Miris: Finding Love [Chapter 9]



Hai, simak kelanjutannya ya!

Di sebuah tempat makan daerah Depok.
“Lo kenapa sih Ra diem aja?” tanya Sheryl yang baru saja datang sambil membawa nampan berisi empat gelas minuman.
“Mikirin Kak Arsen ya?” tanya Ingga.
Setelah mendengar nama Arsen disebut, Lira langsung mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.
“Apaan sih Arsen Arsen, gue ngga kenapa-napa.” ucap Lira.
“Kalo bukan Kak Arsen, berarti—“
“Kak Dirly.” Sheryl memotong ucapan Dizi yang membuatnya memajukan bibirnya dua senti.
“Diz, lo udah jadian belum sih sama Kak Dirly?” Ingga menegaskan.
Dizi diam. Sheryl memasang tampang keingintahuannya. Ingga menunggu jawaban Dizi sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. Sedangkan Lira, sesekali teralih dari sesuatu yang menarik perhatiannya dari layar ponsel.
“Gue bingung sama perasaan gue.” gumam Dizi.
“Lho? Bingung kenapa?” tanya Ingga.
“Ngga ditembak-tembak ya?” Sheryl berbisik sambil memajukan wajahnya ke hadapan wajah Dizi.
“Gue takut di PHP-in. Gue takut ke-GR-an aja.” kata Dizi.
Beberapa detik kemudian, ponsel Dizi berdering—ada panggilan masuk, nama Kak Dirly tertera di layar ponsel Dizi.
Dizi malah menimang keinginannya untuk mengangkat panggilan itu.
“Kok malah diem? Angkat tuh.” kata Lira yang sedari tadi melirik ponsel Dizi dan pemilik ponselnya secara bergantian.
“Kalo ngga mau ngangkat, biar gue aja sini yang angkat.” Ingga meraih ponsel Dizi.
“Eh jangan, gue aja.” Dizi merampas ponsel yang sudah Ingga genggam.
Dizi melirik ketiga sahabatnya secara bergantian. Ingga, Lira, dan Sheryl menutup kedua telinga dan mengalihkan pandangan. Mereka bertiga seolah mengerti maksud dari tatapan Dizi.
“Halo?” kata Dizi.
“Di mana Diz?” tanya seseorang diujung telepon.
“Lagi jalan sama Ingga, Sheryl, Lira. Kenapa Kak?”
“Nanti pulang jam berapa? Bawa motor?”
“Tadi kita berempat ngga ada yang pake motor Kak.”
“Mau aku jemput nanti?”
“Ng…” gumam Dizi.
“MAU!” teriak Ingga, Sheryl, dan Lira secara bersamaan.
Dizi meletakan telunjuknya di depan mulutnya, memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tetap diam.
“Yaudah, kabarin ya kalo udah selesai. Nanti aku jemput.”
“Lho, emang Dizi udah bilang iya?”
“Udah tuh barusan. Hahahaha.”
“Maksudnya—“
“Udah, makan aja dulu makanannya. Aku ngga mau ganggu acara kamu sama temen-temen kamu. Aku tutup ya teleponnya. Bye.” Klik.
“Ih, aneh.” Dizi menaruh ponselnya.
“Jadi nanti lo balik sama Kak Dirly?” tanya Sheryl.
“Palingan.” jawab Dizi.
“Kayanya bakal ada yang jadian nih sebentar lagi.” gumam Ingga.
“Kalo Dizi jadian, gue doang dong yang jomblo?!” kata Lira seraya mengunyah nasi dan menggigit fire wings level lima.
“Oh iya ya! Yaudah, lo jadian juga deh sama Kak Arsen.” ucap Sheryl.
“Arsen lagi Arsen lagi. Ngga ada nama lain selain dia?”
“Virgo?” ucap Ingga.
“Ngga masa lalu juga kali.” kata Lira.
Setelah menertawakan Lira, mereka semua sibuk dengan pikiran dan makanan masing-masing.
Seselesai dari tempat makan, seperti biasa, mereka langsung menuju studio foto—Origamii. Seperti itulah, setiap kali ke sini, mereka selalu mampir untuk membuat satu kenangan dalam kertas foto.
“Kapan-kapan ajak Nanda ke Origamii, ah.” gumam Sheryl.
“Si Erland ngga pernah mau sih kalo diajak foto-foto gini. Payah.” cibir Ingga.
“Gue udah pernah dong.” ucapan Dizi barusan mengagetkan ketiga temannya.
“Sama siapa??!” pertanyaan yang kompak mengalir dari Ingga, Lira, dan Sheryl.
“Jangan nanya pertanyaan yang kalian sendiri udah tau jawabannya, deh. Kalian pasti tau.” kata Dizi.
“Oh, Kak Dirly.” kata Lira.
“Tau aja CKI-nya.” ledek Sheryl.
“CKI?” Ingga mengrenyitkan dahinya.
“Calon Kakak Ipar.” jawab Sheryl yang disambut tatapan membunuh dari Lira.
“Hahahahahaha! Aamiin, gue sih doain aja ya.” kata Dizi.
Selesai memilih dua buah background, mereka masuk ke dalam ruangan yang tidak terlalu besar ukurannya. Enam belas gaya habis diborong meski bagi mereka masih kurang untuk mencetak momen.
“Sher, lo balik sama gue kan? Lo ngga minta Kak Nanda jemput lo kan?” tanya Lira.
“Minta jemput ngga ya…” gumam Sheryl.
“Jahat ah masa gue dibiarin balik sendiri.” Lira cemberut.
“Telepon Arsen lah.” ledek Ingga.
“Ingga, ih!”
“Maaf, maaf, hahahaha. Lagian sih mikirin mantan mulu.” Ledek Ingga.
“Siapa juga yang mikirin mantan. Ada juga mantan yang mikirin gue.”
“Hahahahaha. Besok gue tanya Virgo ah dia masih mikirin lo apa engga.”
“Ingga!!!”
Ingga, Dizi, dan Sheryl malah menertawakan Lira.
~
                “Mana Kak Dirly? Palingan lo di-PHP-in doang. Udah deh, balik sama gue aja.” ucap Lira yang berdiri disebelah Dizi—yang sedang menunggu Dirly menjemputnya.
“Sebentar kali, siapa tau aja jalanan macet.” ucap Dizi pelan.
“Macet? Dari Trevista ke Cibubur Junction macet di mananya sih?” Lira menggerutu.
“Marah-marah mulu ih. Lama-lama gue teleponin Kak Arsen nih buat jemput lo.” ledek Dizi yang membuat Lira diam.
Tak lama, sebuah mobil berhenti dihadapan Lira dan Dizi. Sang pengemudi membuka kaca mobil.
“Kok Kakak?” tanya Dizi.
“Lo naik di belakang ya.” ucap Arsen.
Lira membuang pandangan.
“Yaudah, gue duluan ya.” Lira beranjak dari situ.
Setelah Dizi masuk ke mobil Arsen—duduk disamping Dirly, Arsen turun dari mobilnya dan menghampiri Lira.
“Gue nyuruh Dizi duduk di belakang, supaya bangku depan lo yang dudukin.” kata Arsen.
“Gue kan ngga minta tolong lo buat jemput.” ucap Lira tanpa beralih dari padangan di depannya.
“Ra, kenapa sih ngga bisa baik hati sedikit sama gue? Lagian ini Dirly yang mau. Dirly tau kalo Ingga dijemput cowoknya, Sheryl juga dijemput Nanda. Dia mau jemput Dizi, dan gue disuruh—“
“Jemput gue? Terus lo mau?” Lira menatap Arsen dengan tatapan tajam. Arsen diam. “Kalian balik bertiga aja. Gue bisa pulang sendiri.” Lira pergi meninggalkan Arsen yang membeku.
Arsen kembali ke belakang kemudi.
“Lho, Lira mana Kak?” tanya Dizi.
“Temen lo itu kenapa sih? Sensitive banget kalo sama gue.” Arsen mulai bermain dengan kemudinya.
“Kak, lo ngga ngejar Lira? Kok ninggalin dia?” tanya Dirly.
“Dia ngga mau bareng kita.” jawab Arsen.
“Cewek itu lain di mulut lain di hati, Kak.” ucap Dizi. Dirly melirik gadis disampingnya.
Arsen melirik dua orang yang duduk di belakang dari kaca spion diatasnya, menyunggingkan senyumnya, lalu menghentikan mobilnya.
“Kenapa berhenti Kak?” tanya Dirly.
“Kayanya gue harus pulang naik taksi. Kali aja lo mau ngomong sesuatu sama Dizi. Jangan paksa gue jadi nyamuk, oke?” Arsen membuka pintu mobil dan menyruh Dirly dan Dizi pindah ke depan.
“Kak, tapi—“
“Gue pulang duluan. Dizi kayanya butuh jalan-jalan.” ucap Arsen dengan senyum jahilnya.
Dizi malah kikuk.
“Kita mau ke mana?” tanya Dirly. Dizi menggeleng pelan. Dirly melajukan mobilnya, entah akan membawa mereka ke mana. “Kok kamu kikuk gitu?” tanya Dirly seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.
“Kikuk? Engga, biasa aja kok.” jawab Dizi yang berusaha mengendalikan debaran jantungnya.
Perlahan, Dirly menggenggam tangan kanan Dizi. Dizi menatap tangan Dirly, lalu menatap wajahnya.
“Jantung kamu berdetak lebih cepat, ngga?” tanya Dirly dengan tatapan tetap pada jalanan.
“Emang kenapa?” Dizi bertanya balik.
“Kalo lagi kaya gini, rasanya mau berhentiin waktu.” ucap Dirly.
“Aku malah maunya waktu berjalan lebih cepet.”
Ucapan Dizi barusan membuat Dirly mengalihkan pandangannya.
“Kenapa?” tanya Dirly.
“Aku mau tau ada apa setelah hari ini.”
“Kamu lagi nunggu sesuatu?”
“Selalu. Aku penasaran sama hari esok. Sama aja kaya hari ini, atau berubah.”
Dirly menelan ludah. Lidahnya terasa kaku, bahkan untuk membuka mulut saja rasanya berat setelah Dizi bicara barusan.
“Diz…” gumam Dirly.
“Iya?” tanya Dizi.
“Kamu mau ngga…” Dirly menggantung ucapannya.
“Mau apa?”
“Mau ngga lusa kita berangkat ke sekolah bareng?”
Harapan yang sempat terpancar dari mata Dizi, seakan luntur sedetik kemudian.
“Oh… Iya, terserah kamu.” jawab Dizi yang langsung melirik kearah jalanan.
Dirly mencibir dirinya sendiri dalam hati. ‘Bodoh!’ cacinya dalam hati.
~
Segelas jus alpukat sudah habis setengah di sebuah meja. Laki-laki yang duduk mengenakan kaos hitam yang dipadu jaket abu-abunya, terus saja melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Ponselnya menyala menandakan satu pesan diterima.
Lo di mana?
Baru saja ingin membalas pesan singkat, tapi pemilik ponsel itu langsung menangkap seorang wanita di ujung sana. Wanita yang berdiri sambil memegang ponsel dan pandangannya terus menelusuri meja demi meja.
“Lira!” panggil Virgo yang berdiri di depan mejanya.
Lira menghampiri Virgo di meja paling ujung.
“Kenapa harus di sini?” tanya Lira yang kemudian duduk tanpa dipersilahkan. Virgo-pun duduk dihadapan Lira.
“Sekalian Saturday Night.” ucap Virgo sambil tersenyum.
“Mau ngomong apa sih?” tanya Lira yang tidak mau banyak basa-basi.
Virgo diam menatap Lira. Memperhatikan gadis yang pernah ia tinggalkan demi orang lain.
“Ada yang mau gue tanyain sama lo.” ucap Virgo.
“Cowok yang waktu itu?” Lira menebak isi kepala Virgo. Virgo menganggukan kepalanya. “Dia bukan siapa-siapa gue.” kata Lira.
“Ra…”
Lira menatap wajah Virgo. Kali ini, Virgo membalas tatapan mata Lira. Sejak dulu, Virgo tidak pernah bisa menatap mata bulat mantan kekasihnya ini.
Lira tak pernah canggung dengan sepasang mata cowok dihadapannya ini. Entah sejak kapan Virgo bisa seserius ini. Virgo lekat menatap Lira tanpa canggung.
“Bahkan semenjak kita putus dan gue jadian sama orang lain, lo masih satu-satunya yang ada di hati gue.” ucap Virgo.
Lira masih menatap Virgo, menanti apa lagi yang akan Virgo ucapkan.
“Lo ngga pernah jadi sementara di hati gue. Perasaan gue ngga pernah berubah sekalipun gue bilang suka sama siapapun.”
Ucapan Virgo masih membuat Lira menunggu apa maksud dari kata-katanya.
“Gue ngga pernah baik-baik aja setelah kita putus.” perlahan, Virgo menundukan kepalanya, membiarkan sesuatu jatuh dari pelupuknya.
“Gue masih cinta sama lo, Ra.”
Lira menghembuskan napas dan memalingkan pandangannya.
“Semenjak kita putus, ngga satupun nama yang ngegantiin nama lo di hati gue. Gue juga ngga pernah baik-baik aja setelah kita putus. Gue lebih menyedihkan dari pada lo semenjak kita putus.” ucap Lira.
Virgo tersenyum.
“Tapi semenjak gue lihat lo jalan berdampingan sama orang lain, saat itu juga gue belajar untuk ngga bodoh kesekian kalinya.”
Senyum itu perlahan memudar dari wajah Virgo.
“Lo akan tetap jadi Virgo, dan gue akan tetap jadi Lira. Ngga akan pernah ada ‘kita’ untuk ketiga kalinya.” ucap Lira yang benar-benar mengiris hati Virgo.
“Ra…”
“Jangan berpikiran kalo kata-kata gue tadi ngiris perasaan lo. Karena gue pernah teriris lebih dulu sebelum hari ini, bahkan sampai saat ini masih gue rasain. Lo bukan orang yang paling sakit hatinya, Go. Pikirkan rasanya jadi gue setelah lo putusin demi seseorang.”
Lira bangun dari duduknya dan pergi dari hadapan Virgo.
~
Senin pagi di semester baru!
Semoga ngga belajar, adalah harapan sebagian siswa di sekolah ini.
Lira berjalan di tengah lapangan, melirik ujung tiang bendera yang berada di depan gerbang dalam sekolahnya.
“Benderanya ngga ada, berarti nanti upacara.” ucapnya dengan nada keluh didalamnya.
“Tumben dateng pagi?” tanya seseorang yang tiba-tiba merangkulnya dari belakang.
“Ingga, ngagetin aja lo.” Lira melepas tangan Ingga dari bahunya.
“Ngagetin? Emang lo ngiranya gue siapa?” selidik Ingga.
“Bukan siapa-siapa.”
“Eem, bohong. Lo penginnya Virgo ya? Ngaku?!” tuduh Ingga.
Seseorang yang baru saja namanya disebut, tiba-tiba muncul dari tangga, berdiri di hadapan Lira dan Ingga.
“Jodoh banget sih ka—“
Ucapan Ingga terhenti ketika melihat Virgo melintasi mereka tanpa sepatah kata. Bahkan tatapan matanya terasa dingin begitu melihat Lira.
“Lo sama Virgo—“
Lira pergi meninggalkan Ingga.
“Lira tungguin gue!” teriak Ingga yang kemudian menaiki anak tangga menyusul Lira.
Sesampainya di kelas, Ingga memilih diam dan tidak banyak tanya. Melihat Lira seperti ini, rasanya ingin mencaci maki siapapun yang membuatnya menjadi seperti ini.
‘Seandainya gue bisa berbuat sesuatu buat nyembuhin luka hati lo, Ra.’ batin Ingga.
“DOR!” teriak Sheryl mengagetkan Ingga dan Lira.
“Ih lo tuh ya! Bikin jantung gue mau lompat.” kata Ingga. Tapi Lira hanya menatap Sheryl datar.
“Lo kenapa Ra?” tanya Sheryl seraya menyangkutkan jaketnya di belakang kursinya.
“Emangnya gue kelihatan kaya orang yang kenapa-napa ya?” Lira malah bertanya balik.
Sheryl diam, Ingga melirik kedua sahabatnya secara bergantian.
“Eh, Dizi mana? Dikit lagi udah mau bel, tapi tuh anak belum juga dateng.” Ingga mengalihkan pembicaraan.
“Eh iya, Dizi mana ya. Gue telepon deh.” kata Sheryl.
Di parkiran.
“Dizi.” panggil Dirly saat sedang memarkir motornya dan Dizi meninggalkannya.
“Kenapa? Aku udah ditelepon sama Sheryl nih.” ucap Dizi.
“Ada yang mau aku omongin.” kata Dirly.
“Apaan? Cepet Kak, udah mau bel. Di lapangan juga udah banyak yang baris.”
Dirly berjalan ke arah Dizi, menggamit tangan Dizi.
“Kak, ini di sekolah tau!” bisik Dizi.
“Emangnya kenapa?” tanya Dirly.
Dizi melepas genggaman tangan Dirly. Tapi Dirly merangkul Dizi.
“Dir, udah?” tanya Febiola yang berada di pinggir lapangan.
Melihat raut wajah Kak Febiola dan mendengar pertanyaannya membuat Dizi merasa sedih. Ia benar-benar merasa diberi harapan palsu. Dizi melepas rangkulan Dirly dan pergi menaiki anak tangga untuk sampai ke kelasnya.
“Dizi!” Dirly mengejar Dizi sampai ke anak tangga terakhir lantai 3—lantai kelas Dizi. Saat itu, keadaan koridor sudah sepi karena sudah banyak yang turun ke lapangan.
“Harusnya kamu tau, kalo hari ini adalah hari yang kamu tunggu. Detik yang kita lewatin udah sampai di hari ini. Mulai sekarang, jangan canggung kalau aku gandeng atau rangkul kamu.” ucap Dirly.
Dirly berbalik dan menuruni anak tangga, karena kelasnya berada di lantai dua. Dizi masih mematung dan tidak mengerti dengan ucapan Dirly barusan.
“Kak,”
Dirly menoleh kearah Dizi.
“Barusan kamu ngomong apa?” tanya Dizi.
Dirly tersenyum.
“Ganti status social media kamu jadi nama aku, oke?” Dirly memberi wink pada gadis yang sedang menyembunyikan wajah merahnya.
Dizi berbalik dan memegang dadanya, merasakan degup jantungnya yang berdetak sangat cepat.
“PEJE!!!” teriak Ingga, Lira, dan Sheryl yang baru saja keluar dari toilet. Dizi tersenyum dan memeluk ketiga sahabatnya.
“Gue ngga di PHP-in.” ucap Dizi kesenangan sambil memeluk teman-temannya.
“Eh, tunggu.” Lira melepas pelukan Dizi. “Jadi gue jomblo sendirian?” tanya Lira.
Dizi, Ingga, dan Sheryl saling melirik.
“Buruan jadian sama Kak Arsen!” ucap mereka bertiga.
Di ujung tangga…
“Lo berempat buruan ke lapangan. Upacaranya udah mau mulai.” ucap ketua kelas mereka, Virgo. Lira melihat tubuh itu, namun tidak lagi menemukan sorotan matanya.
“Buruan taruh tas lo.” kata Ingga.
“Tungguin gue!” Dizi lari menuju kelasnya untuk menaruh tasnya, kemudian mereka berempat turun ke lapangan.
~
Lira berdiri di koridor sambil menatap langit yang sedang menangis. Tiba-tiba, seseorang berdiri disamping Lira.
“Jangan menjauh dari gue setelah kejadian kemarin lusa. Kalo kita ngga bisa sama-sama lagi, sebagai teman kita masih bisa berdiri sebelahan kan?” ucap Virgo.
Lira menoleh ke arah Virgo yang sedang memperhatikan hujan. Perlahan, tatapan mereka bertemu di satu titik.
“Hujannya udah reda. Mau pulang bareng?” tanya Virgo.
“Gue bisa—“
“Kalo lo nolak ajakan gue, gue simpulkan lo masih ada rasa sama gue.” Virgo memegang ransel Lira dan berjalan berdampingan.
‘Ternyata debaran jantung gue udah bukan punya Virgo lagi.’ benak Lira.
“Ngga ngerepotin lo kalo lo nganter gue balik dulu?” tanya Lira.
“Ngga kok. Santai aja.” jawab Virgo.
Lira kembali duduk di belakang Virgo. Namun bukan lagi sebagai kekasih, melainkan sebagai teman.
‘Ternyata lebih baik begini.’ benak Virgo saat melajukan motornya.
~
“Lo ke sini mobil lo, lo taruh mana?” tanya Nanda.
“Depan Sevel.” jawab Arsen.
“Mau pesen apa Kak?” tanya Sheryl.
“Kremes aja satu.”
“Ngga sama Lira ke sini?” tanya Nanda.
“Ngapain harus ngajak dia? Emang dia siapanya gue?”
Nanda kaget mendengar ucapan Arsen barusan. Sheryl menatap penuh tanya ke arah kekasihnya itu.
“Sher…”
Sheryl menoleh, Nanda dan Arsen juga menoleh ke sumber suara barusan.
“Ayam kremesnya dua dibungkus ya. Paha sama dada.” ucap Lira.
“Ra, bukannya kita mau makan di sini?” tanya Virgo.
Virgo merasa ada sepasang mata yang sedang mengamatinya. Perlahan, Virgo menoleh pada sepasang mata diujung sana.
“Di rumah gue aja.” jawab Lira. Arsen melirik Lira yang tak meliriknya.
Lira duduk membelakangi Arsen, menahan rasa yang entah disebut apa dalam hatinya. Tapi, rasanya seperti hancur perlahan-lahan.
Virgo duduk disamping Lira, memainkan ponselnya. Sedangkan Nanda membantu Sheryl menyiapkan makanan Arsen.
Arsen bangun dari duduknya.
“Gue mau ngomong sama lo sebentar, bisa?” tanya Arsen yang berdiri disebelah Lira.
Mereka berdiri berhadapan di sebuah jalan yang sepi, hanya beberapa orang berlalu lalang melewati jalan itu.
“Kok lo bisa sama dia?” tanya Arsen.
“Kenapa? Hak gue kan?”
“Bisa ngga sih setiap kali gue nanya, lo langsung jawab? Bukan malah nanya balik.” kata Arsen.
“Lo siapa gue sampe lo harus tau kenapa gue bisa sama Virgo?” tanya Lira seraya menatap mata Arsen.
Lira berbalik dan berjalan meninggalkan Arsen.
“Lo balikan sama dia?” tanya Arsen yang membuat Lira menghentikan langkahnya.
Lira menahan agar air matanya tidak tumpah, lalu ia melanjutkan langkahya sampai ke warung Mama Sheryl.
“Ra, Kak Arsen mana? Kok lo ke sini sendiri?” tanya Sheryl.
“Go, pesenan kita udah? Kalo udah, ayo buruan balik.” Lira mengabaikan pertanyaan Sheryl.
“Arsen balik. Barusan dia BBM aku, Sher.” ucap Nanda seusai menatap layar ponselnya.
“Lo ngga abis kenapa-napa kan Ra?” tanya Sheryl.
“Ngga. Go, buruan.” kata Lira.
“Sher, makasih ya. Gue sama Lira balik.” kata Virgo.
“Kenapa ya, Lira sama Arsen rumit banget. Padahal jadian aja engga.” ucap Nanda setelah Virgo dan Arsen pergi.
“Emang sebenernya tuh Kak Arsen gimana sih sama Lira? Suka aja apa gimana?” tanya Sheryl.
“Setau aku, Arsen udah beneran suka sama Lira.”
“Beneran suka? Berarti dia pernah pura-pura suka? Apa gimana sih?”
“Arsen bilang sih dia udah beneran suka, tapi karena sikap Lira yang dingin sama dia, yaa dia jadi ngeri.”
“Laki bukan sih? Masa gitu aja takut. Lagian temenku itu ngga dingin kok aslinya. Dia cuman lagi masa-masa penyembuhan luka di hatinya.”
“Maksudnya?” Nanda mengrenyitkan dahinya.
“Dibalik orang yang sifatnya kaya Lira sekarang, pasti ada luka yang susah disembuhin gara-gara cowok. Makanya sikap Lira jadi gitu ke setiap cowok yang ngedeketin dia.”
Nanda hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Eh tapi tadi sama mantannya baik-baik aja, malah kaya orang balikan.” ucap Nanda setelah teringat tadi Lira ke sini bersama mantan kekasihnya.
“Aku ngga tau kalo itu. Lira ngga cerita apa-apa, temen-temen yang lain aku rasa juga belum tau.”
Di perjalanan pulang, Lira menumpahkan yang tertahan sejak tadi. Lira terisak dibalik punggung Virgo.
“Ra, lo ngga papa?” tanya Virgo.
“Ngga papa kok.” jawab Lira.
Beberapa hari kemudian, Dizi, Ingga, dan Sheryl memberondongi Lira dengan segala macam pertanyaan.
Mereka berempat duduk di bangku taman sekolah.
“Sebenernya, lo ada apa sih sama Kak Arsen?” tanya Ingga.
“Kenapa dua hari yang lalu kalian berdua aneh banget?” tanya Sheryl.
“Ra, lo ngga diapa-apain kan?” tanya Dizi.
Lira melirik ketiga sahabatnya secara bergantian.
“Gue ngga ada apa-apa sama dia. Gue juga ngga gimana-gimana sama dia, jadi ngga ada yang aneh. Kalo ada yang aneh, mungkin itu perasaan lo doang. Pertanyaan lo horror Diz.” jawab Lira.
“Kalo ngga ada apa-apa sama Arsen, berarti lagi ada apa-apa sama Virgo?” tanya Sheryl.
“Gue perhatiin, akhir-akhir ini lo lagi deket lagi sama dia. Kalian balikan? Kenapa ngga cerita sih Ra?” tanya Ingga.
“Gue tegaskan ya, gue ngga balikan lagi sama Virgo. Kedekatan gue cuman sebatas mantan yang sekarang udah jadi teman, ngga lebih. Jelas?”
Lira bangun dari duduknya.
“Ra, Kak Arsen cemburu sama Virgo.” ucap Sheryl. Dizi dan Ingga sontak melirik Sheryl. Bahkan Sheryl tidak sadar apa yang baru saja ia ucapkan.
“Cemburu? Emang gue siapanya dia?” tanya Lira dengan nada suara menahan tangis dan dengan mata yang berkaca-kaca. Namun, Dizi, Ingga, dan Sheryl tidak dapat melihat wajah Lira, karena Lira berdiri membelakangi mereka bertiga.
“Ra… Lo nangis ya?” Ingga berjalan menghampiri Lira. Diikuti Shery dan Dizi.
“Gue ngga paham kenapa rasanya sesakit ini waktu gue denger dia ngomong gitu. Mungkin gue terlalu bawa perasaan.” ucap Lira dengan tawa didalam tangis.
Ingga memeluk Lira. Setelah sekian detik, Ingga, Sheryl, dan Dizi mendapati tubuh seseorang di depan gerbang sekolah. Ia sedang memperhatikan mereka berempat.
Seseorang yang berdiri di sana, menaruh jari telunjuknya didepan mulutnya, memberi isyarat untuk tetap diam tanpa suara. Perlahan, tubuh itu pergi tanpa suara.
~
Tunggu kelanjutannya ya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]