Cerpan: Maaf, Aku Mencintainya [Part 2]
Next.
Aku menyaksikan
punggungnya saat ia masuk ke rumah Ajeng. Dan yang kulihat, rumahnya semakin
ramai. Pihak sekolah dan teman-teman yang lain mulai berdatangan.
Aku tau Ajeng pasti
akan pergi dalam waktu cepat atau lambat. Sampai harus mendengar kabar, Ajeng
menghembuskan napas terakhirnya hari ini, siang tadi.
Bahkan Juna tidak
sempat mengikuti pelajaran terakhir begitu menerima pesan singkat dari Mama
Ajeng.
Entah apa yang Juna
rasakan. Kehilangan dua wanita yang mungkin paling berarti dalam hidupnya.
Ibunya dan kekasihnya.
Hari ini Juna tidak
masuk sekolah. Sudah hari ke-2 setelah kepergian Ajeng. Suasana kelas masih
berkabung mengingat Ajeng yang periang dan selalu tersenyum. Ajeng benar-benar
dikenang dengan baik.
Beberapa kali aku
menoleh ke meja sebelah kiriku. Kosong. Tidak ada yang tersenyum setelah
kupanggil namanya. Entah mengapa air mata itu turun lagi setelah kulirik gelang
pemberian Ajeng sewaktu di UKS, sehari sebelum ia pergi untuk selamanya.
Pulang sekolah, aku
memutuskan untuk menemui Juna di rumahnya. Papanya bilang, Juna sedang tidak di
rumah.
Aku tau ke mana harus
melangkah. Aku pergi menyusuri tanah basah bekas hujan semalam. Bau pemakaman
mulai menusuk rongga hidungku.
Aku melihat Juna sedang
memperhatikan papan nama Ajeng di makamnya.
“Aku temenin kamu lagi
ya hari ini. Kamu ngga bosen kan?” tanya Juna yang tak akan pernah Ajeng jawab.
“Tadi pagi aku abis
ketemu sama Mama. Beliau marah karena aku ngga jagain kamu dengan baik. Maafin
aku.”
“Mau sampe kapan lo
begini?”
Juna menoleh ke rahku.
Ia berdiri.
“Lo ngapain di sini?”
“Lo yang ngapain di sini. Mungkin tubuh Ajeng udah ada di bawah tanah. Tapi seharusnya lo bisa cerdas dikit. Ngga gini, Jun.”
“Jangan sampe suara bising lo ganggu tidurnya Ajeng, ya!”
“Lo yang ganggu ketenangannya, Jun.”
“Lo yang ngapain di sini. Mungkin tubuh Ajeng udah ada di bawah tanah. Tapi seharusnya lo bisa cerdas dikit. Ngga gini, Jun.”
“Jangan sampe suara bising lo ganggu tidurnya Ajeng, ya!”
“Lo yang ganggu ketenangannya, Jun.”
Aku beranjakn pergi
setelah bicara barusan. Aku menoleh kembali ke arah Juna. Dia mencium nisan
sebelum akhirnya berjalan di belakangku.
“Harusnya lo ngga usah ikut
campur urusan gue.” ucap Juna.
“Bukan cuman lo yang terpukul, gue juga. Lo harus ikhlas, lo harus terima.” kataku.
“Bukan cuman lo yang terpukul, gue juga. Lo harus ikhlas, lo harus terima.” kataku.
Juna menatapku dingin,
lalu berjalan lebih dulu meninggalkanku.
Keesokan harinya, aku
menghampiri kelas 2 Science 1, tidak kudapati Juna di sana. Teman-temannya
bilang, dia tidak masuk sejeak kepergian Ajeng. Wali kelasnya memintaku untuk
membujuknya masuk sekolah, karena ia tau aku salah satu teman dekatnya.
Kuputuskan untuk
kembali ke rumah Juna seperti kemarin. Kuharap ia sedang berada di rumah.
“Junanya ada di rumah
Om?”
“Tolong bantu Om, ya. Juna belum juga menyentuh makanannya dari kemarin. Om khwatir dia sakit. Dia benar-benar diam semenjak pulang dari makam Ibunya dan Ajeng kemarin.”
“Saya coba bujuk ya Om.”
“Iya, terimakasih, Nak.”
“Tolong bantu Om, ya. Juna belum juga menyentuh makanannya dari kemarin. Om khwatir dia sakit. Dia benar-benar diam semenjak pulang dari makam Ibunya dan Ajeng kemarin.”
“Saya coba bujuk ya Om.”
“Iya, terimakasih, Nak.”
Aku naik ke lantai 2,
ke kamar Juna. Kali ini sendiri, tidak berdua dengan Ajeng seperti saat ingin
menghibur Juna saat ditinggal Ibunya, dua bulan yang lalu.
Aku membuka pintunya.
Keadaan kamar yang masih sama sejak Juna ditinggal Ibunya. Tak satupun barang
beranjak dari tempatnya. Bahkan ranjangnya terlihat rapi.
Juna berada di tempat
yang sama seperti saat Ibunya meninggalkannya untuk selamanya. Mangkuk berisi
bubur dan segelas susu belum juga tersentuh.
Kepalanya bersandar
pada kaki ranjang dan tangannya terus menggenggam bingkai foto Ajeng.
Aku duduk disampingnya,
berharap ia akan memelukku seakan tak ingin terlepas, seperti saat ia
kehilangan Ibunya.
“Ngapain lo ke sini?”
tanyanya tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
“Mau nemuin lo.”
“Tapi gue ngga mau ketemu lo. Mending lo pulang aja, gue lagi ngga mood ketemu siapa-siapa.”
“Ajeng sama Tante Ryn pasti sedih banget lihat lo begini.”
“Ngga usah sok tau.”
“Mereka ngga akan bisa nyuruh lo makan atau berhenti bertingkah kaya gini. Mereka cuman mau didoain sama lo, supaya mereka juga tenang di sana.”
“Mau nemuin lo.”
“Tapi gue ngga mau ketemu lo. Mending lo pulang aja, gue lagi ngga mood ketemu siapa-siapa.”
“Ajeng sama Tante Ryn pasti sedih banget lihat lo begini.”
“Ngga usah sok tau.”
“Mereka ngga akan bisa nyuruh lo makan atau berhenti bertingkah kaya gini. Mereka cuman mau didoain sama lo, supaya mereka juga tenang di sana.”
Kulihat ada yang
mengalir dari matanya.
“Keluar dari kamar
gue!” bentaknya yang membuatku memundurkan tubuhku. Dia menatapku seakan
memegang pisau ditangannya dan bersiap membunuhku.
“Gue bakalan keluar
kalo lo udah selesai makan.”
“Lo ngga ngerti bahasa manusia ya? Gue bilang keluar ya keluar!”
“Lo ngga ngerti bahasa manusia ya? Gue bilang keluar ya keluar!”
Aku masih diam di
tempat. Juna berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka.
“Gue atau lo yang
keluar?”
Aku memutuskan untuk
keluar dari kamarnya dan minta maaf pada Papanya karena belum bisa membujuknya
untuk makan.
“Maafin saya Om, tapi
saya akan coba terus.”
“Terimakasih ya Nak Paras.”
“Terimakasih ya Nak Paras.”
Papa Juna menatapku
dengan tatapan penuh harap. Harapan agar putra satu-satunya bisa kembali
seperti dulu lagi.
Keesokan harinya
sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Juna. Pintu yang selalu Papa Juna buka
untukku.
Tok. Tok. Tok.
Kuketuk pintu kamar
yang akhir-akhir ini sering kudatangi. Setelah pintu yang tidak dikunci
terbuka, aku masuk ke dalam.
“Juna?”
Aku memanggil namanya,
tapi tidak ada jawaban.
Sarapan pagi yang masih
belum tersentuh. Aku masih mencari keberadaannya di kamar seluas ini, namun
tidak kutemui.
Tiba-tiba, suara pintu
tertutup kudengar. Juna. Ia muncul dari luar.
“Harus berapa kali gue
bilang kalo lo ngga usah ke sini lagi?” tanyanya.
“Gue akan terus ke sini sampe lo balik kaya dulu lagi.”
“Kaya dulu lagi? Emangnya lo tau gue yang dulu gimana?”
“Seenggaknya ngga seburuk hari ini.”
“Lo harus ngerasain yang namanya kehilangan dulu kali ya? Baru ngerti perasaan gue sekarang.” ucap Juna seraya berjalan ke ranjangnya.
“Jangan ngerasa bahwa lo satu-satunya orang yang paling menyedihkan di bumi, Jun. sehancur apapun keadaan lo setelah ditinggal Ajeng dan Ibu lo, mereka ngga akan pernah kembali.”
“Gue akan terus ke sini sampe lo balik kaya dulu lagi.”
“Kaya dulu lagi? Emangnya lo tau gue yang dulu gimana?”
“Seenggaknya ngga seburuk hari ini.”
“Lo harus ngerasain yang namanya kehilangan dulu kali ya? Baru ngerti perasaan gue sekarang.” ucap Juna seraya berjalan ke ranjangnya.
“Jangan ngerasa bahwa lo satu-satunya orang yang paling menyedihkan di bumi, Jun. sehancur apapun keadaan lo setelah ditinggal Ajeng dan Ibu lo, mereka ngga akan pernah kembali.”
Aku mulai melangkah
keluar dari kamarnya.
“Kenapa lo sepeduli ini
sama gue?”
Pertanyaan Juna membuat
langkahku berhenti.
“Karena lo pacar temen
gue.” setelah kujawab, aku keluar dari kamar Juna.
Juna diam. Kembali
teringat Ajeng.
Sore ini, Juna
memutuskan untuk menemui Ajeng di makamnya. Setelah sampai di pemakaman,
langkahnya ia hentikan karena seseorang.
“Maafin aku Jeng. Aku
bener-bener minta maaf. Aku janji, aku akan terus berusaha buat kamu. Jangan
marah ya, aku tau pasti kamu lagi liat aku deh. Sekali lagi maafin aku, Jeng.
Aku pamit ya, sebentar lagi pasti Juna ke sini.”
Juna menyembunyikan
tubuhnya dibalik pohon. Setelah Paras sudah berjalan agak jauh, Juna duduk
disamping makam Ajeng.
Di sepanjang perjalanan
pulang, aku terus menghembuskan napas sambil memegang gelang pemberian Ajeng.
“Apa gue bisa?”
gumamku.
~
Sedikit langkah lagi,
aku sampai di gerbang sekolah. Selalu seperti ini, setelah bunyi bel kedua, aku
baru sampai di gerbang. Akhir-akhir ini selalu seperti ini.
Namun langkahku
kupercepat begitu kulihat sebuah motor yang sangat kurindukan kehadirannya di
parkiran. Juna datang ke sekolah!
“Akhirnya lo ke sekolah
juga.” ucapku yang sudah berdiri di belakangnya saat ia sedang melepas helmnya.
“Jangan mikir gue ke
sekolah karena lo, ya.” katanya dan kemudian pergi meninggalkanku.
Aku berjalan di
belakangnya.
“Jun, udah ada yang
baru?” tanya seorang teman saat Juna berjalan di koridor.
“Maksudnya?” tanya Juna menatap temannya aneh.
“Maksudnya?” tanya Juna menatap temannya aneh.
Sorang teman memberi
isyarat pada Juna untuk menoleh ke belakang—ke arahku. Aku melihat Juna dan
temannya secara bergantian, seolah tidak paham dengan pembicaraan mereka.
Juna tidak bicara
apa-apa setelah menatapku. Ia kembali berjalan dan tidak peduli dengan
keberadaanku.
Sesampainya di depan
kelas Juna.
“Lo ngapain sih?!”
tanya Juna.
“Mau mastiin lo udah sampe kelas.” jawabku.
“Lo pikir dengan gue ngga masuk selama dua minggu, gue lupa kelas gue di mana?”
“Ya engga, bukan gitu. Kan cuman mau mastiin doang.”
“Mau mastiin lo udah sampe kelas.” jawabku.
“Lo pikir dengan gue ngga masuk selama dua minggu, gue lupa kelas gue di mana?”
“Ya engga, bukan gitu. Kan cuman mau mastiin doang.”
Juna menatap dingin
kemudian masuk ke kelasnya. Setelah Juna masuk, aku berjalan menuju kelasku.
Saat jam istirahat,
Juna keluar kelas. Ia terkejut begitu melihatku sedang duduk di kursi depan
kelasnya.
“Ngapain di sini?”
tanya Juna,
“Lo mau ke mana?” tanyaku.
“Urusan gue, lah.” Juna berjalan meninggalkanku.
“Lo mau ke mana?” tanyaku.
“Urusan gue, lah.” Juna berjalan meninggalkanku.
Juna pergi ke kantin,
memesan semangkuk bakso dan es teh manis. Setelah mendapat pesanannya, Juna
duduk seorang diri di tempat biasa saat masih ada Ajeng.
Baru saja hendak
menyuap bakso ke mulutnya, sekaleng susu putih mendarat di sebelah gelas es teh
manis Juna.
Juna mendangak dan
melihat siapa pemilik tangan yang meletakan susu kaleng di meja Juna.
“Jangan lupa minum ini
ya.” ucapku sambil tersenyum.
Juna meletakan sendok
berisi potongan bakso ke mangkuk, mendengus kesal dan membuang pandangan.
“Lo mau bikin mood makan siang gue hilang ya?” tanya
Juna ketus.
“Ngga ada maksud kok, cuman mau kasih ini, abis ini pergi. Selamat makan siang, Jun.” ucapku dengan senyum getir dan setelah itu pergi dari kantin.
“Ngga ada maksud kok, cuman mau kasih ini, abis ini pergi. Selamat makan siang, Jun.” ucapku dengan senyum getir dan setelah itu pergi dari kantin.
“Apaan sih maksudnya
dia?!” gumam Juna kesal.
Sepulang sekolah, aku
sudah duduk di atas motor Juna. Menunggunya sampai ia turun ke parkiran.
Ketika Juna berjalan
menuju motornya.
Aku melempar senyum.
Juna menatap dingin seolah enggan menatapku.
“Ngapain?” tanya Juna.
“Nungguin lo.” jawabku polos.
“Minggir, gue mau pulang.”
“Sebentar lagi hujan, ini udah gerimis. Jangan pulang dulu, nanti kehujanan di tengah jalan.”
“Terus kenapa? Yang kehujanan kan gue. Awas, deh!”
“Nungguin lo.” jawabku polos.
“Minggir, gue mau pulang.”
“Sebentar lagi hujan, ini udah gerimis. Jangan pulang dulu, nanti kehujanan di tengah jalan.”
“Terus kenapa? Yang kehujanan kan gue. Awas, deh!”
Juna memaksaku untuk
minggir dari hadapan motornya.
“Ngga! Jangan pulang
dulu.”
Suara petir menyambar.
Langit sudah mulai gelap ditutupi awan hitam.
“Minggir!” bentak Juna.
Aku mengambil kunci
motor yang tergenggam di tangan Juna, lalu pergi dari parkiran.
“Paras!” teriak Juna
yang disambut rintikan hujan yang mulai deras. Kemudian, Juna berlari ke
koridor sambil memayungi kepalanya dengan kedua telapak tangannya.
Juna berdiri disamping
Paras.
“Bener kan kata gue.
Dikit lagi hujan.” ucapku.
“Balikin kunci motor gue.”
“Ngga. Nanti lo nekat balik. Gue ngasihnya pas hujannya udah berhenti.”
“Balikin sini.”
“Ngga mauuuu!”
“Balikin kunci motor gue.”
“Ngga. Nanti lo nekat balik. Gue ngasihnya pas hujannya udah berhenti.”
“Balikin sini.”
“Ngga mauuuu!”
“Ehem, Juna. Cepet
banget berpalingnya. Jadi sekarang sama temennya Ajeng, nih.” ledek seorang
teman yang sedang berteduh juga.
Aku diam. Juna juga
diam. Beberapa detik kemudian, Juna menatapku marah. Lalu, Juna mengambil paksa
kunci motornya yang sedang kugenggam. Tak lama, Juna pergi dibawah guyuran
hujan yang deras.
“Jun…” bahkan suaraku
tidak terdengar di telinga Juna.
Juna pulang dengan
keadaan hujan sederas ini.
Keesokan harinya,
sebelum jam setengah tujuh pagi, aku sudah berdiri di depan gerbang. Menunggu
sosok seseorang datang.
Botol minum warna biru
muda yang kugenggam, berisi teh madu buatanku yang masih hangat.
Sekitar lima belas
menit kemudian, seseorang datang dengan motornya. Aku segera masuk dan
menghampiri tempat parkir.
“Ada apa sih sama lo?”
tanya Juna ketus.
Juna tau keberadaanku,
padahal aku belum bersuara.
Aku menyodorkan botol
minuman warna biru muda pada Juna.
“Kemarin kan lo pulang
hujan-hujanan, jadi gue bikinin teh madu. Mumpung masih hangat, buruan
diminum.” ucapku.
Juna melirik botol
minum di tanganku, lalu menatapku. Dua detik kemudian, kedua matanya menatap ke
seluruh sekolah.
Berpuluh-puluh pasang
mata sedang melihat ke arahku dan Juna. Tatapan yang kutangkap sejenak,
kebanyakan tersenyum. Entah apa maksudnya, aku tidak mengerti.
“Mungin kalo gue jadi
Ajeng, gue bakalan marah banget kali ya.” ucap seorang siswi saat melewati aku
dan Juna.
“Gue kira dia temen
baiknya Ajeng. Ngga nyangka gue.” ucap siswi yang lainnya.
“Belum ada empat puluh
hari Jun cewek lo meninggal, sekarang temen deket cewek lo nge-gas lo. Gile.”
ucap siswa yang sepertinya teman sekelas Juna.
Aku menunduk dan masih
dengan tangan yang menyodorkan minuman pada Juna. Beberapa detik kemudian,
seperti ada sesuatu yang sangat keras menyentuh pundak kiriku. Juna
meninggalkanku.
Kuangkat kepalaku. Baru
tersadar, ternyata pipiku sudah basah karena air mata.
“Kamu pasti tau
maksudku kan Jeng? Aku bakal terus berusaha ngelakuin apa yang kamu minta,
Jeng. Aku ngga akan peduliin mereka. Aku janji sama kamu Jeng.” gumamku sebelum
akhirnya beranjak dari posisiku.
Setelah bel istirahat
berbunyi, aku menghampiri kelas Juna. Aku akan tetap memberikan teh madu
untuknya.
Juna sedang berjalan di
koridor menuju anak tangga. Kupastikan ia pergi ke kantin. Sendirian.
Saat beberapa meter
lagi sampai di kantin, Juna menghentikan langkahnya. Akupun berhenti dengan
jarak sekitar lima langkah di belakangnya. Juna menoleh.
“Jangan ikutin gue.” ucapnya
dan kemudian melanjutkan langkahnya.
Aku tetap berjalan di
belakangnya.
Saat Juna sedang
berdiri di depan kios makanan, bola matanya menangkap tubuhku yang sedang
mematung berada tak jauh darinya.
“Mau lo apa sih?” tanya
Juna.
Posisiku dan Juna yang
berada di tengah-tengah kantin, membuat beberapa orang yang berada di sini
seketika diam memperhatikan kami.
Aku diam.
“Ngga usah ngebuntutin
gue apa susahnya sih?”
Kali ini, siapapun yang
berada di kantin jadi diam.
“Cuman mau kasih ini. Minum
doang apa susahnya sih?” ucapku dengan nada bicara yang getir.
“Lo mau gue minum ini?”
tanya Juna.
Juna mengambil botol
minum dari tanganku. Aku menyimpulkan senyumku.
“Eh, minumnya diambil
tuh sama Juna. Gila. Salut juga gue sama usahanya si Paras.” ucap seorang teman
yang melihat.
Juna membuka tutup
botol minuman itu.
Tapi…
Juna menumpahkan isi
botol minuman itu di hadapan Paras.
Paras kaget bukan main.
Beberapa pasang mata yang melihat juga kaget melihat perlakuan Juna.
Setelah botol minuman
itu kosong, Juna mengembalikan ke tanganku.
“Lo ngga perlu
capek-capek lagi peduli sama gue. Dan tolong jangan lakuin apapun yang bikin
gue makin ilfil sama lo. Ngga akan ada
yang bisa gantiin Ajeng.” ucap Juna yang setelah itu meninggalkanku.
Bahkan saat ini aku
tidak peduli sedang berada di mana. Air mataku tumpah sejadi-jadinya. Aku tidak
peduli siapapun yang sedang melihatku, bahkan aku sama sekali tidak menatap
mereka.
Juna duduk di kursinya.
Diam. Memikirkan kejadian beberapa menit yang lalu saat dirinya berada di
kantin.
Sepulang sekolah, aku
berjalan sendirian menuju gerbang sekolah. Tidak ada lagi yang akan kutunggu
kepulangannya.
Entah berapa banyak
pasang mata yang memperhatikanku. Aku tidak peduli. Aku tetap berjalan sambil
memeluk botol minumku.
Aku menatap sepasang
mata di atas balkon lantai dua. Namun, Juna segera membuang pandangan begitu
kedua mataku menangkap tatapnya.
~
Dengan botol minum yang
masih kudekap, aku duduk disamping gunungan tanah yang baru saja kutaruh bunga
diatasnya.
Air mataku jatuh tanpa
kuminta.
“Ternyata aku ngga
bisa, Jeng. Aku ngga bisa. Maafin aku, Jeng.”
Aku memegang nisan
dihadapanku.
“Dia sayang banget sama
kamu. Aku bener-bener ngga bisa jagain dia buat kamu. Aku ngga bisa bikin dia
bahagia buat kamu. Semakin aku di deket dia, justru bikin dia makin benci sama
aku. Maafin aku, Jeng.”
Aku terisak.
“Aku ngga akan ganggu
Juna lagi, Jeng. Kamu boleh marahin aku Jeng. Maaf ngga bisa lakuin permintaan
kamu.”
Masih dengan basah di
pipi, aku melangkah pulang dari pemakaman.
Seseorang memperhatiakn
pundak yang hampir menghilang.
Sesampainya aku di
rumah.
“Kamu kenapa Ras? Kok matanya
kaya habis nangis?” tanya Mama.
“Ngga papa. Aku habis dari makam Ajeng, Ma.”
“Doain temen kamu terus ya, Ras.” Mama memelukku.
“Ngga papa. Aku habis dari makam Ajeng, Ma.”
“Doain temen kamu terus ya, Ras.” Mama memelukku.
“Oiya, minuman yang
semalem kamu buat, udah diminum sama Juna?” tanya Mama begitu melihat botol
minum di tanganku.
Aku teringat kejadian
tadi siang di kantin.
“Diminum Ma. Juna suka
kok. Yaudah ya Ma, aku mau istirahat dulu.” ucapku.
‘Maaf karena aku
bohongin Mama.’ ucap dalam hatiku.
Keesokan harinya saat
Paras berjalan menuju gerbang sekolah, kakinya hampir saja terserempet motor
yang hendak masuk ke sekolah.
Klakson motor tersebut
mengagetkan Paras. Saat Paras tau pemilik motor itu adalah Juna, ia langsung
memutuskan untuk beranjak dari situ.
“Paras.” panggil seseorang
dan membuat yang punya nama menghentikan langkahnya.
Juna berdiri di hadapan
Paras.
“Maafin gue soal
kemarin.”
Paras mengangguk dalam
tunduknya. Lalu melanjutkan langkahnya.
“Ras.”
Paras menghentikan
langkahnya.
“Ajeng ngomong apa aja
sama lo sebelum dia meninggal?” tanya Juna seraya memutar tubuhnya—menghadap Paras
yang membelakanginya.
~
“Kenapa lo ngga bilang
dari awal?”
“Dari awal? Pas lo bahkan ngga mau ngomongbsama siapapun?”
“Dari awal? Pas lo bahkan ngga mau ngomongbsama siapapun?”
Juna diam.
“Gue bener-bener minta
maaf sama lo.” ucap Juna.
“Tenang kalo akhirnya lo tau yang sebenernya. Yaudah, gue mau ke kelas dulu.”
“Tenang kalo akhirnya lo tau yang sebenernya. Yaudah, gue mau ke kelas dulu.”
Juna menarik tangan
Paras. Paras menepisnya.
“Kenapa?”
“Apa… lo masih mau ngelakuin permintaan Ajeng?”
“Apa… lo masih mau ngelakuin permintaan Ajeng?”
Paras menatap mata
Juna. Lalu membuang pandangan.
“Bahkan sekarang lo
udah bisa terima kepergian Ajeng. Gue rasa lo bisa jaga diri lo sendiri. Gue duluan.”
Juna memperhatikan
Paras dari belakang.
Saat Paras berjalan
menuju gerbang sekolah, Juna menghentikan motornya disamping Paras.
“Gue anterin lo, naik.”
“Ngga. Gue jalan kaki aja, deket kok.”
“Ini sebagai permintaan maaf gue. Ayo buruan naik.”
“Ngga. Gue jalan kaki aja, deket kok.”
“Ini sebagai permintaan maaf gue. Ayo buruan naik.”
Akhirnya Paras menerima
ajakan Juna.
‘Jeng, maafin aku.’
Sesampainya di depan
rumah Paras.
“Makasih, Jun.”
“Sama-sama. Eh iya, gue boleh minta sesuatu ngga?”
“Apaan?”
“Besok… bawain teh madu buatan lo itu ya.”
“Hah? Buat siapa?”
“Buat… buat bokap gue. Dia lagi flu kayanya.”
“Kenapa ngga beli aja?”
“Kayanya handmade lebih alami deh.”
“Yaudah, liat besok ya.”
“Sama-sama. Eh iya, gue boleh minta sesuatu ngga?”
“Apaan?”
“Besok… bawain teh madu buatan lo itu ya.”
“Hah? Buat siapa?”
“Buat… buat bokap gue. Dia lagi flu kayanya.”
“Kenapa ngga beli aja?”
“Kayanya handmade lebih alami deh.”
“Yaudah, liat besok ya.”
Juna tersenyum.
Paras masuk ke dalam
dengan hati yang penuh pertanyaan. Ada apa dengan Juna? Kenapa sikapnya berubah
sedrastis ini? Dan… kenapa jantung Paras berdetak sangat cepat saat berada di
dekat Juna?
~
Malam ini Juna tidak
bisa tidur. Berkali-kali memejamkan mata, namun selalu ada yang mengusik
malamnya.
“Jeng, kamu marah ngga
kalo aku suka sama orang lain?”
Juna sedang gelisah
dengan perasaannya. Entah mengapa mulutnya mengeluarkan pertanyaan seperti
tadi. Siapa yang sedang Juna suka?
Keesokan harinya saat
Paras baru sampai sekolah, Juna menghampiri Paras.
“Mana permintaan gue?”
“Apa?”
“Ngga usah pura-pura lupa.”
“Teh madu? Bawa kok di tas.”
“Kok di tas sih? Bukanya harusnya lo tenteng ya?”
“Apa?”
“Ngga usah pura-pura lupa.”
“Teh madu? Bawa kok di tas.”
“Kok di tas sih? Bukanya harusnya lo tenteng ya?”
Paras menatap Juna
aneh.
“Eh, ngga kok. Yaudah yuk.”
Juna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Paras nyengir kuda di
belakang Juna,
Sesampainya di depan
kelas.
“Lo napain di depan
kelas gue? Bukannya kelas lo di sebelah sana?” tanya Paras.
“Oiyaya, kelas gue di sana. Kok bisa lupa ya?”
“Oiyaya, kelas gue di sana. Kok bisa lupa ya?”
Juna beranjak dari
sana.
“Jun.”
Juna menoleh. “Apa?”
“Kok ada yang aneh ya
sama lo?”
“Biasa aja. Perasaan lo doang kali.” jawab Juna dan setelah itu pergi meninggalkan Paras.
“Biasa aja. Perasaan lo doang kali.” jawab Juna dan setelah itu pergi meninggalkan Paras.
Saat bel istirahat
berbunyi, Juna berdiri di depan balkon kelasnya—memperhatikan kelas di sebrang
kelasnya.
Begitu Paras keluar
dari kelas, Juna langsung menghampiri.
“Ras.”
“Ya?”
“Mau ke mana?”
“Kantin.”
“Bareng.”
“Hah? Ngga mau ah.”
“Kenapa?”
“Ngga papa.”
“Ya?”
“Mau ke mana?”
“Kantin.”
“Bareng.”
“Hah? Ngga mau ah.”
“Kenapa?”
“Ngga papa.”
Paras berjalan lebih
dulu, meninggalkan Juna di belakangnya.
‘Balas dendam?’ benak
Juna.
Sepulang sekolah, Juna
sudah menunggu Paras di motornya.
“Paras! Mau pulang? Gue
anter deh.”
“Ngga, gue mau kerkel dulu.”
“Ooh, di mana? Gue anterin deh.”
“Ngga usah, ngerepotin nanti. Gue sama temen kelasan kok.”
“Oh gitu. Yaudah, hati-hati.”
“Ngga, gue mau kerkel dulu.”
“Ooh, di mana? Gue anterin deh.”
“Ngga usah, ngerepotin nanti. Gue sama temen kelasan kok.”
“Oh gitu. Yaudah, hati-hati.”
Bukannya pulang ke
rumah, Juna malah pergi ke makam Ajeng. Seselesai mendoakan kekasihnya…
“Maafin aku Jeng. Harusnya
aku ngga boleh kaya gini. Jeng, aku harus gimana? Aku suka sama dia. Kamu marah
ngga? Sikapnya dia berubah, ngga kaya sebelum aku tau yang sebenarnya. Aku harus
apa?”
~
Hari ini adalah empat
puluh hari kepergian Ajeng. Juna mengajak Paras ke pengajian di rumah
almarhumah Ajeng.
Setelah selesai acara
pengajian tersebut, Juna mengajak Paras ke lapangan dekat rumah Ajeng.
“Inget empat puluh hari
yang lalu?” tanya Juna.
“Inget. Kenapa?”
“Gue udah bukan Juna yang dulu.”
“Iya, gue tau.”
“Inget. Kenapa?”
“Gue udah bukan Juna yang dulu.”
“Iya, gue tau.”
Juna menatap Paras. Sikap
Paras yang seperti ini membuat Juna sangat ingin mencaci hatinya sendiri. Ada apa
dengan dirinya?
“Sebenernya hati lo
kaya gimana sih?”
“Gimana apanya?”
“Sebelum gue tau yang sebenarnya. Apa lo sama sekali ngga ada perasaan sama gue?”
“Gimana apanya?”
“Sebelum gue tau yang sebenarnya. Apa lo sama sekali ngga ada perasaan sama gue?”
Juna menunduk.
“Bahkan sekarang gue
ngerasa bener-bener bukan diri gue sendiri.” gumam Juna.
Paras tersenyum.
“Harus banget ngebahas
ini sekarang?”
“Oke. Harusnya ngga sekarang. Atau mungkin jangan lagi bahas ini.”
“Oke. Harusnya ngga sekarang. Atau mungkin jangan lagi bahas ini.”
Setelah itu, Juna
meninggalkan Paras sendirian.
~
Keadaan sekolah sudah
mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang di koridor sekolah. Dan
hanya ada Juna di lapangan basket.
Kaos polos putih yang
ia gunakan, bahkan sudah basah karena keringat yang mengucur dari tubuhnya.
Bola basket yang ia
lemparkan ke dalam ring adalah pelampiasan kekesalannya beberapa hari terakhir
ini.
Paras duduk di kursi
dekat lapangan basket.
“Ngapain lo di sini?”
tanya Juna.
“Kenapa?”
“Kenapa?”
Pertanyaan Paras tak
Juna jawab.
“Soal pertanyaan lo
kemarin.”
“Ngga perlu repot-repot lo jawab.”
“Jauh sebe—“
“Udah gue bilang ngga perlu lo jawab.”
“Ngga perlu repot-repot lo jawab.”
“Jauh sebe—“
“Udah gue bilang ngga perlu lo jawab.”
Paras mengaggukan
kepalanya.
“Harusnya gue sadar,
kalo emang ngga pernah ada tempat yang bisa ngegantiin Ajeng di hati lo.”
Paras berjalan menuju
gerbang sekolah.
Juna menggamit tangan
Paras.
“Kenapa lo harus
sebodoh itu sih? Bahkan lo ngga sadar sama sikap gue akhir-akhir ini.”
“Bahkan sebelum gue ke Jakarta, gue udah jatuh cinta sama… sama lo.”
“Bahkan sebelum gue ke Jakarta, gue udah jatuh cinta sama… sama lo.”
Juna diam.
“Ajeng, maaf…” gumam
Paras dalam tunduknya.
Juna memeluk Paras.
“Bukannya Ajeng minta
lo buat jagain gue? Dia ngga akan marah, karena dia nyuruh orang yang tepat.”
END
Komentar
Posting Komentar