Complicated [Sepuluh - Return]
Hari-hari aku lewati
semakin sering bersama Farel. Sampai tiba saatnya aku memutuskan menjadi teman
dengan Rama. Aku memutuskannya Jumat ini juga, tepat tanggal 14 Desember,
padahal, delapan hari lagi itu ulang tahun Rama. Aku memang tidak punya
persiapan apa-apa untuk ulang tahun Rama.
Seketika itu juga, Rama
menghapus namaku di bio twitternya, update-nya
seolah benar-benar sudah mengikhlaskanku. Padahal, aku hanya mengirim pesan
lewat DM seperti ini,
Kalau
kamu ngga bisa berubah sikap, lebih baik kita berteman. Semua akan seperti
biasa saja, hanya status yang membedakan kita.
Apakah di situ ada
permintaanku untuk putus? Iya, memag ada, tapi kan ada kalimat “Kalau kamu
tidak bisa berubah”, berartikan aku masih menginginkan perubahannya. Tapi dia
langsung memutuskan untuk putus. Yasudah jika itu inginnya. Aku akan merasa
bebas juga menikmati perasaanku.
Dari hari ke hari
semenjak kami putus, kami masih sering memberi tanda bahwa kami masih ingin
menjalin. Entah mengapa aku begitu. Aku benar-benar bingung dengan semuanya. Aku
masih sering DMan dengan Rama, mengungkapkan kalimat masih sayang dalam setiap update, me-retweet masing-masing status. Sampai akhirnya aku dan dia tidak
menjadikan 27 Desember sebagai failed mensiversary.
Tanggal 23 aku dan dia
balikan dan aku harap ada perubahan dalam sikapnya. Aku masih menunggu
perubahannya. Sampai tiba saatnya tanggal 27 sekolahku berangkat ke Lembang
untuk Field Study, hanya kelas 11-nya saja. Sebenarnya, aku satu kelompok
dengan Farel, tapi Farel tidak bisa ikut karena sudah duluan pulang kampung ke
Palembang.
Saat harus tau Farel ke
Palembang dan tidak ikut field study, sejujurnya aku sedih dan agak kecewa. Tapi
di situ aku masih sms-an dengannya, bahkan mention
dan DM-an. Aku tidak peduli lagi tanggapan Rama. Malahan aku akan satu bus
dengan Farel, akan sangat seru sekali kalau dia ikut dan aku benar-benar kaget
waktu tau aku akan satu bus dengan Rama. Sungguh, sangat kaget.
Di satu sisi aku akan
senang. Satu bus dengan kekasih? Pasti seru, walaupun aku berharapnya Farel
yang akan seru denganku. Rama duduk di kursi paling belakang, dan aku tidak
berada jauh dari kursinya. Tapi apa? Sampai lokasi tujuan sama sekali tidak
bercakap dengannya. Keterlaluan. Atau aku yang keterlaluan?
Padahal hari ini
tanggal 27, harusnya menjadi tanggal di mana aku dan Rama sama-sama berharap
akan bertemu 27 di bulan berikutnya. Tapi apa? Sampai ujung jam di tanggal 27, Rama
tidak bicara apa-apa dan tidak ada ucapan apa-apa. Kecewa.
Dan ternyata, aku juga
sekelompok dengan Rama. Dari kelas IPA 2, kelasku, dan dari kelas IPA 1, kelas Rama,
kami sekelompok. Bagaimana ya kalau Farel ikut? Kutebak, mungkin aku akan tetap
asik dengannya ketimbang kekasihku sendiri.
Dalam satu suasana satu
kelompok seperti itupun kami tidak ngobrol. Aku yang aneh, atau dia yang
keterlaluan? Tak mau tau, aku masih sibuk memikirkan Farel. Sesempatnya, aku sms-an
dengannya, sekalipun ada Rama.
Seperjalanan pulang ke Jakarta,
aku masih sms-an dan DM-an dengan Farel. Tiba-tiba, Farel membalas DM-ku hanya
bilang “Terimakasih, maaf aku sudah mengganggumu selama ini. Ngga usah kamu
balas lagi DM ini.” Membuatku jadi bingung, padahal sebelum ini kami baik-baik
saja.
Aku terus mendesaknya
untuk menjawab pertanyaan, “Ada apa denganmu?” Tapi dia benar-benar tidak mau
komunikasi denganku lagi. Padahal, dari semalam, aku sms-an dengannya. Di bus
pun aku memikirkannya. Otakku tak berhenti bekerja untuk terus memikirkannya. Mengapa
dia jadi begitu? Aku takut kehilangannya. Aku merindukannya. Aku menangisinya.
Aku menangis dalam
jaket yang kututupi di wajahku, yap, menangisi Farel. Walaupun di depanku ada Rama
yang berdiri sambil membaca novel yang dia pinjam padaku. Aku tidak peduli.
Mungkin aku egois, tapi siapa yang bisa mengartikan semua ini kalau ada di
posisiku? Terjepit antara masa lalu yang selalu kurindukan dan masa sekarang
yang dipaksakan.
Matahari sudah
tenggelam dan bintang sudah menggantikan posisi matahari yang memang
seharusnya. Aku masih memikirkan Farel. Lagu-lagu yang diputar di audio bus nya
cukup mewakilkan perasaanku saat ini.
Aku
ingin engkau ada di sini
Menemaniku saat sepi, menemaniku saat gundah.
Berat hidup ini tanpa dirimu
Ku hanya mencintai kamu, ku hanya memiliki kamu.
Menemaniku saat sepi, menemaniku saat gundah.
Berat hidup ini tanpa dirimu
Ku hanya mencintai kamu, ku hanya memiliki kamu.
Aku
rindu setengah mati kepadamu
Sungguh kuingin kau tau, aku rindu setengah mati..
Sungguh kuingin kau tau, aku rindu setengah mati..
Meski
tlah lama kita tak bertemu
Ku slalu memimpikan kamu, ku tak bisa hidup tanpamu..
Ku slalu memimpikan kamu, ku tak bisa hidup tanpamu..
Aku sangat-sangat
merindukan sosok Farel. Harus menunggu sepuluh hari lagi untuk bisa bertemu Farel.
Sehabis lagu Rindu Setengah Mati diputar, lagu Manusia Biasa milik Yovie and
Nuno yang diputar.
“Ini lagu siapa sih?”
tanyaku.
“Manusia biasa, yovie and nuno.” jawab Sofi, aku memang sebangku dengannya.
“Manusia biasa, yovie and nuno.” jawab Sofi, aku memang sebangku dengannya.
‘Ohhh jadi ini lagu
yang di-request Farel selagi di rumah
Dama.’ ucapku dalam hati.
Aku benar-benar
memasang telinga untuk mendengar tiap kata yang menjadi lirik di lagu ini, dan kusimpulkan,
sampai sekarang Farel memang masih mencintaiku, begitupun aku. Namun perasaan kami
masih dikuasai gengsi.
Sesampainya dan
seturunnya aku dari bus, Rama menyamai langkahku dan memberiku sebatang coklat.
Aku menerimanya, entah apa maksudnya. Aku masih sanggup untuk menyunggingkan senyum
padanya, walau sebenarnya hatiku menangisi Farel.
Aku sudah dijemput ayahku,
dan aku pamit duluan pada Rama. Sesampainya di rumah, aku menangis, menangis
sejadi-jadinya walau dalam diam. Aku menulis semua isi hatiku di buku yang Rina
dan Marsha kadokan padaku dulu. Kuceritakan semuanya di situ.
Aku berusaha tegar pada
pendirianku, mengikuti kata hatiku. Detik ini juga aku putuskan, bahwa aku
masih mencintai Farel, aku masih ingin bersama Farel, dan kalau aku harus
memilih, aku yakin seyakin-yakinnya, memang Farel yang harus aku pilih. Kembali
menyatu atau tidak, itu belakangan dan bukan jadi maslah untukku. Cukup bersama
Farel sebagai teman, itu sudah membuatku bahagia.
Rama tidak memberi
perubahan apa-apa. Dia sama saja. Tidak berani menyapaku, menghampiriku, atau
bicara padaku langsung dan aku memutuskan untuk benar-benar menjadi temannya
saja. Terserah dia menganggapku apa. Yang jelas, aku sudah jujur pada hatiku.
Farel mengirim pesan
singkat padaku dan dia bilang, bahwa kemarin dia emosi, dan akulah
pelampiasannya. Sejak itu, aku sms-an lagi dengannya. Walau kadang membalasnya
lama, ya aku tau, kami sedang beda pulau sekarang.
Tiba saatnya malam
pergantian tahun. Tidak ada bedanya bagiku, sama saja dengan malam-malam yang
akan berganti pagi seperti biasanya. Aku memberi ucapan “Selamat tahun baru.”
pada Farel. Dan baru saja aku memberi ucapan pada Rama, dia sudah mengirim DM
duluan. Aku tidak mau kami menjadi musuh setelah putus. Buktinya, aku tidak
musuhan dengan Farel setelah putus.
Aku masih merindukan Farel,
dia tidak membalas DM-ku. Dia juga tidak mengirim pesan singkat padaku. Dia
selalu saja berhasil membuatku galau setengah hidup.
Aku dan keluargaku
pergi berlibur ke Negara tetangga, Malaysia. Sebenarnya cukup berat
meninggalkan tanah kelahiranku, saat ini. Mengapa? Aku akan semakin sulit
komunikasi dengan Farel kalau aku ke Malaysia. Tapi apa mau dikata? Tiket
pesawat sudah di tangan dan besok aku berangkat bersama orangtuaku dan kedua
adikku.
Salah tidak membawa perasaan
rindu yang amat mendalam dan kegalauan yang teramat sangat ke Negara orang?
Sesampainya di sana,
ponselku tidak ada sinyal dan saat perjalanan menuju rumah, aku menukar simcard-ku dengan simcard milik ayahku. Mungkin untuk beberapa saat nomerku tidak
aktif.
Loh, memang siapa yang
akan menghubungiku? Teman-temanku? Mereka bisa menghubungiku lewat twitter kok.
Keluargaku yang di rumah? Mereka sudah tau bahwa selama di Kuala Lumpur nomerku
akan off,dan akan menghubungi ke nomer
ayahku. Apakah aku berharap Farel yang mencariku?
Aku tidak bisa berhenti
memikirkannya. Kerjaanku setiap malam sebelum tidur hanyalah membayangkan
wajahnya. Membayangkan sikapnya, senyumnya, dan suaranya. Baru hari pertama di sini,
rasanya sudah ingin cepat-cepat pulang, masuk sekolah, dan melihatnya. Sayangnya,
masih tiga hari lagi aku di sini.
Mengapa saat aku baru
sampai KL, Farel mengirim pesan singkat padaku? Diam-diam aku memasang simcard-ku, dan aku lihat ada satu pesan
dari Farel. Apa aku balas saja ya sms-nya? Apa aku diamkan? Pulsaku tinggal
tujuh ribu, kira-kira berapa ya kalau mengirim sms? Sudahlah, ngga mau
perhitungan pada orang yang aku cinta. Kukirim saja pesan singkat untuknya, dan
aku merelakan enam ribuku itu. Tapi dia tidak membalasnya.
Siang hariku benar-benar
membosankan. Aku hanya bisa on
twitter entah dengan siapapun aku mention-an.
Teman-temanku off semua, aku hanya
bisa melihat following-ku berkeliaran
di timeline, membuatku malas untuk
sekadar me-retweet tweet mereka. Tiga kali mengirim DM pada
Farel, tapi tidak dibalas. Positifku, Farel sedang tidak on. Sudahlah.
Sebelum keberangkatan
liburanku ke Malaysia, aku pernah meminta buah tangan pada Farel jika ia berada
di Palembang. Dia pun begitu, selagi aku pergi ke Lembang dan aku memutuskan
akan membawakannya buah tangan dari Malaysia. Bukan boneka upin-ipin ataupun menara
kembar yang menjadi ciri khas Negara Malaysia. Aku membelikannya cokelat dan
gantungan kunci. Semoga saja dia suka.
Akhirnyaaaaa, besok
pagi aku akan terbang ke Jakarta. Empat hari di Negara orang tak menjadikanku
untuk menyukai tinggal di sana, aku ingin tetap di Indonesia saja. Aku
merindukan segala-galanya yang ada di Indonesia.
Jam sepuluh waktu
Indonesia, aku menginjak tanahnya lagi setelah empat hari di Malaysia dan yang
pertama kulakukan adalah mengirim pesan singkat ke Farel. Aku sengaja sudah
memasang simcard-ku selagi di
perjalanan ke bandara di Malaysia, supaya sesampainya di Jakarta, aku sudah
siap untuk mengirim pesan sigkat, hahahahaha.
Baru beberapa menit, Farel
membalasnya. Sungguh menyenangkan. Kupikir, waktu smsku tidak dibalas olehnya,
dia sudah tidak mau lagi sms-an denganku, nyatanya pesan singkat ku masih
dibalas. Tanpa kusadar, setelah nomerku aktif kembali, ada satu chat di
whatsapp, dan satu pesan dari kakak kelasku, namun aku mengabaikan pesan
singkat dari kaka kelas itu.
“Lun, ini nomerku yang
baru, save ya. Rama.”
Ohh, jadi Rama ganti
nomer, dan sepertinya ponselnya baru. Aku hanya membalas “Iya”. Kemudian aku
lanjutkan berkomunikasi dengan Farel. Aku benar-benar senang dan menikmati
ketidakjelasanku dengan Farel.
Aku jadi tidak sabar
untuk buru-buru besok, bertemu dengannya dan berargumen dengannya. Aku benar-benar
merindukannya. Hampir tiga pekan tidak bertemu dengannya. Satu hari itu kami
tidak bercakap apa-apa. Sepulang sekolah, aku berpapasan dengannya di parkiran,
dengan urat gengsi yang telah putus, aku memanggilnya dan memasukan buah tangan
untuknya ke dalam tasnya.
“Eh, oleh-olehmu masih
di rumahku. Nanti malam ya aku ke rumahmu.” katanya. Ya Tuhan, aku sangat
merindukan suaranya.
“Gak usah repot-repot begitu, besok aja di sekolah juga ngga papa.”
“Oh yaudah deh.” ada nada kecewa di situ.
“Gak usah repot-repot begitu, besok aja di sekolah juga ngga papa.”
“Oh yaudah deh.” ada nada kecewa di situ.
Aku pulang dengan
ketiga temanku dan aku sms-an dengan Farel, saatnya malam.
From: Farel
Aku akan mengantar oleh-olehmu ke rumahmu, sekarang.
Aku akan mengantar oleh-olehmu ke rumahmu, sekarang.
Mengetik.
To: Farel
Jangan maksain deh, ini udah jam setengah sepuluh malam.
Jangan maksain deh, ini udah jam setengah sepuluh malam.
Ngga sampai satu menit.
From: Farel
Aku udah di taman duta dan sebentar lagi sampai rumah kamu.
Aku udah di taman duta dan sebentar lagi sampai rumah kamu.
Manusia ini kadang
memang nekat!
Nggak lama motornya
terparkir di depan gerbang rumahku.
“Ini untukmu.” berinya.
“Kamu tuh ya, kaya ngga ada besok aja.”
“Yasudah, aku pulang ya.”
“Iya, hati-hati ya Farel, terimakasih banyak ya.” kataku padanya.
“Ini untukmu.” berinya.
“Kamu tuh ya, kaya ngga ada besok aja.”
“Yasudah, aku pulang ya.”
“Iya, hati-hati ya Farel, terimakasih banyak ya.” kataku padanya.
Sebenarnya tidak
masalah kalau dia tidak membawakanku oleh-oleh, tapi rupanya dia membawakannya
untukku. Sampai seesoknya aku terus dipojoki oleh teman-temanku yang tidak aku
bawakan cokelat dari Malaysia.
“Jadi cuma Farel nih
yang di oleh-olehi cokelat? Aku engga?”
Dan aku hanya bisa
tersenyum menanggapi beberapa ucapan teman-temanku.
Hari demi hari, waktu Farel
semakin sering ada untukku, walaupun sekadar menemani sms-an. Dan aku benar-benar
merasa sudah terkunci padanya. Sofi bercerita tentang cowo manapun yang dia
bilang ganteng, sama sekali tidak memeka pada telingaku. Bertemu cowo
sebagaimanpun tak meruntuhkan keinginanku untuk tetap memperjelaskan perasaan
ini.
Jatuh di tanggal 14
Januari, tak mengerti apa yang terjadi dengan hari ini. Berniatan hanya untuk
belajar agama di rumah Marsha, tapi malah aku yang disidang ketiga temanku, ada
Farel juga di situ.
“Kita bertiga mau
menyidangmu.” ucap Sofi.
“Sudah, duduk di situ kamu, lepas headset-mu.” kata Marsha.
“Aku sudah tidak sabar ingin menyidangnya”. kata Rina.
“Kalian mau dengar apa dari aku?” tanyaku.
“Rel, serius, jangan bercanda. Jangan cuma di belakang Luna beraninya. Buktiin kalau memang kamu masih sayang padanya.” ucap Marsha.
“Aduh, ini permainan apa sih?” aku masih mengelak.
“Ahhh sudah jangan seperti itu.” kata Rina dan Sofi.
“Ya, ini daritadi aku juga serius hahahaha.” Farel memang selengean.
“Rel, jujur pada perasaanmu sekarang. Kamu masih sayang kan sama Luna?” tanya Marsha.
“Sudah, duduk di situ kamu, lepas headset-mu.” kata Marsha.
“Aku sudah tidak sabar ingin menyidangnya”. kata Rina.
“Kalian mau dengar apa dari aku?” tanyaku.
“Rel, serius, jangan bercanda. Jangan cuma di belakang Luna beraninya. Buktiin kalau memang kamu masih sayang padanya.” ucap Marsha.
“Aduh, ini permainan apa sih?” aku masih mengelak.
“Ahhh sudah jangan seperti itu.” kata Rina dan Sofi.
“Ya, ini daritadi aku juga serius hahahaha.” Farel memang selengean.
“Rel, jujur pada perasaanmu sekarang. Kamu masih sayang kan sama Luna?” tanya Marsha.
Farel malah memutar
bola matanya, lalu meliriku. Aku hanya memasang tatapan datar. Menunggu saja
apa maksud mereka semua.
“Katakan, bahwa kamu
masih mencintai Luna. Jujur, kamu cemburu kan waktu Luna sama Rama?” tanya Marsha.
Farel diam agak lama. Lalu dia mengangguk.
“Tuh Lun, Farel sudah mengaku kalau dia cemburu waktu kamu sama Rama.” kata Sofi.
“Kalau memang kamu cemburu, kenapa dulu kamu bilang kalau kamu sudah menyukai Indriana sebelum kita jadian?” tanyaku.
“Nahloh! Jawab Rel.” sorak ketiga temanku. Farel malah ikutan tertawa.
“Dulu aku sebal karena kamu cepat sekali mendapat yang baru dan Indriana hanya untuk membuatmu cemburu.” jawabnya.
“Lantas, waktu kamu mendekati Rina? Kamu menyukainya kan?”
“Ngga.” katanya.
“Itu hanya untuk membuatmu cemburu Lun.” kata Sofi.
“Nah iya.” kata Farel.
“Rel, kamu masih sayang ngga sama Luna?” tanya Marsha. Farel mengangguk.
“Masih cinta?” tanya Sofi. Farel mengangguk.
“Masih mau ngga jadi pacarnya Luna?” tanya Rina.
“Mau, tapi ngga tau Luna nya.” Jawab Farel.
“Tuh Lun denger!!! Gimana sama kamunya? Masih sayang ngga sama Farel?” tanya Marsha.
“Hem, sebenernya kita sama-sama tau, tapi kita tuh sama-sama pura-pura ngga tau.” jawabku.
“Hahahaha, tuh Rel denger hahahaha.” tawa tiga temanku.
“Ngerti ngga maksudnya?” tanyaku. Farel tersenyum dan mengangguk.
“Rel cepet tembak, tapi Luna gak mau tanggal 4, dia maunya tanggal baru, dan kalo jadi, hari ini. Annive Teletubbies bakal jadi tanggal special Lun buat kamu. Ayo Rel, jangan beraninya di belakang ah.” antusias Marsha.
“Em, Lun, mau ngga balikan sama aku?” tanyanya.
“Tuh Lun, Farel sudah mengaku kalau dia cemburu waktu kamu sama Rama.” kata Sofi.
“Kalau memang kamu cemburu, kenapa dulu kamu bilang kalau kamu sudah menyukai Indriana sebelum kita jadian?” tanyaku.
“Nahloh! Jawab Rel.” sorak ketiga temanku. Farel malah ikutan tertawa.
“Dulu aku sebal karena kamu cepat sekali mendapat yang baru dan Indriana hanya untuk membuatmu cemburu.” jawabnya.
“Lantas, waktu kamu mendekati Rina? Kamu menyukainya kan?”
“Ngga.” katanya.
“Itu hanya untuk membuatmu cemburu Lun.” kata Sofi.
“Nah iya.” kata Farel.
“Rel, kamu masih sayang ngga sama Luna?” tanya Marsha. Farel mengangguk.
“Masih cinta?” tanya Sofi. Farel mengangguk.
“Masih mau ngga jadi pacarnya Luna?” tanya Rina.
“Mau, tapi ngga tau Luna nya.” Jawab Farel.
“Tuh Lun denger!!! Gimana sama kamunya? Masih sayang ngga sama Farel?” tanya Marsha.
“Hem, sebenernya kita sama-sama tau, tapi kita tuh sama-sama pura-pura ngga tau.” jawabku.
“Hahahaha, tuh Rel denger hahahaha.” tawa tiga temanku.
“Ngerti ngga maksudnya?” tanyaku. Farel tersenyum dan mengangguk.
“Rel cepet tembak, tapi Luna gak mau tanggal 4, dia maunya tanggal baru, dan kalo jadi, hari ini. Annive Teletubbies bakal jadi tanggal special Lun buat kamu. Ayo Rel, jangan beraninya di belakang ah.” antusias Marsha.
“Em, Lun, mau ngga balikan sama aku?” tanyanya.
Aku benar-benar tak
menyangka, Farel se-gentle ini
menyatakan semuanya. Baru saja aku ingin menjawab, tapi Esa, kekasih Marsha
sudah datang, ketiga temanku dan Farel memang berniat me-fotocopy tugas agamku, dan kami semua bersama Esa pergi ke tempat fotocopy-an dahulu sebelum benar-benar
pulang.
“Eh, Sof, kamu bawa
motornya Luna. Biar Luna naik sama Farel.” kompor Marsha.
Mungkin mereka bertiga
mewakili perasaanku. Dan seperjalanan ke tempat fotocopy-an, aku cukup banyak bicara pada Farel.
“Jujur, aku pun masih sayang
sama kamu, tapi aku takut kamu yang kaya dulu, sering ninggalin aku, ngga bales
sms. Aku ngga nuntut kamu untuk setiap menit mengirim pesan singkat padaku,
yang penting beri aku kabar.”
“Iya, aku paham keinginanmu. Bagaimana? Aku diterima ngga?”
“Iya, kita balikan. Satu hal lagi, jangan asingkan aku kalau kamu sedang bercanda dengan teman-teman. Anggap aku temanmu juga saat suasana itu. Aku ngga mau kita dekat hanya sepulang sekolah, di motor. Jangan begitu.”
“Iya, aku paham keinginanmu. Bagaimana? Aku diterima ngga?”
“Iya, kita balikan. Satu hal lagi, jangan asingkan aku kalau kamu sedang bercanda dengan teman-teman. Anggap aku temanmu juga saat suasana itu. Aku ngga mau kita dekat hanya sepulang sekolah, di motor. Jangan begitu.”
Dan kami sampai di tempat
fotocopy-an.
“Gimana? Sudah belum??”
tanya Marsha. Kurasa sebantar lagi Marsha akan meledak. Malam ini sungguh
kompor dia.
“Apa sih Sha?” tanyaku.
“Apa sih Sha?” tanyaku.
Kami pulang dan motorku
masih dibawa Sofi sampai taman duta. Sesampainya di taman duta.
“Rel, Lun udah belum?”
tanya Sofi.
“Ih kepoooo.” kata Farel.
“Ih kepoooo.” kata Farel.
Aku sih hanya tersenyum
saja melihat mereka yang ingin tahu aku sudah jadian atau belum. Rasanya
seperti baru jadian pertama. Aku bahagia malam ini. Sofi dan Rina terus mengepoiku
dengan pertanyaan-pertanyaan mereka, namun karena waktu tidak bersahabat harus
memaksaku cepat-cepat pulang ke rumah. Dan mereka pun pulang.
Canggung rasanya. Entah
sebutan apa yang harus kupanggil ke Farel, begitupun dia. Sebenarnya aku tidak
mengira kalau hari ini akan seperti ini jadinya. Ini benar-benar di luar segala
dugaanku dan Farel, kami benar-benar tidak menyangka.
Aku senang dengan apa
yang terjadi hari ini. Tapi kebingunganku masih saja mengitari isi kepalaku. Apa
Farel akan benar-benar berubah? Apa sikapnya tak akan seperti dulu lagi? Apa
dia tidak akan lagi meninggalkanku? Apa dia akan berubah menjadi seseorang
selayaknya kekasihku? Apa dia tidak akan membuatku menangis lagi? Apa dia tidak
akan membuatku menunggu lagi?
Hari ke hari aku lewati
bersamanya. Duduk di sampingnya benar-benar nyaman. Wanginya dapat menembus sela-sela
hidungku. Bercakap dengannya membuatku tak ingin mengakhiri setiap hariku. Ingin
sekali aku hentikan waktu saat bertatap dengannya.
Keep on writing.. Salam kenal.. :)
BalasHapus