampang biasa saja.
“Boleh…..boleh…boleh tau nomer hapenya ngga? Atau pinnya deh”
“Gue ngga pake bebe, de”
“Yaudah, nomernya aja, boleh ngga?”
Lisa senyum sambil memutar bola matanya.
“Yaudah, catet ya” kemudian Lisa menyebutkan dua belas digit nomor hapenya.
“Udah gue message, save nomer gue ya, thanks ya ka Alisa”
“Iya, sama-sama”
~~~~~~
“Hahahahahahahahahahaha, sumpah lo norak banget waktu minta nomer hape gue” ucap Lisa.
“Rese lo. Udah kali ah jangan dibahas lagi, itukan pas gue masih culun banget” ucap Edo.
“Sekarang juga masih culun” ledek Lisa.
“Elo tuh culun, gue sih ganteng, buktinya aja banyak fans gue hahahaha” ucap Edo.
Lisa tau, memang banyak yang mengagumi sosok Alfredo Jovano, mulai dari siswi kelas satu, sampai siswi kelas tiga, salah satunya adalah Lisa.
“Ih, pede banget sih”
“Fakta kok, lo aja ngefans sama gue kan? Ngaku deh lo!”
“Engga, ngga akan gue ngefans sama lo”
“Oke, awas aja kalo nanti gue terkenal, ngga akan dapet tanda tangan gue, sama kaya waktu gue ngga dapet tanda tangan lo”
“Udah kebukti kan siapa yang terkenal?”
“Gue, hahahahaha”
Tetttttt…. Tetttttt…
Bel sudah berbunyi, tanda ujian akhir semester hari terakhir dimulai. Kebetulan, kelas dua belas ipa satu seruangan dengan kelas sepuluh ipa satu. Entah kebetulan atau jodoh, Lisa dan Edo semeja. Ya mungkin karena nama mereka adalah Alfredo dan Alisa, kebetulan.
Lisa dan Edo sudah kenal dekat semenjak hari terakhir mos. Mereka sering main bareng, berangkat atau pulang bareng. Membuat Lisa memiliki rasa yang entah mengapa ia hindarkan. Edo? Entah bagaimana perasaannya pada Lisa, yang jelas, mereka nyaman dengan semua ini.
Cukup lama dekat, belum ada dari mereka yang mengucapkan kata sayang atau cinta. Mereka hanya dua anak manusia yang menjalani hari apa adanya, mengalir seperti air, dan membiarkan semuanya ada dengan sendirinya.
Saat bel istirahat.
“Song, kantin yu?” ajak Edo yang memanggil Lisa dengan sebutan Lisong.
“Edo, edo sini deh” suara itu datang dari pintu, gadis itu lagi, yang selalu mengejar-ngejar Edo.
“Tuh, dipanggil fans lo” ucap Lisa yang lalu bangun dari duduknya, kemudian keluar dari kelas.
“Eh, mau kemana lo?” tanya Edo.
“Ke kelas sebelah” teriak Lisa.
Lisa mengintip dari pintu ruang kelas sebelah, Edo sedang ngobrol dengan Dinia. Siapa yang ngga kenal Dinia di BW? Cantik, pinter, baik, model lagi. Semua tau gadis itu.
Tanpa sadar, Lisa sudah membuat gorden hampir sobek karena digigiti.
“Heh, lo kenapa?” tanya Kinan, salah satu teman Lisa.
“Tuh, cabe! Ih” kesal Lisa.
Kinan mencoba mencari objek yang Lisa lihat.
“Katnya ngga suka, liat deket sama cewek lain, kesel”
“Oh iya, ngapain gue kesel. Gajadi kesel. Ke kantin yuk!” ucap Lisa sambil menggandeng Kinan keluar kelas, melewati Edo dan Dinia.
Lisa lewat tanpa menatap Edo sedikitpun, tapi Edo melihat Lisa sampai Lisa tidak terlihat.
“Bentar ya kak, gue mau ke bawah dulu” ucap Edo pada Dinia.
Di kantin.
“Gue ajakin ke kantin, bilangnya mau ke kelas sebelah. Sekarang malah ada di kantin sama ka Kinan” ucap Edo yang tiba-tiba duduk disebelah Lisa, mengambil es teh manis milik Lisa, lalu siap untuk meminumnya.
“Bodo, suks-suka gue” ucap Lisa menarik kembali es teh manisnya, hingga Edo tidak meminumnya.
“Kak, temen lo kalo lagi marah suka pelit ya” ucap Edo pada Kinan.
“Emang dia mah. Do, lo ngga nanya, Lisa marah kenapa?” tanya Kinan.
Lisa menendang kaki Kinan.
“Aww. Sakit Saaaa!” rintih Kinan, Lisa memelototi Kinan.
“Oh iya, emang lo marah kenapa sih sama gue? Suka aneh”
“Ngga papa”
“Eh, ntar balik sama gue ya?”
“Cieeeee, hahahahahahaha”
“Nan, mulut lo gue sumpel gelas es teh ya lama-lama! Diem ngga!” ucap Lisa.
“Sa, lo udah bukan osis kali, udah kenapa, jangan marah-marah mulu” ucap Edo.
“Tau lo. Do, Lisa tuh sering banget ngomelin gue tau”
“Ih, apaan sih lo Nan, gue mana pernah marah-marah sih kalo di kelas” ucap Lisa sambil menyuap mie gorengnya.
“Palalo! Tadi gigitin hordeng sambil ngedumel pas ngeliat Edo ngobrol sama Dinia”
“Ekhek!” Lisa keselek, Edo pun kaget mendengar ucapan Kinan.
“Nih nih minum. Makanya pelan-pelan kalo makan” ucap Edo seraya memberikan Lisa minum.
“Kak Kinan, ulangin dong yang tadi lo bilang” pinta Edo dengan nada meledek sambil senyum-senyum.
Lisa mencubit lengan Edo dengan capitan kepitingnya.
“Aduh aduh sakit sakit, yah yah” rintih Edo kesakitan.
“Makanya jangan reseeeeeee!”
“Hahahahahahaahahaha” tawa Kinan.
“Hahaha, iya ampun, yaudah maaf maaf, udah jangan dicubit lagi” ucap Edo.
Edo jadi senyum-senyum sendiri melihat wajah merah Lisa.
“Sa, tau ngga muka lo sekarang gimana?”
“Gimana?” tanya Lisa dengan mulut yang penuh dengan mie.
“Kaya kepiting lagi cemburu, hahahahahaha kaburrrrrrrrr” ucap Edo kemudian kabur dari serangan kepiting Lisa.
“Liat aja lo nanti!!” teriak Lisa.
Sepulang sekolah.
“Ayo balik” ucap Edo pada Lisa yang duduk disebelahnya.
Lisa masih menopang wajahnya dengan kedua tangannya.
“Ayooooooo” ucap Edo seraya menrik pergelangan tangan Lisa.
Lisa menuruti saja, begitu sampai lantai satu.
“Edo, jadikan nemenin gue? Lo udah janji loh ya, gamau tau Sabtu ini temenin nonton!” ucap satu cewek, teman sekelas Edo yang gosipnya sedang dekat dengan Edo.
“Tapi—“
“Ngga make tapi, lo udah janji” ucap cewek itu menyeret tangan Edo, meninggalkan Lisa dibelakang Edo. Sekali lagi Edo melihat ke arah Lisa.
‘Susah emang kalo sayang sama orang ganteng’
Didepan gerbang, tempat Lisa menunggu angkutan umum, Edo melihat satu motor berhenti didepan Lisa dan kemudian Lisa naik di jok belakang ketika Edo ingin keluar dari parkiran. Tak lama, motor yang Lisa taiki beranjak.
Selama dengan teman ceweknya, Edo benar-benar kepikiran masalah tadi siang.
“Do, lo kenapa sih?” tanya teman cewek Edo.
“Ngga papa” jawab Edo singkat.
‘Siapa ya yang boncengin Lisa tadi? Mau banget gue mutilasi’ benak Edo selama di dalam gedung teater.
“Sorry, gue harus balik” ucap Edo meninggalkan teman ceweknya.
“Do, Edo lo mau kemana? Edooo” sia-sia panggilan cewek itu, Edo sudah keluar dari situ.
Sebelum beranjak dari situ, Edo mengirim pesan singkat pada Lisa.
From: Edo
Lo dimana? Gue mau ketemu, gue ke rumah lo ya.
“Ah elah, ngapain sih ni orang” gumam Lisa.
Dua puluh menit kemudian.
“Tante, Alisanya ada?” tanya Edo begitu selesai memarkirkan motornya di halaman rumah Lisa.
“Ada, Do. Masuk aja”
“Makasih ya tante, Edo masuk”
Di halaman belakang rumah Lisa.
“Ikan, Edo ko ngeselin banget ya, ngajakin bareng tapi malah pulang sama cewek lain. Dia pikir gue ngga kesel apa liat dia pulang bareng cewek lain. Kan sakit banget kalo orang yang disuka deket sama cewek lain. Ikan, Lisa harus apa ya supaya Edo tau kalo Lisa punya perasaan sama dia” gumam Lisa sambil memberikan makan ikan-ikan yang ada di kolam ikan belakang rumahnya.
‘HAH?’ kaget Edo dalam hati. Edo jadi senyum-senyum sendiri.
“Apaan? Sekali lagi dong ngomongnya” ucap Edo yang mengagetkan Lisa.
Lisa bangun dari duduknya, berdiri di samping Edo.
“Bisa ngga si, lo ngga kaya setan yang dateng tiba-tiba?” bentak Lisa.
“Udah ketauan, masih juga marah-marah” ucap Edo sambil senyum-senyum.
“Ngga usah kesenengan!” kata Lisa.
“Ikut gue yuk?”
“Kemana?”
“Udah ayo ikut aja”
Mereka pergi ke satu tempat, dimana hanya ada mereka dan alang-alang itu.
“Macem-macem sama gue, awas lo ya!” ancam Lisa.
“Cowok normal ngga ada yang mau macem-macem sama lo” ucap Edo.
“Lo ngajak gue kesini, mau ribut atau mau apasih?”
“Hehehehe iya ampun ampun. Gue ngajak lo kesini mau ngomongin something
“Tunggu, bukannya lo lagi nonton ya sama temen cewek lo itu?”
“Tunggu, lo jealous ya sama cewek itu? Hahaha”
“Ngg—engga, siapa yang jealous” kata Lisa berusaha menyembunyikan wajahnya.
“Ngga usah bohong, idung lo lama-lama mancung kalo bohong sama gue mulu” ucap Edo sambil menarik hidung Lisa.
“Ihhh ah lepas lepas! Mau ngomong apa?”
Mereka berdua duduk di motor Edo.
“Sebenernya sih gue mau gentle, tapi gue udah tau duluan hahahahaha”
“Apaansih? Ngga ngerti”
“Ngga usah sok polos”
“Serius, ngga ngerti”
“Sebenernya gue…….(menggenggam kedua tangan Lisa) gue mau nyuruh lo ngartiin rasa ini” ucap Edo meletakan kedua tangan Lisa di dadanya.
“Do, lo mau mati ya? Deg-degannya cepet banget”
“Iya, gue mati bentar lagi. Gue mati kalo sampe lo tolak”
“Tolak? Tolak apaan?”
Edo menatap Lisa dengan tampang polos.
“Minta banget diajak ke pelaminan sih!”
“Do, katepe aja belum punya, ngga pantes ngomongin pelaminan tau ngga”
“Abis lo ngeselin”
“Ngambek…..manyun…. awas jatoh tu bibir”
“Makanya jangan pura-pura ngga tau”
“Ya apa? Lo ngga jelas gitu ngomongnya”
“Gue suka, gue sayang, gue cinta sama lo”
“Terus?”
“Terus lo harus mau jadi pacar gue!”
“Kok maksa?”
“Biarin. Pokonya hari ini kita jadian!”
“Gue belum kasih jawaban ya”
“Jadi lo mau nolak gue? Lo mau ngebiarin gue dideketin cewek-cewek itu? Iya?”
Lisa cengengesan. “Engga”
“Yaudah, jadi pacar gue kalo gamau gue digangguin sama cewek-cewek kegenitan itu”
“Jadi kita resmi nih hari ini?”
“Iya lah. Iya dong. Eh iya, cewek yang jadi pacar gue, ngga boleh genit-genit sama cowok lain, ngga boleh juga balik bareng mantannya”
“Cowok yang jadi pacar gue ngga boleh deket-deket sama temen seangkatan gue sendiri”
Mereka resmi jadian hari itu, petang itu.
“Do, gimana sama usia kita?”
“Gue punya cinta buat lo, itu karena Tuhan. Emang ada yang mau marah sama Tuhan atas jadiannya kita? Kita bisa saling cinta, karena Tuhan kan?”

END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]