Cerpen: Aku Dan Segalanya Di Hidupku
Ini sebenernya salah satu cerpen buatan [nama fanbase grup Indonesia]. Dulu sih waktu pertama kali baca cerita ini, nangisnya sampe sesenggukkan gitu. Haha receh~
Coba deh baca...
.
.
Coba deh baca...
.
.
Perlahan aku berjalan menaiki jalan
setapak menuju sebuah danau. Bau tanah dan rintik hujan menemaniku menjelajahi
petualangan tersebut. Aku tersenyum melihat sesosok pria telah menungguku. Aku mempercepat
langkahku, mencoba menggapainya lebih cepat. Tak peduli hujan yang semakin
deras dan beceknya tanah khas pedesaan mengotori rok panjang putihku.
“DOR! Hayo, nglamunin aku ya?”
ujarku berniat mengagetkannya.
“Kamu kok telat banget sih? Tuh kan, udah tambah gelap. Lilinnya udah mati semua kena air hujan tuh.” jawabnya sambil menatap terus ke arah lilin-lilin kecil yang telah padam terkena air hujan.
“Kamu kok telat banget sih? Tuh kan, udah tambah gelap. Lilinnya udah mati semua kena air hujan tuh.” jawabnya sambil menatap terus ke arah lilin-lilin kecil yang telah padam terkena air hujan.
Lilin berwarna merah, warna
kesukaanku, jawabnya sambil terus menatap terus ke arah lilin-lilin kecil yang
beberapa telah padam terkena air hujan. Lilin berwarna merah, warna kesukaanku,
yang telah ditatanya sedemikian rupa membentuk hati. Ya, memang. Lilin-lilin
itu sangat indah. Aku melihatnya sekilas sebelum semuanya mati satu persatu.
Namun, menurutku lebih indah melihat senyumannya daripada lilin-lilin yang
telah padam tersebut. Jauh lebih nyata dan indah, itu kosakataku sendiri.
“Aneh ya, tadi tuh di sekolah panas
banget. Sekarang di sini hujan lebat.” ujarku memperbaiki suasana yang sepi
itu.
“Hahaha, matahari sama hujan kuatan matahari kali. Buktinya, matahari belum mati setelah miliaran tahun hidup menemani manusia, sedangkan hujan dalam beberapa hari dapat hilang.” jawabnya panjang lebar.
“Kamu lama nunggu ya? Aku minta maaf banget.” kataku memohon.
“Ngga kok, baru aja. Aku cuma bercanda tadi.” ucapnya sambil nyengir kuda.
“Maaf ya, kemarin aku ngga bisa menemani kamu check up ke dokter. Maklum, kemarin ada pengayaan. Gimana kata dokter?” tanyaku dengan lembut namun dengan nada khawatir.
“Ngga papa kok. Aku baik. Aku akan selalu baik kalo ketemu sama kamu.” ujarnya. Sekali lagi dengan senyuman jahil khasnya.
“Yaaah maunya.” kataku. Aku tahu keadaannya. Dia kuat di luar, namun rapuh di dalam.
“Hahaha, matahari sama hujan kuatan matahari kali. Buktinya, matahari belum mati setelah miliaran tahun hidup menemani manusia, sedangkan hujan dalam beberapa hari dapat hilang.” jawabnya panjang lebar.
“Kamu lama nunggu ya? Aku minta maaf banget.” kataku memohon.
“Ngga kok, baru aja. Aku cuma bercanda tadi.” ucapnya sambil nyengir kuda.
“Maaf ya, kemarin aku ngga bisa menemani kamu check up ke dokter. Maklum, kemarin ada pengayaan. Gimana kata dokter?” tanyaku dengan lembut namun dengan nada khawatir.
“Ngga papa kok. Aku baik. Aku akan selalu baik kalo ketemu sama kamu.” ujarnya. Sekali lagi dengan senyuman jahil khasnya.
“Yaaah maunya.” kataku. Aku tahu keadaannya. Dia kuat di luar, namun rapuh di dalam.
Entah apa yang membuatnya selalu
tegar menghadapi cobaan tersebut. Seolah kehabisan kata-kata, kita hanya
terdiam.
Sore itu, aku dan kekasihku,
Rangga, mengunjungi danau itu untuk yang kesekian lainnya. Itu adalah danau
favorit kita. Tempat di mana kita pertama bertemu, berkenalan, bahkan mengerjakan
segala sesuatu bersama-sama.
Danau Abadi. Yah... Begitulah
Rangga menamakan danau itu. Memang terdengar aneh, beberapa kali aku menanyakan
mengapa dia menamakannya seperti itu. Dan Rangga menjawab, “Agar nanti saat aku
ngga ada, kamu tetap dapat mengenangku di sini, di mana kamu dapat mengenang
masa-masa awal kita bertemu, sampai saat ini.”
Sekali lagi, dia menjawabnya dengan
senyum jahil khasnya.
“Kamu pernah nyadar ngga tentang sesuatu di danau ini?” tanya Rangga.
“Nyadar apaan? Perasaan selama dua tahun kita pacaran, keadaan danau ini sama aja deh.” kataku.
“Dasar ngga peka! Itu lho, berang-berangnya. Aneh aja, masa musim panas main di danau.” jelasnya.
“Apanya yang aneh? Perasaan dari dulu deh kayak gitu.” ujarku ngga ngerti.
“Bukan itu maksudku. Mereka itu kan sepasang. Dari dulu aku perhatiin mereka itu saling setia rasanya. Mereka ngga gonta-ganti pasangan. Kamu mau ngga, kalo aku udah ngga ada nanti, kamu mau kan cari orang lain buat jagain kamu? Yang lebih sehat, yang ngga sakit-sakitan?”
“Kamu pernah nyadar ngga tentang sesuatu di danau ini?” tanya Rangga.
“Nyadar apaan? Perasaan selama dua tahun kita pacaran, keadaan danau ini sama aja deh.” kataku.
“Dasar ngga peka! Itu lho, berang-berangnya. Aneh aja, masa musim panas main di danau.” jelasnya.
“Apanya yang aneh? Perasaan dari dulu deh kayak gitu.” ujarku ngga ngerti.
“Bukan itu maksudku. Mereka itu kan sepasang. Dari dulu aku perhatiin mereka itu saling setia rasanya. Mereka ngga gonta-ganti pasangan. Kamu mau ngga, kalo aku udah ngga ada nanti, kamu mau kan cari orang lain buat jagain kamu? Yang lebih sehat, yang ngga sakit-sakitan?”
Pertanyaannya membuatku tereyuh.
“Aku ngga pernah kepikiran hal itu.”
ucapku. “Dulu, Rangga itu optimis, Justin itu tegar, ke mana Justin yang dulu?”
tanyaku kepada Rangga.
“Sebentar, aku belum selesai bicara. Aku hanya berjaga-jaga. Nanti kalau aku udah ngga ada, supaya kamu ngga ragu untuk mencari penggantiku.” jelasnya dengan nada lirih.
“Rangga... Kamu harus optimis. Coba lihat matahari itu. Dia memang selalu terbit dan terbenam tiap hari. Ibaratkan matahari itu kamu. Itu tandanya, pasti ada terang kan setelah gelap. Pasti ada harapan buat kamu, sekecil apapun itu.” ujarku. “Aku ngga bakal baik-baik aja kalau kamu pergi, Rangga. Aku membutuhkanmu. Kita semua, sekolah, sahabat kita, semua membutuhkanmu.” ucapku, lagi.
“Sebentar, aku belum selesai bicara. Aku hanya berjaga-jaga. Nanti kalau aku udah ngga ada, supaya kamu ngga ragu untuk mencari penggantiku.” jelasnya dengan nada lirih.
“Rangga... Kamu harus optimis. Coba lihat matahari itu. Dia memang selalu terbit dan terbenam tiap hari. Ibaratkan matahari itu kamu. Itu tandanya, pasti ada terang kan setelah gelap. Pasti ada harapan buat kamu, sekecil apapun itu.” ujarku. “Aku ngga bakal baik-baik aja kalau kamu pergi, Rangga. Aku membutuhkanmu. Kita semua, sekolah, sahabat kita, semua membutuhkanmu.” ucapku, lagi.
Namun Rangga hanya menanggapinya dengan
senyuman nan tak ikhlas. Rangga selalu berjanji akan selalu menjagaku, di sisa
umur hidupnya di dunia ini. Dia hanya tersenyum saat aku memintanya menjagaku
selamanya.
Kita kembali terdiam, menatap air
danau yang tampak kekuningan, yang membiaskan cahaya matahari yang tenggelam.
Daun-daun kuning mulai berjatuhan, tanda tak kuat lagi menahan derasnya air
hujan.
“Pulang yuk, kamu nanti sakit,
soalnya udah sore. Aku juga harus minum obat, biar bisa jagain kamu selamanya.”
sekali lagi dia berkata sambil tersenyum jahil.
Kita berjalan menyusuri jalan setapak
menuju rumah. Maklum, kita bertetangga. Namun kali ini dengan saling
bergandengan tangan. Aku menggenggam jemarinya erat-erat. Seakan takut
kehilangannya.
Keesokan paginya, semilir angin
mengiringi langkah kita berdua, menuju gedung SMA kita. Sekolah kita yang telah
menjadi rumah kedua untuk menghabiskan waktu berduaan.
“Pagi Abang Rangga!”
“Pagi Kak!”
“Morning Kak tembem!”
“Pagi Kak!”
“Morning Kak tembem!”
Selalu begitu. Setiap pagi tidak
ada yang tidak menyapa Rangga jika berpapasan. Rangga orang yang ramah, begitu
komentar orang yang pernah kenal Rangga. Mereka menyukai Rangga karena
kesupelannya dalam bergaul. Mereka berkata bahwa aku beruntung mendapatkan
Rangga. Dan aku setuju dengan pernyataan itu.
“Pagi Bulan.” sapa cowok yang
rupanya bernama Bisma.
Bisma adalah sahabatku dan Rangga,
tempat curhat jika ada rasa kesal antara aku dan Rangga, Bisma bisa dibilang
orang yang menjodohkan kita sekaligus dokter cinta kita.
“Jangan panggil gue Bulan dong. Gue
kan bukan cewek!” protes Rangga.
Aku hanya bisa tersenyum geli dan menimpali Bisma.
”Rangga. Main basket yuk! Gue pengen nyoba ngalahin lo. Masa seminggu ini gue terus yang kalah.” ajak Bisma.
“Ngga papa dong.” kata Rangga.
“Mau main ngga nih?” ujarku menengahi perdebatan.
“Kamu bolehin ngga?” tanya Rangga. Aku hanya mengangguk kecil tanda mengijinkan.
“Oke Bisma. Ayo!” ucap Rangga. Lagi-lagi dengan senyuman khasnya.
Aku hanya bisa tersenyum geli dan menimpali Bisma.
”Rangga. Main basket yuk! Gue pengen nyoba ngalahin lo. Masa seminggu ini gue terus yang kalah.” ajak Bisma.
“Ngga papa dong.” kata Rangga.
“Mau main ngga nih?” ujarku menengahi perdebatan.
“Kamu bolehin ngga?” tanya Rangga. Aku hanya mengangguk kecil tanda mengijinkan.
“Oke Bisma. Ayo!” ucap Rangga. Lagi-lagi dengan senyuman khasnya.
Rangga segera merebut bola basket
dari tangan Bisma, men-dribble-nya,
dan meng-SHOOT-nya. Rupanya masuk. 3 point! Dia pun segera melompat-lompat,
lalu membuka bajunya, dan memutar-mutar bajunya di udara. Layaknya orang yang
baru mendapat uang 1 milyar.
‘Berapa lama lagi dia sanggup
bertahan dalam situasi seperti ini ya Tuhan…’ batinku. Air mataku perlahan
menetes.
Aku tahu bahwa Rangga berada di
masa-masa sulit. Aku tahu betul bahwa dia mendapatkan sesuatu hal yang tidak
diinginkan. Aku sudah berjanji tidak akan menangis mengingat tentang Rangga,
namun mataku tidak ingin bekerja sama. Air mataku sudah menetes. Besok,
sekarang, maupun tahun depan, dia pasti akan pergi. Aku tidak sanggup menerima
kenyataan tersebut. Rangga sudah mau bertahan untukku, untuk menjagaku, untuk
pengorbanannya aku ucapkan terima kasih. Aku tak ingin Rangga mengetahui bahwa
aku sedang menangis, maka aku segera berlari menuju kelas.
~
Aku mendengar suara Rangga,
mengalun dari suatu ruangan. Yang menciptakan suatu harmoni, kesimetrisan
antara suara Rangga dan piano berdenting yang sedang dia mainkan. Aku membuka
pintu ruangan itu dan menemukan sosok Rangga yang sedang duduk memainkan piano nya
dengan semangat. Aku mengamatinya tanpa berkedip. Setelah aku sadar dari
lamunanku, aku melihatnya memberi isyarat untuk duduk di sebelahnya, tiba-tiba
jemariku ikut bermain dalam tuts-tuts hitam putih itu, memainkan piano itu
berdua. Tak lupa berduet lagu tersebut. Yang menyemburkan seni yang lebih indah
daripada sebelumnya. Yang membuat semua dalam ruangan itu bergidik, serasa
mendengar suara dari surga.
Prok
prok prook…………
“Ciee. Tempat pacarannya pindah…
Yang dulu danau sekarang ruang kesenian.” ledek Rafael.
“Romeo Juliet kita tambah kompak aja nih.” semua teman-temanku menggoda kami, tentu saja pipiku langsung merona merah karena malu.
“Romeo Juliet kita tambah kompak aja nih.” semua teman-temanku menggoda kami, tentu saja pipiku langsung merona merah karena malu.
Mereka semua adalah tim teater
SMAku, kita memang latihan langsung di gedung kesenian ini, untuk pementasan
drama musikal kami minggu depan, Romeo dan Juliet.
Setelah Bu Prita, guru pembimbing
kami datang, kami segera mulai latihan. Aku pun merasa lega, karena terbebas
dari ocehan dan godaan tidak bermutu yang berasal segerombol anak teater yang
mulutnya memang sudah terkenal jahilnya satu sekolahan.
Kebetulan aku dan Rangga
dipasangkan menjadi Romeo dan Juliet dalam drama tersebut, untuk sementara
latihan masih berjalan lancar.
Sampai ending, semua mata masih
beronsentrasi mengamati aktingku dan Rangga, menanti bagian yang paling penting.
Semua fokus dan tampang serius,
namun ada juga pihak yang tidak serius. Lihatlah apa yang akan dilakukan Rangga
kali ini.
“Juliet sayang.” panggilnya lembut.
“Iya, Romeo?”
“Tolong. Aku minta tolong sama kamu. Ini menyangkut hidup aku selamanya.” ucapnya serius.
“Ucapkan saja apa yang kamu butuhkan, maka aku sebagai wanita yang mencintaimu akan menolongmu, Romeoku.” jawabku.
“Tolong bayarin pizza di tukang depan sekolah dong…” ucap Rangga memelas.
“Juliet sayang.” panggilnya lembut.
“Iya, Romeo?”
“Tolong. Aku minta tolong sama kamu. Ini menyangkut hidup aku selamanya.” ucapnya serius.
“Ucapkan saja apa yang kamu butuhkan, maka aku sebagai wanita yang mencintaimu akan menolongmu, Romeoku.” jawabku.
“Tolong bayarin pizza di tukang depan sekolah dong…” ucap Rangga memelas.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA…” semua tertawa
keras.
“Romeo-nya kere!” komentar salah satu siswi.
“Romeo-nya kere!” komentar salah satu siswi.
Rangga hanya bisa nyengir tanpa
dosa dan menggaruk-garuk belakang kepalanya, yang sama sekali tidak gatal.
“Kamu ini bercanda saja… Sudah-sudah, latihannya kita lanjutkan besok, kesuluruhan sudah bagus, tingkatkan lagi, dan jangan main-main.” ucap Bu Prita.
“Kamu ini bercanda saja… Sudah-sudah, latihannya kita lanjutkan besok, kesuluruhan sudah bagus, tingkatkan lagi, dan jangan main-main.” ucap Bu Prita.
Lihatlah, lihatlah tingkah laku
Rangga. Padahal baru beberapa menit lalu dia menghapus darah segar yang
mengalir dari hidungnya, dan dia masih bisa membuat keceriaan di ruangan ini.
Membawa kebahagiaan bagi kalian, tim teater.
‘Arrgh... God... Kalau boleh, dapatkah
aku menggantikan posisinya?’ batinku sedih.
Hari berganti hari, dan minggu pun
terus berganti. Hari pementasan pun tiba. Kita didandani dengan kostum bak
pangeran dan putri, dan make-up artis terkemuka langganan artis ibu kota.
Panggung megah yang didekorasi
seperti berada di Italia sana, dekorasi yang menurutku terlalu megah untukku
dan Rangga, membuat kita semakin gugup. Rangga pun berkeinginan menenangkanku.
“Lihatlah ke arah kanan. Akan ada
Romeo yang kau cintai. Saat ini kamu adalah Juliet-ku, dan aku adalah Romeo-mu.
Ulurkanlah tanganmu, dan ingatlah, di sana ada Romeo yang kamu cintai. Romeo
yang berjanji menjagamu selamanya, sampai maut tak berani memisahkan kita. Kamu
tak sendirian. Aku pun begitu. Aku punya kamu di sini.” seraya memegang
tanganku dan meletakkannya di dada Rangga.
Panggung yang berdekor megah,
membuatku berdebar-debar saat menjalani lorong gelap menuju panggung tersebut.
Kata-kata Rangga masih terngiang di benakku,
“Ulurkanlah tanganmu, maka ada Romeo
yang kamu cintai.”
Semua arahan dari Bu Prita
terselesaikan hari ini. Bu Prita terlihat memasang senyum terindahnya untuk tim
asuhannya. Adegan demi adegan terlihat sangat alami, karena adanya dukungan
dari orang-orang sekelilingku, tanpa godaan-godaan nakal anggota teater lain.
Setiap pemain terlihat serius. Tibalah saat yang paling ditunggu-tunggu, yaitu
pada saat ending. Sempat terbesit di
pikiranku bahwa Rangga akan memintaku melunasi hutangnya di tukang pizza.
Kini Rangga sedang berakting,
seolah mencariku, Sang Juliet-nya. Sampai akhirnya kita bertemu, di bawah
sebuah pohon rindang, di suatu malam yang bertabur bintang nan terang.
“Kamu tahu, bahwa aku ingin terus
menjagamu di sisa hidupku. Aku selalu menginginkanmu di saatku terpuruk, saat
senang, saat sepi, saat tawa, saat tergelap dan terangku. Namun satu hal yang
harus kamu ingat. Bila ujung waktuku tiba, bila aku harus meninggalkanmu
sendiri, pergi dari dunia ini, ada pengecualian. Aku tidak ingin kamu menemani
aku. Masa depanmu masih panjang, aku tak memintamu tetap disisiku selamanya.”
Semua terdiam, suasana gedung
menjadi sepi senyap, laksana malam di kisah.
‘Bukan! Ini bukan dialognya, kamu
salah.’ dalam hatiku berkata.
Aku sempat panik dan menginjak
kakinya, namun Rangga tetap menatap mataku yang hitam legam tanpa bergeming.
“Aku bukan lelaki yang patut kamu
cintai. Aku bukan Romeo, yang bodoh, yang harus menyerah pada takdir, untuk
mendapatkan yang diinginkannya. Aku hanyalah lelaki yang berserah kepada-Nya
dan tidak mau mengikuti apa keinginan dagingku. Kamu pun juga bukan Juliet,
yang tidak patuh kepada orang tuanya. Kamu bukan Juliet yang harus mengakhiri
hidup menengga racun untuk menemui Romeo-nya yang belum tentu jodohnya. Jika
waktuku tiba nanti, tetaplah berjuang melanjutkan hidupmu, Juliet-ku sayang.
Sebarkanlah cinta kita, bahwa cinta adalah hal yang sederhana, yang tidak perlu
ditukar dengan nyawa. Kamu hanya cukup mengenangnya di sini.” ucapnya seraya
meletakkan tanganku di dadanya.
Aku mendadak terdiam. Dialognya
memang salah, namun aku dapat melihat, bahwa dia dapat membuat ratusan mata
berlinang air mata. Tidak tua, tidak muda, laki-laki, maupun perempuan, merasa
terharu dengan ucapannya. Termasuk Bu Prita yang tadi sempat memelototi Rangga.
Tiba-tiba Rangga menubrukku dan
memelukku dengan erat. Air mataku pun tak dapat ditahan lagi dan aku menangis,
tak peduli jika riasanku terhapus.
Sejenak, aku masih mengira Rangga
masih berakting, namun tubuhnya memberat, dan darah segar membasahi jas sutranya
yang berwarna putih. Aku tak kuasa menopang berat tubuhnya, dan Rangga perlahan
jatuh dari pelukanku.
“Rangga, kamu kenapa Rangga?” teriakku
histeris. Beberapa orang di gedung itu menghampiri. Tubuh lemah Rangga digotong
beberapa orang menuju sebuah rumah sakit yang terbaik di kotaku. Drama musical
ditutup dengan ending yang tidak
jelas.
~
“Arggh... Tuhan... Sakit.” erangnya.
Aku terbangun, bau morfin dan obat
bius lainnya menyambut kedatanganku dari wisata dunia mimpi. Aku melirik jam
tangan pemberian Rangga, pukul 23:40.
Dua puluh menit lagi tanggal 6
Januari, hari ulang tahun Rangga yang ke 23.
“Kamu ngga papa, Rangga?” tanyaku
khawatir.
“Aku selalu baik kok.” katanya. Aku tak kuasa menahan tangisku.
“Ngga papa gimana? Kamu tadi pingsan! Pingsan! Aku ngga mau kehilangan kamu! Aku ngga siap!” teriakku histeris.
“Jangan nangis sayang. Aku sayang kamu, dan aku tau kamu juga sayang aku. Aku mau ngerayain ulang tahun aku.” ucapnya lembut seraya menghapus air mataku menggunakan jemarinya yang ramping.
“Ngga nyangka ya, Mama sudah ngelahirin aku 19 tahun lalu, dan sekarang aku seperti ini. Aku sudah sebesar ini, punya pacar yang baik dan pengertian seperti kamu. Aku udah bertahan tiga tahun dari penyakit sialan ini. Jujur aku capek. Kalau ngga ada kamu aku ngga tau bakal jadi apa.” jelas Rangga.
“Aku selalu baik kok.” katanya. Aku tak kuasa menahan tangisku.
“Ngga papa gimana? Kamu tadi pingsan! Pingsan! Aku ngga mau kehilangan kamu! Aku ngga siap!” teriakku histeris.
“Jangan nangis sayang. Aku sayang kamu, dan aku tau kamu juga sayang aku. Aku mau ngerayain ulang tahun aku.” ucapnya lembut seraya menghapus air mataku menggunakan jemarinya yang ramping.
“Ngga nyangka ya, Mama sudah ngelahirin aku 19 tahun lalu, dan sekarang aku seperti ini. Aku sudah sebesar ini, punya pacar yang baik dan pengertian seperti kamu. Aku udah bertahan tiga tahun dari penyakit sialan ini. Jujur aku capek. Kalau ngga ada kamu aku ngga tau bakal jadi apa.” jelas Rangga.
Aku tak dapat membendung lagi air
mataku dan menangis lagi.
“Kamu ngomong apa sayang?” suaraku bergetar semakin hebat, tangisku tak dapat reda.
“Sayang jangan nangis. Nyanyi dong buat aku. Buat ulang tahun aku.” ajak Rangga yang sudah kebingungan bagaimana cara menenangkanku. “Tapi ngga pake nangis.” tambahnya lagi.
“Kamu ngomong apa sayang?” suaraku bergetar semakin hebat, tangisku tak dapat reda.
“Sayang jangan nangis. Nyanyi dong buat aku. Buat ulang tahun aku.” ajak Rangga yang sudah kebingungan bagaimana cara menenangkanku. “Tapi ngga pake nangis.” tambahnya lagi.
Aku menatap matanya, matanya selalu
teduh dan indah. Kita memang telah membahas tentang ini ratusan kali, jika
Rangga pergi, membahas bagaimana kelanjutan kisah cintaku. Rangga selalu
menyisipkan pesan dan semangat di setiap pembicaraan kita, namun ternyata sulit
sekali. Saat ini aku merasa bahwa Rangga akan pergi meninggalkanku dan aku
berharap Tuhan berbaik hati untuk mencabut nyawaku juga. Aku bernyanyi pelan,
dan aku menangis lagi.
“Happy birthday to you. Happy birthday
to you. Happy birthday. Happy birthday. Happy birthday Rangga.”
Saat laguku usai, aku melihat jam
tanganku, pukul 00.03.
“Happy birthday, Rangga... Happy birthday, Rangga... Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Ranggaa…” ucapku lirih, namun tetap dengan tangis berderai. Aku dapat merasakan mata Rangga menutup perlahan, tangannya yang mendingin, dan wajahnya yang memucat. Monitor pendeteksi detak jantung di sebelah tempat tidur berubah menjadi garis lurus.
“Happy birthday, Rangga... Happy birthday, Rangga... Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Ranggaa…” ucapku lirih, namun tetap dengan tangis berderai. Aku dapat merasakan mata Rangga menutup perlahan, tangannya yang mendingin, dan wajahnya yang memucat. Monitor pendeteksi detak jantung di sebelah tempat tidur berubah menjadi garis lurus.
“Makasih, udah mau bertahan selama
ini buat aku.” kataku. Aku mengecup pipi Rangga dan duduk di sampingnya.
Aku merasa pandanganku menjadi
gelap. Semua menjadi samar, dan rohku beringsut meninggalkan ragamu, menjadi
ringan dan damai. Ya, aku telah menyusul Rangga ke sana. Melanjutkan kisah cintaku
bersamanya… selamanya…
End
Komentar
Posting Komentar