Complicated [Empat belas - Regret]



Beberapa hari ini aku merenung, mengingat segala kejadian beberapa pekan terakhir. Dan Senin pertama masuk sekolah seusai liburan semester ganjil, aku mengajak ketiga sahabatku untuk bicara.
“Aku minta maaf ya sama kalian. Aku tau aku salah, aku merasa jauh selama aku berpacaran dengan Kevin, dan aku sadar, dia malah membawaku ke arah negatif. Aku menyesal.”
“Iya Luna, aku tau kemarin kamu khilaf.” ucap Rina.
“Kalau diingat, aku benci semua hal yang kulalui dengannya.”
“Ngga papa Lun, dengan sadar begini, aku sudah senang kok. Pesanku, kalau pacaran jangan untuk coba-coba ya, begini deh jadinya.” ucap Marsha.
“Ngga tau kan kamu gimana perasaan Farel ke kamu sekarang?”
“Memang gimana?”
Mereka bertiga saling bertatap.
“Dia sakit hati banget. Karena waktu di rumah Rina, kamu bilang biasa saja, tapi begitu dia tau kamu jadian pas hari Senin nya, dia benar-benar kesal.” ucap Sofi.
“Sebenarnya dia mau nembak kamu lagi, tapi takut ditolak sama kamu dengan alasan mau UN. Dan dia mutusin, nembak kamunya sehabis UN, pastikan sudah ngga ada alasan kamu untuk menolak lagi tuh. Eh, tapi kamunya malah jadian sama Kevin.” cerita Marsha.
‘Nembak? Lalu yang dia katakan di rumah Rina kalau perasaannya sudah biasa saja, maksudnya apa?’ benakku.
“Seandainya kalian tau, aku nerima Kevin jadi pacarku karena Farel bilang perasaannya sudah biasa saja denganku. Dan atas dasar itu juga aku menerima Kevin. Kenapa setelah dia menjawab semua pertanyaan kalian pas di rumah Rina, dia bilang mau menembakku? Jadi sebenarnya perasaannya dia tuh gimana sih?” tanyaku. Tapi mereka bertiga hanya mengangkat bahu, tidak tau mengenai perasaan Farel padaku sekarang.
Sesampainya di rumah, aku mencoba mengecek daftar following-ku di tiwitter, ku cek sampai bawah. Dan tak ada nama Farel di situ, aku juga melihat tab followers-ku, tapi tak ada juga. Yap, aku di-block. Aku mencoba mencari namanya di pertemanan akun Path ku, dan ternyata juga tidak ada. Sebenci itu terhadapku?
Apa yang harus ku lakukan sekarang? Meminta maaf padanya? Mau, tapi kurasa belum tepat waktunya. Aku yakin bisa melewati masa-masa itu, masa di mana menunggu waktu yang tepat untuk bicara ada Farel, masa di mana aku akan baik-baik saja berteman dengannya.
Dan semenjak aku jadian dengan Kevin, Gamal pun menjauhiku. Sekarang, aku mencoba mengakrabkan diri lagi dengannya.
“Lun, gimana sama Kevin?” tanyanya. Jujur, aku malas mendengar nama itu.
“Sudah selesai.”
“Kamu putus??” tanyanya dengan nada yang tidak pelan. Aku mengangguk.
Gamal memintaku untuk menceritakan kronologis mengapa aku putus dengan Kevin. Baiklah, kuceritakan pada Gamal, karena kau percaya dia ngga akan cerita ke siapapun. Dan selama aku bercerita, Farel yang lalu lalang di hadapanku dan juga Gamal, membuatku untuk bergumam sejenak. Setelah aku menceritakan semuanya pada Gamal, aku coba bicara sesuatu.
“Sebenarnya aku mau baikan sama Farel, tapi katanya, buat ngeliat aku aja dia sakit hati banget.”
“Kamu sih terlalu dingin jadi cewe, terlalu cuek. Kadang kamu tuh ngga sadar sama sekelilingmu.”
“Terus gimana caranya? Farel pernah cerita apa gitu sama kamu?”
“Ya ada lah pokonya, sering juga. Hem, nanti deh, aku coba bantu kamu untuk baikan lagi sama Farel.”
“Eh, tapi ngga usah deh. Aku paham banget perasaan Farel sekarang, aku ngga mau dia malah tambah ngejauhin aku. Biar semuanya ngalir dulu aja, nanti juga pasti ada waktunya.” dan percakapan kami selesai di situ.
Awal Januari membuatku mengingat segala kenangan yang telah terjadi. Kejadian di mana aku sangat baik-baik saja dengan Farel. Tapi waktu berlalu sangat cepat, menyimpan kejadian dalam kenangan. Lamunan ini membuatku mengingat bait di mana aku masih mencintai masa laluku.
Jangan dekat atau jangan datang kepadaku lagi
Aku semakin tersiksa karena tak memilikimu
Ku coba jalani hari dengan pengganti dirimu
Tapi hatiku selalu berpihak lagi padamu
Mengapa semua ini terjadi kepadaku..
Tuhan, maafkan diri ini
Yang tak pernah bisa menjauh dari angan tentangnya
Namun apalah daya ini
Bila ternyata sesungguhnya aku terlalu cinta dia.
Menangis lagi aku.
Dalam kehinangan malam, Kevin mencoba menyapaku lagi, padahal, sudah hampir seminggu kami tidak komunikasi, dan dia telah mengambil keputusan, bahwa percakapan yang lalu adalah perckapan terakhir, dan aku dilarang untuk membalas. Dan aku tak mengindahkan percakapan darinya, langsung ku end chat.
Aku tau ini semua salahku, ini semua sebabku, semua ini memang salahku. Aku benar-benar menyesal saat menerima Kevin hanya karena dasar coba-coba. Kalau tau begini akibatnya, aku tak akan pernah memainkan perasaan. Dan setelah semua kusadari, aku hanya berdrama saat aku masih bersama Kevin. Sedikitpun aku tak pernah jatuh cinta padanya, aku tak pernah menyayanginya, secinta dan sesayang aku pada Farel.
Aku sadar, sedalam apapun rasa cinta seseorang, sesering apapun seseorang mengucap cinta, dan seberapa banyak ucapan “Aku mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu, kamu yang terakhir, dan aku tidak akan menyakitimu.” tak akan berarti apa-apa kalau semua hanya sebatas ucapan. Dan semua hanya itu hanya butuh sikap sebagai pembuktian. Itulah yang Farel lakukan padaku, tidak pandai merangkai janji dan ucapan, tapi semua ia buktikan dengan sikap, dengan menjaga hati walau dua kali aku menyakitinya.
Mungkin aku terlalu sering menyakitinya, atau bahkan kami sering menyakti satu sama lain, tapi sebenarnya aku tidak bisa jauh darinya. Cuma dia yang mengenal hatiku, tau buruknya aku, tau harus bagaimana saat aku sedang badmood. Tapi aku yakin, ucapanku barusan tidak akan meruntuhkan sikap Farel yang mungkin masih membenciku, dan enggan untuk menatapku.
Menyakitkan itu sederhana. Sesederhana aku mengingat hari ini tanggal 14 Januari. Semua yang indah hanya bisa dikenang, tanpa bisa dimilikki lagi. Yang lalu hanya bisa diingat, tanpa bisa diminta untuk datang sekarang. Semuanya sudah berlalu.
Entah, tapi keyakinanku ragu bahwa semua akan kembali normal, atau bahkan lebih baik. Apa Farel akan memaafkanku? Apa akan ada waktu untuk kami sama-sama menjelaskan perasaan? Semuanya masih berenang dalam pikiranku dan seharusnya hari ini menjadi tanggal aku dan Farel, tapi semua hanyalah sebatas seharusnya.
Aku masih menjalani hari dengan ganjalan di dalam perasaan. Seperti ingin bicara, namun entah harus bicara apa. Ingin sekali melontarkan kata maaf, namun entah bagaimana harus mengutarakan. Semua terasa berat, ketika Farel hanya menatapku sebelah mata. Keraguan dan takut untuk memulai selalu berkecamuk dalam hatiku.
Sebagai sekretaris di kelas, aku diberi tugas oleh guru BP untuk mencatat semua nomer telepon teman-temanku, dan juga mencatat nomer telepon orang tua mereka. Tapi hari ini Farel ngga masuk. Bias saja aku menulis nomer teleponnya, tapi kan aku ngga tau nomer telepon orang tuanya. Lebih baik ku kosongkan saja kolom namanya.
Di ruang BP.
“Bun, hari ini banyak yang ngga masuk. Jadi ngga saya tulis dulu nomer teleponnya.”
“Yaudah, ngga papa.” ucap Bunda, panggilannya selama menjabat sebagai guru BP.
“Terus yang ngga masuk gimana?”
“Kamu kabarin teman-temanmu yang ngga masuk hari ini, bilang, kalau masuk suruh mereka temuin bunda untuk mencatat nomer teleponnya.”
“Oh, siap Bun. Yaudah, saya ke kelas ya.”
‘Harus ngabarin yang ngga masuk? Berarti aku ngabarin Farel dong? Apa aku suruh temenku yang lain aja ya yang ngabarin dia? Eh, tapikan aku yang dikasih tanggung jawab sama Bunda. Hahhhh, mau ngga mau aku aja deh yang ngabarin. Bismillah.’ benak Luna sepanjang jalannya menuju kelasnya di lantai 2.
Sesampainya di rumah.
To: Farel
Rel, kalau kamu masuk, kamu temuin bunda di ruangannya, buat mencatat nomer telepon kamu&orangtua kamu.
Tidak lama, ada satu pesan masuk setelah aku mengirim pesan singkat itu pada Farel.
From: Farel
Ini siapa ya? Oke, thanks infonya.
Glek.
Farel sudah menghapus nomer teleponku. Mungkin lebih baik ngga usah dibalas, daripada semakin membuatku sedih dan terus-terusan mengingat penyesalanku. Sore ini aku asik dengan notebook-ku, membaca kembali tulisan yang pernah kutulis tentang Farel di dalamnya. Tiba-tiba, ponselku berdering tanda satu pesan diterima. Aku cukup kaget melihat nama kontak yang mengirimkan aku pesan singkat.
From: Farel
Kok ngga di bales? Aku tau ini nomer siapa. Tumben sms aku.
‘Kenapa Farel jutek gini ya?’
To: Farel
Kamu tau? Terus kenapa tadi kamu pura-pura ngga tau? Aku ngasih info, rel.
From: Farel
Ya mau coba aja, ada reaksi ngga dari kamu kalau aku bales kaya gitu, yaudah thanks.
To: Farel
Ada kok reaksinya
J iya, sama-sama ya rel.
From: Farel
Iya, percaya.
To: Farel
Kamu jutek banget sekarang.
From: Farel
Lebih jutek siapa dibandingkan sama kamu? Aku biasa aja.
To: Farel
Aku juga ngga jutek kok
J
From: Farel
Maaf, kalimatku sadis ya? Yaudah jangan dipikirin, maaf ya.
To: Farel
Engga kok, ngga papa hehehe.
From: Farel
Oke.
Ini percakapanku dan Farel pertama kali setelah putus kontak beberapa bulan. Senang, tapi masih merasa bersalah. Bagaimana melanjutkan percakapan itu? Aku ngga mau berakhir, aku masih mau komunikasi dengannya. Aku merindukannya. Meskipun hanya sebatas tulisan, cukup untuk mengobati rasa rinduku.
‘Aku punya ide!’ benak Luna.
To: Farel
Besok dateng?
From: Farel
Belum tau. Soalnya keadaanku belum bener-bener sehat, tadi aja kambuh lagi. Kamu dateng?
To: Farel
Pantes tadi izin balik. Jangan dipaksa juga kalau keadaannya belum pulih. Tapi, nanti kamu ikut susulan dong? Masalahnya, besok kan pengambilan nilai ujian praktik. Besok aku dateng.
From: Farel
Nah, makanya. Kalau aku kuat, aku usahakan dateng, tapi kalau memang ngga kuat, ya aku balik pulang hahaha.
‘Aku merindukan ini, Rel.’ batin Luna menyunggingkan bibirnya.
To: Farel
Jangan dipaksa, ngerinya malah tambah drop. Kalo ngedrop, nanti malah ngabsen mulu pas ujian praktik. Lebih baik susulan aja.
Aku senang bisa komunikasi lagi dengannya, walau bertemu secara langsung masih sama-sama membisu. Dan aku jadi yakin, satu waktu pasti berpihak padaku untuk meminta maaf dan menjelaskan semuanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]