Cerpan: Maaf, Aku Mencintainya [Part 2]



Next.
Aku menyaksikan punggungnya saat ia masuk ke rumah Ajeng. Dan yang kulihat, rumahnya semakin ramai. Pihak sekolah dan teman-teman yang lain mulai berdatangan.
Aku tau Ajeng pasti akan pergi dalam waktu cepat atau lambat. Sampai harus mendengar kabar, Ajeng menghembuskan napas terakhirnya hari ini, siang tadi.
Bahkan Juna tidak sempat mengikuti pelajaran terakhir begitu menerima pesan singkat dari Mama Ajeng.
Entah apa yang Juna rasakan. Kehilangan dua wanita yang mungkin paling berarti dalam hidupnya. Ibunya dan kekasihnya.
Hari ini Juna tidak masuk sekolah. Sudah hari ke-2 setelah kepergian Ajeng. Suasana kelas masih berkabung mengingat Ajeng yang periang dan selalu tersenyum. Ajeng benar-benar dikenang dengan baik.
Beberapa kali aku menoleh ke meja sebelah kiriku. Kosong. Tidak ada yang tersenyum setelah kupanggil namanya. Entah mengapa air mata itu turun lagi setelah kulirik gelang pemberian Ajeng sewaktu di UKS, sehari sebelum ia pergi untuk selamanya.
Pulang sekolah, aku memutuskan untuk menemui Juna di rumahnya. Papanya bilang, Juna sedang tidak di rumah.
Aku tau ke mana harus melangkah. Aku pergi menyusuri tanah basah bekas hujan semalam. Bau pemakaman mulai menusuk rongga hidungku.
Aku melihat Juna sedang memperhatikan papan nama Ajeng di makamnya.
“Aku temenin kamu lagi ya hari ini. Kamu ngga bosen kan?” tanya Juna yang tak akan pernah Ajeng jawab.
“Tadi pagi aku abis ketemu sama Mama. Beliau marah karena aku ngga jagain kamu dengan baik. Maafin aku.”
“Mau sampe kapan lo begini?”
Juna menoleh ke rahku. Ia berdiri.
“Lo ngapain di sini?”
“Lo yang ngapain di sini. Mungkin tubuh Ajeng udah ada di bawah tanah. Tapi seharusnya lo bisa cerdas dikit. Ngga gini, Jun.”
“Jangan sampe suara bising lo ganggu tidurnya Ajeng, ya!”
“Lo yang ganggu ketenangannya, Jun.”
Aku beranjakn pergi setelah bicara barusan. Aku menoleh kembali ke arah Juna. Dia mencium nisan sebelum akhirnya berjalan di belakangku.
“Harusnya lo ngga usah ikut campur urusan gue.” ucap Juna.
“Bukan cuman lo yang terpukul, gue juga. Lo harus ikhlas, lo harus terima.” kataku.
Juna menatapku dingin, lalu berjalan lebih dulu meninggalkanku.
Keesokan harinya, aku menghampiri kelas 2 Science 1, tidak kudapati Juna di sana. Teman-temannya bilang, dia tidak masuk sejeak kepergian Ajeng. Wali kelasnya memintaku untuk membujuknya masuk sekolah, karena ia tau aku salah satu teman dekatnya.
Kuputuskan untuk kembali ke rumah Juna seperti kemarin. Kuharap ia sedang berada di rumah.
“Junanya ada di rumah Om?”
“Tolong bantu Om, ya. Juna belum juga menyentuh makanannya dari kemarin. Om khwatir dia sakit. Dia benar-benar diam semenjak pulang dari makam Ibunya dan Ajeng kemarin.”
“Saya coba bujuk ya Om.”
“Iya, terimakasih, Nak.”
Aku naik ke lantai 2, ke kamar Juna. Kali ini sendiri, tidak berdua dengan Ajeng seperti saat ingin menghibur Juna saat ditinggal Ibunya, dua bulan yang lalu.
Aku membuka pintunya. Keadaan kamar yang masih sama sejak Juna ditinggal Ibunya. Tak satupun barang beranjak dari tempatnya. Bahkan ranjangnya terlihat rapi.
Juna berada di tempat yang sama seperti saat Ibunya meninggalkannya untuk selamanya. Mangkuk berisi bubur dan segelas susu belum juga tersentuh.
Kepalanya bersandar pada kaki ranjang dan tangannya terus menggenggam bingkai foto Ajeng.
Aku duduk disampingnya, berharap ia akan memelukku seakan tak ingin terlepas, seperti saat ia kehilangan Ibunya.
“Ngapain lo ke sini?” tanyanya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
“Mau nemuin lo.”
“Tapi gue ngga mau ketemu lo. Mending lo pulang aja, gue lagi ngga mood ketemu siapa-siapa.”
“Ajeng sama Tante Ryn pasti sedih banget lihat lo begini.”
“Ngga usah sok tau.”
“Mereka ngga akan bisa nyuruh lo makan atau berhenti bertingkah kaya gini. Mereka cuman mau didoain sama lo, supaya mereka juga tenang di sana.”
Kulihat ada yang mengalir dari matanya.
“Keluar dari kamar gue!” bentaknya yang membuatku memundurkan tubuhku. Dia menatapku seakan memegang pisau ditangannya dan bersiap membunuhku.
“Gue bakalan keluar kalo lo udah selesai makan.”
“Lo ngga ngerti bahasa manusia ya? Gue bilang keluar ya keluar!”
Aku masih diam di tempat. Juna berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka.
“Gue atau lo yang keluar?”
Aku memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan minta maaf pada Papanya karena belum bisa membujuknya untuk makan.
“Maafin saya Om, tapi saya akan coba terus.”
“Terimakasih ya Nak Paras.”
Papa Juna menatapku dengan tatapan penuh harap. Harapan agar putra satu-satunya bisa kembali seperti dulu lagi.
Keesokan harinya sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Juna. Pintu yang selalu Papa Juna buka untukku.
Tok. Tok. Tok.
Kuketuk pintu kamar yang akhir-akhir ini sering kudatangi. Setelah pintu yang tidak dikunci terbuka, aku masuk ke dalam.
“Juna?”
Aku memanggil namanya, tapi tidak ada jawaban.
Sarapan pagi yang masih belum tersentuh. Aku masih mencari keberadaannya di kamar seluas ini, namun tidak kutemui.
Tiba-tiba, suara pintu tertutup kudengar. Juna. Ia muncul dari luar.
“Harus berapa kali gue bilang kalo lo ngga usah ke sini lagi?” tanyanya.
“Gue akan terus ke sini sampe lo balik kaya dulu lagi.”
“Kaya dulu lagi? Emangnya lo tau gue yang dulu gimana?”
“Seenggaknya ngga seburuk hari ini.”
“Lo harus ngerasain yang namanya kehilangan dulu kali ya? Baru ngerti perasaan gue sekarang.” ucap Juna seraya berjalan ke ranjangnya.
“Jangan ngerasa bahwa lo satu-satunya orang yang paling menyedihkan di bumi, Jun. sehancur apapun keadaan lo setelah ditinggal Ajeng dan Ibu lo, mereka ngga akan pernah kembali.”
Aku mulai melangkah keluar dari kamarnya.
“Kenapa lo sepeduli ini sama gue?”
Pertanyaan Juna membuat langkahku berhenti.
“Karena lo pacar temen gue.” setelah kujawab, aku keluar dari kamar Juna.
Juna diam. Kembali teringat Ajeng.
Sore ini, Juna memutuskan untuk menemui Ajeng di makamnya. Setelah sampai di pemakaman, langkahnya ia hentikan karena seseorang.
“Maafin aku Jeng. Aku bener-bener minta maaf. Aku janji, aku akan terus berusaha buat kamu. Jangan marah ya, aku tau pasti kamu lagi liat aku deh. Sekali lagi maafin aku, Jeng. Aku pamit ya, sebentar lagi pasti Juna ke sini.”
Juna menyembunyikan tubuhnya dibalik pohon. Setelah Paras sudah berjalan agak jauh, Juna duduk disamping makam Ajeng.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku terus menghembuskan napas sambil memegang gelang pemberian Ajeng.
“Apa gue bisa?” gumamku.
~
Sedikit langkah lagi, aku sampai di gerbang sekolah. Selalu seperti ini, setelah bunyi bel kedua, aku baru sampai di gerbang. Akhir-akhir ini selalu seperti ini.
Namun langkahku kupercepat begitu kulihat sebuah motor yang sangat kurindukan kehadirannya di parkiran. Juna datang ke sekolah!
“Akhirnya lo ke sekolah juga.” ucapku yang sudah berdiri di belakangnya saat ia sedang melepas helmnya.
“Jangan mikir gue ke sekolah karena lo, ya.” katanya dan kemudian pergi meninggalkanku.
Aku berjalan di belakangnya.
“Jun, udah ada yang baru?” tanya seorang teman saat Juna berjalan di koridor.
“Maksudnya?” tanya Juna menatap temannya aneh.
Sorang teman memberi isyarat pada Juna untuk menoleh ke belakang—ke arahku. Aku melihat Juna dan temannya secara bergantian, seolah tidak paham dengan pembicaraan mereka.
Juna tidak bicara apa-apa setelah menatapku. Ia kembali berjalan dan tidak peduli dengan keberadaanku.
Sesampainya di depan kelas Juna.
“Lo ngapain sih?!” tanya Juna.
“Mau mastiin lo udah sampe kelas.” jawabku.
“Lo pikir dengan gue ngga masuk selama dua minggu, gue lupa kelas gue di mana?”
“Ya engga, bukan gitu. Kan cuman mau mastiin doang.”
Juna menatap dingin kemudian masuk ke kelasnya. Setelah Juna masuk, aku berjalan menuju kelasku.
Saat jam istirahat, Juna keluar kelas. Ia terkejut begitu melihatku sedang duduk di kursi depan kelasnya.
“Ngapain di sini?” tanya Juna,
“Lo mau ke mana?” tanyaku.
“Urusan gue, lah.” Juna berjalan meninggalkanku.
Juna pergi ke kantin, memesan semangkuk bakso dan es teh manis. Setelah mendapat pesanannya, Juna duduk seorang diri di tempat biasa saat masih ada Ajeng.
Baru saja hendak menyuap bakso ke mulutnya, sekaleng susu putih mendarat di sebelah gelas es teh manis Juna.
Juna mendangak dan melihat siapa pemilik tangan yang meletakan susu kaleng di meja Juna.
“Jangan lupa minum ini ya.” ucapku sambil tersenyum.
Juna meletakan sendok berisi potongan bakso ke mangkuk, mendengus kesal dan membuang pandangan.
“Lo mau bikin mood makan siang gue hilang ya?” tanya Juna ketus.
“Ngga ada maksud kok, cuman mau kasih ini, abis ini pergi. Selamat makan siang, Jun.” ucapku dengan senyum getir dan setelah itu pergi dari kantin.
“Apaan sih maksudnya dia?!” gumam Juna kesal.
Sepulang sekolah, aku sudah duduk di atas motor Juna. Menunggunya sampai ia turun ke parkiran.
Ketika Juna berjalan menuju motornya.
Aku melempar senyum. Juna menatap dingin seolah enggan menatapku.
“Ngapain?” tanya Juna.
“Nungguin lo.” jawabku polos.
“Minggir, gue mau pulang.”
“Sebentar lagi hujan, ini udah gerimis. Jangan pulang dulu, nanti kehujanan di tengah jalan.”
“Terus kenapa? Yang kehujanan kan gue. Awas, deh!”
Juna memaksaku untuk minggir dari hadapan motornya.
“Ngga! Jangan pulang dulu.”
Suara petir menyambar. Langit sudah mulai gelap ditutupi awan hitam.
“Minggir!” bentak Juna.
Aku mengambil kunci motor yang tergenggam di tangan Juna, lalu pergi dari parkiran.
“Paras!” teriak Juna yang disambut rintikan hujan yang mulai deras. Kemudian, Juna berlari ke koridor sambil memayungi kepalanya dengan kedua telapak tangannya.
Juna berdiri disamping Paras.
“Bener kan kata gue. Dikit lagi hujan.” ucapku.
“Balikin kunci motor gue.”
“Ngga. Nanti lo nekat balik. Gue ngasihnya pas hujannya udah berhenti.”
“Balikin sini.”
“Ngga mauuuu!”
“Ehem, Juna. Cepet banget berpalingnya. Jadi sekarang sama temennya Ajeng, nih.” ledek seorang teman yang sedang berteduh juga.
Aku diam. Juna juga diam. Beberapa detik kemudian, Juna menatapku marah. Lalu, Juna mengambil paksa kunci motornya yang sedang kugenggam. Tak lama, Juna pergi dibawah guyuran hujan yang deras.
“Jun…” bahkan suaraku tidak terdengar di telinga Juna.
Juna pulang dengan keadaan hujan sederas ini.
Keesokan harinya, sebelum jam setengah tujuh pagi, aku sudah berdiri di depan gerbang. Menunggu sosok seseorang datang.
Botol minum warna biru muda yang kugenggam, berisi teh madu buatanku yang masih hangat.
Sekitar lima belas menit kemudian, seseorang datang dengan motornya. Aku segera masuk dan menghampiri tempat parkir.
“Ada apa sih sama lo?” tanya Juna ketus.
Juna tau keberadaanku, padahal aku belum bersuara.
Aku menyodorkan botol minuman warna biru muda pada Juna.
“Kemarin kan lo pulang hujan-hujanan, jadi gue bikinin teh madu. Mumpung masih hangat, buruan diminum.” ucapku.
Juna melirik botol minum di tanganku, lalu menatapku. Dua detik kemudian, kedua matanya menatap ke seluruh sekolah.
Berpuluh-puluh pasang mata sedang melihat ke arahku dan Juna. Tatapan yang kutangkap sejenak, kebanyakan tersenyum. Entah apa maksudnya, aku tidak mengerti.
“Mungin kalo gue jadi Ajeng, gue bakalan marah banget kali ya.” ucap seorang siswi saat melewati aku dan Juna.
“Gue kira dia temen baiknya Ajeng. Ngga nyangka gue.” ucap siswi yang lainnya.
“Belum ada empat puluh hari Jun cewek lo meninggal, sekarang temen deket cewek lo nge-gas lo. Gile.” ucap siswa yang sepertinya teman sekelas Juna.
Aku menunduk dan masih dengan tangan yang menyodorkan minuman pada Juna. Beberapa detik kemudian, seperti ada sesuatu yang sangat keras menyentuh pundak kiriku. Juna meninggalkanku.
Kuangkat kepalaku. Baru tersadar, ternyata pipiku sudah basah karena air mata.
“Kamu pasti tau maksudku kan Jeng? Aku bakal terus berusaha ngelakuin apa yang kamu minta, Jeng. Aku ngga akan peduliin mereka. Aku janji sama kamu Jeng.” gumamku sebelum akhirnya beranjak dari posisiku.
Setelah bel istirahat berbunyi, aku menghampiri kelas Juna. Aku akan tetap memberikan teh madu untuknya.
Juna sedang berjalan di koridor menuju anak tangga. Kupastikan ia pergi ke kantin. Sendirian.
Saat beberapa meter lagi sampai di kantin, Juna menghentikan langkahnya. Akupun berhenti dengan jarak sekitar lima langkah di belakangnya. Juna menoleh.
“Jangan ikutin gue.” ucapnya dan kemudian melanjutkan langkahnya.
Aku tetap berjalan di belakangnya.
Saat Juna sedang berdiri di depan kios makanan, bola matanya menangkap tubuhku yang sedang mematung berada tak jauh darinya.
“Mau lo apa sih?” tanya Juna.
Posisiku dan Juna yang berada di tengah-tengah kantin, membuat beberapa orang yang berada di sini seketika diam memperhatikan kami.
Aku diam.
“Ngga usah ngebuntutin gue apa susahnya sih?”
Kali ini, siapapun yang berada di kantin jadi diam.
“Cuman mau kasih ini. Minum doang apa susahnya sih?” ucapku dengan nada bicara yang getir.
“Lo mau gue minum ini?” tanya Juna.
Juna mengambil botol minum dari tanganku. Aku menyimpulkan senyumku.
“Eh, minumnya diambil tuh sama Juna. Gila. Salut juga gue sama usahanya si Paras.” ucap seorang teman yang melihat.
Juna membuka tutup botol minuman itu.
Tapi…
Juna menumpahkan isi botol minuman itu di hadapan Paras.
Paras kaget bukan main. Beberapa pasang mata yang melihat juga kaget melihat perlakuan Juna.
Setelah botol minuman itu kosong, Juna mengembalikan ke tanganku.
“Lo ngga perlu capek-capek lagi peduli sama gue. Dan tolong jangan lakuin apapun yang bikin gue makin ilfil sama lo. Ngga akan ada yang bisa gantiin Ajeng.” ucap Juna yang setelah itu meninggalkanku.
Bahkan saat ini aku tidak peduli sedang berada di mana. Air mataku tumpah sejadi-jadinya. Aku tidak peduli siapapun yang sedang melihatku, bahkan aku sama sekali tidak menatap mereka.
Juna duduk di kursinya. Diam. Memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu saat dirinya berada di kantin.
Sepulang sekolah, aku berjalan sendirian menuju gerbang sekolah. Tidak ada lagi yang akan kutunggu kepulangannya.
Entah berapa banyak pasang mata yang memperhatikanku. Aku tidak peduli. Aku tetap berjalan sambil memeluk botol minumku.
Aku menatap sepasang mata di atas balkon lantai dua. Namun, Juna segera membuang pandangan begitu kedua mataku menangkap tatapnya.
~
Dengan botol minum yang masih kudekap, aku duduk disamping gunungan tanah yang baru saja kutaruh bunga diatasnya.
Air mataku jatuh tanpa kuminta.
“Ternyata aku ngga bisa, Jeng. Aku ngga bisa. Maafin aku, Jeng.”
Aku memegang nisan dihadapanku.
“Dia sayang banget sama kamu. Aku bener-bener ngga bisa jagain dia buat kamu. Aku ngga bisa bikin dia bahagia buat kamu. Semakin aku di deket dia, justru bikin dia makin benci sama aku. Maafin aku, Jeng.”
Aku terisak.
“Aku ngga akan ganggu Juna lagi, Jeng. Kamu boleh marahin aku Jeng. Maaf ngga bisa lakuin permintaan kamu.”
Masih dengan basah di pipi, aku melangkah pulang dari pemakaman.
Seseorang memperhatiakn pundak yang hampir menghilang.
Sesampainya aku di rumah.
“Kamu kenapa Ras? Kok matanya kaya habis nangis?” tanya Mama.
“Ngga papa. Aku habis dari makam Ajeng, Ma.”
“Doain temen kamu terus ya, Ras.” Mama memelukku.
“Oiya, minuman yang semalem kamu buat, udah diminum sama Juna?” tanya Mama begitu melihat botol minum di tanganku.
Aku teringat kejadian tadi siang di kantin.
“Diminum Ma. Juna suka kok. Yaudah ya Ma, aku mau istirahat dulu.” ucapku.
‘Maaf karena aku bohongin Mama.’ ucap dalam hatiku.
Keesokan harinya saat Paras berjalan menuju gerbang sekolah, kakinya hampir saja terserempet motor yang hendak masuk ke sekolah.
Klakson motor tersebut mengagetkan Paras. Saat Paras tau pemilik motor itu adalah Juna, ia langsung memutuskan untuk beranjak dari situ.
“Paras.” panggil seseorang dan membuat yang punya nama menghentikan langkahnya.
Juna berdiri di hadapan Paras.
“Maafin gue soal kemarin.”
Paras mengangguk dalam tunduknya. Lalu melanjutkan langkahnya.
“Ras.”
Paras menghentikan langkahnya.
“Ajeng ngomong apa aja sama lo sebelum dia meninggal?” tanya Juna seraya memutar tubuhnya—menghadap Paras yang membelakanginya.
~
“Kenapa lo ngga bilang dari awal?”
“Dari awal? Pas lo bahkan ngga mau ngomongbsama siapapun?”
Juna diam.
“Gue bener-bener minta maaf sama lo.” ucap Juna.
“Tenang kalo akhirnya lo tau yang sebenernya. Yaudah, gue mau ke kelas dulu.”
Juna menarik tangan Paras. Paras menepisnya.
“Kenapa?”
“Apa… lo masih mau ngelakuin permintaan Ajeng?”
Paras menatap mata Juna. Lalu membuang pandangan.
“Bahkan sekarang lo udah bisa terima kepergian Ajeng. Gue rasa lo bisa jaga diri lo sendiri. Gue duluan.”
Juna memperhatikan Paras dari belakang.
Saat Paras berjalan menuju gerbang sekolah, Juna menghentikan motornya disamping Paras.
“Gue anterin lo, naik.”
“Ngga. Gue jalan kaki aja, deket kok.”
“Ini sebagai permintaan maaf gue. Ayo buruan naik.”
Akhirnya Paras menerima ajakan Juna.
‘Jeng, maafin aku.’
Sesampainya di depan rumah Paras.
“Makasih, Jun.”
“Sama-sama. Eh iya, gue boleh minta sesuatu ngga?”
“Apaan?”
“Besok… bawain teh madu buatan lo itu ya.”
“Hah? Buat siapa?”
“Buat… buat bokap gue. Dia lagi flu kayanya.”
“Kenapa ngga beli aja?”
“Kayanya handmade lebih alami deh.”
“Yaudah, liat besok ya.”
Juna tersenyum.
Paras masuk ke dalam dengan hati yang penuh pertanyaan. Ada apa dengan Juna? Kenapa sikapnya berubah sedrastis ini? Dan… kenapa jantung Paras berdetak sangat cepat saat berada di dekat Juna?
~
Malam ini Juna tidak bisa tidur. Berkali-kali memejamkan mata, namun selalu ada yang mengusik malamnya.
“Jeng, kamu marah ngga kalo aku suka sama orang lain?”
Juna sedang gelisah dengan perasaannya. Entah mengapa mulutnya mengeluarkan pertanyaan seperti tadi. Siapa yang sedang Juna suka?
Keesokan harinya saat Paras baru sampai sekolah, Juna menghampiri Paras.
“Mana permintaan gue?”
“Apa?”
“Ngga usah pura-pura lupa.”
“Teh madu? Bawa kok di tas.”
“Kok di tas sih? Bukanya harusnya lo tenteng ya?”
Paras menatap Juna aneh.
“Eh, ngga kok. Yaudah yuk.” Juna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Paras nyengir kuda di belakang Juna,
Sesampainya di depan kelas.
“Lo napain di depan kelas gue? Bukannya kelas lo di sebelah sana?” tanya Paras.
“Oiyaya, kelas gue di sana. Kok bisa lupa ya?”
Juna beranjak dari sana.
“Jun.”
Juna menoleh. “Apa?”
“Kok ada yang aneh ya sama lo?”
“Biasa aja. Perasaan lo doang kali.” jawab Juna dan setelah itu pergi meninggalkan Paras.
Saat bel istirahat berbunyi, Juna berdiri di depan balkon kelasnya—memperhatikan kelas di sebrang kelasnya.
Begitu Paras keluar dari kelas, Juna langsung menghampiri.
“Ras.”
“Ya?”
“Mau ke mana?”
“Kantin.”
“Bareng.”
“Hah? Ngga mau ah.”
“Kenapa?”
“Ngga papa.”
Paras berjalan lebih dulu, meninggalkan Juna di belakangnya.
‘Balas dendam?’ benak Juna.
Sepulang sekolah, Juna sudah menunggu Paras di motornya.
“Paras! Mau pulang? Gue anter deh.”
“Ngga, gue mau kerkel dulu.”
“Ooh, di mana? Gue anterin deh.”
“Ngga usah, ngerepotin nanti. Gue sama temen kelasan kok.”
“Oh gitu. Yaudah, hati-hati.”
Bukannya pulang ke rumah, Juna malah pergi ke makam Ajeng. Seselesai mendoakan kekasihnya…
“Maafin aku Jeng. Harusnya aku ngga boleh kaya gini. Jeng, aku harus gimana? Aku suka sama dia. Kamu marah ngga? Sikapnya dia berubah, ngga kaya sebelum aku tau yang sebenarnya. Aku harus apa?”
~
Hari ini adalah empat puluh hari kepergian Ajeng. Juna mengajak Paras ke pengajian di rumah almarhumah Ajeng.
Setelah selesai acara pengajian tersebut, Juna mengajak Paras ke lapangan dekat rumah Ajeng.
“Inget empat puluh hari yang lalu?” tanya Juna.
“Inget. Kenapa?”
“Gue udah bukan Juna yang dulu.”
“Iya, gue tau.”
Juna menatap Paras. Sikap Paras yang seperti ini membuat Juna sangat ingin mencaci hatinya sendiri. Ada apa dengan dirinya?
“Sebenernya hati lo kaya gimana sih?”
“Gimana apanya?”
“Sebelum gue tau yang sebenarnya. Apa lo sama sekali ngga ada perasaan sama gue?”
Juna menunduk.
“Bahkan sekarang gue ngerasa bener-bener bukan diri gue sendiri.” gumam Juna.
Paras tersenyum.
“Harus banget ngebahas ini sekarang?”
“Oke. Harusnya ngga sekarang. Atau mungkin jangan lagi bahas ini.”
Setelah itu, Juna meninggalkan Paras sendirian.
~
Keadaan sekolah sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang di koridor sekolah. Dan hanya ada Juna di lapangan basket.
Kaos polos putih yang ia gunakan, bahkan sudah basah karena keringat yang mengucur dari tubuhnya.
Bola basket yang ia lemparkan ke dalam ring adalah pelampiasan kekesalannya beberapa hari terakhir ini.
Paras duduk di kursi dekat lapangan basket.
“Ngapain lo di sini?” tanya Juna.
“Kenapa?”
Pertanyaan Paras tak Juna jawab.
“Soal pertanyaan lo kemarin.”
“Ngga perlu repot-repot lo jawab.”
“Jauh sebe—“
“Udah gue bilang ngga perlu lo jawab.”
Paras mengaggukan kepalanya.
“Harusnya gue sadar, kalo emang ngga pernah ada tempat yang bisa ngegantiin Ajeng di hati lo.”
Paras berjalan menuju gerbang sekolah.
Juna menggamit tangan Paras.
“Kenapa lo harus sebodoh itu sih? Bahkan lo ngga sadar sama sikap gue akhir-akhir ini.”
“Bahkan sebelum gue ke Jakarta, gue udah jatuh cinta sama… sama lo.”
Juna diam.
“Ajeng, maaf…” gumam Paras dalam tunduknya.
Juna memeluk Paras.
“Bukannya Ajeng minta lo buat jagain gue? Dia ngga akan marah, karena dia nyuruh orang yang tepat.”
END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]