Complicated [Sebelas - Mistake]
Bukan hidup namanya
jika tidak ada masalah. Baru beberapa hari berpacaran, ada saja yang mengusik.
Farel bukanlah seseorang yang mudah menerima perkataan orang lain yang
menjelekan dirinya. Dia tidak pernah peduli dengan ucapan orang yang tidak suka
dengannya.
Sungguh tak percaya. Seseorang
yang pernah kusayang, mengapa sekarang begini. Entah apa maksudnya. Benar-benar
sakit membacanya. Aku tidak membenarkan kalimat itu untuk Farel, tapi aku
sangat yakin kalau itu memang untuk Farel. Aku yakin, Farel tidak akan
menanggapi masalah seperti ini, tapi ini membuatku gerah.
Kalimat yang Rama tulis
di akun twitternya, membuatku semakin membencinya. Memang tak seharusnya aku
membencinya, namun sifat dan sikapnya membuatku harus memiliki rasa benci.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kurasa tidak akan ada satu katapun dalam kalimat yang Rama tulis.
Kalimat yang menurutku tidak ditulis dengan etika. Apa Rama tidak punya otak? Apa
dia tidak punya malu? Jika punya, apa urat malunya sudah putus? Apa dia tidak
punya tenaga sama sekali untuk menggunakan otaknya?
Rama yang menurutku
baik ternyata seperti itu. Entah apa yang kurasakan saat tau sifat aslinya. Entah
hipnotis jenis apa yang dulu membuatku mencintainya. Entah apa yang ada di otaku
saat itu, saat di mana aku bisa merasa nyaman ketika bercakap dengannya. Sungguh,
aku menyesal pernah membanggakannya.
“Aku tidak akan peduli
tentang apa yang dia tulis untukku atau bukan untukku.”
“Jangan dimasukan ke hati ya kata-katanya dia, aku juga ngga nyangka kenapa dia begitu.”
“Kemarin aku wudhu di sebelahnya kok, dan aku sering bertemu dengannya, tapi dia biasa saja, seolah ngga pernah terjadi apa-apa.”
“Entahlah, siapa yang sebenarnya pengecut, aku rasa dia yang seperti itu.”
“Jangan dimasukan ke hati ya kata-katanya dia, aku juga ngga nyangka kenapa dia begitu.”
“Kemarin aku wudhu di sebelahnya kok, dan aku sering bertemu dengannya, tapi dia biasa saja, seolah ngga pernah terjadi apa-apa.”
“Entahlah, siapa yang sebenarnya pengecut, aku rasa dia yang seperti itu.”
Sangat lega begitu tau Farel
tidakak terlalu mengurusi kata-kata Rama di twitter. Menurutku, apa yang Rama
tulis di twitternya untuk Farel, justru dia lah yang seperti itu. Dia menulis
tentang dirinya, namun dieperuntukan orang lain. Sungguh pengecut!
Hari ini aku dan ketiga
temanku mengumpul di depan kelas 11 IPA 1 untuk membicarakan tentang proposal
yang akan diserahkan ke pembina ekskul kami. Di situ ada aku, ketiga temanku, Aulia,
Anggun, dan Julio. Tak lama kami mengobrol, Farel datang. Farel adalah
seseorang yang mudah melebur dengan siapa saja dan pada saat kondisi bagaimana
saja.
“Ngapain sih kamu ke sini
Rel, kamu kan bukan anggota KIR.” ledek Sofi.
“Biarin saja Sof, Farel kan mau jagain Luna, supaya Luna ngga kembali ke mantan kekasihnya yang dulu.” Marsha bicara seperti itu dengan nada bicara yang tidak pelan. Untung kami mengumpul setelah pulang sekolah dan keadaan lantai tiga pada saat itu sudah lumayan sepi.
“Biarin saja Sof, Farel kan mau jagain Luna, supaya Luna ngga kembali ke mantan kekasihnya yang dulu.” Marsha bicara seperti itu dengan nada bicara yang tidak pelan. Untung kami mengumpul setelah pulang sekolah dan keadaan lantai tiga pada saat itu sudah lumayan sepi.
Farel hanya tersenyum
melihat tingkah teman-temanku yang terkadang frontal. Sepengetahuanku, di dalam
kelas 11 IPA 1 masih ada beberapa orang. Aku ingat salah satu suara itu, kurasa
di kelas masih ada Rama. Kalau memang benar itu Rama, mengapa dia tidak ikut
ngumpul? Padahal kan dia juga anggota, memiliki jabatan pula di KIR. Itukah
seorang pemenang? Bukankah itu pecundang?
Jika dia memang menang
dalam semuanya ini, merasa tidak memiliki salah apa-apa, mengapa harus takut
untuk sekedar bertemu denganku? Karena Farel? Lelaki harusnya tidak hanya
bicara di dunia maya saja, melainkan dalam dunia nyata juga.
Mengapa aku katakan Rama
pecundang, karena dia tidak berani untuk bicara langsung, sedangkan Farel tidak
kusebut apa-apa? Padahal Farel pun tidak bicara secara langsung tentang ini. Karena
semua ini yang memulai adalah Rama. Farel tidak pernah merasa punya masalah
dengan Rama, jadi ya Farel diam saja tanpa perlu ambil sikap.
Beberapa
hari kemudian.
“Lun,
ituuu.” Marsha menepuk lenganku, memberi tau ada seseorang yang lewat dan aku
sempat melihat siapa orang itu. Ka Dimas. Kakak kelas yang belakangan ini
menjadi teman sms-anku.
Beberapa
kali dia memberi kode bahwa dia menyukaiku. Aku senang, tapi aku tak memberi respon
lebih tentang perasaannya.
“Kenapa?” tanya Farel
yang sedari tadi memainkan ponselku.
“Rel, bentar deh aku pinjam ponselku.” kuambil ponselku dari genggamannya. Aku mengutak-atik ponselku, dengan niatan baik dan keinginan untuk saling terbuka, aku memberitahukan isi pesan singkat Ka Dimas semalam.
“Rel, bentar deh aku pinjam ponselku.” kuambil ponselku dari genggamannya. Aku mengutak-atik ponselku, dengan niatan baik dan keinginan untuk saling terbuka, aku memberitahukan isi pesan singkat Ka Dimas semalam.
“Baca ini, tapi jangan
marah. Karena aku tak menanggapinya.” kupampangkan ponselku di depan wajahnya.
Huu
ade kenapa tidur duluan, padahal kaka masih mau smsan sama ade. Yaudah deh,
selamat tidur ade sayang..
Hanya desah napas yang
kudengar dari Farel. Tak ada tampang marah sedikitpun dari wajahnya. Lalu dia
meminjam ponselku lagi.
“Sudah, jangan kamu
balas pesan singkat itu. Aku hanya ingin memberitahumu, tidak menyuruhmu untuk
membalasnya.”
“Aku pinjam.”
“Aku pinjam.”
Entah mengapa aku
memasang tampang bête, kesal, dan seakan tak suka dengan sikap Farel. Maksudku,
sudahlah, aku hanya ingin memberitahu, tak perlu diperpanjang, karena akupun
tidak menanggapi pesan singkat itu. Tapi Farel malah membaca seluruh
percakapanku dengan Ka Dimas. Tidak masalah, tapi tak usah dibalas lagi pesan
singkat itu.
Dalam suasana seperti
itu, Farel masih sempat mengumbar canda dan tawa, namun dengan sedikit ucapan
dan kata-kata yang lebih pedas dari cabai. Aku semakin menekuk wajah. Benar-benar
ingin menangis rasanya. Mengapa Farel harus bersikap seperti itu.
Sofi mengajakku agak
sedikit menjauh dari situ. Dia mengajaku berbicara, namun aku tak bersuara. Aku
benar-benar tak tau harus bagaimana. Sekembalinya aku ke warung pop ice, Farel
masih memainkan ponselku.
“Yasudahdeh, balik saja
yuk.” ajakku masih dengan tampang kesal. Mereka menuruti inginku. Di sepanjang
parkiran, aku dan Farel sama sekali tidak bercakap. Sesampainya di motorku..
“Spion motorku agak
kendor. Aduh, Babeh punya kunci inggris ngga yaa.”
“Coba pinjam sama Farel. Rel, kamu pasti punya kunci inggris kan? Bagasimu kan banyak peralatan bengkel.” kata Sofi dengan sedikit canda. Namun tak tergores senyum sedikitpun dari wajah Farel, namun tak juga wajah kesal. Jadi? Flat.
“Coba pinjam sama Farel. Rel, kamu pasti punya kunci inggris kan? Bagasimu kan banyak peralatan bengkel.” kata Sofi dengan sedikit canda. Namun tak tergores senyum sedikitpun dari wajah Farel, namun tak juga wajah kesal. Jadi? Flat.
Farel menghampiriku. Kukira
akan meminjamkan kunci inggris. Dia mengembalikan ponselku dan menunggu
tanganku menanggapinya. Namun rasanya, sendi engselku malas kugunakan untuk
menanggapi ponsel itu. Akhirnya, dia menaruh ponselku disela laci motorku. Aku
bingung dengan sikapnya. Apa dia marah? Aku tak percaya. Dia kan tidak pernah
marah. Dia kan penuh tawa.
Seselesai menyetarter
motornya, dan seselesainya membayar uang parkir, dia langsung melesat santai
tanpa menungguku dan tanpa mengucap satu katapun padaku. Ini tak seperti
biasanya. Biasanya dia selalu ada di belakangku saat mengendarai motor sepulang
sekolah. Tapi ini? Kurasa dia benar-benar marah.
Harusnya hari ini aku
les dan aku mampir kerumah Rina dahulu.
“Kamu salah sikap Lun. Ngga
seharusnya kamu bersikap seperti itu.” ucap Sofi.
“Salah? Maksudku kan, yasudahlah ngga usah dibahas lagi. Aku juga ngga menanggapi itu.”
“Farel bicara banyak tadi. Aku benar-benar tak menyangka, ternyata seorang Farel yang penuh canda, penuh tawa, sekalinya marah, benar benar mirip singa. Aku jadi seram.”
“Dia bicara bagaimana?” tanyaku.
“Aku juga bisa marah Sha. Aku punya perasaan. Bisa saja aku bersikap seperti dia. Aku tidak pernah marah karena aku percaya padanya. Tapi apa? Dia malah seperti ini. Singkatnya begitu.” jelas Marsha.
“Salah? Maksudku kan, yasudahlah ngga usah dibahas lagi. Aku juga ngga menanggapi itu.”
“Farel bicara banyak tadi. Aku benar-benar tak menyangka, ternyata seorang Farel yang penuh canda, penuh tawa, sekalinya marah, benar benar mirip singa. Aku jadi seram.”
“Dia bicara bagaimana?” tanyaku.
“Aku juga bisa marah Sha. Aku punya perasaan. Bisa saja aku bersikap seperti dia. Aku tidak pernah marah karena aku percaya padanya. Tapi apa? Dia malah seperti ini. Singkatnya begitu.” jelas Marsha.
Aku diam, memutar balik
kejadian. Tetesan itu tumpah. Segala ucapan dan beribu alasanku masih kalah
dengan beberapa kalimat yang terlontar dari Sofi dan Marsha. Seakan ini adalah
salahku. Mungkin memang ini kesalahanku.
Aku mengirim pesan
singkat pada Farel, dibalas cukup lama. Dan sekalinya membalas, kurasa capslock di ponselnya rusak. ‘SUDAH
SADAR KAMU SEKARANG??!!!’. Bodohnya aku, aku masih bersikap dingin di percakapan
itu.
Bercakap dengan Farel
di sms saat itu benar-benar membuatku kehabisan alasan untuk membela diri. Ketiga
temanku pun menyalahkanku. Iya, ini memang salahku. Aku benar-benar merasa
sangat bersalah dan semakin terpojok. Aku bingung harus apa. Kalimat dan ucapan
yang Farel beri untukku, itu benar-benar membuat sakit. Mungkin lebih sakit
menjadi dia.
Aku pasrahkan diri. Kuterima
segala cacian dari Farel. Kuterima segala nasihat dari ketiga temanku. Aku
sudah tamat di situ, di situasi itu. Hanya menangis dan hanya bisa meminta maaf
dari seribu kata maaf yang kuucap.
Ini salahku. Di belakangnya
berkontak dengan Ka Dimas. Keterlaluan, aku sendiri jadi membenci diriku
sendiri. Aku merenungi semua kejadian hari ini. Menyesal dan tak akan kuulang
lagi. Aku mencintai Farel dan aku akan berusaha mengembalikan kepercayaan
darinya, yang kurasa kepercayaannya sedikit hilang karena perbuatan bodohku.
Setelah selesai
percakapan panjang itu dan Farel pun memafkanku yang entah ikhlas atau
terpaksa. Dia izin untuk tidur. Karena kejadian itu, aku jadi tidak pergi les,
karena hujan juga, dan mood-ku sudah
hancur karena kejadian ini.
Beberapa jam kemudian, Farel
sms. Tak begitu lama sms-an, dia izin untuk makan, dan aku tak tau lagi apa
kegiatannya. Malamnya, aku masih merasa sangat bersalah dan masih membahasnya. Dia
izin untuk tidur, karena kepalanya sangat pusing. Yasudahlah.
Keesokan harinya, dia
tidak membalas pesan singkatku sedari pagi. Aku sudah khawatir kalau dia
membalas pesanku lewat jam 12. Masa iya dia belum bangun dari tidurnya. Tertidur
atau minum obat tidur.
Dia membalas pesan
singkatku dan bilang maaf, katanya kepalanya masih pusing, dan suhu tubuhnya
malah meningkat. Dia selalu membuatku khawatir. Aku menyuruhnya untuk minum
obat, dan berlanjut istirahat. Hari itu benar-benar singkat berkomunikasi dengannya.
Hari ini Farel tidak
masuk sekolah, karena panas di tubuhnya naik turun. Kusarankan dia untuk ke
dokter. Aku benar-benar takut terjadi sesuatu padanya. Sempat aku berpikir, dia
sakit karena kejadian beberapa hari lalu, membuatnya kepikiran sampai otaknya
kelelahan hingga jatuh sakit. Sampai hari Rabu dia tidak masuk sekolah karena
sakit.
Benar-benar sepi tidak
ada dia di kelas. Keesokan harinya setelah dia masuk pun keadaan kelas masih
kurasa sepi. Karena dia tidak banyak sikap dan tidak banyak bicara. Aku
merindukan tatapan itu, matanya yang teduh selalu bisa membuatku tersenyum di belakangnya.
Aku sangat ingin
mengatakan sesuatu padanya, bahwa aku telah mencintainya lebih dari yang dia
tau. Perasaan yang semakin hari selalu bertambah. Keinginan yang selalu berada
lebih dekat dengannya. Aku sadar, di setiap hariku, di setiap saatku tersenyum
atau cemberut tanpa sebab, semua karena dia.
Aku selalu merasakan
getaran aneh ketika menatapnya. Melihatnya selagi tersenyum, tertawa. Sangat
ingin mengatakan, “Aku benar-benar telah mencintaimu.” tapi lidahku tak pernah
sanggup mengucap itu di hadapannya. Hanya dia yang membuatku begini. Terpikirkannya
setiap saat. Aku sudah terlalu mencintainya.
Seiring berjalannya
waktu, aku merasa ada yang aneh pada dirinya. Seperti ada yang berubah. Entah
berubah atau ada yang merubah. Farel jadi lebih sering marah padaku hanya
karena persoalan yang tidak perlu diperpanjang, macam KTP.
Siapa yang harus
disalahkan kalau aku ketiduran dan tidak membalas pesan singkatnya selama empat
jam? Marahnya seperti aku membuat beribu dosa saja. Kurasa masih wajar empat jam
tidak membalas pesan singkat karena ketiduran. Dia? Satu jam setengah tidak
membalas pesan singkat, dan dia hanya bilang “Maaf aku sedang main tab hehehe.”
dan aku masih mampu memaafkannya. Manakah yang lebih tidak wajar?
Aku semakin merasakan
keegoisan di diri Farel. Dia hanya ingin dimengerti tanpa mau mengerti. Kucari
caranya agar setiap harinya aku selalu memiliki sifat sabar menghadapinya. Aku
sabar dan selalu mengalah karena aku mencintainya, sangat. Dan aku tidak ingin
terjadi apa-apa pada hubunganku dengannya. Aku tak mau kehilangannya lagi.
Aku coba bicara padanya,
mengapa sikapnya tidak berubah dari semalam.
“Hem, kenapa sih
sikapmu dari semalam? Kenapa kamu cuma diam, mendiamiku? Apa salahku?” Aku
bertanya apa salahku, karena memang aku tidak paham di mana letak kesalahanku,
tiba-tiba dia mendiamiku, membuatku semakin galau.
“Masih saja dibahas.” hanya itu yang terucap dari mulutnya, kemudian pergi meninggalkanku yang masih beridiri di depan balkon kelas.
“Masih saja dibahas.” hanya itu yang terucap dari mulutnya, kemudian pergi meninggalkanku yang masih beridiri di depan balkon kelas.
Dia meninggalkanku ke dalam
kelas. Benar-benar sakit, sangat sakit dan mencoba membicarakan lagi padanya. Sebisa
mungkin kutahan air mataku, walaupun sudah sangat tidak kuat.
Dan berjalannya hari,
waktu sms-anku semakin berjarak dengannya. Membuatku harus berpikir keras
tentang ini, tanpa berani untuk menyangkutpautkannya. Selalu ada saja alasan
untuk kumaafkan karena salahnya. Akupun bingung mengapa selalu memaafkannya. Mungkin
karena rasa sayangku padanya.
Terjadi percakapan yang
tidak enak malam ini. Seakan selalu mencari koreng dalam diriku. Seolah selalu
aku yang salah dan dia selalu berhak untuk marah. Hanya karena masalah statusku
yang kutulis di twitter, dia mengambil keputusan yang sangat konyol.
Yasudah,
daripada setiap harinya kita semakin aneh, lebih baik kita stop sampai di sini
saja. Percuma kalau dilanjutkan, akan jadi beban atau sakit hati, lebih baik
kita berteman biasa saja. Makasih ya atas semuanya.
Aku masih tidak
percaya, sungguh, sangat tidak percaya. Aku mebalas pesan itu seolah tak
mengiyakan keputusannya. Tapi dia seakan yakin pada keputusannya. Dan aku tidak
bisa melawan keputusannya. Mengapa dia mengirim itu di saat aku sedang bersama mamaku
di ruang tv? Aku ingin menangis, tapi bukan di sini tempatnya.
Aku pergi ke kamar. Tanganku
masih lemas. Wajahku masih memasang sikap tak percaya. Aku menampar pipi kananku,
lalu pipi kiriku. Sakit. Berarti ini bukan mimpi. Menangis. Menangis, dan hanya
bisa menangis. Namun kutahan amarahku agar tidak memuncak. Aku bercermin dan
tersenyum dengan mata sembap.
“Aku tidak boleh
seperti ini terus. Aku tidak boleh sedih yang berlarut.” hanya itu yang mampu
aku ucapkan untuk diriku sendiri. Aku tak sanggup menyimpan ini sendirian. Aku
butuh teman untuk cerita. Aku mengirim chat ke Sofi, tidak ada balasan. Mengirim
pesan singkat ke Rina dan Marsha pun tidak dibalas. Ke Hana pun tidak ada
balasan. Aku benar-benar menyimpan ini sendiri, sekarang.
Selang beberapa jam, Rina
membalas pesan singkatku. Dia tidak percaya dan menganggap ini hanya lelucon. Untuk
apa aku berkonyol malam-malam. Ini serius kok. Kedua, Marsha yang membalas, dia
pun tidak percaya. Biar kuceritakan besok saja di sekolah.
Aku menjemput Marsha di
rumahnya, karena aku memang berangkat bersamanya setiap pagi. Marsha bercerita
tentang Esa, aku tak bisa begitu saja menghancurkan topik itu. Biar kusimpan
saja sampai saatnya harus dibicarakan pada ketiga temanku.
Sesampainya di kelas,
setelah Sofi datang, dia langsung melihatku. Mungkin sedikit memastikan bahwa
aku baik-baik saja. Memang aku baik-baik saja, tapi hatiku tidak sedang baik-baik
saja. Aku berusaha menutupi semuanya, menyembunyikan perasaanku.
Beberapa orang yang
bertanya, “Kok bisa?” Aku dan dia hanya manusia biasa, bukan siapapun yang bisa
mengubah kesedihan menjadi yang selalu kebahagiaan. Aku berkata “Aku baik-baik
saja”, nyatanya masih saja ada air mata.
Sakit harus mendengar Farel
tertawa, bicara pada siapapun kecuali denganku. Melihat senyum dan matanya
hanya membuat hatiku yang sempat hancur, disatukan lagi kepingannya, dan
sekarang sangat berasa benar-benar hancur berkeping-keping. Jadi sesakit ini
diputuskan di saat benar-benar mencintai.
Apa ini karma? Apa ini
yang dirasakan Farel dulu sewaktu aku memutuskannya? Atau ada hikmah dari semua
ini? Apa Farel akan menyesali keputusannya? Atau aku yang akan terus-terusan
terpuruk? Atau bahkan ini yang Rama rasakan sewaktu aku memutuskannya? Kacau.
Yang jelas,
keseharianku tanpa status darinya lagi membuatku mampu tersenyum seadanya. Kesedihan
masih sering terselip di saat aku terdiam dan mengingat sesuatu tentangnya yang
bersangkut paut padanya. Ternyata memori otak ini masih menampung ratusan
kejadian dan ucapan tentangnya bersamaku.
Aku merindukannya. Sangat
merindukannya. Mengapa dia mengambil keputusan itu? Semudah itukah? Ingatkah
dia, untuk mengucapkan hal itu membutuhkan waktu berbulan-bulan, tapi
melepasnya tanpa berpikir apa-apa lagi. Kuakui, aku masih mampu mengingat
segalanya tentang Farel.
Selama satu pekan tidak
bicara padanya. Aku hanya mampu mendengar suaranya, tidak untuk bicara padanya.
Sakit. Sangat sakit ketika melihatnya bercakap dengan ketiga temanku, tidak
denganku.
Apa sulitnya mengucap terimakasih
dan menatap wajahku? Dia meminjam buku bahasa Inggrisku dan mengembalikannya
dengan melempar bukuku, mengucap terimakasih tanpa memandangku. Sakit. Mengapa
sikapnya seperti itu? Ini menyiksaku.
Satu minggu tanpa
percakapan tidak membuat perasaanku hilang begitu saja. Aku semakin tidak bisa
melupakannya. Aku tak akan berusaha untuk melupakannya, biar waktu yang
menghapusnya dari ingatanku. Aku tidak akan membohongi perasaanku. Aku benar-benar
masih mencintainya.
Sekalipun sikapnya
dingin, aku tidak akan mencoba untuk mengartikan sikapnya, biar waktu yang
menjawabnya. Aku yakin, semua pasti akan terjawab dengan sendirinya. Aku masih
sakit, benar-benar hancur. Memilih berteman saja di saat dia berhasil membuatku
menjadikannya satu-satunya.
Yang paling
menyakitkan, saat dia memanggil beberapa nama temanku di kelas. Telingaku
serasa diiris dengan mulutnya yang sangat tajam. Mengapa dia bisa memanggil
nama-nama itu, sedangkan dia tak mampu untuk menyebut namaku?
Mataku hanya mampu
melihatnya dari kejauhan dan kegelapan. Dari sisi di mana dia tidak akan pernah
tau. Dia tidak akan tau sakitnya jadi aku. Serasa dicabik berkali-kali ketika
melihatnya bicara pada yang lain, tidak denganku. Hanya senyumnya yang masih
mampu meneduhkan perasaanku.
Sapaan yang dia berikan
hanya untuk tiga temanku, bukan untukku. Entah sampai kapan kesakitan ini
berakhir. Aku butuh penjelasan mengapa sikapnya seperti ini. Aku bingung harus
bagaimana lagi. Aku hanya mampu melontarkan berbagai kalimat curahan hati di akun
twitterku dan aku semakin bingung dengan perasaannya.
Diary
of
Seharusnya…
Hari
ini, tepat jatuh hari Kamis. Sama seperti bulan lalu. Di mana kamu dan aku
saling mendoakan akan ada tanggal yang sama di bulan depan. Memang, setiap
bulan akan ada tanggal itu, tapi yang membedakan adalah tanggal yang akan
memperingati lamanya hubungan kita. Ya, harusnya bulan ini. Tapi kita tidak
lagi berdoa untuk tanggal ini.
Berdoa
untuk tanggal ini? Harusnya. Tapi dalam kenyataan yang kita hadapi, kurasa kita
tak harus berdoa untuk tanggal ini. Seharusnya bukan hanya tanggal ini, tapi
setiap tanggal. Setiap tanggal? Untuk apa lagi? Sudah tak ada lagi yang harus
kita doakan. Karena memang begitu adanya.
Dua
bulan yang lalu, kamu menyatakan yang kurasa sangat ingin kau katakan sebelum
tanggal ini—dua bulan yang lalu. Tapi kamu masih ragu untuk menyatakan,
hingga sampainya kau katakan di tanggal ini—dua bulan yang lalu.
Sebelum
tanggal ini—dua bulan yang lalu, kita sama-sama menikmati ketidakjelasan
yang kita lakukan. Entah apa namanya, hingga di tanggal ini—dua bulan yang lalu,
kamu memperjelas semuanya. Terutarakan semuanya. Kejujuran yang terungkap,
membuat kita mengulang semua dari awal.
Aku
bahagia. Perubahanmu, perubahan kita. Membuatku yakin akan sikapmu. Tapi aku
merasakan perbedaan di tanggal ini—sebulan kemudian.
Manis yang berubah jadi pahit. Aku tak mengerti. Seandainya kamu tau, sebiasa
apapun sikapku di depanmu, aku memiliki rasa cinta yang lebih dari yang kamu
tau.
Semakin
hari, hubungan ini semakin renggang. Entah aku atau kamu yang membuatnya
menjadi seperti ini. Aku tak mengenal kamu yang dulu, tak kurasakan lagi
perhatianmu. Perhatianmu tertuang untuk mereka yang hanya sebatas teman untukmu.
Aku? Seperti musuhmu.
Sampai
saatnya terjadi. Hanya berjarak sepuluh hari setelah tanggal yang sempat
membuatku bahagia. Kamu melepasku tanpa memutar otakmu lagi. Kamu merelakanku
tanpa berpikir susahnya untuk mengutarakan semuanya padaku. Kamu memutuskanku
tanpa alasan yang logis.
Iya,
aku memang salah. Tidakkah kamu berpikir sedikit saja penyebab yang membuatku
salah? Aku begini karenamu. Tapi apa? Kamu selalu mengabaikan penjelasanku.
Kamu selalu berpikir dengan logikamu, tidak menggunakan perasaan!
Dulu
aku sempat berpikir, tidak selamanya seseorang yang pernah salah, akan
selamanya salah. Bagiku, kamu sudah berubah menjadi lebih baik. Tapi
kenyataannya berlawanan. Kamu masih sama seperti dulu. Dan harusnya aku paham
itu.
Meskipun
sudah tak harus mengucap apa-apa di tanggal ini, namun perasaan ini masih
sangat merindukanmu. Masih sangat menyayangimu. Masih mencintaimu. Tapi aku
sudah tidak membutuhkanmu, dan aku sudah tidak mengharapkanmu.
Bayanganmu
masih sering berkeliaran di otakku. Aku tidak bisa benar-benar melupakanmu. Aku
masih memikirkanmu. Masih mengingat segala kejadian yang pernah kita lalui.
Mengenang segalanya yang terlibat padamu.
Aku
tidak benar-benar bisa melupakanmu. Wajahmu masih bisa kulihat, dan telingaku
masih mampu untuk mendengarmu, mendengar suaramu. Mendengarmu memanggil nama
mereka. Entah kesakitan jenis apa yang kamu berikan. Entah dokter macam apa
yang mampu menyembuhkan. Entah apa yang membuatmu sekejam ini.
Mengapa
semua berakhir di saat aku telah berjalan di hatimu terlalu jauh? Mengapa kau
katakan “Stop
sampai di sini” di saat aku tak letih untuk berlari?
Mengapa kau putuskan di saat aku mulai erat menggenggam tali yang kau beri?
Tali yang kamu berikan untuk kita—dua bulan yang lalu.
Menyesalkah
kamu? Mungkin tidak. Kamu hanya bilang, jika ini dilanjutkan, akan sakit
nantinya. Tapi dengan begini, kamu sudah membuatku hancur. Alasan bodoh macam
apa yang kamu rangkai untuk tetap melepaskanku? Ucapan tolol seperti apa yang
kamu ucap untuk tetap merelakanku?
Aku
masih di sini, tapi aku tak akan berjalan menujumu jika kamu memanggilku. Aku
masih mencintaimu, tapi aku tak akan berlari ke arahmu lagi. Keberadaanku hanya
untuk melihatmu bersenang-senang dengan apa yang kamu lakukan, bukan untuk
melebur dalam suasana itu.
Dan
seharusnya, di tanggal ini masih ada doa terselip. Masih ada harapan yang
harusnya terkabul. Namun segala doa sudah tak akan kau ucap lagi. Dan sudah tak
ada yang diharapkan dari tanggal 14.
Entah apa yang harus kukatakan.
Terimakasih untuk segalanya? Segalanya? Termasuk rasa sakitnya? Mungkin.
Terimakasih untuk segalanya. Untuk dua tanggal yang berujung sama dari orang
yang sama juga. Aku masih menyayangimu.
Komentar
Posting Komentar