Cerbung: Encoder Love [Chapter 2]
Annyeong! Simak kelanjutannya, ya.
“Keren kan mereka?” tanya Viona sesaat berjalan keluar dari
aula.
“Hem, yaa lumayan lah. Itu juga karena ada Kak Teyta.” jawab Shinta.
“Hem, yaa lumayan lah. Itu juga karena ada Kak Teyta.” jawab Shinta.
“Apa lo bilang? Jadi kita keren gara-gara Kak Teyta?”
Satu orang mewakili tiga orang. Mereka berjalan tepat di
belakang Shinta dan Viona. Shinta dan Viona menoleh ke belakang.
“Emang iya kok.” ucap Shinta.
“Shinta masih kurang yakin sama kalian bertiga, Than.” ucap Viona.
“Apa lagi Rey. Tadi keren darimananya? Di belakang drum juga ngga ngapa-ngapain.” cibir Shinta.
“Eh, wah parah!” sahut Dewa yang tidak terima temannya dicibir seperti itu.
“Udahlah, pendapat orang kan beda-beda.” ucap Rey yang tetap menanggapi dengan kepala dingin.
“Shinta masih kurang yakin sama kalian bertiga, Than.” ucap Viona.
“Apa lagi Rey. Tadi keren darimananya? Di belakang drum juga ngga ngapa-ngapain.” cibir Shinta.
“Eh, wah parah!” sahut Dewa yang tidak terima temannya dicibir seperti itu.
“Udahlah, pendapat orang kan beda-beda.” ucap Rey yang tetap menanggapi dengan kepala dingin.
Shinta tersenyum. Entah apa maksud senyumnya itu.
Beberapa detik kemudian, Shinta berbalik dan berjalan
meninggalkan siapapun yang ada di situ.
“Shinta, tunggu!” Viona mengejar Shinta begitu sadar Shinta
berjalan lebih dulu.
“Kok dia makin rese ya? Waktu kelas satu ngga setengil ini
deh kayanya.” ucap Nathan.
“Biasa aja woy ngeliatinnya! Dikit lagi mata lo copot tuh.” ucap Dewa.
“Biasa aja woy ngeliatinnya! Dikit lagi mata lo copot tuh.” ucap Dewa.
Nathan langsung mengalihkan pandangannya dan kembali masuk ke
gedung aula, diikuti Dewa dan Rey.
Sesampainya di dalam aula.
“Kak Nathan!”
Yang punya nama berusaha mencari suara yang memanggilnya.
Seseorang di sudut sana.
“Loh, bukannya lo PDB yang lagi MOS ya?” tanya Nathan saat
mendapati siswi cewek yang berpakaian masa orientasi siswa.
“Iya Kak.” jawabnya dengan senyum manis lengkap dengan lesung pipinya.
“Kok belum pulang? MOS hari ini udah selesai?” tanya Nathan.
“Udah Kak. Tadi pas nonton Kakak sama temen-temennya, itu sebagai penutup MOS hari ini.”
“Terus ngapain masih di sini?” tanya Nathan.
“Iya Kak.” jawabnya dengan senyum manis lengkap dengan lesung pipinya.
“Kok belum pulang? MOS hari ini udah selesai?” tanya Nathan.
“Udah Kak. Tadi pas nonton Kakak sama temen-temennya, itu sebagai penutup MOS hari ini.”
“Terus ngapain masih di sini?” tanya Nathan.
Dewa dan Rey langsung menyikut Nathan.
“Begok lo! Pertanyaan lo ketus banget.” bisik Dewa.
“Tau lo! Ngga liat mukanya tuh.” Rey ikut berbisik.
“Tau lo! Ngga liat mukanya tuh.” Rey ikut berbisik.
“Eh, maaf, maksud Kakak, kamu kok belum pulang?” Nathan
merubah nada bicaranya.
“Kebetulan dua minggu lagi aku ulang tahun. Aku pengin kalian tampil di acaraku, Kak.”
“HAH?” Dewa, Nathan, dan Rey memberi reaksi yang sama.
“Kebetulan dua minggu lagi aku ulang tahun. Aku pengin kalian tampil di acaraku, Kak.”
“HAH?” Dewa, Nathan, dan Rey memberi reaksi yang sama.
“Bercanda?” tanya Dewa.
“Serius Kak. Aku emang lagi nyari pengisi acara gitu.”
“Tapi kan kita—“
“Serius Kak. Aku emang lagi nyari pengisi acara gitu.”
“Tapi kan kita—“
Nathan mencegah omongan yang akan segera keluar dari mulut
Dewa.
“Sini ponsel kamu.” ucap Nathan.
Dewa dan Rey saling melirik, entah apa maksud dari temannya
ini.
“Ngga bawa Kak. MOS kan ngga boleh bawa hape.”
“Yaudah, kertas sama pulpen.”
“Yaudah, kertas sama pulpen.”
Siswi itu memberikan secarik kertas dan pulpen. Nathan
menuliskan sesuatu di kertas itu.
“Ini nomor hapeku, kita omongin ini lagi nanti, oke? Hubungi
Kakak kalo kamu udah selesai MOS. Mending sekarang kamu pulang dan nyiapin buat
MOS besok.”
Wajah siswi ini mulai berseri, merasa ada sesuatu di dalam
dadanya begitu menerima perlakuan dari Nathan.
“Ooo, oke Kak. Aku bisa hubungin Kakak kan?”
Nathan melirik kedua temannya. Dewa dan Rey hanya membuang
pandangan dan menggelengkan kepalanya.
“Bo.. boleh kok boleh.” kata Nathan.
“Yaudah ya Kak, aku pulang dulu. Bye Kak Dewa, bye Kak Rey. Duluan ya Kak Nathan.”
“Iya, hati-hati… Eh, siapa nama kamu?” tanya Nathan.
“Yaudah ya Kak, aku pulang dulu. Bye Kak Dewa, bye Kak Rey. Duluan ya Kak Nathan.”
“Iya, hati-hati… Eh, siapa nama kamu?” tanya Nathan.
Peserta didik baru ini mengulurkan tangannya.
“Gina.” ucapnya sambil tersenyum saat uluran tangannya
disambut Nathan.
“Oke, hati-hati Gina.”
“Oke, hati-hati Gina.”
Setelah calon adik kelas mereka keluar dari aula.
“Gila, ngegas banget lo.” kata Dewa.
“Tapi gue ngga ada niat ngegas, Wa, asli.” kata Nathan.
“Kayanya dikit lagi hape lo bakal rame, Than.” ucap Rey seraya tersenyum jahil.
“Tapi gue ngga ada niat ngegas, Wa, asli.” kata Nathan.
“Kayanya dikit lagi hape lo bakal rame, Than.” ucap Rey seraya tersenyum jahil.
Nathan memijat keningnya.
Keesokan harinya.
“Shinta!” panggil Rey.
Shinta yang beberapa meter berjalan di depan Rey, menoleh dan
menghentikan langkahnya.
“Eh, Rey. Baru dateng juga?”
“Iya. Oh iya, thanks ya buat pujian lo kemaren.”
“Pujian?” Shinta mengrenyitkan dahinya. “Oh! Hahahaha, gue bercanda kok.” ucapnya.
“Lain kali gue tunjukin ke lo, biar ngga dibilang ngga ngapa-ngapain lagi.”
“Beneran? Oke, gue tunggu.”
“Iya. Oh iya, thanks ya buat pujian lo kemaren.”
“Pujian?” Shinta mengrenyitkan dahinya. “Oh! Hahahaha, gue bercanda kok.” ucapnya.
“Lain kali gue tunjukin ke lo, biar ngga dibilang ngga ngapa-ngapain lagi.”
“Beneran? Oke, gue tunggu.”
Rey meneliti polesan tangan Tuhan itu dari samping. Wajah
mungil dan hidung mancungnya, juga rambut panjang yang dibiarkan tergerai.
Rey mulai sadar, ada yang hadir dalam tubuhnya. Semacam
debaran kencang yang tetap terkendali. Perlahan, senyum tipis hadir di
bibirnya.
“Rey, lo duluan aja ke kelasnya. Gue masih ada perlu di
perpustakaan.” Shinta menoleh ke arah Rey.
“Eeh, iya Shin.” Rey langsung berpaling wajah dan terlihat
sangat gugup.
“Yaudah, gue duluan ya.” ucap Shinta yang langsung berbelok ke kiri saat sudah berada di depan tangga.
“Yaudah, gue duluan ya.” ucap Shinta yang langsung berbelok ke kiri saat sudah berada di depan tangga.
Rey menghembuskan napas diselingi senyum, kemudian menaiki
anak tangga demi anak tangga.
Setelah mendapatkan apa yang sedaritadi dicari, Shinta keluar
dari perpustakaan, dan kebetulan bel masuk juga sudah berbunyi.
Buru-buru Shinta menaiki anak tangga.
Seseorang menghentikan ketergesa-gesaan Shinta. Ada yang
menahan ransel Shinta dari belakang.
“Jangan lari pas naik tangga, nanti jatoh.”
Shinta menoleh, siapa yang berani menghentikan kakinya
menaiki anak tangga. Hampir saja ia jatuh.
“Tali sepatu lo copot.”
Shinta melirik dan tali sepatunya memang benar lepas.
“Makasih udah diingetin.” Shinta duduk di tangga dan mengikat
tali sepatunya. Tapi… seseorang masih berdiri di hadapannya.
“Kok lo masih di sini?” tanya Shinta.
“Nungguin lo, kan kita sekelas.” jawabnya.
“Ooh, ya juga ya.” Shinta berdiri dan menaiki anak tangga tanpa menunggu seseorang yang sudah menunggunya.
“Nungguin lo, kan kita sekelas.” jawabnya.
“Ooh, ya juga ya.” Shinta berdiri dan menaiki anak tangga tanpa menunggu seseorang yang sudah menunggunya.
Sesampainya di koridor lantai dua, Shinta menghentikan
langkahnya sebelum sampai di depan kelas.
“Buku!” Shinta menepuk keningnya.
Shinta berbalik. Seseorang memegang buku yang Shinta
tinggalkan di anak tangga tadi tempatnya duduk untuk mengikat tali sepatu.
Shinta berniat mengambil, tapi Dewa semakin mengangkat
tangannya agar Shinta tidak bisa meraih bukunya.
“Wa…” ucap Shinta.
“Gue udah nungguin, eh tapi lo tinggalin.”
“Maaf, buku gue…”
“Mintanya secara baik-baik dong, yang imut.”
“Gue udah imut kali.”
“Yaudah, gimana mintanya?”
“Gue udah nungguin, eh tapi lo tinggalin.”
“Maaf, buku gue…”
“Mintanya secara baik-baik dong, yang imut.”
“Gue udah imut kali.”
“Yaudah, gimana mintanya?”
Shinta berpikir sejenak. Kemudian ia menengadahkan kedua
tangannya di depan wajah Dewa.
“Boleh gue minta buku gue? Plisssss.” ucap Shinta dengan
wajah menggemaskannya.
Dewa menelan ludah. Menjatuhkan bola matanya di kedua mata
Shinta.
‘Sial! Mati gue mati!’ benak Dewa.
“Nih, buku lo. Masuk kelas jangan bareng!” kata Dewa yang
kemudian meninggalkan Shinta. Shinta tersenyum lalu berjalan di belakang Dewa.
“Gue bilang masuk ke kelasnya jangan bareng!” kata Dewa.
“Iya bawel!” kata Shinta.
“Iya bawel!” kata Shinta.
Dewa masuk ke kelas, selang satu menit, Shinta juga masuk ke
kelas.
Selama jam pelajaran, Shinta memperhatikan guru matematika
yang sedang menjelaskan materi di papan tulis. Entah apa yang membuatnya
menoleh ke kanan.
Ia menangkap sebuah tatapan, lalu melempar senyum.
Dewa. Ia langsung mengalihkan pandangan.
Viona menangkap situasi ini. Melirik Shinta dan Dewa secara
bergantian. Saat Shinta sadar mendapat lirikan dari Viona, ia memilih untuk
memperhatikan guru menjelaskan.
Seseorang melempar penghapus dan mengenai telinga Dewa.
“Kampret lo Than.” ucap Dewa yang menoleh ke arah Nathan.
“Perhatiin woy. Ngeliatin Shinta aja lo, hahaha!” ledek Nathan.
“Perhatiin woy. Ngeliatin Shinta aja lo, hahaha!” ledek Nathan.
Merasa namanya disebut, Shinta menoleh ke belakang.
“Lo merhatiin?” tanya Viona.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Nathan diam seribu bahasa
sambil melirik Shinta dan Viona secara bergantian.
~
“Kayanya one in three nih.”
ucap Viona.
“Maksud lo three in one?” ucap Shinta.
“Lo ngga ngerasa?” tanya Viona.
“Ngerasa? Ngerasa apaan?”
“Mereka bertiga.”
“Siapa?”
“Kayanya mereka bertiga naksir lo.”
“Hah? Siapa?”
“Tadi pagi gue liat lo sama Rey. Terus gue nge-gep Dewa merhatiin lo. Dan gue liat tatapan cemburu di mata Nathan.”
“Terus menurut lo mereka suka sama gue karena pernyataan lo barusan? Hahaha, ngaco ah.”
“Maksud lo three in one?” ucap Shinta.
“Lo ngga ngerasa?” tanya Viona.
“Ngerasa? Ngerasa apaan?”
“Mereka bertiga.”
“Siapa?”
“Kayanya mereka bertiga naksir lo.”
“Hah? Siapa?”
“Tadi pagi gue liat lo sama Rey. Terus gue nge-gep Dewa merhatiin lo. Dan gue liat tatapan cemburu di mata Nathan.”
“Terus menurut lo mereka suka sama gue karena pernyataan lo barusan? Hahaha, ngaco ah.”
“Hay Shin, hay Vi.” sapa Rey yang baru saja datang dengan
segelas jus alpukatnya.
“Hay, Rey. Dewa sama Nathan mana? Kok ngga bareng mereka? Biasanya bertigaan mulu.”
“Tuh, lagi pada mesen makanan.” jawab Rey.
“Hay, Rey. Dewa sama Nathan mana? Kok ngga bareng mereka? Biasanya bertigaan mulu.”
“Tuh, lagi pada mesen makanan.” jawab Rey.
Tak lama, Dewa dan Nathan datang. Tapi Viona memilih bangun
dari duduknya.
“Viona, lo mau ke mana?” tanya Shinta.
“Ada urusan, gue duluan.” ucap Viona.
“Viona!” teriak Shinta.
“Viona kenapa?” tanya Nathan.
“Gue juga ngga tau. Kenapa ya dia?”
“Gue nanya kok malah nanya balik?”
“Yaa yaudah, kan sama-sama ngga tau. Ribet deh lo.”
“Yaudah dong, biasa aja.”
“Udah eh, lo berdua lama-lama jadi kaya tom and jerry. Heran.” ucap Dewa.
“Ada urusan, gue duluan.” ucap Viona.
“Viona!” teriak Shinta.
“Viona kenapa?” tanya Nathan.
“Gue juga ngga tau. Kenapa ya dia?”
“Gue nanya kok malah nanya balik?”
“Yaa yaudah, kan sama-sama ngga tau. Ribet deh lo.”
“Yaudah dong, biasa aja.”
“Udah eh, lo berdua lama-lama jadi kaya tom and jerry. Heran.” ucap Dewa.
Lalu Shinta menatap Nathan geram. Tapi tatapan geram Shinta
malah dibalas tatapan damai oleh Nathan.
Sepasang mata memperhatikan tatapan dua anak manusia di hadapannya
ini. Mencari tau apa yang ada dibalik tatapan itu.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar