Cerpan: Maaf, Aku Mencintainya [Part 1]
Sore itu, langit
diselimuti awan hitam. Hati siapapun yang berada di sini atau siapapun yang
mengenal sosok tubuh yang membeku di dalam, pasti akan ikut merasakan duka.
Aku berdiri di ujung
jalan. Melihat keramaian dengan segala wajah kehilangan. Tangisan dan air mata
menjadi teman paling dekat siapapun yang berdoa.
Dengan pakaian serba
hitam, aku berjalan perlahan menuju rumah yang disekelilingnya terdapat bendera
kuning bertuliskan nama seseorang. Seorang seumuranku.
Tidak banyak yang
kukenal, hanya beberapa teman sekolah yang menjadi sahabat seseorang yang sudah
tutup usia.
Aku memperhatikan sosok
yang tertunduk di sudut ruangan, menyaksikan seseorang yang sedang lelap
tertidur dengan kedua kapas dikedua lubang hidung. Suara doa mulai menyelinap
merasuk tubuh dan membuat guncangan.
Dia mengangkat kepala
dari tundukannya dan menatapku dengan kedua bola mata yang sembap. Dia
menghampiriku.
Kami berdiri di
lapangan umum yang tidak berada jauh dari rumah itu.
“Kehilangan memang
sesuatu yang sangat berat, tapi lo harus ikhlas.” ucapku.
Dia diam.
“Jangan sampe Ajeng
sedih liat lo begini. Lo harus kuat.” sekali lagi aku menguatkannya.
Dia menatapku.
Membuatku sedikit gugup.
“Makasih.”
Beberapa detik
kemudian, aku hanya seorang diri di sini.
~
“Yang bener aja Ma, aku
masuk ke dalam dengan seragam sekolah lamaku.” rengekku.
“Nanti juga kamu dapat seragam. Ngga akan ada yang ngetawain kamu cuman karena kamu ngga pakai seragam yang sama dengan mereka. Maklum, kamu kan anak baru.” ucap Mama.
“Kenapa ngga aku masuk sekolahnya pas udah dapet seragam baru aja sih.”
“Nanti juga kamu dapat seragam. Ngga akan ada yang ngetawain kamu cuman karena kamu ngga pakai seragam yang sama dengan mereka. Maklum, kamu kan anak baru.” ucap Mama.
“Kenapa ngga aku masuk sekolahnya pas udah dapet seragam baru aja sih.”
Aku masih di dalam
mobil, duduk di samping Mama, memperhatikan siswa-siswi yang bergerombol masuk
ke sekolah berlantai tiga ini.
Aku bingung kenapa Mama
mendaftarkanku di sekolah yang favorit di Jakarta. Padahal, aku maunya sekolah
di sekolahan yang biasa saja. Entahlah, mungkin karena jaraknya cukup dekat
dengan rumahku.
Aku turun dari mobil
dengan seragam sekolah lamaku waktu di Bandung. Rok hijau kotak-kotak dan
kemeja putih juga dasi silang yang menempel di kerah baju dengan warna yang
senada seperti rok.
Benar saja, banyak
pasang mata yang menatapku aneh.
Aku berjalan memasuki
sekolah baruku. Seragam hari Senin yang mereka kenakan hampir sama dengan
seragam yang kupakai. Hanya saja berbeda warna.
Sekolah baruku
menetapkan seragam hari Senin dengan rok kotak-kotak abu-abu, seragam putih,
dasi berwarna seperti rok dan rompi yang juga berwarna abu-abu kotak-kotak.
Seragam yang akan dikenakan setiap hari Senin dan Rabu.
Aku masih tak tau harus
ke mana. Bahkan aku tidak tau kelasku di mana. Arlojiku sudah menunjukan pukul
tujuh kurang lima menit. Seluruh murid sudah berkumpul di lapangan untuk
melaksanakan upacara.
“Hey.”
Seseorang menepuk
pundakku, aku menoleh.
“Kamu murid baru ya?”
tanya seorang gadis berambut lurus sebahu dengan lesung pipi dikedua pipinya.
“Iya.” jawabku.
“Kamu masuk kelas mana?”
“Belum tau.”
“Yaudah, kamu bareng aku aja dulu. Kita baris di lapangan.” ajaknya dengan ramah.
“Iya.” jawabku.
“Kamu masuk kelas mana?”
“Belum tau.”
“Yaudah, kamu bareng aku aja dulu. Kita baris di lapangan.” ajaknya dengan ramah.
Gadis itu menggandeng
tanganku sampai pada barisan kelasnya. Aku tidak tau ini kelas berapa. Yang
jelas, sepertinya aku sepantaran dengannya. Sama-sama siswi 2 SMA.
“Kamu pindahan
darimana?” tanyanya.
“Dari Bandung.” jawabku yang kali ini melempar senyum padanya.
“Oh, Bandung.”
“Dari Bandung.” jawabku yang kali ini melempar senyum padanya.
“Oh, Bandung.”
Ia menatap lurus ke
depan sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Aku melirik nametag di seragamnya. Ajeng Nidia Larasati.
“Eh, iya. Nama kamu
siapa? Aku Ajeng.” Ia mengulurkan tangan kanannya.
“Parasayu.”
“Pa-ra-sa-yu. Manggil kamu gimana ya?”
“Parasayu.”
“Pa-ra-sa-yu. Manggil kamu gimana ya?”
Dia malah terkekeh
sendiri mengeja namaku.
“Orang-orang panggil aku
Paras.”
“Oh, Paras. Oke. Kita kaya anak kembar deh, kamu Paras, aku Laras.” katanya dengan penuh senyuman.
“Oh, Paras. Oke. Kita kaya anak kembar deh, kamu Paras, aku Laras.” katanya dengan penuh senyuman.
Sepertinya, gadis ini
seorang yang periang. Aku yang wanita saja bisa memujinya kalau senyumnya
sangat manis.
Selesai upacara, Ajeng
menemaniku ke ruang guru, untuk menanyakan aku akan duduk di kelas berapa.
“Sebentar ya, jangan ke
mana-mana.” kataku sebelum masuk ke ruang guru.
“Iya, aku tungguin.” kata Ajeng.
“Iya, aku tungguin.” kata Ajeng.
Aku masuk ke dalam dan
berbincang sedikit dengan guru dan beberapa staf di sana. Setelah menerima
beberapa berkas, aku keluar dari sana.
“Gimana? Kamu masuk di
kelas berapa?” tanya Ajeng.
“Kelas 11 Sosial 3 tuh di mana ya?” tanyaku.
“Itu kelasku!”
“Serius? Kita sekelas?”
“Kelas 11 Sosial 3 tuh di mana ya?” tanyaku.
“Itu kelasku!”
“Serius? Kita sekelas?”
Ajeng tersenyum dalam
anggukannya.
“Yuk, masuk kelas.
Mulai sekarang kita temen.” ucapnya.
Aku dan Ajeng berjalan
menyusuri koridor lantai 2. Tidak banyak bicara sampai kami sampai di depan
kelas 11 Sosial 3.
Hanya terdapat 30 murid
di dalamnya. Kursi dan mejanya bukan seperti di sekolah lamaku. Di sini kursi
mejanya sendiri-sendiri, dan aku memutuskan untuk duduk di samping tempat duduk
Ajeng.
Selang beberapa detik,
siswa-siswi yang lain menghampiriku dan mengajaku berkenalan. Ya, selayaknya
siswi yang baru saja pindah sekolah.
Tak lama, guru datang.
Ajeng bilang, beliau adalah wali kelas 11 Sosial 3. Terkenal baik dan ramah,
bahkan jarang sekali marah.
“Sepertinya kelas ini
kedatangan murid baru. Kamu yang seragamnya beda, coba perkenalkan diri kamu di
depan kelas.” ucapnya.
Seorang wanita yang
sepertinya seumuran dengan Mamaku mempersilahkanku untuk memperkenalkan diri.
“Halo teman-teman, nama
saya Parasayu Ghaitsa. Saya siswi pindahan dari Bandung. Semoga kalian senang
berteman dengan saya. Terimakasih.”
“Siapa nama panggilan
kamu?” tanya Bu Indira.
“Paras boleh Bu.” jawabku.
“Oke, Paras. Kamu boleh kembali ke tempat kamu.”
“Paras boleh Bu.” jawabku.
“Oke, Paras. Kamu boleh kembali ke tempat kamu.”
Setelah itu, kami
mengikuti pelajaran hari ini sampai selesai. Tapi, pelajaran terakhir gurunya
tidak masuk karena sedang berhalangan. Jadi, 11 Sosial 3 freeclass.
“Ajak aku keliling
sekolah dong.” ucapku.
“Yuk, dengan senang hati.” kata Ajeng.
“Yuk, dengan senang hati.” kata Ajeng.
Aku dan Ajeng menyusuri
gedung sekolah yang luasnya dua kali lebih besar dari sekolah lamaku di
Bandung. Di sekolahku yang sekarang, fasilitasnya lebih banyak.
Ajeng mengajakku ke
lapangan indoor yang berada di lantai
satu. Ke kantin yang lebih mirip kafe atau tempat nongkrong semasa aku masih
tinggal di Bandung. Dan sampailah kami di depan Lab Biologi.
“Biarpun aku anak
Sosial, tapi aku seneng banget kalo ke Lab Biologi.”
“Emang kenapa?”
“Ada seseorang yang harus aku temui. Tapi kayanya dia lagi ngga di dalem deh. Yaudah yuk, kita jalan-jalan lagi.”
“Emang kenapa?”
“Ada seseorang yang harus aku temui. Tapi kayanya dia lagi ngga di dalem deh. Yaudah yuk, kita jalan-jalan lagi.”
Setelah Ajeng melongok
Lab Biologi, ia menggamit tanganku dan mengajakku ke lapangan basket.
“Ini tempat bersejarah
banget buat aku.”
“Kayanya banyak ya yang harus aku tanyain ke kamu tentang tempat-tempat di sekolah ini.” candaku.
“Hahahahaha. Banyak. Abisnya sekolahannya gede banget!”
“Oh iya, tadi kamu bilang tempat ini bersejarah. Emang ada apa?”
“Soalnya pacarku nembaknya di tempat ini, sepulang sekolah. Terus temen-temen muncul dari balik balkon sambil teriak-teriak gitu. Ih jadi kangen.”
“Pacar kamu sekolah di sini? Dia kakak kelas?”
“Sepantaran kita kok. Nanti deh kalo ketemu, aku kenalin ke kamu. Dia ganteng lho, kamu jangan naksir ya.” kata Ajeng.
“Ya ngga, lah. Dia kan pacar kamu, Jeng.”
“Kayanya banyak ya yang harus aku tanyain ke kamu tentang tempat-tempat di sekolah ini.” candaku.
“Hahahahaha. Banyak. Abisnya sekolahannya gede banget!”
“Oh iya, tadi kamu bilang tempat ini bersejarah. Emang ada apa?”
“Soalnya pacarku nembaknya di tempat ini, sepulang sekolah. Terus temen-temen muncul dari balik balkon sambil teriak-teriak gitu. Ih jadi kangen.”
“Pacar kamu sekolah di sini? Dia kakak kelas?”
“Sepantaran kita kok. Nanti deh kalo ketemu, aku kenalin ke kamu. Dia ganteng lho, kamu jangan naksir ya.” kata Ajeng.
“Ya ngga, lah. Dia kan pacar kamu, Jeng.”
Begitu bel pulang
sekolah, aku merapikan buku-bukuku dan bersiap keluar dari kelas.
“Yah, Paras…” gumam
Ajeng yang masih duduk di kursinya sambil menatap layar ponselnya.
“Kenapa?”
“Tadinya aku mau ngenalin kamu ke Juna, tapi dia udah pulang duluan gara-gara ada urusan mendadak.”
“Kirain kenapa. Besok-besok juga bisa kok. Eh iya, aku pulang duluan ya.”
“Iya iya. Hati-hati ya, Ras.” kata Ajeng.
“Kenapa?”
“Tadinya aku mau ngenalin kamu ke Juna, tapi dia udah pulang duluan gara-gara ada urusan mendadak.”
“Kirain kenapa. Besok-besok juga bisa kok. Eh iya, aku pulang duluan ya.”
“Iya iya. Hati-hati ya, Ras.” kata Ajeng.
Sesampainya di anak
tangga terakhir, aku melihat seorang cowok yang berdiri bersandar pada dinding
sambil memegang setangkai bunga mawar merah.
Aku lekat
memperhatikannya sampai ia tersadar aku perhatikan. Lalu dia menyembunyikan
bunga mawar merahnya.
Aku mendekatinya.
“Eh, kayanya kita
pernah ketemu ya?” ucapku.
“Lo salah orang kayanya.” katanya dengan jawaban yang dingin.
“Eh, bener kok…”
“Lo salah orang kayanya.” katanya dengan jawaban yang dingin.
“Eh, bener kok…”
Sekitar
dua pekan yang lalu.
“Ma,
harus banget ya aku nenteng kantong sendirian sebanyak ini sampe mobil?”
“Iya, masa ngga bisa? Mama mau ke toilet, udah ngga tahan banget.”
“Iya, masa ngga bisa? Mama mau ke toilet, udah ngga tahan banget.”
Setelah
Mama bergegas ke toilet di sebuah mini market, aku menenteng lima kantong
plastik berisi kebutuhan sehari-hari ke mobil.
“Ah,
Mama parkir segala di ujung! Emangnya ngga berat apa!” gerutuku.
Tanpa
kusadari, dua kantong yang kugenggam di tangan kiriku malah putus dan isinya
berserakan jatuh.
“Oh
my…!”
Selagi
aku membereskan benda-benda yang jatuh ke tanah, seseorang membantuku
membawakannya.
“Di
mana mobilnya?” tanyanya.
“Itu, yang warna merah.” jawabku setelah tiga detik menatap matanya.
“Itu, yang warna merah.” jawabku setelah tiga detik menatap matanya.
Kami
berjalan berdampingan diantara diam. Setelah semua belanjaan kutaruh ke dalam
mobil, cowok yang tadi membantuku langsung pergi tanpa mengucap apa-apa.
“Eh,
makasih ya!” teriakku hingga membuatnya menoleh dan kembali tersenyum.
Setelah
itu, ia masuk ke mobil ber-plat kota Jakarta.
“Ternyata
dia dari Jakarta.” gumamku.
“Iya! Kita pernah
ketemu sekitar dua pekan yang lalu. Di Bandung. Waktu itu lo bantuin bawain
belanjaan gue ke mobil. Inget?” antusiasku.
Cowok yang sudah
melepas rompinya itu pergi meninggalkanku dengan sejuta malu di wajahku.
“Ih.” cibirku.
Aku berjalan menyusuri
kota Jakarta yang terik ini. Hanya sekitar delapan ratus meter aku berjalan
kaki untuk sampai ke perumahan tempat aku dan Mama tinggal.
Beberapa hari kemudian,
Mama tidak lagi mengantarku ke sekolah. Aku berangkat dengan menggunakan kedua
kakiku.
Dengan mengenakan
seragam batik warna abu-abu dan rok putih, aku berjalan menghampiri seseorang
yang sedang memainkan bola basket di lapangan basket.
Sepertinya, hari ini
aku datang terlalu pagi. Keadaan sekolah masih sepi. Setelah kulirik jam
tanganku, masih sekitar dua puluh menit lagi bel masuk sekolah.
“Main basket sendirian
emang enak ya?” tanyaku yang menghentikan aktivitasnya.
Tanpa bicara, dia hanya
menoleh lalu kembali asyik dengan bola basket dan ring dihadapannya.
Setelah bola itu masuk,
aku merampas bola itu dan memasukkannya juga ke dalam ring. Dia menatapku aneh,
membuatku jadi merasa ‘garing’ dilihati dengan tatapan seperti itu.
“Kalian berdua?”
Suara seseorang
mengagetkan kami. Aku melirik seseorang dibelakang pundak cowok yang sekarang
menatapku aneh.
“Eh, Ajeng.” kataku.
Cowok dihadapanku
kemudian berbalik dan menghampiri Ajeng.
“Kalian berdua udah
saling kenal? Yah, aku telat dong.” ucap Ajeng.
“Kamu kenal cowok jutek ini Jeng?” tanyaku sembari berjalan ke arah mereka berdua.
“Kamu kenal cowok jutek ini Jeng?” tanyaku sembari berjalan ke arah mereka berdua.
Ajeng terkikik.
“Jun, makanya kamu
jangan jutek-jutek dong kalo jadi cowok. Ras, ini yang mau aku kenalin ke kamu.
Pacarku yang paling lucu.” kata Ajeng.
Aku menelan ludah.
“Lucu?” keningku
berkerenyit. Tapi cowok yang disebut-sebut pacarnya Ajeng masih menatapku
dingin.
“Paras, ini Juna. Juna,
ini Paras, dia temen deketku sekarang.” kata Ajeng memperkenalkan kami satu
sama lain.
“Aku anterin kamu ke
kelas ya.” Juna merangkul Ajeng.
“Kita duluan ya. Sampe ketemu di kelas.” kata Ajeng.
“Kita duluan ya. Sampe ketemu di kelas.” kata Ajeng.
Aku benar-benar tidak
percaya. Cowok jutek dan sedingin itu bisa mendapatkan hati seorang gadis yang
baik hati dan periang.
Juna beruntung
mendapatkan Ajeng. Tapi malapetaka bagi Ajeng mendapatkan anugerah terburuk
seperti Juna!
Saat bel pulang
sekolah, Ajeng terlihat tergesa-gesa.
“Jeng, kenapa? Kok kaya
panik gitu?” tanyaku.
“Aku cuman ngga kebayang kalo seorang anak ditinggal Ibunya untuk selama-lamanya.”
“Ibu kamu—“
“Bukan Ibuku.”
“Maaf…”
“Tante Ryn meninggal.”
“Tante Ryn? Dia siapa?”
“Aku cuman ngga kebayang kalo seorang anak ditinggal Ibunya untuk selama-lamanya.”
“Ibu kamu—“
“Bukan Ibuku.”
“Maaf…”
“Tante Ryn meninggal.”
“Tante Ryn? Dia siapa?”
Ajeng memelukku.
“Aku harus apa? Harus
gimana?” Ajeng menangis dalam pelukanku.
“Tunggu. Siapa sih yang meninggal? Kenapa kamu ngerasa terpukul gini? Tante Ryn tuh siapa?” aku melepas pelukannya, melihat matanya yang berair dan pipinya yang mulai basah.
“Ibunya Juna.” Ajeng kembali memelukku.
“Tunggu. Siapa sih yang meninggal? Kenapa kamu ngerasa terpukul gini? Tante Ryn tuh siapa?” aku melepas pelukannya, melihat matanya yang berair dan pipinya yang mulai basah.
“Ibunya Juna.” Ajeng kembali memelukku.
Aku benar-benar
terkejut. Apa mungkin sikap Juna tadi pagi ada sangkut pautnya dengan kepergian
Ibunya?
Sepulang sekolah, masih
mengenakan seragam SMA, aku menemani Ajeng untuk pergi ke rumah Juna.
Bendera kuning sudah
terpasang di mana-mana. Sanak saudara yang sudah berkumpul dan mendoakan sosok
yang belum kukenal.
Aku tidak melihat Juna
di sana. Apa dia pergi ke suatu tempat? Atau mengurung diri di kamar? Entahlah,
aku pernah merasakan hal yang sama.
Aku diajak Ajeng ke
lantai 2 rumah Juna setelah Ajeng berbincang dengan seorang lelaki yang berusia
sekitar empat puluh tahun-an.
Pintu kamar Juna tidak
terkunci, kami berdua masuk. Kamar yang benar-benar rapi, seperti semua barang
yang berada di sini tak satupun tergeser seinci.
Aku melihat sosok Juna
sedang duduk dibalik ranjangnya, menunduk, terisak dalam sesak. Ajeng duduk
disampingnya, mengusap lembut bahunya, lalu memeluknya.
Aku dapat melihatnya,
Juna begitu erat menggenggam kedua pundak Ajeng, seakan tak akan melepaskannya.
Kejadian di depan mataku
benar-benar menusuk batin. Aku sedang menyaksikan seseorang yang telah
kehilangan seseorang.
~
Sebulan setelah
masa-masa keterpurukan Juna. Sekarang ia kembali seperti semula. Tidak semurung
sejak ditinggal Ibunya.
Kehilangan memang akan
terasa berat jika tidak didasari rasa ikhlas. Kematian membuat seseorang enggan
untuk berhenti menitihkan air mata. Namun, mereka yang telah pergi tidak akan
bisa tenang selama air mata masih mengalir, bukan doa.
“Buat lo yang udah ngga
murung lagi. Yang udah ngga terpuruk lagi semenjak ditinggal Ibu lo.” aku
memberikan sebatang cokelat kehadapannya.
Dia melirik cokelat
yang kugenggam dengan kedua tanganku, kemudian menatap mataku dengan tatapan
dingin seperti biasa.
“Makasih udah ngasih
gue cokelat. Cokelatnya boleh lo makan.” katanya yang kemudian berjalan
meninggalkanku.
Aku mengejarnya dan
kembali berdiri dihadapannya.
“Kan gue ngasih lo.”
ucapku.
“Lo ngasih gue, berarti udah jadi punya gue. Dan terserah gue juga mau nyuruh siapapun makan cokelat itu.” Juna bicara begitu.
“Lo ngasih gue, berarti udah jadi punya gue. Dan terserah gue juga mau nyuruh siapapun makan cokelat itu.” Juna bicara begitu.
“Sini.” Ajeng tiba-tiba
datang dan mengambil cokelat itu.
Ia membuka bungkus
cokelat itu, lalu menggigit cokelat batangan tersebut. Ajeng berdiri diantara
aku dan Juna, ia membelah cokelat itu jadi menjadi tiga bagian.
“Buka mulutnya.”
menyuruhku dan kemudian memasukan cokelat ke mulutku.
“Buka mulut kamu juga.” kali ini Ajeng menyuruh kekasihnya untuk membuka mulut.
“Apa sih kamu?”
“Buka mulutnya.”
“Buka mulut kamu juga.” kali ini Ajeng menyuruh kekasihnya untuk membuka mulut.
“Apa sih kamu?”
“Buka mulutnya.”
Juna membuka mulut dan
Ajeng menyuapi cokelat pada Juna.
“Seharusnya kamu terima
aja cokelat pemberian Paras. Nanti kan cokelatnya buat aku. Udah tau pacar kamu
suka banget sama cokelat.” ucap Ajeng.
Sepulang sekolah, hujan
turun dengan deras, membuatku dan Ajeng masih duduk di dalam kelas.
“Kira-kira, hujannya
kapan berhenti ya.” gumamku.
Aku menoleh ke arah Ajeng.
Gadis itu menyembunyikan wajahnya dibalik rambut hitamnya.
“Jeng?”
“Iya?”
“Iya?”
Aku melihat Ajeng
seperti habis menyeka sesuatu dari hidungnya.
“Kamu lagi pilek ya?”
Ajeng melirik tissue
yang ia genggam.
“Iya, kayanya mau flu
berat nih.” kata Ajeng.
“Nih, minum ini. Mama selalu nyuruh aku bawa obat-obatan.” aku menawarkannya obat flu.
“Makasih. Tapi aku biasa minum obat dari dokter. Eh iya, kayanya aku pulang duluan deh.”
“Hujan deras begini? Ngga bareng sama Juna?”
“Aku ada urusan, udah ditunggu Papa juga di bawah. Nanti kamu pulang sama Juna ya.”
“Eh, Jeng…”
“Nih, minum ini. Mama selalu nyuruh aku bawa obat-obatan.” aku menawarkannya obat flu.
“Makasih. Tapi aku biasa minum obat dari dokter. Eh iya, kayanya aku pulang duluan deh.”
“Hujan deras begini? Ngga bareng sama Juna?”
“Aku ada urusan, udah ditunggu Papa juga di bawah. Nanti kamu pulang sama Juna ya.”
“Eh, Jeng…”
Belum sempat bicara,
Ajeng sudah lebih dulu turun ke bawah. Aku melihatnya dari balkon, dia masuk ke
mobil sambil membekap hidugnya dengan tissue.
Tak lama, Juna berhenti
di depan kelasku.
“Ajeng mana?” tanyanya.
“Baru aja pulang. Dia dijemput Papanya.”
“Baru aja pulang. Dia dijemput Papanya.”
Ponsel Juna bergetar.
Ia merogohnya dari saku celananya. Satu pesan singkat dari Ajeng. Membuatnya
menatap Paras seusai membaca pesan singkat itu.
“Kenapa?” tanyaku yang
ditatap seperti itu.
“Dia ngga ngomong apa-apa sama lo?”
“Engga. Dia cuman bilang kayanya mau flu, terus ada urusan makanya dia pulang duluan. Emangnya kenapa sih?”
“Ngga papa. Buruan ambil tas lo. Gue tunggu di bawah.”
“Dia ngga ngomong apa-apa sama lo?”
“Engga. Dia cuman bilang kayanya mau flu, terus ada urusan makanya dia pulang duluan. Emangnya kenapa sih?”
“Ngga papa. Buruan ambil tas lo. Gue tunggu di bawah.”
Kemudian, Juna turun
tanpa ucapan yang kurang jelas. Kenapa Juna harus menungguku?
Aku mendapati Juna
sedang bersandar pada pilar sekolah sembari memejamkan matanya, menikmati bau
sehabis hujan. Lalu ia membuka matanya begitu sadar aku sudah berada
disampingnya.
“Ayo. Hujannya udah
berhenti.” Juna melangkah lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang dengan
segala macam pertanyaan.
“Lo ngajak gue pulang
bareng?” tanyaku dibelakangnya.
“Ajeng yang nyuruh gue nganterin lo pulang.” jawabnya.
“Ternyata kalian pasangan yang serasi. Asumsi gue salah tentang kalian berdua.”
“Emangnya lo berasumsi apa?”
“Menurut gue, lo beruntung dapetin Ajeng yang super duper baik.”
“Iya, lah!”
“Tapi lo malapetaka buat Ajeng.”
“Ajeng yang nyuruh gue nganterin lo pulang.” jawabnya.
“Ternyata kalian pasangan yang serasi. Asumsi gue salah tentang kalian berdua.”
“Emangnya lo berasumsi apa?”
“Menurut gue, lo beruntung dapetin Ajeng yang super duper baik.”
“Iya, lah!”
“Tapi lo malapetaka buat Ajeng.”
Juna berbalik dan
kembali memasang tatapan membunuh padaku.
“Tapi ternyata gue
salah. Kalian berdua cocok karena kalian sama-sama baik.”
“Karena temen lo di sini cuman Ajeng. Dan kebetulan gue pacarnya, jadi mau ngga mau gue harus bersikap sama kaya Ajeng bersikap ke lo.”
“Jadi kalo lo bukan pacarnya Ajeng, lo ngga akan baik sama gue?”
“Mungkin.”
“Karena temen lo di sini cuman Ajeng. Dan kebetulan gue pacarnya, jadi mau ngga mau gue harus bersikap sama kaya Ajeng bersikap ke lo.”
“Jadi kalo lo bukan pacarnya Ajeng, lo ngga akan baik sama gue?”
“Mungkin.”
Lagi-lagi aku mencibir
dalam hati.
Sesampainya di rumah,
aku berterimakasih pada Juna karena dia mau mengantarku pulang sampai depan
rumah. Padahal, rumahku dekat dengan sekolah.
Keesokan harinya, Ajeng
tidak masuk sekolah. Membuat Juna harus menlongok ke kelasku, meyakinkan diri
bahwa Ajeng benar-benar tidak masuk sekolah.
Aku menemuinya selagi
jam istirahat.
“Ajeng ke mana?”
tanyaku.
“Dia ngga ngasih kabar apa-apa ke gue. Dia juga ngga ngabarin lo?”
“Engga. Tapi kemarin sebelum pulang, mukanya dia pucat. Dia punya penyakit serius?”
“Jangan sembarangan kalo ngomong.” Juna beridiri dengan tatapan angker.
“Gue kan cuman nanya.”
“Dia sehat kok. Dia ngga akan kenapa-napa.”
“Dia ngga ngasih kabar apa-apa ke gue. Dia juga ngga ngabarin lo?”
“Engga. Tapi kemarin sebelum pulang, mukanya dia pucat. Dia punya penyakit serius?”
“Jangan sembarangan kalo ngomong.” Juna beridiri dengan tatapan angker.
“Gue kan cuman nanya.”
“Dia sehat kok. Dia ngga akan kenapa-napa.”
Sepulang sekolah, aku
dan Juna mampir ke rumah Ajeng. Tapi gerbang rumahnya terkunci, mobil
orangtuanya juga tidak ada di garasi.
“Mungkin Ajeng lagi
liburan.”
“Papa Mamanya juga kenapa ngga ngehubungin gue ya.”
“Kalian udah sedeket apa sih sampe kenal orangtua masing-masing?”
“Lebih deket dari yang lo pikirin.”
“Papa Mamanya juga kenapa ngga ngehubungin gue ya.”
“Kalian udah sedeket apa sih sampe kenal orangtua masing-masing?”
“Lebih deket dari yang lo pikirin.”
‘Andai aja ada
seseorang yang memperlakukan dan menganggap gue kaya gini. Ternyata Ajeng
beruntung banget punya Juna yang sesayang ini sama dia.’
Sampai di hari ke-7
Ajeng tidak masuk sekolah. Aku, teman-teman, dan Juna masih bertanya-tanya
tentang keberadaan Ajeng.
Sampai hari ini, Ajeng
turun dari mobil dan berjalan di koridor sekolah. Aku yang melihat, langsung
menggamit pundaknya dari belakang.
“Ajeng! Kamu tuh ke
mana aja sih? Ngga ada kabar. Aku kangen banget sama kamu. Juna khawatir banget
sama kamu.”
“Maaf ya ngga ngasih tau kalian berdua.”
“Maaf ya ngga ngasih tau kalian berdua.”
Tiba-tiba, seseorang
menggenggam tangan kanan Ajeng.
“Aku boleh marah ngga
sama kamu?” tanya Juna.
Ajeng membeku ditanya
begitu. Aku ikut tegang melihat mereka berdua.
“Kamu tuh keterlaluan
ya. Ngga ada kabar selama seminggu, masuk sekolah juga ngga ngabarin aku. Kamu
ke mana seminggu ini?” tanya Juna.
“Maafin aku. Papa sama
Mama tiba-tiba ngajak aku liburan ke Singapore. Aku bawain ini buat kalian
sebagai permintaan maaf.” Ajeng memberikan aku dan Juna tote bag.
Aku tersenyum setelah
melihat isi dari tote bag itu.
Cokelat!
“Kekanak-kanakan.” ucap
Juna.
“Jangan gitu sama temenku.” Ajeng mencubit tangan Juna.
“Eh, aku kan ceritanya mau marah sama kamu.”
“Jangan marah dong, kan udah aku sogok sama cokelat.” ledek Ajeng.
“Ngga ngelihat dan denger kamu ngomong selama seminggu, ngga cukup kalo cuman diganti sama cokelat.”
“Terus kamu mau apa?”
“Terus ada disampingku seharian ini.” Juna mendekap Ajeng dalam rangkulannya, membuat Paras harus mundur beberapa langkah.
“Jangan gitu sama temenku.” Ajeng mencubit tangan Juna.
“Eh, aku kan ceritanya mau marah sama kamu.”
“Jangan marah dong, kan udah aku sogok sama cokelat.” ledek Ajeng.
“Ngga ngelihat dan denger kamu ngomong selama seminggu, ngga cukup kalo cuman diganti sama cokelat.”
“Terus kamu mau apa?”
“Terus ada disampingku seharian ini.” Juna mendekap Ajeng dalam rangkulannya, membuat Paras harus mundur beberapa langkah.
“Selayaknya pasangan
yang saling merindukan setelah ngga ketemu seminggu.” gumamku yang menyaksikan
punggung Ajeng dan Juna.
Sampai suatu hari, saat
jam pelajaran, wajah Ajeng benar-benar pucat. Guru menyarankan agar Ajeng
dibawa ke UKS.
Beberapa teman, juga
aku memapah tubuhnya sampai ke UKS. Sesampainya di UKS, aku menemani Ajeng dan
meminta untuk bicara pada guru kalau aku akan menunggu Ajeng hingga keadaannya
membaik.
“Ras…” Ajeng
menggenggam tanganku.
“Kenapa Jeng?” aku mengamati wajahnya yang sangat pucat.
“Kamu mau bantu aku?”
“Bantu apa? Kamu mau aku beliin makanan? Minuman? Atau—“
“Jagain Juna.”
“Kenapa Jeng?” aku mengamati wajahnya yang sangat pucat.
“Kamu mau bantu aku?”
“Bantu apa? Kamu mau aku beliin makanan? Minuman? Atau—“
“Jagain Juna.”
Aku diam sejenak
setelah Ajeng bicara barusan.
“Aku yakin cuman kamu
yang bisa jagain Juna. Aku harus pergi untuk beberapa waktu ke depan.”
“Kamu mau ke mana?”
“Kamu mau ke mana?”
Jantungku mulai
berdetak lebih cepat. Aku masih menerka-nerka, ke mana ucapan Ajeng terarah.
“Tolong jagain Juna.
Aku yakin kamu bisa bikin dia bahagia.”
“Kamu ngomong apa sih? Juna tuh udah bahagia dengan adanya kamu.”
“Kamu ngomong apa sih? Juna tuh udah bahagia dengan adanya kamu.”
Ajeng tersenyum. Lalu,
ia melepas gelang tali warna merah dan memasangkannya ke pergelangan tangan
kanan Paras.
“Ini gelang
kesayangannya Juna yang dia kasih ke aku. Sekarang kamu yang pake ya.”
“Jeng, ngomongnya jangan kaya orang yang mau pergi jauh dan ngga akan balik lagi deh.”
“Jeng, ngomongnya jangan kaya orang yang mau pergi jauh dan ngga akan balik lagi deh.”
Aku melepas gelang yang
Ajeng ikatkan di pergelangan tanganku.
“Mungkin aku ngga akan
kembali.”
Aku menatap Ajeng
dengan penuh tanda tanya, tapi dia malah tersenyum.
Bersambung.
Komentar
Posting Komentar