Cerpan: Maaf, Aku Mencintainya [Part 1]



Sore itu, langit diselimuti awan hitam. Hati siapapun yang berada di sini atau siapapun yang mengenal sosok tubuh yang membeku di dalam, pasti akan ikut merasakan duka.
Aku berdiri di ujung jalan. Melihat keramaian dengan segala wajah kehilangan. Tangisan dan air mata menjadi teman paling dekat siapapun yang berdoa.
Dengan pakaian serba hitam, aku berjalan perlahan menuju rumah yang disekelilingnya terdapat bendera kuning bertuliskan nama seseorang. Seorang seumuranku.
Tidak banyak yang kukenal, hanya beberapa teman sekolah yang menjadi sahabat seseorang yang sudah tutup usia.
Aku memperhatikan sosok yang tertunduk di sudut ruangan, menyaksikan seseorang yang sedang lelap tertidur dengan kedua kapas dikedua lubang hidung. Suara doa mulai menyelinap merasuk tubuh dan membuat guncangan.
Dia mengangkat kepala dari tundukannya dan menatapku dengan kedua bola mata yang sembap. Dia menghampiriku.
Kami berdiri di lapangan umum yang tidak berada jauh dari rumah itu.
“Kehilangan memang sesuatu yang sangat berat, tapi lo harus ikhlas.” ucapku.
Dia diam.
“Jangan sampe Ajeng sedih liat lo begini. Lo harus kuat.” sekali lagi aku menguatkannya.
Dia menatapku. Membuatku sedikit gugup.
“Makasih.”
Beberapa detik kemudian, aku hanya seorang diri di sini.
~
“Yang bener aja Ma, aku masuk ke dalam dengan seragam sekolah lamaku.” rengekku.
“Nanti juga kamu dapat seragam. Ngga akan ada yang ngetawain kamu cuman karena kamu ngga pakai seragam yang sama dengan mereka. Maklum, kamu kan anak baru.” ucap Mama.
“Kenapa ngga aku masuk sekolahnya pas udah dapet seragam baru aja sih.”
Aku masih di dalam mobil, duduk di samping Mama, memperhatikan siswa-siswi yang bergerombol masuk ke sekolah berlantai tiga ini.
Aku bingung kenapa Mama mendaftarkanku di sekolah yang favorit di Jakarta. Padahal, aku maunya sekolah di sekolahan yang biasa saja. Entahlah, mungkin karena jaraknya cukup dekat dengan rumahku.
Aku turun dari mobil dengan seragam sekolah lamaku waktu di Bandung. Rok hijau kotak-kotak dan kemeja putih juga dasi silang yang menempel di kerah baju dengan warna yang senada seperti rok.
Benar saja, banyak pasang mata yang menatapku aneh.
Aku berjalan memasuki sekolah baruku. Seragam hari Senin yang mereka kenakan hampir sama dengan seragam yang kupakai. Hanya saja berbeda warna.
Sekolah baruku menetapkan seragam hari Senin dengan rok kotak-kotak abu-abu, seragam putih, dasi berwarna seperti rok dan rompi yang juga berwarna abu-abu kotak-kotak. Seragam yang akan dikenakan setiap hari Senin dan Rabu.
Aku masih tak tau harus ke mana. Bahkan aku tidak tau kelasku di mana. Arlojiku sudah menunjukan pukul tujuh kurang lima menit. Seluruh murid sudah berkumpul di lapangan untuk melaksanakan upacara.
“Hey.”
Seseorang menepuk pundakku, aku menoleh.
“Kamu murid baru ya?” tanya seorang gadis berambut lurus sebahu dengan lesung pipi dikedua pipinya.
“Iya.” jawabku.
“Kamu masuk kelas mana?”
“Belum tau.”
“Yaudah, kamu bareng aku aja dulu. Kita baris di lapangan.” ajaknya dengan ramah.
Gadis itu menggandeng tanganku sampai pada barisan kelasnya. Aku tidak tau ini kelas berapa. Yang jelas, sepertinya aku sepantaran dengannya. Sama-sama siswi 2 SMA.
“Kamu pindahan darimana?” tanyanya.
“Dari Bandung.” jawabku yang kali ini melempar senyum padanya.
“Oh, Bandung.”
Ia menatap lurus ke depan sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Aku melirik nametag di seragamnya. Ajeng Nidia Larasati.
“Eh, iya. Nama kamu siapa? Aku Ajeng.” Ia mengulurkan tangan kanannya.
“Parasayu.”
“Pa-ra-sa-yu. Manggil kamu gimana ya?”
Dia malah terkekeh sendiri mengeja namaku.
“Orang-orang panggil aku Paras.”
“Oh, Paras. Oke. Kita kaya anak kembar deh, kamu Paras, aku Laras.” katanya dengan penuh senyuman.
Sepertinya, gadis ini seorang yang periang. Aku yang wanita saja bisa memujinya kalau senyumnya sangat manis.
Selesai upacara, Ajeng menemaniku ke ruang guru, untuk menanyakan aku akan duduk di kelas berapa.
“Sebentar ya, jangan ke mana-mana.” kataku sebelum masuk ke ruang guru.
“Iya, aku tungguin.” kata Ajeng.
Aku masuk ke dalam dan berbincang sedikit dengan guru dan beberapa staf di sana. Setelah menerima beberapa berkas, aku keluar dari sana.
“Gimana? Kamu masuk di kelas berapa?” tanya Ajeng.
“Kelas 11 Sosial 3 tuh di mana ya?” tanyaku.
“Itu kelasku!”
“Serius? Kita sekelas?”
Ajeng tersenyum dalam anggukannya.
“Yuk, masuk kelas. Mulai sekarang kita temen.” ucapnya.
Aku dan Ajeng berjalan menyusuri koridor lantai 2. Tidak banyak bicara sampai kami sampai di depan kelas 11 Sosial 3.
Hanya terdapat 30 murid di dalamnya. Kursi dan mejanya bukan seperti di sekolah lamaku. Di sini kursi mejanya sendiri-sendiri, dan aku memutuskan untuk duduk di samping tempat duduk Ajeng.
Selang beberapa detik, siswa-siswi yang lain menghampiriku dan mengajaku berkenalan. Ya, selayaknya siswi yang baru saja pindah sekolah.
Tak lama, guru datang. Ajeng bilang, beliau adalah wali kelas 11 Sosial 3. Terkenal baik dan ramah, bahkan jarang sekali marah.
“Sepertinya kelas ini kedatangan murid baru. Kamu yang seragamnya beda, coba perkenalkan diri kamu di depan kelas.” ucapnya.
Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan Mamaku mempersilahkanku untuk memperkenalkan diri.
“Halo teman-teman, nama saya Parasayu Ghaitsa. Saya siswi pindahan dari Bandung. Semoga kalian senang berteman dengan saya. Terimakasih.”
“Siapa nama panggilan kamu?” tanya Bu Indira.
“Paras boleh Bu.” jawabku.
“Oke, Paras. Kamu boleh kembali ke tempat kamu.”
Setelah itu, kami mengikuti pelajaran hari ini sampai selesai. Tapi, pelajaran terakhir gurunya tidak masuk karena sedang berhalangan. Jadi, 11 Sosial 3 freeclass.
“Ajak aku keliling sekolah dong.” ucapku.
“Yuk, dengan senang hati.” kata Ajeng.
Aku dan Ajeng menyusuri gedung sekolah yang luasnya dua kali lebih besar dari sekolah lamaku di Bandung. Di sekolahku yang sekarang, fasilitasnya lebih banyak.
Ajeng mengajakku ke lapangan indoor yang berada di lantai satu. Ke kantin yang lebih mirip kafe atau tempat nongkrong semasa aku masih tinggal di Bandung. Dan sampailah kami di depan Lab Biologi.
“Biarpun aku anak Sosial, tapi aku seneng banget kalo ke Lab Biologi.”
“Emang kenapa?”
“Ada seseorang yang harus aku temui. Tapi kayanya dia lagi ngga di dalem deh. Yaudah yuk, kita jalan-jalan lagi.”
Setelah Ajeng melongok Lab Biologi, ia menggamit tanganku dan mengajakku ke lapangan basket.
“Ini tempat bersejarah banget buat aku.”
“Kayanya banyak ya yang harus aku tanyain ke kamu tentang tempat-tempat di sekolah ini.” candaku.
“Hahahahaha. Banyak. Abisnya sekolahannya gede banget!”
“Oh iya, tadi kamu bilang tempat ini bersejarah. Emang ada apa?”
“Soalnya pacarku nembaknya di tempat ini, sepulang sekolah. Terus temen-temen muncul dari balik balkon sambil teriak-teriak gitu. Ih jadi kangen.”
“Pacar kamu sekolah di sini? Dia kakak kelas?”
“Sepantaran kita kok. Nanti deh kalo ketemu, aku kenalin ke kamu. Dia ganteng lho, kamu jangan naksir ya.” kata Ajeng.
“Ya ngga, lah. Dia kan pacar kamu, Jeng.”
Begitu bel pulang sekolah, aku merapikan buku-bukuku dan bersiap keluar dari kelas.
“Yah, Paras…” gumam Ajeng yang masih duduk di kursinya sambil menatap layar ponselnya.
“Kenapa?”
“Tadinya aku mau ngenalin kamu ke Juna, tapi dia udah pulang duluan gara-gara ada urusan mendadak.”
“Kirain kenapa. Besok-besok juga bisa kok. Eh iya, aku pulang duluan ya.”
“Iya iya. Hati-hati ya, Ras.” kata Ajeng.
Sesampainya di anak tangga terakhir, aku melihat seorang cowok yang berdiri bersandar pada dinding sambil memegang setangkai bunga mawar merah.
Aku lekat memperhatikannya sampai ia tersadar aku perhatikan. Lalu dia menyembunyikan bunga mawar merahnya.
Aku mendekatinya.
“Eh, kayanya kita pernah ketemu ya?” ucapku.
“Lo salah orang kayanya.” katanya dengan jawaban yang dingin.
“Eh, bener kok…”
Sekitar dua pekan yang lalu.
“Ma, harus banget ya aku nenteng kantong sendirian sebanyak ini sampe mobil?”
“Iya, masa ngga bisa? Mama mau ke toilet, udah ngga tahan banget.”
Setelah Mama bergegas ke toilet di sebuah mini market, aku menenteng lima kantong plastik berisi kebutuhan sehari-hari ke mobil.
“Ah, Mama parkir segala di ujung! Emangnya ngga berat apa!” gerutuku.
Tanpa kusadari, dua kantong yang kugenggam di tangan kiriku malah putus dan isinya berserakan jatuh.
“Oh my…!”
Selagi aku membereskan benda-benda yang jatuh ke tanah, seseorang membantuku membawakannya.
“Di mana mobilnya?” tanyanya.
“Itu, yang warna merah.” jawabku setelah tiga detik menatap matanya.
Kami berjalan berdampingan diantara diam. Setelah semua belanjaan kutaruh ke dalam mobil, cowok yang tadi membantuku langsung pergi tanpa mengucap apa-apa.
“Eh, makasih ya!” teriakku hingga membuatnya menoleh dan kembali tersenyum.
Setelah itu, ia masuk ke mobil ber-plat kota Jakarta.
“Ternyata dia dari Jakarta.” gumamku.
“Iya! Kita pernah ketemu sekitar dua pekan yang lalu. Di Bandung. Waktu itu lo bantuin bawain belanjaan gue ke mobil. Inget?” antusiasku.
Cowok yang sudah melepas rompinya itu pergi meninggalkanku dengan sejuta malu di wajahku.
“Ih.” cibirku.
Aku berjalan menyusuri kota Jakarta yang terik ini. Hanya sekitar delapan ratus meter aku berjalan kaki untuk sampai ke perumahan tempat aku dan Mama tinggal.
Beberapa hari kemudian, Mama tidak lagi mengantarku ke sekolah. Aku berangkat dengan menggunakan kedua kakiku.
Dengan mengenakan seragam batik warna abu-abu dan rok putih, aku berjalan menghampiri seseorang yang sedang memainkan bola basket di lapangan basket.
Sepertinya, hari ini aku datang terlalu pagi. Keadaan sekolah masih sepi. Setelah kulirik jam tanganku, masih sekitar dua puluh menit lagi bel masuk sekolah.
“Main basket sendirian emang enak ya?” tanyaku yang menghentikan aktivitasnya.
Tanpa bicara, dia hanya menoleh lalu kembali asyik dengan bola basket dan ring dihadapannya.
Setelah bola itu masuk, aku merampas bola itu dan memasukkannya juga ke dalam ring. Dia menatapku aneh, membuatku jadi merasa ‘garing’ dilihati dengan tatapan seperti itu.
“Kalian berdua?”
Suara seseorang mengagetkan kami. Aku melirik seseorang dibelakang pundak cowok yang sekarang menatapku aneh.
“Eh, Ajeng.” kataku.
Cowok dihadapanku kemudian berbalik dan menghampiri Ajeng.
“Kalian berdua udah saling kenal? Yah, aku telat dong.” ucap Ajeng.
“Kamu kenal cowok jutek ini Jeng?” tanyaku sembari berjalan ke arah mereka berdua.
Ajeng terkikik.
“Jun, makanya kamu jangan jutek-jutek dong kalo jadi cowok. Ras, ini yang mau aku kenalin ke kamu. Pacarku yang paling lucu.” kata Ajeng.
Aku menelan ludah.
“Lucu?” keningku berkerenyit. Tapi cowok yang disebut-sebut pacarnya Ajeng masih menatapku dingin.
“Paras, ini Juna. Juna, ini Paras, dia temen deketku sekarang.” kata Ajeng memperkenalkan kami satu sama lain.
“Aku anterin kamu ke kelas ya.” Juna merangkul Ajeng.
“Kita duluan ya. Sampe ketemu di kelas.” kata Ajeng.
Aku benar-benar tidak percaya. Cowok jutek dan sedingin itu bisa mendapatkan hati seorang gadis yang baik hati dan periang.
Juna beruntung mendapatkan Ajeng. Tapi malapetaka bagi Ajeng mendapatkan anugerah terburuk seperti Juna!
Saat bel pulang sekolah, Ajeng terlihat tergesa-gesa.
“Jeng, kenapa? Kok kaya panik gitu?” tanyaku.
“Aku cuman ngga kebayang kalo seorang anak ditinggal Ibunya untuk selama-lamanya.”
“Ibu kamu—“
“Bukan Ibuku.”
“Maaf…”
“Tante Ryn meninggal.”
“Tante Ryn? Dia siapa?”
Ajeng memelukku.
“Aku harus apa? Harus gimana?” Ajeng menangis dalam pelukanku.
“Tunggu. Siapa sih yang meninggal? Kenapa kamu ngerasa terpukul gini? Tante Ryn tuh siapa?” aku melepas pelukannya, melihat matanya yang berair dan pipinya yang mulai basah.
“Ibunya Juna.” Ajeng kembali memelukku.
Aku benar-benar terkejut. Apa mungkin sikap Juna tadi pagi ada sangkut pautnya dengan kepergian Ibunya?
Sepulang sekolah, masih mengenakan seragam SMA, aku menemani Ajeng untuk pergi ke rumah Juna.
Bendera kuning sudah terpasang di mana-mana. Sanak saudara yang sudah berkumpul dan mendoakan sosok yang belum kukenal.
Aku tidak melihat Juna di sana. Apa dia pergi ke suatu tempat? Atau mengurung diri di kamar? Entahlah, aku pernah merasakan hal yang sama.
Aku diajak Ajeng ke lantai 2 rumah Juna setelah Ajeng berbincang dengan seorang lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun-an.
Pintu kamar Juna tidak terkunci, kami berdua masuk. Kamar yang benar-benar rapi, seperti semua barang yang berada di sini tak satupun tergeser seinci.
Aku melihat sosok Juna sedang duduk dibalik ranjangnya, menunduk, terisak dalam sesak. Ajeng duduk disampingnya, mengusap lembut bahunya, lalu memeluknya.
Aku dapat melihatnya, Juna begitu erat menggenggam kedua pundak Ajeng, seakan tak akan melepaskannya.
Kejadian di depan mataku benar-benar menusuk batin. Aku sedang menyaksikan seseorang yang telah kehilangan seseorang.
~
Sebulan setelah masa-masa keterpurukan Juna. Sekarang ia kembali seperti semula. Tidak semurung sejak ditinggal Ibunya.
Kehilangan memang akan terasa berat jika tidak didasari rasa ikhlas. Kematian membuat seseorang enggan untuk berhenti menitihkan air mata. Namun, mereka yang telah pergi tidak akan bisa tenang selama air mata masih mengalir, bukan doa.
“Buat lo yang udah ngga murung lagi. Yang udah ngga terpuruk lagi semenjak ditinggal Ibu lo.” aku memberikan sebatang cokelat kehadapannya.
Dia melirik cokelat yang kugenggam dengan kedua tanganku, kemudian menatap mataku dengan tatapan dingin seperti biasa.
“Makasih udah ngasih gue cokelat. Cokelatnya boleh lo makan.” katanya yang kemudian berjalan meninggalkanku.
Aku mengejarnya dan kembali berdiri dihadapannya.
“Kan gue ngasih lo.” ucapku.
“Lo ngasih gue, berarti udah jadi punya gue. Dan terserah gue juga mau nyuruh siapapun makan cokelat itu.” Juna bicara begitu.
“Sini.” Ajeng tiba-tiba datang dan mengambil cokelat itu.
Ia membuka bungkus cokelat itu, lalu menggigit cokelat batangan tersebut. Ajeng berdiri diantara aku dan Juna, ia membelah cokelat itu jadi menjadi tiga bagian.
“Buka mulutnya.” menyuruhku dan kemudian memasukan cokelat ke mulutku.
“Buka mulut kamu juga.” kali ini Ajeng menyuruh kekasihnya untuk membuka mulut.
“Apa sih kamu?”
“Buka mulutnya.”
Juna membuka mulut dan Ajeng menyuapi cokelat pada Juna.
“Seharusnya kamu terima aja cokelat pemberian Paras. Nanti kan cokelatnya buat aku. Udah tau pacar kamu suka banget sama cokelat.” ucap Ajeng.
Sepulang sekolah, hujan turun dengan deras, membuatku dan Ajeng masih duduk di dalam kelas.
“Kira-kira, hujannya kapan berhenti ya.” gumamku.
Aku menoleh ke arah Ajeng. Gadis itu menyembunyikan wajahnya dibalik rambut hitamnya.
“Jeng?”
“Iya?”
Aku melihat Ajeng seperti habis menyeka sesuatu dari hidungnya.
“Kamu lagi pilek ya?”
Ajeng melirik tissue yang ia genggam.
“Iya, kayanya mau flu berat nih.” kata Ajeng.
“Nih, minum ini. Mama selalu nyuruh aku bawa obat-obatan.” aku menawarkannya obat flu.
“Makasih. Tapi aku biasa minum obat dari dokter. Eh iya, kayanya aku pulang duluan deh.”
“Hujan deras begini? Ngga bareng sama Juna?”
“Aku ada urusan, udah ditunggu Papa juga di bawah. Nanti kamu pulang sama Juna ya.”
“Eh, Jeng…”
Belum sempat bicara, Ajeng sudah lebih dulu turun ke bawah. Aku melihatnya dari balkon, dia masuk ke mobil sambil membekap hidugnya dengan tissue.
Tak lama, Juna berhenti di depan kelasku.
“Ajeng mana?” tanyanya.
“Baru aja pulang. Dia dijemput Papanya.”
Ponsel Juna bergetar. Ia merogohnya dari saku celananya. Satu pesan singkat dari Ajeng. Membuatnya menatap Paras seusai membaca pesan singkat itu.
“Kenapa?” tanyaku yang ditatap seperti itu.
“Dia ngga ngomong apa-apa sama lo?”
“Engga. Dia cuman bilang kayanya mau flu, terus ada urusan makanya dia pulang duluan. Emangnya kenapa sih?”
“Ngga papa. Buruan ambil tas lo. Gue tunggu di bawah.”
Kemudian, Juna turun tanpa ucapan yang kurang jelas. Kenapa Juna harus menungguku?
Aku mendapati Juna sedang bersandar pada pilar sekolah sembari memejamkan matanya, menikmati bau sehabis hujan. Lalu ia membuka matanya begitu sadar aku sudah berada disampingnya.
“Ayo. Hujannya udah berhenti.” Juna melangkah lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang dengan segala macam pertanyaan.
“Lo ngajak gue pulang bareng?” tanyaku dibelakangnya.
“Ajeng yang nyuruh gue nganterin lo pulang.” jawabnya.
“Ternyata kalian pasangan yang serasi. Asumsi gue salah tentang kalian berdua.”
“Emangnya lo berasumsi apa?”
“Menurut gue, lo beruntung dapetin Ajeng yang super duper baik.”
“Iya, lah!”
“Tapi lo malapetaka buat Ajeng.”
Juna berbalik dan kembali memasang tatapan membunuh padaku.
“Tapi ternyata gue salah. Kalian berdua cocok karena kalian sama-sama baik.”
“Karena temen lo di sini cuman Ajeng. Dan kebetulan gue pacarnya, jadi mau ngga mau gue harus bersikap sama kaya Ajeng bersikap ke lo.”
“Jadi kalo lo bukan pacarnya Ajeng, lo ngga akan baik sama gue?”
“Mungkin.”
Lagi-lagi aku mencibir dalam hati.
Sesampainya di rumah, aku berterimakasih pada Juna karena dia mau mengantarku pulang sampai depan rumah. Padahal, rumahku dekat dengan sekolah.
Keesokan harinya, Ajeng tidak masuk sekolah. Membuat Juna harus menlongok ke kelasku, meyakinkan diri bahwa Ajeng benar-benar tidak masuk sekolah.
Aku menemuinya selagi jam istirahat.
“Ajeng ke mana?” tanyaku.
“Dia ngga ngasih kabar apa-apa ke gue. Dia juga ngga ngabarin lo?”
“Engga. Tapi kemarin sebelum pulang, mukanya dia pucat. Dia punya penyakit serius?”
“Jangan sembarangan kalo ngomong.” Juna beridiri dengan tatapan angker.
“Gue kan cuman nanya.”
“Dia sehat kok. Dia ngga akan kenapa-napa.”
Sepulang sekolah, aku dan Juna mampir ke rumah Ajeng. Tapi gerbang rumahnya terkunci, mobil orangtuanya juga tidak ada di garasi.
“Mungkin Ajeng lagi liburan.”
“Papa Mamanya juga kenapa ngga ngehubungin gue ya.”
“Kalian udah sedeket apa sih sampe kenal orangtua masing-masing?”
“Lebih deket dari yang lo pikirin.”
‘Andai aja ada seseorang yang memperlakukan dan menganggap gue kaya gini. Ternyata Ajeng beruntung banget punya Juna yang sesayang ini sama dia.’
Sampai di hari ke-7 Ajeng tidak masuk sekolah. Aku, teman-teman, dan Juna masih bertanya-tanya tentang keberadaan Ajeng.
Sampai hari ini, Ajeng turun dari mobil dan berjalan di koridor sekolah. Aku yang melihat, langsung menggamit pundaknya dari belakang.
“Ajeng! Kamu tuh ke mana aja sih? Ngga ada kabar. Aku kangen banget sama kamu. Juna khawatir banget sama kamu.”
“Maaf ya ngga ngasih tau kalian berdua.”
Tiba-tiba, seseorang menggenggam tangan kanan Ajeng.
“Aku boleh marah ngga sama kamu?” tanya Juna.
Ajeng membeku ditanya begitu. Aku ikut tegang melihat mereka berdua.
“Kamu tuh keterlaluan ya. Ngga ada kabar selama seminggu, masuk sekolah juga ngga ngabarin aku. Kamu ke mana seminggu ini?” tanya Juna.
“Maafin aku. Papa sama Mama tiba-tiba ngajak aku liburan ke Singapore. Aku bawain ini buat kalian sebagai permintaan maaf.” Ajeng memberikan aku dan Juna tote bag.
Aku tersenyum setelah melihat isi dari tote bag itu. Cokelat!
“Kekanak-kanakan.” ucap Juna.
“Jangan gitu sama temenku.” Ajeng mencubit tangan Juna.
“Eh, aku kan ceritanya mau marah sama kamu.”
“Jangan marah dong, kan udah aku sogok sama cokelat.” ledek Ajeng.
“Ngga ngelihat dan denger kamu ngomong selama seminggu, ngga cukup kalo cuman diganti sama cokelat.”
“Terus kamu mau apa?”
“Terus ada disampingku seharian ini.” Juna mendekap Ajeng dalam rangkulannya, membuat Paras harus mundur beberapa langkah.
“Selayaknya pasangan yang saling merindukan setelah ngga ketemu seminggu.” gumamku yang menyaksikan punggung Ajeng dan Juna.
Sampai suatu hari, saat jam pelajaran, wajah Ajeng benar-benar pucat. Guru menyarankan agar Ajeng dibawa ke UKS.
Beberapa teman, juga aku memapah tubuhnya sampai ke UKS. Sesampainya di UKS, aku menemani Ajeng dan meminta untuk bicara pada guru kalau aku akan menunggu Ajeng hingga keadaannya membaik.
“Ras…” Ajeng menggenggam tanganku.
“Kenapa Jeng?” aku mengamati wajahnya yang sangat pucat.
“Kamu mau bantu aku?”
“Bantu apa? Kamu mau aku beliin makanan? Minuman? Atau—“
“Jagain Juna.”
Aku diam sejenak setelah Ajeng bicara barusan.
“Aku yakin cuman kamu yang bisa jagain Juna. Aku harus pergi untuk beberapa waktu ke depan.”
“Kamu mau ke mana?”
Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Aku masih menerka-nerka, ke mana ucapan Ajeng terarah.
“Tolong jagain Juna. Aku yakin kamu bisa bikin dia bahagia.”
“Kamu ngomong apa sih? Juna tuh udah bahagia dengan adanya kamu.”
Ajeng tersenyum. Lalu, ia melepas gelang tali warna merah dan memasangkannya ke pergelangan tangan kanan Paras.
“Ini gelang kesayangannya Juna yang dia kasih ke aku. Sekarang kamu yang pake ya.”
“Jeng, ngomongnya jangan kaya orang yang mau pergi jauh dan ngga akan balik lagi deh.”
Aku melepas gelang yang Ajeng ikatkan di pergelangan tanganku.
“Mungkin aku ngga akan kembali.”
Aku menatap Ajeng dengan penuh tanda tanya, tapi dia malah tersenyum.
Bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]