Complicated [Sembilan - A Choice]



Senin ini adalah tanggal 26, di sekolahku hanya melaksanakan upacara dan beberapa kegiatan. Di sela-sela waktu, anggota KIR dirapatkan untuk membicarakan ekspedisi ke Malang, Jawa Timur. Ini kesempatan berikutnya untukku bertemu Rama secara dekat. Namun, tak ada percakapan apa-apa. Rama izin pada Anggun, bahwa dia harus pulang lebih dulu karena suatu hal. Awalnya Anggun tak mengizinkan, tapi akhirnya Rama pulang lebih dulu dari kami.
Pulang lebih dulu, tanpa bicara apa-apa padaku. Sudah biasa, tapi aku lelah harus mengerti sikapnya yang seperti itu terus. Tapi, mau diapakan lagi? Memang sudah sifatnya.
Sepulang sekolah, aku ngga langsung pulang. Aku ada les matematika. Setelah dibicarakan, aku akan semotor dengan Seto, Farel dengan Marsha, dan Rina semotor dengan Sofi.
Mengapa hatiku berontak? Dalam hati, ‘mengapa tidak aku saja yang dengan Farel?’ sudahlah.
Di tempat les, kami sudah berenam, dan ada empat temanku lagi hingga kami jadi bersepuluh. Seusai les, kami berunding lagi. Siapa yang akan pulang dengan siapa.
“Gini aja, aku pulang dengan Seto. Nah, Rel, kamu sama Luna.” kata Marsha.
Aku naik ke motor Farel. Tempatku yang kurindukan sejak dua bulan lebih yang lalu.
“Sama kamu lagi, kamu lagi.” gerutuku, padahal dalam hati sangat sangat senang.
“Sudah, naik saja, bawel kamu.” ucap Farel.
Kami tak langsung pulang ke rumah masing-masing, melainkan pergi ke beberapa tempat untuk meng-copy jawaban dan apalah itu sejenisnya. Yang jelas, kami semua pergi ke tempat fotocopy, terparkir lima motor di sana, semua turun, kecuali aku dan Farel.
“Rel, aku malas turun, soalnya nanti naiknya susah lagi, hehehe.”
“Dasar…” dia tersenyum menengok ke arahku yang duduk di belakangnya.
Sesekali dia menengok, aku melirik. Dia menengok lagi sambil tersenyum  jahil, aku meliriknya lagi. Untuk ketiga kalinya dia menengok dan aku juga meliriknya. Kami sama-sama bicara, “Kenapa kamu?”
Entah kebetulan, atau...???
Sepulang dari tempat fotocopy, tiga motor yang ditaiki aku-Farel, Marsha-Seto, dan Rina-Sofi pergi ke rumah Marsha, entah untuk mengambil apa.
“Kita langsung pulang saja ya?” kata Farel, di jalan.
“Ikut ke rumah Marsha dulu ah.”
“Pulang aja deh..” katanya, menyebalkan.
“Yasudah, aku turun di depan pondok, nanti aku bonceng tiga sama Rina dan Sofi. Percepat laju motornya.” kataku meminta.
“Aku lambatin ahh…”
Laju motornya benar-benar lambat sekarang. Saat motor yang Marsha tumpangi berada di sebelahku, aku berteriak,
“Sha, tunggu aku. Aku bonceng tiga dari depan pondok.”
“Rel, percepat laju motormu!” punggungnya habis kucubiti dan aku pukuli, tapi dia mengabaikannya, dia malah meledekku dengan memperlambat laju motornya. Aku menutupi wajahku dengan kertas yang kupegang. Tanpa ku sadari, motor Farel berbelok ke arah Pondok Cibubur. Aku yakin, Farel bukan orang  yang tega.
Dari rumah Marsha, kami lanjut ke rumah Fitri, untuk meng-copy soal fisika, dan, harus aku dengan Farel lagi yang masuk ke dalam gang rumah Fitri. Lagi-lagi aku dan Farel yang disuruh meng-copy soal fisika itu.
Dari sore menjelang malam, dan sampai malam tiba, waktuku banyak bersama Farel. Aku tak mengerti, aku jadi senyum-senyum sendiri. Ngga munafik, aku senang.
Untuk kedua kalinya aku lewati tanggal 27 bersama Rama. Dalam waktu dua bulan, aku dan Rama tidak pernah menghadapi masalah yang serius. Hanya masalah aku yang cemburu atau aku yang seringkali ngambek hanya karena Rama ketiduran saat sedang komunikasi di twitter.
Rama selalu sabar menghadapiku, dia tidak pernah marah ataupun membentakku. Dia itu sangat baik, tapi sikapnya yang selalu lebih asyik dengan “teman perempuan” nya selalu membuatku kesal.
Yang menyakitkan menurutku adalah, saat Farel mengucapkan sesuatu di hari jadiku yang ke 2 bulan.
“Happy mensiv ya, langgeng.” Farel bicara itu padaku, entah mengapa jadi aku yang merasa sakit. Aku mengabaikan ucapan darinya. Begitupun Abi yang memberi selamat padaku. Aku tak menanggapi. Mengapa aku jadi seperti ini? Aku juga tak mengerti.
Aku duduk depan-belakang lagi dengan Farel. Farel tepat duduk di belakangku, ada Abi di sebelahnya. Berkali-kali aku adu pembicaraan dengan Farel. Abi menopang kepalanya dengan satu tangan, dengan wajah berhadapan ke arahku dan Farel, sambil tersenyum jahil.
“Kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?” tanyaku.
“Indah ya kalau lihat pemandangan seperti itu.” goda Abi.
“Apa maksudmu?!”
Seseorang, Nugo namanya, dia duduk di sebelahku. Ke mana Sofi? Dia izin pulang karena sesuatu. Jadi aku duduk sendiri, mana paling depan.
“Go, kita pindah duduk pojok sana saja yuk.” ajak Abi.
Apa maksudnya dia? Menyebalkan. Aku menghadap depan. Sekarang, aku dan Farel sama-sama duduk sendiri. Tak ada percakapan. Wajah Abi masih konyol menatapku dan Farel.
“Kok berhenti sih berantemnya? Lagi dong.”
“Apasih.” Kataku dengan tatap wajah yang datar namun dalam hati tersipu-sipu.
Beberapa detik kemudian, Farel mencolek pundaku. Mungkin ingin memulai debat lagi. Aku menengok. Tuh kan benar saja. Awalnya bertanya, kujawab malah nyolot, kubalas malah makin menyebalkan. Selalu saja.
Sepulang sekolah, aku dan kelompok biologiku mampir ke rumah Dama untuk melanjutkan tugas skeleton. Saat anggota yang lain sudah sampai rumah Dama, aku pulang dulu ke rumah untuk mengganti pakaianku, setelah itu baru melesat ke rumah Dama.
Aku kebagian tugas mencari nama bagian yang ada pada skeleton burung dara ini. Selagi mengerjakan, Dama meminjam ponselku, dan aku memainkan buah yang entah apa namanya, yang bisa dipetik di halaman rumah Dama. Banyak bijinya, dan Farel memulai perangnya dengan melemparkan biji buah itu ke arahku, padahal aku tidak memberi sinyal apa-apa untuk memancing keisengannya.
Sedari duduk di atas motor Dama, membuatku harus bangkit dan mengambil buah itu, melempar biji buah itu ke arah Farel. Selalu saja. Setelah perang selesai, aku kembali duduk di atas motor Dama dan memainkan ponsel Desi.
“Lun, Rama telepon nih.” ucap Dama seraya memberikan ponselku yang berdering.
Ada yang bersembunyi dalam diam kalau diperhatikan dengan hati. Beranjak dari atas motor dan pergi menjauh dari situ untuk menerima panggilan Rama.
“Ada yang panas nih kayanya.” ledek Desi pada Farel.
“Engga, biasa aja.” kata Farel diselingi canda.
Beberapa menit kemudian aku kembali. Meluruskan tangan dan kaki sebentar, kami break sebentar untuk mengerjakan tugas, Hasbi yang pandai bermain gitar, mencoba menyanyikan beberapa lagu.
“Hasbi, nyanyikan lagu manusia biasa-nya yovie and nuno dong.” pinta Farel.
“Itu liriknya gimana? Lupa-lupa inget nih.” kata Hasbi.
Aku bergumam, mencoba mengingat lagu itu.
“Eh gimana ya. Lupa.” kataku masih bergumam.
“Ada, aduh aku juga lupa nadanya. Enak lagunya.”
Karena lupa nada atau intro di lagu itu, akhirnya Hasbi memainkan lagu yang lain.
Sungguh kusesali, nyata cintamu kasih
Tak sempat terbaca hatiku, malah terabai olehku
Lelah kusembunyi, tutupi maksud hati
Yang justru hidup karenamu, dan bisa mati tanpamu
Andai saja aku masih punya kesempatan kedua
Pasti akan kuhapuskan lukamu, menjagamu, memberimu segenap cinta
Kusadari tak selayaknya, selalu penuh kecewa
Kau lebih pantas bahagia, bahagia karena cintaku
Arti kata dalam lirik itu kuresapi. Hening, dan menatap Farel walau hanya sedetik dan ternyata Farel sadar tatapan sedetik itu.
Di lain hari, lagi-lagi aku dan beberapa anggota kelompok biologiku harus mengerjakan tugas di sekolah, di lapangan tepatnya. Ada aku, Sofi, Andra, dan Farel. Kami berempat masih menunggu Hasbi selesai latihan paskibra. Seselesai memformalinkan tulang yang dijadikan skeleton kelompok kami, aku, Sofi, dan Farel iseng memainkan tali yang tersangkut di tiang bendera. Andra? Dia lebih memilih main basket.
Lapangan tak dipakai karena kelompok paskibra dirapatkan di kelas lain. Dan kami bermain –main di sana. Aku, Sofi, dan Farel berjalan berjajar layaknya anggota pengibar bendera ketika upacara hari Senin. Farel di tengah, di kirinya ada aku, dan kanannya ada Sofi.
Ada sesuatu yang memaksa mataku untuk melihat coretan di tangan kiri Farel. Kutegaskan lagi mataku, lebih dekat tanpa ia sadari dan tulisan ditangannya cukup membuatku tersenyum.
Luna
Aku sengaja tidak bicara apa-apa, namun tawaku lepas dan mengajak Sofi bicara empat mata, menjauh dari Farel, tapi aku malah tertawa lepas dan jadi tidak bicara apa-apa pada Sofi. Lalu aku ditinggal sendirian, Farel mengajak Sofi entah ke mana.
Sekembalinya mereka berdua, kulihat tangan kiri Farel sudah tidak ada coretan apa-apa. Apa dia menghapusnya? Atau tadi hanya halusinasiku saja? Entahlah, ini sungguh membuatku berpikir keras.
Langit sudah semakin gelap karena mendung, jam pun sudah berada hampir di angka enam. Hasbi sudah selesai rapat paskibra dan kami memutuskan akan melanjutkan ini di rumah Ardi. Jika Andra naik motor dengan Hasbi, apa aku, Sofi, dan Farel harus naik motor bertiga? Tidak. Aku tidak mau.
“Kenapa kamu ngga mau bonceng tiga dengan Farel?” tanya Sofi.
“Sudah, biar aku menunggu. Kamu duluan saja berempat.” jawabku.
“Tapi kenapa kamu ngga mau? Kamu masih mencintainya? Kalau kamu anggap dia teman, ya harusnya biasa saja.” terdengar nada kesal dari mulut Sofi.
“Aku menganggapnya teman, tapi ngga enak saja Sof.”
“Kita sudah biasa seperti ini dengan Rina. Ayolah, jangan mengulur waktu. Sebentar lagi hujan.”
‘Kamu ngga akan mengerti apa yang aku rasa, Sof. Karena aku juga ngga paham dengan semua ini.’ benakku.
Akhirnya, aku harus menunggu di warung pop ice depan sekolahku. Sekitar hampir satu jam menunggu antara Andra atau Farel yang akan menjemputku. Entah akan dijemput atau tidak. Mau pulang pun, bagaimana? Ponselku mati, tak akan ada yang bisa menjemputku.
Sekitar jam setengah tujuh, satu motor terparkir tepat di depan warung pop ice yang sudah hampir tutup. Aku menghampirinya.
“Nih, kamu pakai helm Ardi.”
Aku pun naik ke motor itu. Ternyata Farel yang menjemputku. Selama di perjalanan, kami ngga terlalu banyak ngobrol, hanya saja wajahku agak lelah. Sesampainya di rumah Ardi, kami tak langsung mengerjakan tugas kami, melainkan sekadar meluruskan tangan dan kaki sejenak.
Farel menyuruhku salat. Entah mengapa aku menuruti itu, padahal kalau aku malas, ngga jadi masalah jika aku harus mengabaikannya kan? Tapi kakiku melangkah ke kamar mandi yang ada di dekat dapur, berdua Sofi.
“Farel cerita cerita ngga sama kamu?”
“Ya, dia hanya bilang akan belajar melupakanmu.”
DEG!
“Melupakanku?” entah mengapa mataku meneteskan sesuatu.
“Sof, ada yang ingin aku utarakan.” tetes demi tetes membasahi pipiku.
“Apa?”
“Sejujurnya, sampai detik ini aku ngga bisa ngelupain Farel. Ya, aku masih menyukainya, aku ngga bisa melupakannya, tapi aku ngga bisa ngelepasin Rama. Makanya, waktu kamu bilang Farel akan melupakanku, sakit mendengarnya, Sof.”
“Sampai kapanpun kamu ngga akan bisa melupakan Farel, karena kamu akan terus bersamanya sampai kelas tiga, tapi kamu harus memilih salah satu, Lun. Kamu ngga bisa seperti ini. Kamu harus punya keputusan.”
Aku semakin histeris namun dalam suasana hati terkontrol untuk menangis.
“Aku bingung… Aku sayang sama mereka. Memilih pun aku ngga bisa. Apa aku harus melepas keduanya?”
“Kamu berpacaran dengan Farel pun tak jadi masalah, dengan Rama pun ya ngga apa-apa. Mereka sama-sama punya kelebihan dan mereka sama-sama punya kekurangan. Kamu ngga akan bisa lepas dari mereka, Lun.”
“Aku sadar, aku salah memiliki perasaan ini. Aku masih menyukai Farel, tapi aku ngga bisa melepas Rama sekarang. Aku ngga yakin dengan Farel selama bukan dia yang bicara langsung kalau dia masih menyukaiku.”
“Itu egois Lun… Kamu ngga bisa seperti itu.”
Aku masih diam. Bingung dengan perasaan sendiri. Sofi memutuskan untuk melanjutkan tujuan utama, salat maghrib dan sedari tadi kami belum berwudhu.
Sebelum salat, kulihat kedua bola mataku. Agak bengap dan sedikit merah. Tercurigai kah? Entahlah. Selesai salat, aku kembali sikap seperti biasanya. Selayaknya tak terjadi apa-apa selama di kamar mandi tadi.
“Sudah sampai mana skeletonnya?” tanyaku.
“Sampe Bandung.” celetuk Farel.
“Apaan sih Rel.”
“Kalian wudhunya di planet mana sih? Lama banget.”
“Kenapa? Urusanmu?” tanyaku.
“Ya ngga menjadi masalahku sih, tapi kan kalau seperti ini kamu jadi ngga ikut menguliti skeleton ini. Mau namamu ngga kumasukan dalam kelompok?”
“Berisik kamu! Lem-mi saja tulang burung dara yang mirip kamu itu.”
Tiada guna lagi mengharpmu untuk kumilikki
Takkan ada lagi kesempatanku untuk kembali
Seluruh cintaku, segenggam maafku
Takkan mungkin bisa menggantikan salahku
Bagaimana lagi bila itu yang harus terjadi
Dengan besar hati kan ku terima semua ini
Kau buat diriku terbunuh cintamu
apalah dayaku ini memang salahku
Oh… akankah terulang kembali
Masa masa kita yang dulu ada
Oh… ku akui memang ku salah
Tak berada didekatmu disaat kau rindu
Tanpa sadar, bahwa selama aku berargumen dengan Farel, lagu inilah yang terputar dari ponsel Ardi.
“Ih, kok pas banget ya, Luna sama Farel lagi berantem, backsound nya lagu ini, romantis banget.” kata Hasbi.
Aku diam, memikirkan kata demi kata yang dijadikan lirik ditiap bait lagu ini. Kurenungkan dalam hati dan otak, dan hanya aku yang tau.
“Lun! Bengong saja kerjaanmu, tiup ini! Aku sudah mengeleminya.” sewot Sofi.
“Eh iya maaf, maaf.” lamunanku langsung buyar ketika teriakan Sofi memecahkan.
“Tau. Galau mulu.” aku mendengar bisikan suara itu dari mulut Farel.
“Aku ngga sepertimu ya, yang selalu galau.” Kataku tidak mau ngalah.
“Ngga terbalik? Kamu kan ratu galau, miss kepo, dan—“
“Stoooooopp! Berisik kalian. Nih, kalian kerjakan berdua bagian ini!” kesal Sofi yang berada di tengah antara aku dan Farel.
“Kamu sih Rel! Nih ah, kamu yang memegang dan mengelemi, aku meniup saja.”
“Tanganku cuma dua. Bagaimana aku memberi lem kalau kedua tanganku memegangi tulang ini untuk dilemi??? Cepat lem-mi, lalu tiup. Aku yang memegang.” perintahnya.
Iya juga sih, kalau kedua tangannya memegangi tulang untuk dilemi, lantas harus dia juga yang mengelami? Hahahaha. Baiklah, aku yang mengelemi, dan meniup sampai kering.
“Ffuuuuuuuhhhhhh.” tiupku pada tulang yang dipegang Farel, tepat di depan wajah Farel.
Kurang dari 30 sentimeter wajahku berhadapan dengannya dan sesekali aku melirik matanya. Dan? Mengapa aku deg degan? Kami kan hanya mengerjakan tugas.
Setelah lem itu merekat di tulang burung dara tersebut, malah kedua telunjuk Farel yang terekat lem karena memegangi tulang yang dilem-mi.
“Eh eh, tolong dong. Jariku menempel.” katanya sembari minta tolong.
“Hahahahahahhaahaahhaaa!” tawa Sofi, Hasbi, Ardi, dan Andra.
“Sini, sini, aku bantu.” kataku sambil memegang kater.
“Heh, mau kamu apakan jariku?”
“Mau aku bantu pisahkan jarimu dari lem, ngga?”
“Kater itu untuk apa?” tanyanya sudah dengan nada panik.
“Ya untuk memisahkan jarimu lah. Sini.” paksaku.
“Gila, bukan kedua jariku yang terpisah dari lem. Tapi satu ruas jariku akan terpisah kalau pakai kater.”
“Hahahaha, yehhh katanya mau dibantu, aku mau nolongin malah nolak.”
“Ah, biar aku sendiri saja yang melepaskannya.” katanya berusaha memisahkan kedua jarinya.
Jarum jam sudah membentuk sudut sembilan puluh derajat, tepat pukul sembilan malam, aku pun sudah di-sms mamahku untuk segera pulang.
“Eh, kita menemani Luna di warung pop ice dulu ya, dia dijemput Oom nya.”
“Kenapa Luna tidak denganku saja?” kata Farel.
“Kamu temaniku sampai Jengkol.” kata Sofi.
“Kamu kenapa ngga bareng Andra? Kalian searah, arah rumah Andra akan tembus perempatan gundar.” kata Farel.
“Memang iya, Ndra?” tanya Sofi sedikit meyakinkan dan tidak percaya kata-kata Farel.
“Iya, kamu denganku saja Sof.” kata Andra.
“Ohhh, yasudah, Lun kamu dengan Farel kalau gitu.”
“Dengannya lagi? Okeee.” kataku.
“Ngga mau?” tanya Farel.
“Mauuu. Kalau ngga sama kamu, sama siapa lagi aku pulang ke rumah.”
“Sama temanmu! Tuh, temui di bawah pohon rambutan.”
“Heh! Bicaramu. Ini malam Jumat! Cepat jalan!” kataku.
Setelah pamit dengan orangtua Ardi dan Ardi nya sendiri, kami semua pulang. Tapi, aku beda arah dengan Sofi. Itu tandanya, di perjalanan aku benar-benar berdua dengan Farel.
“Resletingi jaketmu, ini dingin.” katanya.
Aku tidak begitu mendengar ucapannya.
“Apa?”
“Engga.” meyebalkan sekali manusia ini! Ingin sekali kujedoti kepalanya dengan helmnya yang ia mintai tolong padaku untuk memegangi.
“Nyebelin. Okelah kalau begitu. Aku akan sepertimu kalau kamu memintaku untuk mengulang ucapanku.” kataku.
“Ngga enak kan? Siapa yang mulai? Kamu kan.”
Aku ingat, dulu selagi kami masih jadian, aku sering seperti itu. Dan, apakah ini pembalasan?
“Tapikan aku sudah ngga seperti itu sekarang!”
“Tetap saja ngga enak. Makanya, kamu jangan kaya gitu.”
“Iyaaaaa. Tadi kamu bicara apa?”
“Engga, tadi ada kucing terbang.”
Ha? Sejak kapan kucing terbang? Dari zamannya Nabi Adam sampai sekarang, dari planet merkurius sampai neptunus, dan dari kita jadian sampai putus pun, kucing itu berjalan, bukan terbang.
“Yasudahlah.” kataku mengakhiri ini.
“Hahahahahahahahaha, tadi aku bicara, resletingi jaketmu, ini dingin.” katanya perhatian.
‘Farel ko perhatian? Tapi kenapa perhatiannya sekarang? Kenapa ngga dulu selagi masih jadian?’ benakku.
“Resleting almetnya rusak.” bicaraku.
Ehh, tunggu, mengapa Farel perhatian? Selagi pulang bareng beberapa hari belakangan, dia tidak begini. Entahlah, yang jelas aku senang. Farel mengantarku sampai rumah.
Setelah diingat, Senin sampai Sabtu ketemu Senin sampai Sabtu lagi, aku benar-benar tidak lepas dari dia, apapun itu alasannya. Padahal, untuk diajak main dengan Rama saja aku merasa malas, tapi dengan Farel? Aku sangat senang.
Pacarku kan Rama, tapi mengapa waktuku banyak untuk Farel? Aku tak mengerti. Sudah kubilang, aku bingung dengan semua ini. Tapi aku senang merasakan kebingungan ini. Eh, tersiksa deh.
Besoknya di sekolah, Sofi minta ditemani Farel untuk meminjam palu, aku duduk sendiri dengan kesibukanku. Tapi apa kesibukanku? Guru pelajaran yang wali kelasku sendiri saja tidak memberi materi. Kurasa, aku sibuk membayangkan hal kemarin.
Sofi datang dengan wajah yang sangat berbeda.
“Kenapa kamu?” tanyaku.
“Kamu tau ngga?” tanyanya, aku menggeleng.
“Farel dengar ucapan kita kemarin di kamar mandi rumahnya Ardi.” ucapnya sedikit berbisik.
Kenapa berbisik? Di sebelah mejaku, ada Farel yang pindah tempat duduk, padahal dia duduk di sebelah barisan yang sekarang dia duduki.
“Ha?” aku jadi sulit bernapas, sangat kaget, tidak percaya.
“Iya, tadi selagi aku keluar dengannya, dia cerita.”
“Dia dengar ceritaku bagian mana?”
“Semuanya.”
Ceritaku, tangisanku, isakku, dia mendengar?
Aku harus bagaimana? Biasa saja, marah, atau bahkan senang?
Aku akui, aku senang jika Farel tau yang sesungguhnya. Bagaimana jika Rama tau ini? Pasti akan sangat membenciku dan sangat kecewa padaku. Ya tapi mau bagaimana, memang ini yang ada di hatiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]