Complicated [Sembilan - A Choice]
Senin ini adalah
tanggal 26, di sekolahku hanya melaksanakan upacara dan beberapa kegiatan. Di
sela-sela waktu, anggota KIR dirapatkan untuk membicarakan ekspedisi ke Malang,
Jawa Timur. Ini kesempatan berikutnya untukku bertemu Rama secara dekat. Namun,
tak ada percakapan apa-apa. Rama izin pada Anggun, bahwa dia harus pulang lebih
dulu karena suatu hal. Awalnya Anggun tak mengizinkan, tapi akhirnya Rama
pulang lebih dulu dari kami.
Pulang lebih dulu,
tanpa bicara apa-apa padaku. Sudah biasa, tapi aku lelah harus mengerti
sikapnya yang seperti itu terus. Tapi, mau diapakan lagi? Memang sudah
sifatnya.
Sepulang sekolah, aku ngga
langsung pulang. Aku ada les matematika. Setelah dibicarakan, aku akan semotor
dengan Seto, Farel dengan Marsha, dan Rina semotor dengan Sofi.
Mengapa hatiku
berontak? Dalam hati, ‘mengapa tidak aku saja yang dengan Farel?’ sudahlah.
Di tempat les, kami sudah
berenam, dan ada empat temanku lagi hingga kami jadi bersepuluh. Seusai les,
kami berunding lagi. Siapa yang akan pulang dengan siapa.
“Gini aja, aku pulang
dengan Seto. Nah, Rel, kamu sama Luna.” kata Marsha.
Aku naik ke motor Farel.
Tempatku yang kurindukan sejak dua bulan lebih yang lalu.
“Sama kamu lagi, kamu
lagi.” gerutuku, padahal dalam hati sangat sangat senang.
“Sudah, naik saja, bawel kamu.” ucap Farel.
“Sudah, naik saja, bawel kamu.” ucap Farel.
Kami tak langsung
pulang ke rumah masing-masing, melainkan pergi ke beberapa tempat untuk meng-copy jawaban dan apalah itu sejenisnya. Yang
jelas, kami semua pergi ke tempat fotocopy,
terparkir lima motor di sana, semua turun, kecuali aku dan Farel.
“Rel, aku malas turun,
soalnya nanti naiknya susah lagi, hehehe.”
“Dasar…” dia tersenyum menengok ke arahku yang duduk di belakangnya.
“Dasar…” dia tersenyum menengok ke arahku yang duduk di belakangnya.
Sesekali dia menengok,
aku melirik. Dia menengok lagi sambil tersenyum
jahil, aku meliriknya lagi. Untuk ketiga kalinya dia menengok dan aku
juga meliriknya. Kami sama-sama bicara, “Kenapa kamu?”
Entah kebetulan,
atau...???
Sepulang dari tempat fotocopy, tiga motor yang ditaiki aku-Farel,
Marsha-Seto, dan Rina-Sofi pergi ke rumah Marsha, entah untuk mengambil apa.
“Kita langsung pulang
saja ya?” kata Farel, di jalan.
“Ikut ke rumah Marsha dulu ah.”
“Pulang aja deh..” katanya, menyebalkan.
“Yasudah, aku turun di depan pondok, nanti aku bonceng tiga sama Rina dan Sofi. Percepat laju motornya.” kataku meminta.
“Aku lambatin ahh…”
“Ikut ke rumah Marsha dulu ah.”
“Pulang aja deh..” katanya, menyebalkan.
“Yasudah, aku turun di depan pondok, nanti aku bonceng tiga sama Rina dan Sofi. Percepat laju motornya.” kataku meminta.
“Aku lambatin ahh…”
Laju motornya benar-benar
lambat sekarang. Saat motor yang Marsha tumpangi berada di sebelahku, aku berteriak,
“Sha, tunggu aku. Aku
bonceng tiga dari depan pondok.”
“Rel, percepat laju motormu!” punggungnya habis kucubiti dan aku pukuli, tapi dia mengabaikannya, dia malah meledekku dengan memperlambat laju motornya. Aku menutupi wajahku dengan kertas yang kupegang. Tanpa ku sadari, motor Farel berbelok ke arah Pondok Cibubur. Aku yakin, Farel bukan orang yang tega.
“Rel, percepat laju motormu!” punggungnya habis kucubiti dan aku pukuli, tapi dia mengabaikannya, dia malah meledekku dengan memperlambat laju motornya. Aku menutupi wajahku dengan kertas yang kupegang. Tanpa ku sadari, motor Farel berbelok ke arah Pondok Cibubur. Aku yakin, Farel bukan orang yang tega.
Dari rumah Marsha, kami
lanjut ke rumah Fitri, untuk meng-copy
soal fisika, dan, harus aku dengan Farel lagi yang masuk ke dalam gang rumah Fitri.
Lagi-lagi aku dan Farel yang disuruh meng-copy
soal fisika itu.
Dari sore menjelang
malam, dan sampai malam tiba, waktuku banyak bersama Farel. Aku tak mengerti,
aku jadi senyum-senyum sendiri. Ngga munafik, aku senang.
Untuk kedua kalinya aku
lewati tanggal 27 bersama Rama. Dalam waktu dua bulan, aku dan Rama tidak
pernah menghadapi masalah yang serius. Hanya masalah aku yang cemburu atau aku
yang seringkali ngambek hanya karena Rama ketiduran saat sedang komunikasi di
twitter.
Rama selalu sabar
menghadapiku, dia tidak pernah marah ataupun membentakku. Dia itu sangat baik,
tapi sikapnya yang selalu lebih asyik dengan “teman perempuan” nya selalu
membuatku kesal.
Yang menyakitkan menurutku
adalah, saat Farel mengucapkan sesuatu di hari jadiku yang ke 2 bulan.
“Happy mensiv ya,
langgeng.” Farel bicara itu padaku, entah mengapa jadi aku yang merasa sakit. Aku
mengabaikan ucapan darinya. Begitupun Abi yang memberi selamat padaku. Aku tak
menanggapi. Mengapa aku jadi seperti ini? Aku juga tak mengerti.
Aku duduk
depan-belakang lagi dengan Farel. Farel tepat duduk di belakangku, ada Abi di sebelahnya.
Berkali-kali aku adu pembicaraan dengan Farel. Abi menopang kepalanya dengan
satu tangan, dengan wajah berhadapan ke arahku dan Farel, sambil tersenyum
jahil.
“Kenapa kamu senyum-senyum
seperti itu?” tanyaku.
“Indah ya kalau lihat pemandangan seperti itu.” goda Abi.
“Apa maksudmu?!”
“Indah ya kalau lihat pemandangan seperti itu.” goda Abi.
“Apa maksudmu?!”
Seseorang, Nugo
namanya, dia duduk di sebelahku. Ke mana Sofi? Dia izin pulang karena sesuatu. Jadi
aku duduk sendiri, mana paling depan.
“Go, kita pindah duduk
pojok sana saja yuk.” ajak Abi.
Apa maksudnya dia? Menyebalkan.
Aku menghadap depan. Sekarang, aku dan Farel sama-sama duduk sendiri. Tak ada
percakapan. Wajah Abi masih konyol menatapku dan Farel.
“Kok berhenti sih
berantemnya? Lagi dong.”
“Apasih.” Kataku dengan tatap wajah yang datar namun dalam hati tersipu-sipu.
“Apasih.” Kataku dengan tatap wajah yang datar namun dalam hati tersipu-sipu.
Beberapa detik
kemudian, Farel mencolek pundaku. Mungkin ingin memulai debat lagi. Aku
menengok. Tuh kan benar saja. Awalnya bertanya, kujawab malah nyolot, kubalas malah makin menyebalkan.
Selalu saja.
Sepulang sekolah, aku
dan kelompok biologiku mampir ke rumah Dama untuk melanjutkan tugas skeleton.
Saat anggota yang lain sudah sampai rumah Dama, aku pulang dulu ke rumah untuk mengganti
pakaianku, setelah itu baru melesat ke rumah Dama.
Aku kebagian tugas
mencari nama bagian yang ada pada skeleton burung dara ini. Selagi mengerjakan,
Dama meminjam ponselku, dan aku memainkan buah yang entah apa namanya, yang bisa
dipetik di halaman rumah Dama. Banyak bijinya, dan Farel memulai perangnya
dengan melemparkan biji buah itu ke arahku, padahal aku tidak memberi sinyal
apa-apa untuk memancing keisengannya.
Sedari duduk di atas
motor Dama, membuatku harus bangkit dan mengambil buah itu, melempar biji buah
itu ke arah Farel. Selalu saja. Setelah perang selesai, aku kembali duduk di
atas motor Dama dan memainkan ponsel Desi.
“Lun, Rama telepon nih.”
ucap Dama seraya memberikan ponselku yang berdering.
Ada yang bersembunyi
dalam diam kalau diperhatikan dengan hati. Beranjak dari atas motor dan pergi
menjauh dari situ untuk menerima panggilan Rama.
“Ada yang panas nih
kayanya.” ledek Desi pada Farel.
“Engga, biasa aja.” kata Farel diselingi canda.
“Engga, biasa aja.” kata Farel diselingi canda.
Beberapa menit kemudian
aku kembali. Meluruskan tangan dan kaki sebentar, kami break sebentar untuk mengerjakan tugas, Hasbi yang pandai bermain
gitar, mencoba menyanyikan beberapa lagu.
“Hasbi, nyanyikan lagu
manusia biasa-nya yovie and nuno dong.” pinta Farel.
“Itu liriknya gimana? Lupa-lupa inget nih.” kata Hasbi.
“Itu liriknya gimana? Lupa-lupa inget nih.” kata Hasbi.
Aku bergumam, mencoba
mengingat lagu itu.
“Eh gimana ya. Lupa.” kataku masih bergumam.
“Ada, aduh aku juga lupa nadanya. Enak lagunya.”
“Eh gimana ya. Lupa.” kataku masih bergumam.
“Ada, aduh aku juga lupa nadanya. Enak lagunya.”
Karena lupa nada atau
intro di lagu itu, akhirnya Hasbi memainkan lagu yang lain.
Sungguh
kusesali, nyata cintamu kasih
Tak sempat terbaca hatiku, malah terabai olehku
Lelah kusembunyi, tutupi maksud hati
Yang justru hidup karenamu, dan bisa mati tanpamu
Tak sempat terbaca hatiku, malah terabai olehku
Lelah kusembunyi, tutupi maksud hati
Yang justru hidup karenamu, dan bisa mati tanpamu
Andai
saja aku masih punya kesempatan kedua
Pasti akan kuhapuskan lukamu, menjagamu, memberimu segenap cinta
Pasti akan kuhapuskan lukamu, menjagamu, memberimu segenap cinta
Kusadari
tak selayaknya, selalu penuh kecewa
Kau lebih pantas bahagia, bahagia karena cintaku
Kau lebih pantas bahagia, bahagia karena cintaku
Arti kata dalam lirik
itu kuresapi. Hening, dan menatap Farel walau hanya sedetik dan ternyata Farel
sadar tatapan sedetik itu.
Di lain hari, lagi-lagi
aku dan beberapa anggota kelompok biologiku harus mengerjakan tugas di sekolah,
di lapangan tepatnya. Ada aku, Sofi, Andra, dan Farel. Kami berempat masih
menunggu Hasbi selesai latihan paskibra. Seselesai memformalinkan tulang yang
dijadikan skeleton kelompok kami, aku, Sofi, dan Farel iseng memainkan tali
yang tersangkut di tiang bendera. Andra? Dia lebih memilih main basket.
Lapangan tak dipakai
karena kelompok paskibra dirapatkan di kelas lain. Dan kami bermain –main di sana.
Aku, Sofi, dan Farel berjalan berjajar layaknya anggota pengibar bendera ketika
upacara hari Senin. Farel di tengah, di kirinya ada aku, dan kanannya ada Sofi.
Ada sesuatu yang
memaksa mataku untuk melihat coretan di tangan kiri Farel. Kutegaskan lagi
mataku, lebih dekat tanpa ia sadari dan tulisan ditangannya cukup membuatku
tersenyum.
Luna
Aku sengaja tidak
bicara apa-apa, namun tawaku lepas dan mengajak Sofi bicara empat mata, menjauh
dari Farel, tapi aku malah tertawa lepas dan jadi tidak bicara apa-apa pada Sofi.
Lalu aku ditinggal sendirian, Farel mengajak Sofi entah ke mana.
Sekembalinya mereka
berdua, kulihat tangan kiri Farel sudah tidak ada coretan apa-apa. Apa dia
menghapusnya? Atau tadi hanya halusinasiku saja? Entahlah, ini sungguh
membuatku berpikir keras.
Langit sudah semakin
gelap karena mendung, jam pun sudah berada hampir di angka enam. Hasbi sudah
selesai rapat paskibra dan kami memutuskan akan melanjutkan ini di rumah Ardi. Jika
Andra naik motor dengan Hasbi, apa aku, Sofi, dan Farel harus naik motor
bertiga? Tidak. Aku tidak mau.
“Kenapa kamu ngga mau
bonceng tiga dengan Farel?” tanya Sofi.
“Sudah, biar aku menunggu. Kamu duluan saja berempat.” jawabku.
“Tapi kenapa kamu ngga mau? Kamu masih mencintainya? Kalau kamu anggap dia teman, ya harusnya biasa saja.” terdengar nada kesal dari mulut Sofi.
“Aku menganggapnya teman, tapi ngga enak saja Sof.”
“Kita sudah biasa seperti ini dengan Rina. Ayolah, jangan mengulur waktu. Sebentar lagi hujan.”
“Sudah, biar aku menunggu. Kamu duluan saja berempat.” jawabku.
“Tapi kenapa kamu ngga mau? Kamu masih mencintainya? Kalau kamu anggap dia teman, ya harusnya biasa saja.” terdengar nada kesal dari mulut Sofi.
“Aku menganggapnya teman, tapi ngga enak saja Sof.”
“Kita sudah biasa seperti ini dengan Rina. Ayolah, jangan mengulur waktu. Sebentar lagi hujan.”
‘Kamu ngga akan
mengerti apa yang aku rasa, Sof. Karena aku juga ngga paham dengan semua ini.’
benakku.
Akhirnya, aku harus
menunggu di warung pop ice depan sekolahku. Sekitar hampir satu jam menunggu
antara Andra atau Farel yang akan menjemputku. Entah akan dijemput atau tidak. Mau
pulang pun, bagaimana? Ponselku mati, tak akan ada yang bisa menjemputku.
Sekitar jam setengah
tujuh, satu motor terparkir tepat di depan warung pop ice yang sudah hampir
tutup. Aku menghampirinya.
“Nih, kamu pakai helm Ardi.”
Aku pun naik ke motor
itu. Ternyata Farel yang menjemputku. Selama di perjalanan, kami ngga terlalu
banyak ngobrol, hanya saja wajahku agak lelah. Sesampainya di rumah Ardi, kami
tak langsung mengerjakan tugas kami, melainkan sekadar meluruskan tangan dan
kaki sejenak.
Farel menyuruhku salat.
Entah mengapa aku menuruti itu, padahal kalau aku malas, ngga jadi masalah jika
aku harus mengabaikannya kan? Tapi kakiku melangkah ke kamar mandi yang ada di dekat
dapur, berdua Sofi.
“Farel cerita cerita ngga
sama kamu?”
“Ya, dia hanya bilang akan belajar melupakanmu.”
“Ya, dia hanya bilang akan belajar melupakanmu.”
DEG!
“Melupakanku?” entah
mengapa mataku meneteskan sesuatu.
“Sof, ada yang ingin aku utarakan.” tetes demi tetes membasahi pipiku.
“Apa?”
“Sejujurnya, sampai detik ini aku ngga bisa ngelupain Farel. Ya, aku masih menyukainya, aku ngga bisa melupakannya, tapi aku ngga bisa ngelepasin Rama. Makanya, waktu kamu bilang Farel akan melupakanku, sakit mendengarnya, Sof.”
“Sampai kapanpun kamu ngga akan bisa melupakan Farel, karena kamu akan terus bersamanya sampai kelas tiga, tapi kamu harus memilih salah satu, Lun. Kamu ngga bisa seperti ini. Kamu harus punya keputusan.”
“Sof, ada yang ingin aku utarakan.” tetes demi tetes membasahi pipiku.
“Apa?”
“Sejujurnya, sampai detik ini aku ngga bisa ngelupain Farel. Ya, aku masih menyukainya, aku ngga bisa melupakannya, tapi aku ngga bisa ngelepasin Rama. Makanya, waktu kamu bilang Farel akan melupakanku, sakit mendengarnya, Sof.”
“Sampai kapanpun kamu ngga akan bisa melupakan Farel, karena kamu akan terus bersamanya sampai kelas tiga, tapi kamu harus memilih salah satu, Lun. Kamu ngga bisa seperti ini. Kamu harus punya keputusan.”
Aku semakin histeris
namun dalam suasana hati terkontrol untuk menangis.
“Aku bingung… Aku sayang
sama mereka. Memilih pun aku ngga bisa. Apa aku harus melepas keduanya?”
“Kamu berpacaran dengan Farel pun tak jadi masalah, dengan Rama pun ya ngga apa-apa. Mereka sama-sama punya kelebihan dan mereka sama-sama punya kekurangan. Kamu ngga akan bisa lepas dari mereka, Lun.”
“Aku sadar, aku salah memiliki perasaan ini. Aku masih menyukai Farel, tapi aku ngga bisa melepas Rama sekarang. Aku ngga yakin dengan Farel selama bukan dia yang bicara langsung kalau dia masih menyukaiku.”
“Itu egois Lun… Kamu ngga bisa seperti itu.”
“Kamu berpacaran dengan Farel pun tak jadi masalah, dengan Rama pun ya ngga apa-apa. Mereka sama-sama punya kelebihan dan mereka sama-sama punya kekurangan. Kamu ngga akan bisa lepas dari mereka, Lun.”
“Aku sadar, aku salah memiliki perasaan ini. Aku masih menyukai Farel, tapi aku ngga bisa melepas Rama sekarang. Aku ngga yakin dengan Farel selama bukan dia yang bicara langsung kalau dia masih menyukaiku.”
“Itu egois Lun… Kamu ngga bisa seperti itu.”
Aku masih diam. Bingung
dengan perasaan sendiri. Sofi memutuskan untuk melanjutkan tujuan utama, salat
maghrib dan sedari tadi kami belum berwudhu.
Sebelum salat, kulihat
kedua bola mataku. Agak bengap dan sedikit merah. Tercurigai kah? Entahlah. Selesai
salat, aku kembali sikap seperti biasanya. Selayaknya tak terjadi apa-apa
selama di kamar mandi tadi.
“Sudah sampai mana
skeletonnya?” tanyaku.
“Sampe Bandung.” celetuk Farel.
“Apaan sih Rel.”
“Kalian wudhunya di planet mana sih? Lama banget.”
“Kenapa? Urusanmu?” tanyaku.
“Ya ngga menjadi masalahku sih, tapi kan kalau seperti ini kamu jadi ngga ikut menguliti skeleton ini. Mau namamu ngga kumasukan dalam kelompok?”
“Berisik kamu! Lem-mi saja tulang burung dara yang mirip kamu itu.”
“Sampe Bandung.” celetuk Farel.
“Apaan sih Rel.”
“Kalian wudhunya di planet mana sih? Lama banget.”
“Kenapa? Urusanmu?” tanyaku.
“Ya ngga menjadi masalahku sih, tapi kan kalau seperti ini kamu jadi ngga ikut menguliti skeleton ini. Mau namamu ngga kumasukan dalam kelompok?”
“Berisik kamu! Lem-mi saja tulang burung dara yang mirip kamu itu.”
Tiada
guna lagi mengharpmu untuk kumilikki
Takkan ada lagi kesempatanku untuk kembali
Seluruh cintaku, segenggam maafku
Takkan mungkin bisa menggantikan salahku
Takkan ada lagi kesempatanku untuk kembali
Seluruh cintaku, segenggam maafku
Takkan mungkin bisa menggantikan salahku
Bagaimana
lagi bila itu yang harus terjadi
Dengan besar hati kan ku terima semua ini
Kau buat diriku terbunuh cintamu
apalah dayaku ini memang salahku
Dengan besar hati kan ku terima semua ini
Kau buat diriku terbunuh cintamu
apalah dayaku ini memang salahku
Oh…
akankah terulang kembali
Masa masa kita yang dulu ada
Oh… ku akui memang ku salah
Tak berada didekatmu disaat kau rindu
Masa masa kita yang dulu ada
Oh… ku akui memang ku salah
Tak berada didekatmu disaat kau rindu
Tanpa sadar, bahwa
selama aku berargumen dengan Farel, lagu inilah yang terputar dari ponsel Ardi.
“Ih, kok pas banget ya,
Luna sama Farel lagi berantem, backsound
nya lagu ini, romantis banget.” kata Hasbi.
Aku diam, memikirkan
kata demi kata yang dijadikan lirik ditiap bait lagu ini. Kurenungkan dalam
hati dan otak, dan hanya aku yang tau.
“Lun! Bengong saja
kerjaanmu, tiup ini! Aku sudah mengeleminya.” sewot Sofi.
“Eh iya maaf, maaf.” lamunanku langsung buyar ketika teriakan Sofi memecahkan.
“Tau. Galau mulu.” aku mendengar bisikan suara itu dari mulut Farel.
“Aku ngga sepertimu ya, yang selalu galau.” Kataku tidak mau ngalah.
“Ngga terbalik? Kamu kan ratu galau, miss kepo, dan—“
“Stoooooopp! Berisik kalian. Nih, kalian kerjakan berdua bagian ini!” kesal Sofi yang berada di tengah antara aku dan Farel.
“Kamu sih Rel! Nih ah, kamu yang memegang dan mengelemi, aku meniup saja.”
“Tanganku cuma dua. Bagaimana aku memberi lem kalau kedua tanganku memegangi tulang ini untuk dilemi??? Cepat lem-mi, lalu tiup. Aku yang memegang.” perintahnya.
“Eh iya maaf, maaf.” lamunanku langsung buyar ketika teriakan Sofi memecahkan.
“Tau. Galau mulu.” aku mendengar bisikan suara itu dari mulut Farel.
“Aku ngga sepertimu ya, yang selalu galau.” Kataku tidak mau ngalah.
“Ngga terbalik? Kamu kan ratu galau, miss kepo, dan—“
“Stoooooopp! Berisik kalian. Nih, kalian kerjakan berdua bagian ini!” kesal Sofi yang berada di tengah antara aku dan Farel.
“Kamu sih Rel! Nih ah, kamu yang memegang dan mengelemi, aku meniup saja.”
“Tanganku cuma dua. Bagaimana aku memberi lem kalau kedua tanganku memegangi tulang ini untuk dilemi??? Cepat lem-mi, lalu tiup. Aku yang memegang.” perintahnya.
Iya juga sih, kalau
kedua tangannya memegangi tulang untuk dilemi, lantas harus dia juga yang
mengelami? Hahahaha. Baiklah, aku yang mengelemi, dan meniup sampai kering.
“Ffuuuuuuuhhhhhh.”
tiupku pada tulang yang dipegang Farel, tepat di depan wajah Farel.
Kurang dari 30 sentimeter
wajahku berhadapan dengannya dan sesekali aku melirik matanya. Dan? Mengapa aku
deg degan? Kami kan hanya mengerjakan tugas.
Setelah lem itu merekat
di tulang burung dara tersebut, malah kedua telunjuk Farel yang terekat lem
karena memegangi tulang yang dilem-mi.
“Eh eh, tolong dong. Jariku
menempel.” katanya sembari minta tolong.
“Hahahahahahhaahaahhaaa!” tawa Sofi, Hasbi, Ardi, dan Andra.
“Sini, sini, aku bantu.” kataku sambil memegang kater.
“Heh, mau kamu apakan jariku?”
“Mau aku bantu pisahkan jarimu dari lem, ngga?”
“Kater itu untuk apa?” tanyanya sudah dengan nada panik.
“Ya untuk memisahkan jarimu lah. Sini.” paksaku.
“Gila, bukan kedua jariku yang terpisah dari lem. Tapi satu ruas jariku akan terpisah kalau pakai kater.”
“Hahahaha, yehhh katanya mau dibantu, aku mau nolongin malah nolak.”
“Ah, biar aku sendiri saja yang melepaskannya.” katanya berusaha memisahkan kedua jarinya.
“Hahahahahahhaahaahhaaa!” tawa Sofi, Hasbi, Ardi, dan Andra.
“Sini, sini, aku bantu.” kataku sambil memegang kater.
“Heh, mau kamu apakan jariku?”
“Mau aku bantu pisahkan jarimu dari lem, ngga?”
“Kater itu untuk apa?” tanyanya sudah dengan nada panik.
“Ya untuk memisahkan jarimu lah. Sini.” paksaku.
“Gila, bukan kedua jariku yang terpisah dari lem. Tapi satu ruas jariku akan terpisah kalau pakai kater.”
“Hahahaha, yehhh katanya mau dibantu, aku mau nolongin malah nolak.”
“Ah, biar aku sendiri saja yang melepaskannya.” katanya berusaha memisahkan kedua jarinya.
Jarum jam sudah
membentuk sudut sembilan puluh derajat, tepat pukul sembilan malam, aku pun
sudah di-sms mamahku untuk segera pulang.
“Eh, kita menemani Luna
di warung pop ice dulu ya, dia dijemput Oom nya.”
“Kenapa Luna tidak denganku saja?” kata Farel.
“Kamu temaniku sampai Jengkol.” kata Sofi.
“Kamu kenapa ngga bareng Andra? Kalian searah, arah rumah Andra akan tembus perempatan gundar.” kata Farel.
“Memang iya, Ndra?” tanya Sofi sedikit meyakinkan dan tidak percaya kata-kata Farel.
“Iya, kamu denganku saja Sof.” kata Andra.
“Ohhh, yasudah, Lun kamu dengan Farel kalau gitu.”
“Dengannya lagi? Okeee.” kataku.
“Ngga mau?” tanya Farel.
“Mauuu. Kalau ngga sama kamu, sama siapa lagi aku pulang ke rumah.”
“Sama temanmu! Tuh, temui di bawah pohon rambutan.”
“Heh! Bicaramu. Ini malam Jumat! Cepat jalan!” kataku.
“Kenapa Luna tidak denganku saja?” kata Farel.
“Kamu temaniku sampai Jengkol.” kata Sofi.
“Kamu kenapa ngga bareng Andra? Kalian searah, arah rumah Andra akan tembus perempatan gundar.” kata Farel.
“Memang iya, Ndra?” tanya Sofi sedikit meyakinkan dan tidak percaya kata-kata Farel.
“Iya, kamu denganku saja Sof.” kata Andra.
“Ohhh, yasudah, Lun kamu dengan Farel kalau gitu.”
“Dengannya lagi? Okeee.” kataku.
“Ngga mau?” tanya Farel.
“Mauuu. Kalau ngga sama kamu, sama siapa lagi aku pulang ke rumah.”
“Sama temanmu! Tuh, temui di bawah pohon rambutan.”
“Heh! Bicaramu. Ini malam Jumat! Cepat jalan!” kataku.
Setelah pamit dengan
orangtua Ardi dan Ardi nya sendiri, kami semua pulang. Tapi, aku beda arah
dengan Sofi. Itu tandanya, di perjalanan aku benar-benar berdua dengan Farel.
“Resletingi jaketmu,
ini dingin.” katanya.
Aku tidak begitu mendengar
ucapannya.
“Apa?”
“Engga.” meyebalkan sekali manusia ini! Ingin sekali kujedoti kepalanya dengan helmnya yang ia mintai tolong padaku untuk memegangi.
“Nyebelin. Okelah kalau begitu. Aku akan sepertimu kalau kamu memintaku untuk mengulang ucapanku.” kataku.
“Ngga enak kan? Siapa yang mulai? Kamu kan.”
“Engga.” meyebalkan sekali manusia ini! Ingin sekali kujedoti kepalanya dengan helmnya yang ia mintai tolong padaku untuk memegangi.
“Nyebelin. Okelah kalau begitu. Aku akan sepertimu kalau kamu memintaku untuk mengulang ucapanku.” kataku.
“Ngga enak kan? Siapa yang mulai? Kamu kan.”
Aku ingat, dulu selagi
kami masih jadian, aku sering seperti itu. Dan, apakah ini pembalasan?
“Tapikan aku sudah ngga
seperti itu sekarang!”
“Tetap saja ngga enak. Makanya, kamu jangan kaya gitu.”
“Iyaaaaa. Tadi kamu bicara apa?”
“Engga, tadi ada kucing terbang.”
“Tetap saja ngga enak. Makanya, kamu jangan kaya gitu.”
“Iyaaaaa. Tadi kamu bicara apa?”
“Engga, tadi ada kucing terbang.”
Ha? Sejak kapan kucing
terbang? Dari zamannya Nabi Adam sampai sekarang, dari planet merkurius sampai
neptunus, dan dari kita jadian sampai putus pun, kucing itu berjalan, bukan
terbang.
“Yasudahlah.” kataku
mengakhiri ini.
“Hahahahahahahahaha, tadi aku bicara, resletingi jaketmu, ini dingin.” katanya perhatian.
“Hahahahahahahahaha, tadi aku bicara, resletingi jaketmu, ini dingin.” katanya perhatian.
‘Farel ko perhatian? Tapi
kenapa perhatiannya sekarang? Kenapa ngga dulu selagi masih jadian?’ benakku.
“Resleting almetnya
rusak.” bicaraku.
Ehh, tunggu, mengapa Farel
perhatian? Selagi pulang bareng beberapa hari belakangan, dia tidak begini. Entahlah,
yang jelas aku senang. Farel mengantarku sampai rumah.
Setelah diingat, Senin
sampai Sabtu ketemu Senin sampai Sabtu lagi, aku benar-benar tidak lepas dari
dia, apapun itu alasannya. Padahal, untuk diajak main dengan Rama saja aku merasa
malas, tapi dengan Farel? Aku sangat senang.
Pacarku kan Rama, tapi
mengapa waktuku banyak untuk Farel? Aku tak mengerti. Sudah kubilang, aku
bingung dengan semua ini. Tapi aku senang merasakan kebingungan ini. Eh,
tersiksa deh.
Besoknya di sekolah, Sofi
minta ditemani Farel untuk meminjam palu, aku duduk sendiri dengan kesibukanku.
Tapi apa kesibukanku? Guru pelajaran yang wali kelasku sendiri saja tidak memberi
materi. Kurasa, aku sibuk membayangkan hal kemarin.
Sofi datang dengan
wajah yang sangat berbeda.
“Kenapa kamu?” tanyaku.
“Kamu tau ngga?” tanyanya, aku menggeleng.
“Farel dengar ucapan kita kemarin di kamar mandi rumahnya Ardi.” ucapnya sedikit berbisik.
“Kenapa kamu?” tanyaku.
“Kamu tau ngga?” tanyanya, aku menggeleng.
“Farel dengar ucapan kita kemarin di kamar mandi rumahnya Ardi.” ucapnya sedikit berbisik.
Kenapa berbisik? Di sebelah
mejaku, ada Farel yang pindah tempat duduk, padahal dia duduk di sebelah
barisan yang sekarang dia duduki.
“Ha?” aku jadi sulit
bernapas, sangat kaget, tidak percaya.
“Iya, tadi selagi aku keluar dengannya, dia cerita.”
“Dia dengar ceritaku bagian mana?”
“Semuanya.”
“Iya, tadi selagi aku keluar dengannya, dia cerita.”
“Dia dengar ceritaku bagian mana?”
“Semuanya.”
Ceritaku, tangisanku,
isakku, dia mendengar?
Aku harus bagaimana? Biasa
saja, marah, atau bahkan senang?
Aku akui, aku senang jika Farel tau yang sesungguhnya. Bagaimana jika Rama tau ini? Pasti akan sangat membenciku dan sangat kecewa padaku. Ya tapi mau bagaimana, memang ini yang ada di hatiku.
Aku akui, aku senang jika Farel tau yang sesungguhnya. Bagaimana jika Rama tau ini? Pasti akan sangat membenciku dan sangat kecewa padaku. Ya tapi mau bagaimana, memang ini yang ada di hatiku.
Komentar
Posting Komentar