Complicated [Sebelas - Mistake]



Bukan hidup namanya jika tidak ada masalah. Baru beberapa hari berpacaran, ada saja yang mengusik. Farel bukanlah seseorang yang mudah menerima perkataan orang lain yang menjelekan dirinya. Dia tidak pernah peduli dengan ucapan orang yang tidak suka dengannya.
Sungguh tak percaya. Seseorang yang pernah kusayang, mengapa sekarang begini. Entah apa maksudnya. Benar-benar sakit membacanya. Aku tidak membenarkan kalimat itu untuk Farel, tapi aku sangat yakin kalau itu memang untuk Farel. Aku yakin, Farel tidak akan menanggapi masalah seperti ini, tapi ini membuatku gerah.
Kalimat yang Rama tulis di akun twitternya, membuatku semakin membencinya. Memang tak seharusnya aku membencinya, namun sifat dan sikapnya membuatku harus memiliki rasa benci.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kurasa tidak akan ada satu katapun dalam kalimat yang Rama tulis. Kalimat yang menurutku tidak ditulis dengan etika. Apa Rama tidak punya otak? Apa dia tidak punya malu? Jika punya, apa urat malunya sudah putus? Apa dia tidak punya tenaga sama sekali untuk menggunakan otaknya?
Rama yang menurutku baik ternyata seperti itu. Entah apa yang kurasakan saat tau sifat aslinya. Entah hipnotis jenis apa yang dulu membuatku mencintainya. Entah apa yang ada di otaku saat itu, saat di mana aku bisa merasa nyaman ketika bercakap dengannya. Sungguh, aku menyesal pernah membanggakannya.
“Aku tidak akan peduli tentang apa yang dia tulis untukku atau bukan untukku.”
“Jangan dimasukan ke hati ya kata-katanya dia, aku juga ngga nyangka kenapa dia begitu.”
“Kemarin aku wudhu di sebelahnya kok, dan aku sering bertemu dengannya, tapi dia biasa saja, seolah ngga pernah terjadi apa-apa.”
“Entahlah, siapa yang sebenarnya pengecut, aku rasa dia yang seperti itu.”
Sangat lega begitu tau Farel tidakak terlalu mengurusi kata-kata Rama di twitter. Menurutku, apa yang Rama tulis di twitternya untuk Farel, justru dia lah yang seperti itu. Dia menulis tentang dirinya, namun dieperuntukan orang lain. Sungguh pengecut!
Hari ini aku dan ketiga temanku mengumpul di depan kelas 11 IPA 1 untuk membicarakan tentang proposal yang akan diserahkan ke pembina ekskul kami. Di situ ada aku, ketiga temanku, Aulia, Anggun, dan Julio. Tak lama kami mengobrol, Farel datang. Farel adalah seseorang yang mudah melebur dengan siapa saja dan pada saat kondisi bagaimana saja.
“Ngapain sih kamu ke sini Rel, kamu kan bukan anggota KIR.” ledek Sofi.
“Biarin saja Sof, Farel kan mau jagain Luna, supaya Luna ngga kembali ke mantan kekasihnya yang dulu.” Marsha bicara seperti itu dengan nada bicara yang tidak pelan. Untung kami mengumpul setelah pulang sekolah dan keadaan lantai tiga pada saat itu sudah lumayan sepi.
Farel hanya tersenyum melihat tingkah teman-temanku yang terkadang frontal. Sepengetahuanku, di dalam kelas 11 IPA 1 masih ada beberapa orang. Aku ingat salah satu suara itu, kurasa di kelas masih ada Rama. Kalau memang benar itu Rama, mengapa dia tidak ikut ngumpul? Padahal kan dia juga anggota, memiliki jabatan pula di KIR. Itukah seorang pemenang? Bukankah itu pecundang?
Jika dia memang menang dalam semuanya ini, merasa tidak memiliki salah apa-apa, mengapa harus takut untuk sekedar bertemu denganku? Karena Farel? Lelaki harusnya tidak hanya bicara di dunia maya saja, melainkan dalam dunia nyata juga.
Mengapa aku katakan Rama pecundang, karena dia tidak berani untuk bicara langsung, sedangkan Farel tidak kusebut apa-apa? Padahal Farel pun tidak bicara secara langsung tentang ini. Karena semua ini yang memulai adalah Rama. Farel tidak pernah merasa punya masalah dengan Rama, jadi ya Farel diam saja tanpa perlu ambil sikap.
Beberapa hari kemudian.                                                
“Lun, ituuu.” Marsha menepuk lenganku, memberi tau ada seseorang yang lewat dan aku sempat melihat siapa orang itu. Ka Dimas. Kakak kelas yang belakangan ini menjadi teman sms-anku.
Beberapa kali dia memberi kode bahwa dia menyukaiku. Aku senang, tapi aku tak memberi respon lebih tentang perasaannya.
“Kenapa?” tanya Farel yang sedari tadi memainkan ponselku.
“Rel, bentar deh aku pinjam ponselku.” kuambil ponselku dari genggamannya. Aku mengutak-atik ponselku, dengan niatan baik dan keinginan untuk saling terbuka, aku memberitahukan isi pesan singkat Ka Dimas semalam.
“Baca ini, tapi jangan marah. Karena aku tak menanggapinya.” kupampangkan ponselku di depan wajahnya.
Huu ade kenapa tidur duluan, padahal kaka masih mau smsan sama ade. Yaudah deh, selamat tidur ade sayang..
Hanya desah napas yang kudengar dari Farel. Tak ada tampang marah sedikitpun dari wajahnya. Lalu dia meminjam ponselku lagi.
“Sudah, jangan kamu balas pesan singkat itu. Aku hanya ingin memberitahumu, tidak menyuruhmu untuk membalasnya.”
“Aku pinjam.”
Entah mengapa aku memasang tampang bête, kesal, dan seakan tak suka dengan sikap Farel. Maksudku, sudahlah, aku hanya ingin memberitahu, tak perlu diperpanjang, karena akupun tidak menanggapi pesan singkat itu. Tapi Farel malah membaca seluruh percakapanku dengan Ka Dimas. Tidak masalah, tapi tak usah dibalas lagi pesan singkat itu.
Dalam suasana seperti itu, Farel masih sempat mengumbar canda dan tawa, namun dengan sedikit ucapan dan kata-kata yang lebih pedas dari cabai. Aku semakin menekuk wajah. Benar-benar ingin menangis rasanya. Mengapa Farel harus bersikap seperti itu.
Sofi mengajakku agak sedikit menjauh dari situ. Dia mengajaku berbicara, namun aku tak bersuara. Aku benar-benar tak tau harus bagaimana. Sekembalinya aku ke warung pop ice, Farel masih memainkan ponselku.
“Yasudahdeh, balik saja yuk.” ajakku masih dengan tampang kesal. Mereka menuruti inginku. Di sepanjang parkiran, aku dan Farel sama sekali tidak bercakap. Sesampainya di motorku..
“Spion motorku agak kendor. Aduh, Babeh punya kunci inggris ngga yaa.”
“Coba pinjam sama Farel. Rel, kamu pasti punya kunci inggris kan? Bagasimu kan banyak peralatan bengkel.” kata Sofi dengan sedikit canda. Namun tak tergores senyum sedikitpun dari wajah Farel, namun tak juga wajah kesal. Jadi? Flat.
Farel menghampiriku. Kukira akan meminjamkan kunci inggris. Dia mengembalikan ponselku dan menunggu tanganku menanggapinya. Namun rasanya, sendi engselku malas kugunakan untuk menanggapi ponsel itu. Akhirnya, dia menaruh ponselku disela laci motorku. Aku bingung dengan sikapnya. Apa dia marah? Aku tak percaya. Dia kan tidak pernah marah. Dia kan penuh tawa.
Seselesai menyetarter motornya, dan seselesainya membayar uang parkir, dia langsung melesat santai tanpa menungguku dan tanpa mengucap satu katapun padaku. Ini tak seperti biasanya. Biasanya dia selalu ada di belakangku saat mengendarai motor sepulang sekolah. Tapi ini? Kurasa dia benar-benar marah.
Harusnya hari ini aku les dan aku mampir kerumah Rina dahulu.
“Kamu salah sikap Lun. Ngga seharusnya kamu bersikap seperti itu.” ucap Sofi.
“Salah? Maksudku kan, yasudahlah ngga usah dibahas lagi. Aku juga ngga menanggapi itu.”
“Farel bicara banyak tadi. Aku benar-benar tak menyangka, ternyata seorang Farel yang penuh canda, penuh tawa, sekalinya marah, benar benar mirip singa. Aku jadi seram.”
“Dia bicara bagaimana?” tanyaku.
“Aku juga bisa marah Sha. Aku punya perasaan. Bisa saja aku bersikap seperti dia. Aku tidak pernah marah karena aku percaya padanya. Tapi apa? Dia malah seperti ini. Singkatnya begitu.” jelas Marsha.
Aku diam, memutar balik kejadian. Tetesan itu tumpah. Segala ucapan dan beribu alasanku masih kalah dengan beberapa kalimat yang terlontar dari Sofi dan Marsha. Seakan ini adalah salahku. Mungkin memang ini kesalahanku.
Aku mengirim pesan singkat pada Farel, dibalas cukup lama. Dan sekalinya membalas, kurasa capslock di ponselnya rusak. ‘SUDAH SADAR KAMU SEKARANG??!!!’. Bodohnya aku, aku masih bersikap dingin di percakapan itu.
Bercakap dengan Farel di sms saat itu benar-benar membuatku kehabisan alasan untuk membela diri. Ketiga temanku pun menyalahkanku. Iya, ini memang salahku. Aku benar-benar merasa sangat bersalah dan semakin terpojok. Aku bingung harus apa. Kalimat dan ucapan yang Farel beri untukku, itu benar-benar membuat sakit. Mungkin lebih sakit menjadi dia.
Aku pasrahkan diri. Kuterima segala cacian dari Farel. Kuterima segala nasihat dari ketiga temanku. Aku sudah tamat di situ, di situasi itu. Hanya menangis dan hanya bisa meminta maaf dari seribu kata maaf yang kuucap.
Ini salahku. Di belakangnya berkontak dengan Ka Dimas. Keterlaluan, aku sendiri jadi membenci diriku sendiri. Aku merenungi semua kejadian hari ini. Menyesal dan tak akan kuulang lagi. Aku mencintai Farel dan aku akan berusaha mengembalikan kepercayaan darinya, yang kurasa kepercayaannya sedikit hilang karena perbuatan bodohku.
Setelah selesai percakapan panjang itu dan Farel pun memafkanku yang entah ikhlas atau terpaksa. Dia izin untuk tidur. Karena kejadian itu, aku jadi tidak pergi les, karena hujan juga, dan mood-ku sudah hancur karena kejadian ini.
Beberapa jam kemudian, Farel sms. Tak begitu lama sms-an, dia izin untuk makan, dan aku tak tau lagi apa kegiatannya. Malamnya, aku masih merasa sangat bersalah dan masih membahasnya. Dia izin untuk tidur, karena kepalanya sangat pusing. Yasudahlah.
Keesokan harinya, dia tidak membalas pesan singkatku sedari pagi. Aku sudah khawatir kalau dia membalas pesanku lewat jam 12. Masa iya dia belum bangun dari tidurnya. Tertidur atau minum obat tidur.
Dia membalas pesan singkatku dan bilang maaf, katanya kepalanya masih pusing, dan suhu tubuhnya malah meningkat. Dia selalu membuatku khawatir. Aku menyuruhnya untuk minum obat, dan berlanjut istirahat. Hari itu benar-benar singkat berkomunikasi dengannya.
Hari ini Farel tidak masuk sekolah, karena panas di tubuhnya naik turun. Kusarankan dia untuk ke dokter. Aku benar-benar takut terjadi sesuatu padanya. Sempat aku berpikir, dia sakit karena kejadian beberapa hari lalu, membuatnya kepikiran sampai otaknya kelelahan hingga jatuh sakit. Sampai hari Rabu dia tidak masuk sekolah karena sakit.
Benar-benar sepi tidak ada dia di kelas. Keesokan harinya setelah dia masuk pun keadaan kelas masih kurasa sepi. Karena dia tidak banyak sikap dan tidak banyak bicara. Aku merindukan tatapan itu, matanya yang teduh selalu bisa membuatku tersenyum di belakangnya.
Aku sangat ingin mengatakan sesuatu padanya, bahwa aku telah mencintainya lebih dari yang dia tau. Perasaan yang semakin hari selalu bertambah. Keinginan yang selalu berada lebih dekat dengannya. Aku sadar, di setiap hariku, di setiap saatku tersenyum atau cemberut tanpa sebab, semua karena dia.
Aku selalu merasakan getaran aneh ketika menatapnya. Melihatnya selagi tersenyum, tertawa. Sangat ingin mengatakan, “Aku benar-benar telah mencintaimu.” tapi lidahku tak pernah sanggup mengucap itu di hadapannya. Hanya dia yang membuatku begini. Terpikirkannya setiap saat. Aku sudah terlalu mencintainya.
Seiring berjalannya waktu, aku merasa ada yang aneh pada dirinya. Seperti ada yang berubah. Entah berubah atau ada yang merubah. Farel jadi lebih sering marah padaku hanya karena persoalan yang tidak perlu diperpanjang, macam KTP.
Siapa yang harus disalahkan kalau aku ketiduran dan tidak membalas pesan singkatnya selama empat jam? Marahnya seperti aku membuat beribu dosa saja. Kurasa masih wajar empat jam tidak membalas pesan singkat karena ketiduran. Dia? Satu jam setengah tidak membalas pesan singkat, dan dia hanya bilang “Maaf aku sedang main tab hehehe.” dan aku masih mampu memaafkannya. Manakah yang lebih tidak wajar?
Aku semakin merasakan keegoisan di diri Farel. Dia hanya ingin dimengerti tanpa mau mengerti. Kucari caranya agar setiap harinya aku selalu memiliki sifat sabar menghadapinya. Aku sabar dan selalu mengalah karena aku mencintainya, sangat. Dan aku tidak ingin terjadi apa-apa pada hubunganku dengannya. Aku tak mau kehilangannya lagi.
Aku coba bicara padanya, mengapa sikapnya tidak berubah dari semalam.
“Hem, kenapa sih sikapmu dari semalam? Kenapa kamu cuma diam, mendiamiku? Apa salahku?” Aku bertanya apa salahku, karena memang aku tidak paham di mana letak kesalahanku, tiba-tiba dia mendiamiku, membuatku semakin galau.
“Masih saja dibahas.” hanya itu yang terucap dari mulutnya, kemudian pergi meninggalkanku yang masih beridiri di depan balkon kelas.
Dia meninggalkanku ke dalam kelas. Benar-benar sakit, sangat sakit dan mencoba membicarakan lagi padanya. Sebisa mungkin kutahan air mataku, walaupun sudah sangat tidak kuat.
Dan berjalannya hari, waktu sms-anku semakin berjarak dengannya. Membuatku harus berpikir keras tentang ini, tanpa berani untuk menyangkutpautkannya. Selalu ada saja alasan untuk kumaafkan karena salahnya. Akupun bingung mengapa selalu memaafkannya. Mungkin karena rasa sayangku padanya.
Terjadi percakapan yang tidak enak malam ini. Seakan selalu mencari koreng dalam diriku. Seolah selalu aku yang salah dan dia selalu berhak untuk marah. Hanya karena masalah statusku yang kutulis di twitter, dia mengambil keputusan yang sangat konyol.
Yasudah, daripada setiap harinya kita semakin aneh, lebih baik kita stop sampai di sini saja. Percuma kalau dilanjutkan, akan jadi beban atau sakit hati, lebih baik kita berteman biasa saja. Makasih ya atas semuanya.
Aku masih tidak percaya, sungguh, sangat tidak percaya. Aku mebalas pesan itu seolah tak mengiyakan keputusannya. Tapi dia seakan yakin pada keputusannya. Dan aku tidak bisa melawan keputusannya. Mengapa dia mengirim itu di saat aku sedang bersama mamaku di ruang tv? Aku ingin menangis, tapi bukan di sini tempatnya.
Aku pergi ke kamar. Tanganku masih lemas. Wajahku masih memasang sikap tak percaya. Aku menampar pipi kananku, lalu pipi kiriku. Sakit. Berarti ini bukan mimpi. Menangis. Menangis, dan hanya bisa menangis. Namun kutahan amarahku agar tidak memuncak. Aku bercermin dan tersenyum dengan mata sembap.
“Aku tidak boleh seperti ini terus. Aku tidak boleh sedih yang berlarut.” hanya itu yang mampu aku ucapkan untuk diriku sendiri. Aku tak sanggup menyimpan ini sendirian. Aku butuh teman untuk cerita. Aku mengirim chat ke Sofi, tidak ada balasan. Mengirim pesan singkat ke Rina dan Marsha pun tidak dibalas. Ke Hana pun tidak ada balasan. Aku benar-benar menyimpan ini sendiri, sekarang.
Selang beberapa jam, Rina membalas pesan singkatku. Dia tidak percaya dan menganggap ini hanya lelucon. Untuk apa aku berkonyol malam-malam. Ini serius kok. Kedua, Marsha yang membalas, dia pun tidak percaya. Biar kuceritakan besok saja di sekolah.
Aku menjemput Marsha di rumahnya, karena aku memang berangkat bersamanya setiap pagi. Marsha bercerita tentang Esa, aku tak bisa begitu saja menghancurkan topik itu. Biar kusimpan saja sampai saatnya harus dibicarakan pada ketiga temanku.
Sesampainya di kelas, setelah Sofi datang, dia langsung melihatku. Mungkin sedikit memastikan bahwa aku baik-baik saja. Memang aku baik-baik saja, tapi hatiku tidak sedang baik-baik saja. Aku berusaha menutupi semuanya, menyembunyikan perasaanku.
Beberapa orang yang bertanya, “Kok bisa?” Aku dan dia hanya manusia biasa, bukan siapapun yang bisa mengubah kesedihan menjadi yang selalu kebahagiaan. Aku berkata “Aku baik-baik saja”, nyatanya masih saja ada air mata.
Sakit harus mendengar Farel tertawa, bicara pada siapapun kecuali denganku. Melihat senyum dan matanya hanya membuat hatiku yang sempat hancur, disatukan lagi kepingannya, dan sekarang sangat berasa benar-benar hancur berkeping-keping. Jadi sesakit ini diputuskan di saat benar-benar mencintai.
Apa ini karma? Apa ini yang dirasakan Farel dulu sewaktu aku memutuskannya? Atau ada hikmah dari semua ini? Apa Farel akan menyesali keputusannya? Atau aku yang akan terus-terusan terpuruk? Atau bahkan ini yang Rama rasakan sewaktu aku memutuskannya? Kacau.
Yang jelas, keseharianku tanpa status darinya lagi membuatku mampu tersenyum seadanya. Kesedihan masih sering terselip di saat aku terdiam dan mengingat sesuatu tentangnya yang bersangkut paut padanya. Ternyata memori otak ini masih menampung ratusan kejadian dan ucapan tentangnya bersamaku.
Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Mengapa dia mengambil keputusan itu? Semudah itukah? Ingatkah dia, untuk mengucapkan hal itu membutuhkan waktu berbulan-bulan, tapi melepasnya tanpa berpikir apa-apa lagi. Kuakui, aku masih mampu mengingat segalanya tentang Farel.
Selama satu pekan tidak bicara padanya. Aku hanya mampu mendengar suaranya, tidak untuk bicara padanya. Sakit. Sangat sakit ketika melihatnya bercakap dengan ketiga temanku, tidak denganku.
Apa sulitnya mengucap terimakasih dan menatap wajahku? Dia meminjam buku bahasa Inggrisku dan mengembalikannya dengan melempar bukuku, mengucap terimakasih tanpa memandangku. Sakit. Mengapa sikapnya seperti itu? Ini menyiksaku.
Satu minggu tanpa percakapan tidak membuat perasaanku hilang begitu saja. Aku semakin tidak bisa melupakannya. Aku tak akan berusaha untuk melupakannya, biar waktu yang menghapusnya dari ingatanku. Aku tidak akan membohongi perasaanku. Aku benar-benar masih mencintainya.
Sekalipun sikapnya dingin, aku tidak akan mencoba untuk mengartikan sikapnya, biar waktu yang menjawabnya. Aku yakin, semua pasti akan terjawab dengan sendirinya. Aku masih sakit, benar-benar hancur. Memilih berteman saja di saat dia berhasil membuatku menjadikannya satu-satunya.
Yang paling menyakitkan, saat dia memanggil beberapa nama temanku di kelas. Telingaku serasa diiris dengan mulutnya yang sangat tajam. Mengapa dia bisa memanggil nama-nama itu, sedangkan dia tak mampu untuk menyebut namaku?
Mataku hanya mampu melihatnya dari kejauhan dan kegelapan. Dari sisi di mana dia tidak akan pernah tau. Dia tidak akan tau sakitnya jadi aku. Serasa dicabik berkali-kali ketika melihatnya bicara pada yang lain, tidak denganku. Hanya senyumnya yang masih mampu meneduhkan perasaanku.
Sapaan yang dia berikan hanya untuk tiga temanku, bukan untukku. Entah sampai kapan kesakitan ini berakhir. Aku butuh penjelasan mengapa sikapnya seperti ini. Aku bingung harus bagaimana lagi. Aku hanya mampu melontarkan berbagai kalimat curahan hati di akun twitterku dan aku semakin bingung dengan perasaannya.
Diary of
Seharusnya
Hari ini, tepat jatuh hari Kamis. Sama seperti bulan lalu. Di mana kamu dan aku saling mendoakan akan ada tanggal yang sama di bulan depan. Memang, setiap bulan akan ada tanggal itu, tapi yang membedakan adalah tanggal yang akan memperingati lamanya hubungan kita. Ya, harusnya bulan ini. Tapi kita tidak lagi berdoa untuk tanggal ini.
Berdoa untuk tanggal ini? Harusnya. Tapi dalam kenyataan yang kita hadapi, kurasa kita tak harus berdoa untuk tanggal ini. Seharusnya bukan hanya tanggal ini, tapi setiap tanggal. Setiap tanggal? Untuk apa lagi? Sudah tak ada lagi yang harus kita doakan. Karena memang begitu adanya.
Dua bulan yang lalu, kamu menyatakan yang kurasa sangat ingin kau katakan sebelum tanggal inidua bulan yang lalu. Tapi kamu masih ragu untuk menyatakan, hingga sampainya kau katakan di tanggal inidua bulan yang lalu.
Sebelum tanggal inidua bulan yang lalu, kita sama-sama menikmati ketidakjelasan yang kita lakukan. Entah apa namanya, hingga di tanggal inidua bulan yang lalu, kamu memperjelas semuanya. Terutarakan semuanya. Kejujuran yang terungkap, membuat kita mengulang semua dari awal.
Aku bahagia. Perubahanmu, perubahan kita. Membuatku yakin akan sikapmu. Tapi aku merasakan perbedaan di tanggal inisebulan kemudian. Manis yang berubah jadi pahit. Aku tak mengerti. Seandainya kamu tau, sebiasa apapun sikapku di depanmu, aku memiliki rasa cinta yang lebih dari yang kamu tau.
Semakin hari, hubungan ini semakin renggang. Entah aku atau kamu yang membuatnya menjadi seperti ini. Aku tak mengenal kamu yang dulu, tak kurasakan lagi perhatianmu. Perhatianmu tertuang untuk mereka yang hanya sebatas teman untukmu. Aku? Seperti musuhmu.
Sampai saatnya terjadi. Hanya berjarak sepuluh hari setelah tanggal yang sempat membuatku bahagia. Kamu melepasku tanpa memutar otakmu lagi. Kamu merelakanku tanpa berpikir susahnya untuk mengutarakan semuanya padaku. Kamu memutuskanku tanpa alasan yang logis.
Iya, aku memang salah. Tidakkah kamu berpikir sedikit saja penyebab yang membuatku salah? Aku begini karenamu. Tapi apa? Kamu selalu mengabaikan penjelasanku. Kamu selalu berpikir dengan logikamu, tidak menggunakan perasaan!
Dulu aku sempat berpikir, tidak selamanya seseorang yang pernah salah, akan selamanya salah. Bagiku, kamu sudah berubah menjadi lebih baik. Tapi kenyataannya berlawanan. Kamu masih sama seperti dulu. Dan harusnya aku paham itu.
Meskipun sudah tak harus mengucap apa-apa di tanggal ini, namun perasaan ini masih sangat merindukanmu. Masih sangat menyayangimu. Masih mencintaimu. Tapi aku sudah tidak membutuhkanmu, dan aku sudah tidak mengharapkanmu.
Bayanganmu masih sering berkeliaran di otakku. Aku tidak bisa benar-benar melupakanmu. Aku masih memikirkanmu. Masih mengingat segala kejadian yang pernah kita lalui. Mengenang segalanya yang terlibat padamu.
Aku tidak benar-benar bisa melupakanmu. Wajahmu masih bisa kulihat, dan telingaku masih mampu untuk mendengarmu, mendengar suaramu. Mendengarmu memanggil nama mereka. Entah kesakitan jenis apa yang kamu berikan. Entah dokter macam apa yang mampu menyembuhkan. Entah apa yang membuatmu sekejam ini.
Mengapa semua berakhir di saat aku telah berjalan di hatimu terlalu jauh? Mengapa kau katakan Stop sampai di sini di saat aku tak letih untuk berlari? Mengapa kau putuskan di saat aku mulai erat menggenggam tali yang kau beri? Tali yang kamu berikan untuk kitadua bulan yang lalu.
Menyesalkah kamu? Mungkin tidak. Kamu hanya bilang, jika ini dilanjutkan, akan sakit nantinya. Tapi dengan begini, kamu sudah membuatku hancur. Alasan bodoh macam apa yang kamu rangkai untuk tetap melepaskanku? Ucapan tolol seperti apa yang kamu ucap untuk tetap merelakanku?
Aku masih di sini, tapi aku tak akan berjalan menujumu jika kamu memanggilku. Aku masih mencintaimu, tapi aku tak akan berlari ke arahmu lagi. Keberadaanku hanya untuk melihatmu bersenang-senang dengan apa yang kamu lakukan, bukan untuk melebur dalam suasana itu.
Dan seharusnya, di tanggal ini masih ada doa terselip. Masih ada harapan yang harusnya terkabul. Namun segala doa sudah tak akan kau ucap lagi. Dan sudah tak ada yang diharapkan dari tanggal 14.
Entah apa yang harus kukatakan. Terimakasih untuk segalanya? Segalanya? Termasuk rasa sakitnya? Mungkin. Terimakasih untuk segalanya. Untuk dua tanggal yang berujung sama dari orang yang sama juga. Aku masih menyayangimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]