Complicated [Sepuluh - Return]



Hari-hari aku lewati semakin sering bersama Farel. Sampai tiba saatnya aku memutuskan menjadi teman dengan Rama. Aku memutuskannya Jumat ini juga, tepat tanggal 14 Desember, padahal, delapan hari lagi itu ulang tahun Rama. Aku memang tidak punya persiapan apa-apa untuk ulang tahun Rama.
Seketika itu juga, Rama menghapus namaku di bio twitternya, update-nya seolah benar-benar sudah mengikhlaskanku. Padahal, aku hanya mengirim pesan lewat DM seperti ini,
Kalau kamu ngga bisa berubah sikap, lebih baik kita berteman. Semua akan seperti biasa saja, hanya status yang membedakan kita.
Apakah di situ ada permintaanku untuk putus? Iya, memag ada, tapi kan ada kalimat “Kalau kamu tidak bisa berubah”, berartikan aku masih menginginkan perubahannya. Tapi dia langsung memutuskan untuk putus. Yasudah jika itu inginnya. Aku akan merasa bebas juga menikmati perasaanku.
Dari hari ke hari semenjak kami putus, kami masih sering memberi tanda bahwa kami masih ingin menjalin. Entah mengapa aku begitu. Aku benar-benar bingung dengan semuanya. Aku masih sering DMan dengan Rama, mengungkapkan kalimat masih sayang dalam setiap update, me-retweet masing-masing status. Sampai akhirnya aku dan dia tidak menjadikan 27 Desember sebagai failed mensiversary.
Tanggal 23 aku dan dia balikan dan aku harap ada perubahan dalam sikapnya. Aku masih menunggu perubahannya. Sampai tiba saatnya tanggal 27 sekolahku berangkat ke Lembang untuk Field Study, hanya kelas 11-nya saja. Sebenarnya, aku satu kelompok dengan Farel, tapi Farel tidak bisa ikut karena sudah duluan pulang kampung ke Palembang.
Saat harus tau Farel ke Palembang dan tidak ikut field study, sejujurnya aku sedih dan agak kecewa. Tapi di situ aku masih sms-an dengannya, bahkan mention dan DM-an. Aku tidak peduli lagi tanggapan Rama. Malahan aku akan satu bus dengan Farel, akan sangat seru sekali kalau dia ikut dan aku benar-benar kaget waktu tau aku akan satu bus dengan Rama. Sungguh, sangat kaget.
Di satu sisi aku akan senang. Satu bus dengan kekasih? Pasti seru, walaupun aku berharapnya Farel yang akan seru denganku. Rama duduk di kursi paling belakang, dan aku tidak berada jauh dari kursinya. Tapi apa? Sampai lokasi tujuan sama sekali tidak bercakap dengannya. Keterlaluan. Atau aku yang keterlaluan?
Padahal hari ini tanggal 27, harusnya menjadi tanggal di mana aku dan Rama sama-sama berharap akan bertemu 27 di bulan berikutnya. Tapi apa? Sampai ujung jam di tanggal 27, Rama tidak bicara apa-apa dan tidak ada ucapan apa-apa. Kecewa.
Dan ternyata, aku juga sekelompok dengan Rama. Dari kelas IPA 2, kelasku, dan dari kelas IPA 1, kelas Rama, kami sekelompok. Bagaimana ya kalau Farel ikut? Kutebak, mungkin aku akan tetap asik dengannya ketimbang kekasihku sendiri.
Dalam satu suasana satu kelompok seperti itupun kami tidak ngobrol. Aku yang aneh, atau dia yang keterlaluan? Tak mau tau, aku masih sibuk memikirkan Farel. Sesempatnya, aku sms-an dengannya, sekalipun ada Rama.
Seperjalanan pulang ke Jakarta, aku masih sms-an dan DM-an dengan Farel. Tiba-tiba, Farel membalas DM-ku hanya bilang “Terimakasih, maaf aku sudah mengganggumu selama ini. Ngga usah kamu balas lagi DM ini.” Membuatku jadi bingung, padahal sebelum ini kami baik-baik saja.
Aku terus mendesaknya untuk menjawab pertanyaan, “Ada apa denganmu?” Tapi dia benar-benar tidak mau komunikasi denganku lagi. Padahal, dari semalam, aku sms-an dengannya. Di bus pun aku memikirkannya. Otakku tak berhenti bekerja untuk terus memikirkannya. Mengapa dia jadi begitu? Aku takut kehilangannya. Aku merindukannya. Aku menangisinya.
Aku menangis dalam jaket yang kututupi di wajahku, yap, menangisi Farel. Walaupun di depanku ada Rama yang berdiri sambil membaca novel yang dia pinjam padaku. Aku tidak peduli. Mungkin aku egois, tapi siapa yang bisa mengartikan semua ini kalau ada di posisiku? Terjepit antara masa lalu yang selalu kurindukan dan masa sekarang yang dipaksakan.
Matahari sudah tenggelam dan bintang sudah menggantikan posisi matahari yang memang seharusnya. Aku masih memikirkan Farel. Lagu-lagu yang diputar di audio bus nya cukup mewakilkan perasaanku saat ini.
Aku ingin engkau ada di sini
Menemaniku saat sepi, menemaniku saat gundah.
Berat hidup ini tanpa dirimu
Ku hanya mencintai kamu, ku hanya memiliki kamu.
Aku rindu setengah mati kepadamu
Sungguh kuingin kau tau, aku rindu setengah mati..
Meski tlah lama kita tak bertemu
Ku slalu memimpikan kamu, ku tak bisa hidup tanpamu..
Aku sangat-sangat merindukan sosok Farel. Harus menunggu sepuluh hari lagi untuk bisa bertemu Farel. Sehabis lagu Rindu Setengah Mati diputar, lagu Manusia Biasa milik Yovie and Nuno yang diputar.
“Ini lagu siapa sih?” tanyaku.
“Manusia biasa, yovie and nuno.” jawab Sofi, aku memang sebangku dengannya.
‘Ohhh jadi ini lagu yang di-request Farel selagi di rumah Dama.’ ucapku dalam hati.
Aku benar-benar memasang telinga untuk mendengar tiap kata yang menjadi lirik di lagu ini, dan kusimpulkan, sampai sekarang Farel memang masih mencintaiku, begitupun aku. Namun perasaan kami masih dikuasai gengsi.
Sesampainya dan seturunnya aku dari bus, Rama menyamai langkahku dan memberiku sebatang coklat. Aku menerimanya, entah apa maksudnya. Aku masih sanggup untuk menyunggingkan senyum padanya, walau sebenarnya hatiku menangisi Farel.
Aku sudah dijemput ayahku, dan aku pamit duluan pada Rama. Sesampainya di rumah, aku menangis, menangis sejadi-jadinya walau dalam diam. Aku menulis semua isi hatiku di buku yang Rina dan Marsha kadokan padaku dulu. Kuceritakan semuanya di situ.
Aku berusaha tegar pada pendirianku, mengikuti kata hatiku. Detik ini juga aku putuskan, bahwa aku masih mencintai Farel, aku masih ingin bersama Farel, dan kalau aku harus memilih, aku yakin seyakin-yakinnya, memang Farel yang harus aku pilih. Kembali menyatu atau tidak, itu belakangan dan bukan jadi maslah untukku. Cukup bersama Farel sebagai teman, itu sudah membuatku bahagia.
Rama tidak memberi perubahan apa-apa. Dia sama saja. Tidak berani menyapaku, menghampiriku, atau bicara padaku langsung dan aku memutuskan untuk benar-benar menjadi temannya saja. Terserah dia menganggapku apa. Yang jelas, aku sudah jujur pada hatiku.
Farel mengirim pesan singkat padaku dan dia bilang, bahwa kemarin dia emosi, dan akulah pelampiasannya. Sejak itu, aku sms-an lagi dengannya. Walau kadang membalasnya lama, ya aku tau, kami sedang beda pulau sekarang.
Tiba saatnya malam pergantian tahun. Tidak ada bedanya bagiku, sama saja dengan malam-malam yang akan berganti pagi seperti biasanya. Aku memberi ucapan “Selamat tahun baru.” pada Farel. Dan baru saja aku memberi ucapan pada Rama, dia sudah mengirim DM duluan. Aku tidak mau kami menjadi musuh setelah putus. Buktinya, aku tidak musuhan dengan Farel setelah putus.
Aku masih merindukan Farel, dia tidak membalas DM-ku. Dia juga tidak mengirim pesan singkat padaku. Dia selalu saja berhasil membuatku galau setengah hidup.
Aku dan keluargaku pergi berlibur ke Negara tetangga, Malaysia. Sebenarnya cukup berat meninggalkan tanah kelahiranku, saat ini. Mengapa? Aku akan semakin sulit komunikasi dengan Farel kalau aku ke Malaysia. Tapi apa mau dikata? Tiket pesawat sudah di tangan dan besok aku berangkat bersama orangtuaku dan kedua adikku.
Salah tidak membawa perasaan rindu yang amat mendalam dan kegalauan yang teramat sangat ke Negara orang?
Sesampainya di sana, ponselku tidak ada sinyal dan saat perjalanan menuju rumah, aku menukar simcard-ku dengan simcard milik ayahku. Mungkin untuk beberapa saat nomerku tidak aktif.
Loh, memang siapa yang akan menghubungiku? Teman-temanku? Mereka bisa menghubungiku lewat twitter kok. Keluargaku yang di rumah? Mereka sudah tau bahwa selama di Kuala Lumpur nomerku akan off,dan akan menghubungi ke nomer ayahku. Apakah aku berharap Farel yang mencariku?
Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Kerjaanku setiap malam sebelum tidur hanyalah membayangkan wajahnya. Membayangkan sikapnya, senyumnya, dan suaranya. Baru hari pertama di sini, rasanya sudah ingin cepat-cepat pulang, masuk sekolah, dan melihatnya. Sayangnya, masih tiga hari lagi aku di sini.
Mengapa saat aku baru sampai KL, Farel mengirim pesan singkat padaku? Diam-diam aku memasang simcard-ku, dan aku lihat ada satu pesan dari Farel. Apa aku balas saja ya sms-nya? Apa aku diamkan? Pulsaku tinggal tujuh ribu, kira-kira berapa ya kalau mengirim sms? Sudahlah, ngga mau perhitungan pada orang yang aku cinta. Kukirim saja pesan singkat untuknya, dan aku merelakan enam ribuku itu. Tapi dia tidak membalasnya.
Siang hariku benar-benar membosankan. Aku hanya bisa on twitter entah dengan siapapun aku mention-an. Teman-temanku off semua, aku hanya bisa melihat following-ku berkeliaran di timeline, membuatku malas untuk sekadar me-retweet tweet mereka. Tiga kali mengirim DM pada Farel, tapi tidak dibalas. Positifku, Farel sedang tidak on. Sudahlah.
Sebelum keberangkatan liburanku ke Malaysia, aku pernah meminta buah tangan pada Farel jika ia berada di Palembang. Dia pun begitu, selagi aku pergi ke Lembang dan aku memutuskan akan membawakannya buah tangan dari Malaysia. Bukan boneka upin-ipin ataupun menara kembar yang menjadi ciri khas Negara Malaysia. Aku membelikannya cokelat dan gantungan kunci. Semoga saja dia suka.
Akhirnyaaaaa, besok pagi aku akan terbang ke Jakarta. Empat hari di Negara orang tak menjadikanku untuk menyukai tinggal di sana, aku ingin tetap di Indonesia saja. Aku merindukan segala-galanya yang ada di Indonesia.
Jam sepuluh waktu Indonesia, aku menginjak tanahnya lagi setelah empat hari di Malaysia dan yang pertama kulakukan adalah mengirim pesan singkat ke Farel. Aku sengaja sudah memasang simcard-ku selagi di perjalanan ke bandara di Malaysia, supaya sesampainya di Jakarta, aku sudah siap untuk mengirim pesan sigkat, hahahahaha.
Baru beberapa menit, Farel membalasnya. Sungguh menyenangkan. Kupikir, waktu smsku tidak dibalas olehnya, dia sudah tidak mau lagi sms-an denganku, nyatanya pesan singkat ku masih dibalas. Tanpa kusadar, setelah nomerku aktif kembali, ada satu chat di whatsapp, dan satu pesan dari kakak kelasku, namun aku mengabaikan pesan singkat dari kaka kelas itu.
“Lun, ini nomerku yang baru, save ya. Rama.”
Ohh, jadi Rama ganti nomer, dan sepertinya ponselnya baru. Aku hanya membalas “Iya”. Kemudian aku lanjutkan berkomunikasi dengan Farel. Aku benar-benar senang dan menikmati ketidakjelasanku dengan Farel.
Aku jadi tidak sabar untuk buru-buru besok, bertemu dengannya dan berargumen dengannya. Aku benar-benar merindukannya. Hampir tiga pekan tidak bertemu dengannya. Satu hari itu kami tidak bercakap apa-apa. Sepulang sekolah, aku berpapasan dengannya di parkiran, dengan urat gengsi yang telah putus, aku memanggilnya dan memasukan buah tangan untuknya ke dalam tasnya.
“Eh, oleh-olehmu masih di rumahku. Nanti malam ya aku ke rumahmu.” katanya. Ya Tuhan, aku sangat merindukan suaranya.
“Gak usah repot-repot begitu, besok aja di sekolah juga ngga papa.”
“Oh yaudah deh.” ada nada kecewa di situ.
Aku pulang dengan ketiga temanku dan aku sms-an dengan Farel, saatnya malam.
From: Farel
Aku akan mengantar oleh-olehmu ke rumahmu, sekarang.
Mengetik.
To: Farel
Jangan maksain deh, ini udah jam setengah sepuluh malam.
Ngga sampai satu menit.
From: Farel
Aku udah di taman duta dan sebentar lagi sampai rumah kamu.
Manusia ini kadang memang nekat!
Nggak lama motornya terparkir di depan gerbang rumahku.
“Ini untukmu.” berinya.
“Kamu tuh ya, kaya ngga ada besok aja.”
“Yasudah, aku pulang ya.”
“Iya, hati-hati ya Farel, terimakasih banyak ya.” kataku padanya.
Sebenarnya tidak masalah kalau dia tidak membawakanku oleh-oleh, tapi rupanya dia membawakannya untukku. Sampai seesoknya aku terus dipojoki oleh teman-temanku yang tidak aku bawakan cokelat dari Malaysia.
“Jadi cuma Farel nih yang di oleh-olehi cokelat? Aku engga?”
Dan aku hanya bisa tersenyum menanggapi beberapa ucapan teman-temanku.
Hari demi hari, waktu Farel semakin sering ada untukku, walaupun sekadar menemani sms-an. Dan aku benar-benar merasa sudah terkunci padanya. Sofi bercerita tentang cowo manapun yang dia bilang ganteng, sama sekali tidak memeka pada telingaku. Bertemu cowo sebagaimanpun tak meruntuhkan keinginanku untuk tetap memperjelaskan perasaan ini.
Jatuh di tanggal 14 Januari, tak mengerti apa yang terjadi dengan hari ini. Berniatan hanya untuk belajar agama di rumah Marsha, tapi malah aku yang disidang ketiga temanku, ada Farel juga di situ.
“Kita bertiga mau menyidangmu.” ucap Sofi.
“Sudah, duduk di situ kamu, lepas headset-mu.” kata Marsha.
“Aku sudah tidak sabar ingin menyidangnya”. kata Rina.
“Kalian mau dengar apa dari aku?” tanyaku.
“Rel, serius, jangan bercanda. Jangan cuma di belakang Luna beraninya. Buktiin kalau memang kamu masih sayang padanya.” ucap Marsha.
“Aduh, ini permainan apa sih?” aku masih mengelak.
“Ahhh sudah jangan seperti itu.” kata Rina dan Sofi.
“Ya, ini daritadi aku juga serius hahahaha.” Farel memang selengean.
“Rel, jujur pada perasaanmu sekarang. Kamu masih sayang kan sama Luna?” tanya Marsha.
Farel malah memutar bola matanya, lalu meliriku. Aku hanya memasang tatapan datar. Menunggu saja apa maksud mereka semua.
“Katakan, bahwa kamu masih mencintai Luna. Jujur, kamu cemburu kan waktu Luna sama Rama?” tanya Marsha. Farel diam agak lama. Lalu dia mengangguk.
“Tuh Lun, Farel sudah mengaku kalau dia cemburu waktu kamu sama Rama.” kata Sofi.
“Kalau memang kamu cemburu, kenapa dulu kamu bilang kalau kamu sudah menyukai Indriana sebelum kita jadian?” tanyaku.
“Nahloh! Jawab Rel.” sorak ketiga temanku. Farel malah ikutan tertawa.
“Dulu aku sebal karena kamu cepat sekali mendapat yang baru dan Indriana hanya untuk membuatmu cemburu.” jawabnya.
“Lantas, waktu kamu mendekati Rina? Kamu menyukainya kan?”
“Ngga.” katanya.
“Itu hanya untuk membuatmu cemburu Lun.” kata Sofi.
“Nah iya.” kata Farel.
“Rel, kamu masih sayang ngga sama Luna?” tanya Marsha. Farel mengangguk.
“Masih cinta?” tanya Sofi. Farel mengangguk.
“Masih mau ngga jadi pacarnya Luna?” tanya Rina.
“Mau, tapi ngga tau Luna nya.” Jawab Farel.
“Tuh Lun denger!!! Gimana sama kamunya? Masih sayang ngga sama Farel?” tanya Marsha.
“Hem, sebenernya kita sama-sama tau, tapi kita tuh sama-sama pura-pura ngga tau.” jawabku.
“Hahahaha, tuh Rel denger hahahaha.” tawa tiga temanku.
“Ngerti ngga maksudnya?” tanyaku. Farel tersenyum dan mengangguk.
“Rel cepet tembak, tapi Luna gak mau tanggal 4, dia maunya tanggal baru, dan kalo jadi, hari ini. Annive Teletubbies bakal jadi tanggal special Lun buat kamu. Ayo Rel, jangan beraninya di belakang ah.” antusias Marsha.
“Em, Lun, mau ngga balikan sama aku?” tanyanya.
Aku benar-benar tak menyangka, Farel se-gentle ini menyatakan semuanya. Baru saja aku ingin menjawab, tapi Esa, kekasih Marsha sudah datang, ketiga temanku dan Farel memang berniat me-fotocopy tugas agamku, dan kami semua bersama Esa pergi ke tempat fotocopy-an dahulu sebelum benar-benar pulang.
“Eh, Sof, kamu bawa motornya Luna. Biar Luna naik sama Farel.” kompor Marsha.
Mungkin mereka bertiga mewakili perasaanku. Dan seperjalanan ke tempat fotocopy-an, aku cukup banyak bicara pada Farel.
“Jujur, aku pun masih sayang sama kamu, tapi aku takut kamu yang kaya dulu, sering ninggalin aku, ngga bales sms. Aku ngga nuntut kamu untuk setiap menit mengirim pesan singkat padaku, yang penting beri aku kabar.”
“Iya, aku paham keinginanmu. Bagaimana? Aku diterima ngga?”
“Iya, kita balikan. Satu hal lagi, jangan asingkan aku kalau kamu sedang bercanda dengan teman-teman. Anggap aku temanmu juga saat suasana itu. Aku ngga mau kita dekat hanya sepulang sekolah, di motor. Jangan begitu.”
Dan kami sampai di tempat fotocopy-an.
“Gimana? Sudah belum??” tanya Marsha. Kurasa sebantar lagi Marsha akan meledak. Malam ini sungguh kompor dia.
“Apa sih Sha?” tanyaku.
Kami pulang dan motorku masih dibawa Sofi sampai taman duta. Sesampainya di taman duta.
“Rel, Lun udah belum?” tanya Sofi.
“Ih kepoooo.” kata Farel.
Aku sih hanya tersenyum saja melihat mereka yang ingin tahu aku sudah jadian atau belum. Rasanya seperti baru jadian pertama. Aku bahagia malam ini. Sofi dan Rina terus mengepoiku dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, namun karena waktu tidak bersahabat harus memaksaku cepat-cepat pulang ke rumah. Dan mereka pun pulang.
Canggung rasanya. Entah sebutan apa yang harus kupanggil ke Farel, begitupun dia. Sebenarnya aku tidak mengira kalau hari ini akan seperti ini jadinya. Ini benar-benar di luar segala dugaanku dan Farel, kami benar-benar tidak menyangka.
Aku senang dengan apa yang terjadi hari ini. Tapi kebingunganku masih saja mengitari isi kepalaku. Apa Farel akan benar-benar berubah? Apa sikapnya tak akan seperti dulu lagi? Apa dia tidak akan lagi meninggalkanku? Apa dia akan berubah menjadi seseorang selayaknya kekasihku? Apa dia tidak akan membuatku menangis lagi? Apa dia tidak akan membuatku menunggu lagi?
Hari ke hari aku lewati bersamanya. Duduk di sampingnya benar-benar nyaman. Wanginya dapat menembus sela-sela hidungku. Bercakap dengannya membuatku tak ingin mengakhiri setiap hariku. Ingin sekali aku hentikan waktu saat bertatap dengannya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]