Cerpen: Bintang
“Kaash, udah berapa lama kita
sedeket ini?”
“Hm.. lebih dari setengah usia gue. Usia kita tepatnya.”
“Apa yang bakal lo lakuin kalo suatu saat kita berpisah?”
“Hm.. lebih dari setengah usia gue. Usia kita tepatnya.”
“Apa yang bakal lo lakuin kalo suatu saat kita berpisah?”
Akaash memalingkan
pandangannya—menatap wajah Bintang.
“Apa lo mau kita pisah?”
“Siapa yang suka sama perpisahan?”
“Terus buat apa nanya kaya gitu?”
“Ngga selamanya tulisan lurus-lurus aja tanpa jeda. Ada kalanya hidup lo dan hidup gue ada koma, titik, bahkan paragraf.”
“Siapa yang suka sama perpisahan?”
“Terus buat apa nanya kaya gitu?”
“Ngga selamanya tulisan lurus-lurus aja tanpa jeda. Ada kalanya hidup lo dan hidup gue ada koma, titik, bahkan paragraf.”
Akaash bangun dari baringannya.
Menatap langit malam yang ditaburi bintang-bintang.
“Bahkan kalo hidup kita dipisah
koma, titik, atau paragraf, lo sama gue masih ada di cerita yang sama kan?”
Akaash melirik Bintang yang masih terbaring di atas rumput.
Bintang bangun dari baringannya,
menyandarkan kepalanya di pundak Akaash.
“Gimana kalo sesuatu terjadi sama
kita?”
Akaash kembali menatap langit.
“Gimanapun keadaan bumi, lo pasti
akan kembali lagi kan? Tempat lo cuman di langit, Bintang.”
Perlahan, air mata itu membasahi
pipi Bintang. Akaash mengelus lembut kepala Bintang. Bagi Bintang, saat seperti
ini adalah saat paling menyakitkan.
~
“Good
morning!”
Akaash memalingkan matanya dari
buku yang ia baca. Gadis dengan senyum manis menyapa Akaash ketika ia baru
sampai sekolah.
Akaash melepas earphone yang sedaritadi melekat di kedua telinganya. Kejadian yang
terulang dan terbiasa Akaash lalui selama menunggu Alena.
“Gue telat berapa menit?” tanya Alena.
Akaash melirik arlojinya. “Lima
belas menit.”
“Serius? Kok menitnya makin hari makin nambah sih?”
“Besok-besok harus lebih pagi lagi, jadi gue ngga lama nunggu lo di sini.”
“Serius? Kok menitnya makin hari makin nambah sih?”
“Besok-besok harus lebih pagi lagi, jadi gue ngga lama nunggu lo di sini.”
Akaash bangun dari duduknya seraya
mengacak-acak rambut Alena.
“Akaash!” Alena merapikan rambutnya
dan mengikuti langkah Akaash.
Saat langkah Alena sejajar dengan
Akaash, Akaash langsung merangkul Alena. Membuat siapapun yang melihat, iri
dengan hubungan mereka berdua.
Selesai menaruh tas di kelas,
Akaash dan Alena keluar kelas, bersandar di balkon sambil memperhatikan
siswa-siswi lainnya yang berlalu-lalang di lapangan.
“Kaash, emangnya lo ngga bosen ya
setiap pagi sehabis naruh tas, nyender di balkon sambil nungguin gerbang
sekolah ditutup?” tanya Alena yang berdiri di samping Akaash.
“Gue ngga pernah bosen ngelakuin hal-hal yang gue suka.”
“Jadi ini termasuk hal yang lo suka?”
“Menurut lo, nungguin lo dateng di bangku taman sekolah, hal yang ngebosenin?”
“Mungkin iya.”
“Ngga. Nunggu itu asik.”
“Aneh deh. Di mana-mana kan nunggu itu ngebosenin.”
“Kayanya, yang menurut lo ngebosenin, itu asik buat gue. Sekarang gue tanya,”
“Gue ngga pernah bosen ngelakuin hal-hal yang gue suka.”
“Jadi ini termasuk hal yang lo suka?”
“Menurut lo, nungguin lo dateng di bangku taman sekolah, hal yang ngebosenin?”
“Mungkin iya.”
“Ngga. Nunggu itu asik.”
“Aneh deh. Di mana-mana kan nunggu itu ngebosenin.”
“Kayanya, yang menurut lo ngebosenin, itu asik buat gue. Sekarang gue tanya,”
Alena memperhatikan setiap garis
yang tergambar di wajah Akaash.
“Lo ngga bosen ngekorin gue mulu?”
tanya Akaash sambil senyum jahil.
Alena memutar bola matanya.
“Gue ngga selalu di belakang lo.
Kadang, gue ada di samping lo. Jadi gue ngga ngekorin lo. Sorry ya!” jawab Alena.
“Kalo gitu gue ganti pertanyaannya. Lo ngga bosen ada di sisi gue mulu?”
“Kalo gitu gue ganti pertanyaannya. Lo ngga bosen ada di sisi gue mulu?”
Alena diam sambil menatap wajah
Akaash yang sedang menunggu jawaban.
“Ada kalanya gue bosen. Tapi gue
ngga tau harus ngapain di saat gue bosen. Gue nga nemuin titik untuk berhenti
saat gue ada di sisi lo.”
Setelah menjawab, Alena langsung
masuk ke dalam kelas. Senyum Akaash perlahan memudar setelah mendengar jawaban Alena.
Saat jam pelajaran matematika. Saat
semua siswa di kelas sedang memperhatikan Pak Jimmy menjelaskan. Mata Akaash
menerawang jauh keluar kelas. Tatapannya jauh dari papan tulis.
Alena menyenggol tangan Akaash
dengan sikutnya. Mencoba membuyarkan lamunan Akaash. Alena tidak berhasil.
Sampai akhirnya, Pak Jimmy menghampiri meja Akaash.
Ketika Pak Jimmy berdiri di samping
meja Akaash, mengalingkan pandangan Akaash, ia baru tersadar dari lamunannya.
“Kamu lagi ngelamunin apa, Kaash?”
“Eh, engga Pak. Maaf.” ucap Akaash.
“Ngga ngelamun? Coba jelaskan apa yang saya jelaskan barusan.”
“Eh, engga Pak. Maaf.” ucap Akaash.
“Ngga ngelamun? Coba jelaskan apa yang saya jelaskan barusan.”
Akaash melirik Alena. Alena diam,
tidak bisa berbuat apa-apa karena Pak Jimmy ada di samping meja Akaash. Alena
tidak mungkin memberitahu Akaash di saat seperti ini.
“Cari bantuan dari Alena? Maju ke
depan cepat.” perintah Pak Jimmy.
“Saya ngga ngerti Pak.”
“Ngga ngerti? Berarti kamu ngga merhatiin saya daritadi. Keluar saja kamu.”
“Maaf Pak. Ngga saya ulangi lagi.”
“Ya jangan, masa mau diulangi lagi. Hari ini jangan ikut pelajaran saya. Keluar kamu.”
“I.. iya Pak, maafin saya sekali lagi.”
“Saya ngga ngerti Pak.”
“Ngga ngerti? Berarti kamu ngga merhatiin saya daritadi. Keluar saja kamu.”
“Maaf Pak. Ngga saya ulangi lagi.”
“Ya jangan, masa mau diulangi lagi. Hari ini jangan ikut pelajaran saya. Keluar kamu.”
“I.. iya Pak, maafin saya sekali lagi.”
Akaash keluar dari kelas. Akan lama
urusannya jika ia harus berdebat dengan guru matematika itu. Lebih baik ia cari
angin dengan jalan-jalan di sepanjang koridor sekolah sampai bel istirahat
berbunyi.
Langkah Akaash terhenti ketika
sebuah mobil sedan berwarna putih menarik perhatiannya. Mobil yang diparkir di
pinggir lapangan, mengingatkannya pada satu hal.
Akaash mematung dengan kedua tangan
yang ia masukan ke dalam saku celana abu-abunya. Mencoba membuang ingatan yang
seharusnya sudah lama ia singkirkan.
Di kelas, setelah Akaash
dikeluarkan dari kelas.
Alena membuka halaman belakang buku
tulis milik Akaash. Karena selagi Akaash masih di dalam kelas, Alena sesekali
melihat Akaash menulis sesuatu di halaman belakang bukunya.
Ada sebaris kalimat di situ.
Gimanapun
keadaan bumi, bintang akan selalu ada di atas langit.
Alena mengrenyitkan dahinya. Lalu
buru-buru ia tutup buku tulis Akaash dan kembali memperhatikan Pak Jimmy.
Saat bel istirahat berbunyi, Alena
segera bergegas keluar kelas untuk mencari Akaash. Dalam waktu yang sama,
Akaash berjalan dari arah berlawanan.
Lagi-lagi mobil sedan putih itu
menarik perhatian Akaash. Terlebih ketika seseorang hendak membuka pintu mobil
dan masuk ke dalamnya.
‘Bint.. Ah, mana mungkin.’
“Akaash!”
Akaash menoleh ke sumber suara—di
depannya.
“Lo ke mana aja?” tanya Alena
sambil berjalan ke arah Akaash.
“Muterin koridor.” jawab Akaash.
“Muterin koridor.” jawab Akaash.
Pandangan Akaash kembali ke sedan
putih yang sedang melaju melewati gerbang sekolah.
“Kenapa?” tanya Alena.
“Ngga. Laper ngga? Kantin yuk.”
“Gue udah ken—“
“Ngga. Laper ngga? Kantin yuk.”
“Gue udah ken—“
Akaash menggamit tangan Alena dan
mengajaknya ke kantin.
Di kantin.
“Jangan sering-sering makan mie,
Kaash.”
“Kenapa? Di rumah gue ngga pernah makan mie kok.”
“Tapi di sekolah, lo selalu makan mie.”
“Mau?” Akaash menawarkan Alena. Alena menggelengkan kepalanya.
“Kenapa? Di rumah gue ngga pernah makan mie kok.”
“Tapi di sekolah, lo selalu makan mie.”
“Mau?” Akaash menawarkan Alena. Alena menggelengkan kepalanya.
“Eh iya, gue mau nanya dong.” ucap
Alena.
“Nanya aja kok pake izin. Ngomong aja.”
“Lo tuh bener-bener ngga bisa ditebak ya orangnya?”
“Nanya aja kok pake izin. Ngomong aja.”
“Lo tuh bener-bener ngga bisa ditebak ya orangnya?”
Akaash tertawa kecil.
“Emang muka gue kaya teka-teki
silang ya?”
“Seriuuus!”
“Gue ngga tau Len. Kenapa nanya gitu?”
“Gimanapun keadaan bumi, bintang akan selalu ada di atas langit.”
“Seriuuus!”
“Gue ngga tau Len. Kenapa nanya gitu?”
“Gimanapun keadaan bumi, bintang akan selalu ada di atas langit.”
Segulung mie yang sudah ada di
depan mulut Akaash, ia kembali taruh di dalam mangkuk mie ayam. Akaash meneguk
minumannya.
“Gue ke kelas duluan ya.” Akaash
bangun dari duduknya.
“Akaash, tunggu!” Alena mengikuti Akaash.
“Akaash, tunggu!” Alena mengikuti Akaash.
Akaash sudah duduk di kursinya,
menaruh buku tulisnya ke dalam tas, lalu memakai earphone dan memasang volume maksimal.
“Kaash.” Alena duduk di depan
Akaash.
Akaash diam dan terus memainkan
iPod-nya.
“Akaash.” Alena
menggoyang-goyangkan tangan Akaash.
“Akaash.” Alena mengambil iPod
milik Akaash, mematikan lagu yang terputar.
“Apa?” sahut Akaash.
“Lo kenapa? Maaf kalo ada yang salah dari pertanyaan gue.” Alena memelas.
“Sini iPod-nya.”
“Maafin gue ya tapi?”
“Kalo ngga salah, ngga perlu minta maaf, Len.”
“Ya gue bingung sama sikap lo yang tiba-tiba begitu. Maafin gue ya.”
“Apa?” sahut Akaash.
“Lo kenapa? Maaf kalo ada yang salah dari pertanyaan gue.” Alena memelas.
“Sini iPod-nya.”
“Maafin gue ya tapi?”
“Kalo ngga salah, ngga perlu minta maaf, Len.”
“Ya gue bingung sama sikap lo yang tiba-tiba begitu. Maafin gue ya.”
Akaash tersenyum. “Lo ngga salah
apa-apa, Alena.” ucap Akaash.
Alena tersenyum lalu mengembalikan
iPod Akaash. Setelah itu, Alena duduk di tempatnya—di samping Akaash.
~
Akaash membuka laci meja
belajarnya. Memperhatikan tumpukan amplop putih yang ada di situ. Lacinya ia
tutup kembali.
Akaash menghembuskan napas
beratnya. Bersandar pada kursi sambil menggaruk-garuk kepalanya kesal.
Akaash keluar dari kamarnya. Duduk
di atas balkon lantai dua rumahnya. Memperhatikan langit malam ini.
Akaash memperhatikan benda langit
yang tidak tersusun rapi di atas langit. Selalu seperti ini selama setahun
terakhir.
“Gue selalu nunggu apa yang
harusnya pulang ke hidup gue.” gumam Akaash sambil memperhatikan bintang di
atas langit.
Tok. Tok. Tok.
Akaash bergegas masuk ke kamarnya,
membuka pintu kamarnya.
“Kenapa Ma?” tanya Akaash pada
Mamanya.
“Maafin Mama, Mama baru liat kotak surat. Kayanya ini dari—“
“Ssut. Yaudah, makasih Ma.”
“Maafin Mama, Mama baru liat kotak surat. Kayanya ini dari—“
“Ssut. Yaudah, makasih Ma.”
Setelah menerima surat dari
Mamanya, Akaash buru-buru menutup pintu kamarnya.
Akaash duduk di kursi belajarnya.
Memperhatikan amplop putih yang serupa dengan setumpukan amplop di dalam laci
meja belajarnya.
Akaash masih memegang surat itu. Menimang
apakah harus ia buka atau tidak.
Ia urungkan untuk membuka isi
amplop itu. Akaash membuka laci meja belajarnya dan menaruh surat itu di sana
bersama surat-surat lainnya.
Entah sudah berapa puluh surat yang
masih terbungkus rapi di dalam amplop yang ada di dalam laci meja belajarnya.
Malam ini Akaash sulit untuk
memejamkan matanya. Akaash melirik jam di ponselnya. 1.30. Entah apa yang
menyerang pikiran Akaash.
Wajah seseorang membangunkan Akaash
dari tidurnya.
Akaash membuka matanya secara
perlahan. Mengintip suasana dari balik tirai jendela kamarnya. Melirik jam yang
tertempel di dinding abu-abu kamarnya.
6.45.
Akaash langsung bangun dan
lebar-lebar membuka matanya. Akaash kesiangan!
Akaash hanya punya waktu lima belas
menit untuk mencapai bel masuk sekolah. Dan punya waktu sepuluh menit untuk
toleransi tutup gerbang.
Akaash bergegas ke kamar mandi dan
setelah itu turun dari lantai dua kamarnya. Tanpa sarapan dan basa-basi, ia
langsung pergi setelah salam pada kedua orangtuanya.
Di sekolah.
“Akhirnya hari ini dia yang
terlambat.” gumam Alena.
Triiiing. Bel masuk sudah berbunyi.
“Hah? Udah bel? Setelat inikah
Akaash? Ke mana sih dia kok belum nyampe sekolah? Ih. Baru mau pamer kalo gue
lebih dulu nyampe sekolah.”
Alena meninggalkan bangku
taman—tempat biasa Akaash menunggunya untuk masuk ke kelas bersama.
Sudah pukul tujuh lebih delapan
menit. Akaash belum juga sampai kelas. Pesan singkat yang Alena kirimkan tidak
juga Akaash balas.
Bu Dita, guru fisika sekaligus wali
kelas 2 IPA 2, masuk ke kelas membawa berita.
“Hari ini kalian kedatangan siswi
baru.”
Beberapa anak di kelas ini,
terutama cowok, langsung ramai saat mendengar ada murid pindahan baru.
“Tenang!” ucap Bu Dita. “Silahkan
masuk.” Bu Dita mempersilahkan siswi baru itu masuk.
Lagi-lagi beberapa siswa ramai
dengan siulan begitu melihat siswi itu masuk dan berjalan menghampiri Bu Dita.
“Selamat pagi. Nama saya—“
“Maaf, saya terlambat.” Akaash
mengetuk pintu.
Akaash melihat seseorang yang
sedang berdiri di depan kelas. Diam. Terpaku.
Namun, cepat-cepat Akaash
membuyarkan kediamannya dan segera duduk di kursinya setelah Bu Dita menyuruh
Akaash masuk dan duduk.
Pemilik mata seseorang yang sedang
berdiri di samping Bu Dita, mengekor hingga Akaash duduk di kursinya.
“Lanjutkan perkenalannya, Nak.”
ucap Bu Dita.
“Ehh, kok lo telat sih?” bisik
Alena. Akaash diam dalam tundukannya yang sesekali melirik ke depan kelas.
“Kaash.” Alena menyenggol sikut Akaash.
“Selamat pagi teman-teman. Nama
saya Kayley Bintang, biasa dipanggil Bintang. Semoga kita bisa jadi teman
baik.”
Ada yang tertahan dalam benak
Akaash, yang akan segera meledak.
“Baik, Bintang, kamu bisa duduk di
kursi yang kosong di baris nomor empat.” ucap Bu Dita.
“Makasih, Bu.”
“Makasih, Bu.”
Bintang berjalan menuju kursinya,
melewati meja Akaash. Akaash menangkap lirikan Bintang saat Bintang melewati
mejanya.
Bintang memperhatikan Akaash dari
belakang. Ada sesuatu yang harus ia tahan agar tidak tumpah di sini.
“Lo merhatiin Akaash?” tanya teman
semeja Bintang.
“Hah? Eng.. engga kok. Eh iya, gue Bintang.” Bintang mengulurkan tangannya.
“Bukannya tadi di depan kelas lo udah bilang ya?”
“Eeh, iya juga ya. Nama lo siapa?” tanya Bintang.
“Tunggu Bu Dita ngabsen aja. Nanti juga lo tau.”
“Hah? Eng.. engga kok. Eh iya, gue Bintang.” Bintang mengulurkan tangannya.
“Bukannya tadi di depan kelas lo udah bilang ya?”
“Eeh, iya juga ya. Nama lo siapa?” tanya Bintang.
“Tunggu Bu Dita ngabsen aja. Nanti juga lo tau.”
Seseorang di samping Bintang
langsung membuka buku pelajaran. Bintang langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
Saat bel istirahat berbunyi.
“Tadi lo ke mana? Kok telat?” tanya
Alena.
“Kesiangan.” jawab Akaash.
“Huh, padahal gue mau pamer kalo gue berhasil nunggu lo di bangku taman.”
“Kesiangan.” jawab Akaash.
“Huh, padahal gue mau pamer kalo gue berhasil nunggu lo di bangku taman.”
Alena menggantungkan tangannya di
pundak Akaash.
“Ke kantin yuk? Tapi lo jangan
mesen mie ya!” ucap Alena.
“Kok lo tau gue mau mesen mie? Kepala gue transparan ya sampe lo bisa baca pikiran gue?”
“Kok lo tau gue mau mesen mie? Kepala gue transparan ya sampe lo bisa baca pikiran gue?”
Alena tertawa sambil menoyor kepala
Akaash.
“Ayuk ke kantin.” ucap Alena yang
sudah berdiri.
“Len, gue boleh minta satu permintaan ngga?”
“Apa tuh? Kira-kira gue bisa ngabulin ngga?” Alena kembali duduk.
“Pasti bisa.” Akaash tersenyum. “Lo ke kantin duluan ya, tag meja. Gue ada urusan sebentar.” ucap Akaash.
“Urusan apa? Jadi rahasia-rahasiaan nih sekarang?”
“Bukan rahasia.”
“Yaudah deh. Lima menit aja tapi ya?”
“Tiga menit. Gimana?”
“Len, gue boleh minta satu permintaan ngga?”
“Apa tuh? Kira-kira gue bisa ngabulin ngga?” Alena kembali duduk.
“Pasti bisa.” Akaash tersenyum. “Lo ke kantin duluan ya, tag meja. Gue ada urusan sebentar.” ucap Akaash.
“Urusan apa? Jadi rahasia-rahasiaan nih sekarang?”
“Bukan rahasia.”
“Yaudah deh. Lima menit aja tapi ya?”
“Tiga menit. Gimana?”
Alena tersenyum. “Oke!” setelah
itu, Alena keluar kelas.
Di kelas hanya tertinggal dua anak
manusia. Akaash menoleh ke dua baris meja belakangnya.
Bahkan apa yang sedaritadi Bintang
tahan, sudah tumpah dan tidak bisa tertampung lagi di pelupuknya.
“Apa gue harus dapetin semua ini?”
tanya Bintang dalam suara getirnya.
“Bahkan harusnya lebih.”
“Kaash, bahkan gue ngga punya alasan untuk deket sama seseorang selain lo. Kenapa lo—“
“Kalo ngga punya alasan, kenapa lo harus pergi?”
“Gue punya alasan kenapa gue pergi. Apa surat dari gue ngga pernah lo baca?”
“Bahkan harusnya lebih.”
“Kaash, bahkan gue ngga punya alasan untuk deket sama seseorang selain lo. Kenapa lo—“
“Kalo ngga punya alasan, kenapa lo harus pergi?”
“Gue punya alasan kenapa gue pergi. Apa surat dari gue ngga pernah lo baca?”
Bintang terus bicara dalam
tangisannya.
“Gue cuman takut ngga bisa terima
apapun yang gue baca nantinya.” jawab Akaash masih dalam ketenangan. Membuat
Bintang semakin merasa bersalah.
“Berarti ngga satupun lo baca. Kaash, gue udah jelasin kenapa gue pergi dan gue selalu nanya kabar lo. Gue selalu nunggu balesan surat dari lo. Gue selalu nunggu balesan email dari lo. Gue selalu nunggu—“
“Cukup, Tang.”
“Berarti ngga satupun lo baca. Kaash, gue udah jelasin kenapa gue pergi dan gue selalu nanya kabar lo. Gue selalu nunggu balesan surat dari lo. Gue selalu nunggu balesan email dari lo. Gue selalu nunggu—“
“Cukup, Tang.”
Bintang berhenti bicara. Akaash
bergegas keluar kelas.
“Kaash…”
Akaash menghentikan langkahnya.
“Bahkan lo ngga kangen sama gue.
Gue bener-bener mau meluk lo sekarang.” ucap Bintang.
Bintang berjalan perlahan ke arah
Akaash. Namun, Akaash perlahan mundur. “Gue masih butuh waktu untuk percaya
kalo ini kenyataan. Gue masih butuh waktu untuk nerima kalo seseorang yang gue
anggap udah lama hidup dalam mimpi, sekarang hidup dalam nyata. Gue bener-bener
butuh waktu untuk nerima semua sikap dan ucapan lo.”
“AKAASH!” teriak Bintang.
“Bintang. Gue bener-bener ngga mau meledak sekarang.”
“Bintang. Gue bener-bener ngga mau meledak sekarang.”
Setelah itu Akaash keluar dari
kelas.
Di kantin.
“Maaf.” Akaash duduk di hadapan
Alena.
“Delapan menit. Lo kelebihan lima menit!” ucap Alena.
“Makanya tadi gue bilang maaf sama lo.” ucap Akaash.
“Maaf lo diterima. Nih, makan.” Alena menyodorkan nasi goreng untuk Akaash.
“Makasih.” Akaash tersenyum.
“Delapan menit. Lo kelebihan lima menit!” ucap Alena.
“Makanya tadi gue bilang maaf sama lo.” ucap Akaash.
“Maaf lo diterima. Nih, makan.” Alena menyodorkan nasi goreng untuk Akaash.
“Makasih.” Akaash tersenyum.
Setalah jam istirahat, pelajaran
selanjutnya adalah pelajaran bahasa Indonesia. Bu Indah—guru bahasa Indonesia
sudah duduk manis di tempatnya sebelum semua murid masuk ke kelas.
Bintang memperhatikan kursi Akaash,
menunggu pemiliknya datang. Tak lama, Akaash dan Alena datang. Sebelum Akaash
duduk, ia sempat melirik ke arah Bintang. Mata Bintang benar-benar tak lepas
dari Akaash.
“Sudah masuk semua?” tanya Bu
Indah.
“Udah, Buu.” sahut murid-murid seperti anak SD.
“Hari ini Ibu tidak akan membahas materi apa-apa, karena Ibu di kelas juga tidak lama. Ibu ada keperluan mendadak. Jadi, Ibu hanya ingin ngobrol sama kalian.”
“YEAY!” keadaan kelas langsung ramai.
“Tenang.. tenang.. Bisa kita mulai ngobrolnya?”
“Udah, Buu.” sahut murid-murid seperti anak SD.
“Hari ini Ibu tidak akan membahas materi apa-apa, karena Ibu di kelas juga tidak lama. Ibu ada keperluan mendadak. Jadi, Ibu hanya ingin ngobrol sama kalian.”
“YEAY!” keadaan kelas langsung ramai.
“Tenang.. tenang.. Bisa kita mulai ngobrolnya?”
Semuanya diam.
“Menurut kalian, apa ada sesuatu
yang abadi di dunia?” tanya Bu Indah.
“Bunga edelweiss, Bu.” sahut seorang siswa, mengundang tawa seisi kelas.
“Itu kan hanya nama. Ada-ada aja kamu. Ada lagi yang punya pendapat?”
“Bu, kata Ariel Peterpan kan tak ada yang abadi, Bu.”
“Iya.. bener juga kamu. Tapi itu opini. Ada lagi?” Bu Indah masih terkikik dengan jawaban barusan.
“Bunga edelweiss, Bu.” sahut seorang siswa, mengundang tawa seisi kelas.
“Itu kan hanya nama. Ada-ada aja kamu. Ada lagi yang punya pendapat?”
“Bu, kata Ariel Peterpan kan tak ada yang abadi, Bu.”
“Iya.. bener juga kamu. Tapi itu opini. Ada lagi?” Bu Indah masih terkikik dengan jawaban barusan.
Bintang mengangkat tangan.
“Iya, siswi baru. Kamu punya
pendapat?”
Akaash menoleh. Menangkap Bintang
dengan ekor matanya.
“Tentang keabadian. Bintang akan selalu
ada di atas langit kan Bu?”
Hening. Bu Indah memperhatikan
Bintang. Akaash menunduk. Alena berpikir tentang ucapan Bintang.
“Memang menurut kamu Bintang akan
pindah ke tempat selain langit? Bintang, kamu seorang yang romantis ya?” ucap
Bu Indah sambil tersenyum.
Bintang tersenyum, lalu tatapannya
jatuh pada pemilik punggung yang sedang Bintang bicarakan.
“Oke, kita bahas ini lain waktu. Siswi
baru, kita berpartisipasi lain kali. Terimakasih anak-anak, kelas Ibu sampai
sini.” ucap Bu Indah yang kemudian keluar kelas.
Sepulang sekolah.
“Kaash, gue mau tanya sesuatu sama
lo.”
“Apa?”
“Apa?”
Bintang berjalan mendekati meja
Akaash.
“Duluan, ya.” ucap Bintang sambil
tersenyum pada Akaash dan Alena.
“Eh. Iya.” jawab Alena. “Anak barunya sok akrab deh.” cibir Alena.
“Lo mau nanya apa tadi?” tanya Akaash.
“Ng… Mau nanya… Eh, apa ya? Gue lupa! Ih, gara-gara anak baru itu nyapa.” Alena jadi kesal.
“Kenapa dia disalahin? Lo kan jawab sapaan dia tadi.” Akaash tersenyum melihat tingkah Alena.
“Tapi kan… Ah, yaudahlah. Kapan-kapan aja.”
“Eh. Iya.” jawab Alena. “Anak barunya sok akrab deh.” cibir Alena.
“Lo mau nanya apa tadi?” tanya Akaash.
“Ng… Mau nanya… Eh, apa ya? Gue lupa! Ih, gara-gara anak baru itu nyapa.” Alena jadi kesal.
“Kenapa dia disalahin? Lo kan jawab sapaan dia tadi.” Akaash tersenyum melihat tingkah Alena.
“Tapi kan… Ah, yaudahlah. Kapan-kapan aja.”
Sesampainya di rumah, Akaash
langsung bergegas ke kamarnya. Membuka laci meja belajarnya dan mengeluarkan
semua surat yang pernah Bintang kirim padanya.
Akaash membuka surat satu persatu
dari yang paling awal ia terima—11 bulan yang lalu.
“Florence, Arizona?” gumam Akaash
setelah membaca beberapa surat dari Bintang.
Akaash membiarkan airmatanya
menetes.
“Jadi selama ini lo bener-bener
jauh?” Akaash mencoba menahan tangisannya. Ia mulai membaca surat-surat lainnya.
Hingga sampai di surat terakhir.
“Bintang.” sebuah nama yang keluar
dari mulut Akaash.
Keesokan harinya di sekolah.
“Akaash! Jadi lo udah di kelas? Gue
nungguin lo juga! Gue pikir gue lebih dulu dari lo.”
“Maaf.”
“Ngga gue terima maaf lo. Kenapa ngga ngasih tau kalo lo udah di kelas? Lagian kenapa ngga nunggu kaya biasanya?”
“Maaf.”
“Ngga gue terima maaf lo. Kenapa ngga ngasih tau kalo lo udah di kelas? Lagian kenapa ngga nunggu kaya biasanya?”
Sepertinya Alena benar-benar kesal.
“Anjir, Alen kalo marah-marah kaya
toa masjid. Kaash, sumpel mulut cewek lo lah!” gerutu teman yang duduk di
sebelah barisan Akaash.
Bintang langsung mengangkat
kepalanya. Akaash menoleh hingga ekor matanya menangkap bahwa Bintang sedang
melihatnya.
Saat jam istirahat.
“Len..” panggil Akaash. Alena langsung
keluar kelas tanpa menunggu atau menjawab panggilan Akaash.
“Anak baru. Dari kemaren pas jam
istirahat di kelas aja. Ngga ke kantin?” tanya seorang siswa, Bimo namanya.
“Engga. Di sini aja.” jawab Bintang, ramah.
“Emangnya menurut lo, bintang bakal pergi ke mana kalo bukan ke langit? Gue masih mikirin omongan lo yang kemaren.” basa-basi Bimo.
“Engga. Di sini aja.” jawab Bintang, ramah.
“Emangnya menurut lo, bintang bakal pergi ke mana kalo bukan ke langit? Gue masih mikirin omongan lo yang kemaren.” basa-basi Bimo.
Akaash menguping pembicaraan Bimo
dan Bintang.
“Bukannya langit satu-satunya
tempat di mana bintang berada? Jadi ngga usah dipikirin.” ucap Bintang sambil
tertawa.
“Jadi lo udah punya jawabannya. Oh iya, gue Bimo.”
“Gue tau kok.”
“Serius? Tau darimana?”
“Jadi lo udah punya jawabannya. Oh iya, gue Bimo.”
“Gue tau kok.”
“Serius? Tau darimana?”
“Mo, lo lupa kalo tadi lo disuruh
ke ruang guru nemuin Pak Jimmy?” tanya Akaash.
“Gue pikir di kelas cuman ada gue sama Bintang. Oh iya, Pak Jimmy!” Bimo langsung keluar kelas.
“Gue pikir di kelas cuman ada gue sama Bintang. Oh iya, Pak Jimmy!” Bimo langsung keluar kelas.
Akaash hanya sedetik melirik Bintang,
kemudian berjalan keluar kelas.
“Akaash. Bisa ngomong sebentar?”
Akaash menghentikan langkahnya.
~
“Udah hampir sepuluh menit, dan lo
masih diam. Sebenernya lo mau ngomong apa?” tanya Akaash.
“Bahkan udah hampir sepuluh menit. Lo memalingkan pandangan dari gue.” ucap Bintang.
“Gue pergi.” Akaash hendak masuk ke gedung sekolah.
“Bahkan udah hampir sepuluh menit. Lo memalingkan pandangan dari gue.” ucap Bintang.
“Gue pergi.” Akaash hendak masuk ke gedung sekolah.
Saat itu mereka berada di lantai
paling atas gedung sekolah—atap.
“Berapa waktu lagi, Kaash?” tanya
Bintang yang mulai meneteskan airmata.
“Ngga akan selama lo ninggalin gue.” jawab Akaash.
“Akaash. Bahkan gue bener-bener mau meluk lo sekarang.”
“Ngga akan selama lo ninggalin gue.” jawab Akaash.
“Akaash. Bahkan gue bener-bener mau meluk lo sekarang.”
Akaash berbalik menghadap Bintang.
“Sekarang? Bahkan harusnya gue
meluk lo pas kita ke bukit malam itu. Seharusnya ngga gue lepas. Seharusnya gue
ngga biarin lo lepasin tangan gue, kalau tau lo akan pergi. Sedangkan lo baru
sekarang?”
Bintang menangis.
“Jangan begini, Kaash. Salah lo
kenapa lo sama sekali ngga baca surat dari gue! Harusnya lo baca dan kita bisa
tetep komunikasi!” ucapan Bintang masih dalam tangisan.
Akaash diam memperhatikan Bintang
yang sedang menangis.
Akaash melangkahkan kakinya. Baru selangkah
maju. Lalu berbalik ke belakang dan pergi meninggalkan Bintang.
Sepulang sekolah. Di kelas 2 IPA 2.
“Kaash, kok bengong aja sih
daritadi?” tegur Alena.
Sepertinya mereka sudah baikan.
“Akaash!” Alena menyubit pipi
Akaash.
“Apa?”
“Ayuk pulang.” ucap Alena sambil mengutak-ngatik ponselnya.
“Apa?”
“Ayuk pulang.” ucap Alena sambil mengutak-ngatik ponselnya.
Tidak ada jawaban dari Akaash. Alena
melirik seseorang di hadapannya. Mencari sudut yang sedang Akaash tatap.
Bintang. Akaash menjatuhkan
pandangannya pada gadis yang sedang duduk sambil menundukkan kepalanya di atas
meja.
Alena melayangkan telapak tangannya
di depan wajah Akaash.
“Hey!”
“Iya.”
“Iya.”
Akaash dan Alena pergi keluar
kelas.
Mereka berdua berjalan menuju
parkiran. Meskipun sedaritadi Alena bercerita panjang kali lebar, namun pikiran
Akaash masih tertinggal di suatu tempat.
“Len, kita ngga balik bareng ya. Gue
ada urusan, lo duluan aja.”
Akaash kembali ke gedung sekolah.
“Akaash, lo mau ke mana?” teriak
Alena. Hanya dijawab lambaian tangan dari Akaash.
Akaash kembali ke kelas. Berdiri di
bibir pintu sambil mengatur napasnya.
“Bintang.” panggil Akaash. Yang punya
nama mengangkat kepalanya. Mendapati Akaash di sudut sana, Bintang berdiri.
“Jangan lebih dari jam tiga di
kelas. Sebentar lagi penjaga sekolah dateng buat ngunci kelas.” kata Akaash.
Senyum sejari di bibir Bintang yang
mulai mengembang, layu lagi karena pernyataan Akaash barusan.
Bintang keluar kelas. Berjalan melewati
tubuh yang sangat ingin ia peluk karena rindu.
Bintang berjalan meninggalkan
Akaash yang masih berdiri di depan kelas. Dengan sangat perlahan Bintang
melangkahkan kakinya melewati kelas demi kelas.
Hingga hendak sampai di ujung
tangga…
Akaash menarik tangan Bintang dan
menariknya ke dalam pelukannya.
“Akaash.” ucap Bintang dalam
dekapan Akaash.
“Bisa kan jangan pergi lagi?” ucap Akaash dengan nada bicara yang bergetar.
“Bisa kan jangan pergi lagi?” ucap Akaash dengan nada bicara yang bergetar.
Bintang mengangguk.
“Bukannya lo pernah bilang, tempat
bintang cuman di atas langit?” tanya Bintang yang masih ada dalam dekapan
Akaash.
Akaash melepas pelukannya. Mengangguk
sambil mengelus rambut Bintang.
“Pertama ngeliat lo di depan kelas,
gue bener-bener mau narik lo dan bilang kalo gue bener-bener kangen. Tapi rasa
marah gue yang tertanam sejak lo pergi jauh lebih besar saat itu.”
“Maa—“ Akaash membungkam mulut
Bintang.
“Kata maaf yang lo tulis di
surat-surat lo udah cukup. Bahkan setiap kata maaf yang lo tulis, itu
berdengung di telinga gue. Cukup.”
Bintang mengangguk pelan.
“Tapi, apa kedatangan gue
terlambat?” tanya Bintang.
“Ngga. Setiap hari gue selalu nunggu lo. Kenapa?”
“Temen semeja lo…”
“Alena. Apa lo cemburu?”
“Ngga. Setiap hari gue selalu nunggu lo. Kenapa?”
“Temen semeja lo…”
“Alena. Apa lo cemburu?”
Bintang diam sejenak. Akaash tertawa.
“Bahkan kita ngga pacaran, tapi lo
selalu cemburu setiap gue deket sama cewe.”
“Dan lo selalu marah bahkan ngelabrak cowo yang deket sama gue. Kaya Bimo kemaren.”
“Tunggu, apa status pacaran penting?”
“Dan lo selalu marah bahkan ngelabrak cowo yang deket sama gue. Kaya Bimo kemaren.”
“Tunggu, apa status pacaran penting?”
Bintang berpikir sejenak.
“Kalo di antara kita harus ada
status pacaran, dari SD kita udah jadian dong? Kaash, gue males mikir.” ucap Bintang.
“Gue tau pasti lo mau jawab itu. Jangan males mikir, nanti yang mikirin gue siapa?”
“Gue tau pasti lo mau jawab itu. Jangan males mikir, nanti yang mikirin gue siapa?”
Akaash merangkul Bintang sambil
menuruni anak tangga.
“Gue males mikirin hal lain, karena lo udah cukup menyita pikiran gue.” kata Bintang.
“Gue males mikirin hal lain, karena lo udah cukup menyita pikiran gue.” kata Bintang.
END
Komentar
Posting Komentar