Cerpen: Terlanjur

Silver masih diam duduk di kursinya. Menatap kosong ke depan. Tapi, kedatangan seseorang membuyarkan tatapan kosong itu. Orang itu mampu menarik mata Silver sampai  kursinya di paling belakang. Rasa bersalah itu masih menghantui, meski Silver tidak pernah mengerti, atas dasar apa ia ingin minta maaf.
Seandainya mulut Silver mampu memanggil dia. Seandainya beberapa kata cukup untuk mewakili rasa bersalahnya. Seandainya mata Silver mampu beradu tatap dengannya. Seandainya rentetan kalimat mampu Silver tumpahkan di depan dia. Seandainya. Kenyataannya, Silver terlalu takut untuk memulai pembicaraan padanya.
Silver yakin, akan ada saat di mana dirinya dan dia diberhentikan pada satu waktu, hanya berdua. Dan pada saat itu, Silver akan mengutarakan semua yang ia rasakan selama ini. Silver tahu rasanya jadi dia, dan Silver sadar, dirinya sudah sangat jahat. Tapi, kejadian tiga bulan lalu membuat Silver tidak menggunakan akal sehatnya, untuk menerima cowo yang sama seklai tidak dicintainya, hanya karena rasa sakit hati Silver. Bodoh.
Saat ini, Silver masih ragu untuk mendekati Abigail. Kebisuan diantara mereka membangun dinding yang mereka ciptakan terlalu sulit untuk dilewati. Jauh dalam lubuk hati Silver, ia tidak mau sedikitpun memberi jarak pada Gail.
“Sil!” panggil Meyra yang menghancurkan kegalauan Silver.
“Mey, ngagetin tau ngga?! Apaan?” kata Silver.
“Diem mulu. Mikirin apa sih?”
“Ngga mikirin apa-apa.”
“Kalo gitu, ikut gue bentar yuk?”
“Mau ke mana? Ngapain? Males ah, jam kosong gini enakan di kelas tau.”
“UKS aja. Dea sama Niken ada di sana. Emang asik di kelas melongo sendirian?”
“Ngapain mereka di sana?”
“Nyuci piring! Ah, ada apa sih sama lo, ngga kaya biasanya.”
“Iya iya, maaf. Yaudah yuk ke UKS.”
Silver memutuskan untuk setuju dengan ajakan Meyra. Lagi pula, benar kata Meyra, di kelas hanya menatap masa lalu yang mungkin sudah melupakan Silver, malah membuatnya makin terpuruk.
Sebelum benar-benar keluar dari kelas, Silver melirik seseorang yang duduk dipaling belakang. Namun Silver langsung buang pandangan saat tau Gail juga melihatnya.
Sesampainya di UKS, Silver masih saja diam menopang kepalanya dengan satu tangan. Meyra, Dea, dan Niken yang sedang asik bercerita, tiba-tiba tertarik untuk menegur Silver yang sepertinya bengong.
“Sil, bengong aja.” tegur Niken.
“Masasih? Ngga bengong kok.”
“Kenapa sih? Ada masalah? Cerita lah.”
“Silver dari tadi diem mulu, pas gue samperin ke kelas, dia juga lagi diem.”
Silver nyengir kuda.
“Ngomong-ngomong, gimana sama Gail?” tanya Niken.
Silver langsung menatap Niken. Dea menyubit punggung tangan Niken.
“Sorry sorry” ucap Niken. Silver tersenyum.
“Ada apa sih? Gue ngga tau apa-apa nih, mentang-mentang seminggu kemarin gue ngga masuk, Silver ngga update cerita apa-apa nih ke gue.” ucap Meyra.
“Ngga ada yang perlu diceritain Mey. Cuman perlu dipikirin dan dijadiin pelajaran buat gue.”
“Maksudnya? Cerita!”
“Meyra! Gue cariin kemana-mana taunya di sini. Kita dipanggil Bu Riana di ruangannya.”
Silver kenal suara itu, sangat kenal meski tak melihat wajah yang membuka pintu UKS. Silver membeku dalam satu pandangan. Silver hanya melihat Gail melalui ekor mata kananya.
“Apaan lagi sih Bu Riana, ribet banget. Emang harus sama gue ya?” tanya Meyra.
“Iya lah. Lo wakil.” kata Gail.
“Sama Silver aja.” kata Meyra sambil melirik Silver jahil.
“Gue mintanya sama wakil, bukan sekretaris.” katanya.
Meyra orang yang peka. Meyra tau maksud dari nada bicara Gail barusan, dan Meyra mengerti pandangan Silver sekarang. Silver dan Gail tidak sedang baik-baik saja. Meyra benar-benar merasa bersalah.
“Iya. Bawel lo, bentar gue make sepatu dulu.”
“Buruan.”
“Kenapa sih buru-buru banget Ga.” kata Niken.
“Hawanya ngga enak.” kata Gail.
Silver hanya menunduk. Menunggu butiran itu keluar tanpa diminta. Setelah Meyra dan Gail keluar, akhirnya butiran itu keluar dengan ikhlas. Tanpa isak, dan tanpa sekatapun. Dea mengusap pundak Silver. Silver menghapus air matanya.
~
“Gail, gue boleh nanya?”
“Bayar.”
“Yaelah, serius gue.”
“Gue juga serius.”
“Rese lo.”
“Hahahahaha. Iya mau nanya apa Mey?”
“Hubungan lo sama Sil—“
“Oiya, ada pengecualian. Jangan nanya apapun tentang sahabat lo itu.”
‘Ternyata bener, Gail sama Silver lagi ga baik-baik aja’ benak Meyra.
“Sial. Kaya dukun lo tau apa yang mau gue tanyain.” ucap Meyra.
“Jangan bahas dia lagi.”
“Emang kenapa?”
“Ngga papa.”
“Ngga mungkin ngga papa kalo lo ngga mau ngebahas dia.”
“Bukan urusan lo kan?”
“Urusan gue lah. Silver sahabat gue!”
“Kalo gitu, lo tanya aja sama sahabat lo itu.”
“Apa bedanya kalo gue mau nanya sama lo? Sama aja kan?”
“Beda. Kalo lo nanya sama gue, pertanyaan lo yang mau lo tanyain itu pengecualian.”
“Ribet banget hidup lo Ga.”
Percakapan Meyra dan Gail berhenti sampai situ, karena mereka sudah sampai di depan ruangan Bu Riani. Mereka masuk dan segera menghadap Bu Riani, wali kelas mereka.
“Loh, Abigail, kenapa sama Meyra? Ibu kan minta kamu ke sini sama sekretaris, bukan wakil ketua.” komen Bu Riani.
“Sama aja Bu, sama-sama pengurus kelas juga kan.”
Meyra sudah menatap Gail dengan tatapan membunuh. Kenapa? Karena harusnya ini tugas Gail dan Siliver, tapi jadi Meyra yang harus menjalankannya. Bu Riani hanya menggelengkan kepala melihat perlakuan Gail.
“Abi, tolong kamu data siapa saja yang sudah dan belum mengumpulkan tugas mendata penduduk di daerah rumah masing-masing. Dan kamu Meyra, tugas kamu adalah menyusun data tersebut sesuai absen, dan buatkan juga daftar isinya. Kalau sudah, jilid dan kasih ke saya.”
“Iya bu. Batas pengumpulannya sampai kapan bu?” tanya Gail.
“Sampai hari Senin.”
“Oke bu.” kata Gail yang menurut Meyra sok asik.
Sekeluarnya dari ruangan Bu Riani.
“Eh, gue ogah ya ngerjain tugas begituan. Lagian, bisa-bisanya ya lo begini. Ini kan tugas Silver sama lo! Kalo kaya gini, lo nyusahin gue namanya! Pokonya gue ngga mau. Lo harus kasih tugas ini ke Silver.” kata Meyra berapi-api.
“Mey, gue masih di sebelah lo, belum ada di jarak satu kilometer. Jadi plis ngomongnya jangan kaya toa mesjid. Lo kan sahabatnya, jadi lo aja yang nyampein tugas dari Bu Riani ya?”
“Ogah! Terserah kalian ada masalah apa ya, tapi gue minta lo profesional dong!” Meyra masih dengan volume tidak kecil bicara di samping Gail. Akhirnya Gail mengangguk terpaksa.
~
Setiap waktu selalu saja ku memikirkanmu
Hati ini terasa sepi..
Sementara aku masih disini
Ku tak mengerti kenapa engkau pergi..
Redahkan marahmu, ku yakinkan padamu
Ini hanya salah paham..
Tatap kedua mataku, dan engkau akan tau
Ku tak bisa seperti ini
Jalani hidup tanpa dirimu
Memahami apa yang kurang dari diriku
Memperbaiki kesalahanku
Sementara kamu terus menjauh
Ku tak mengerti kenapa engkau pergi..
Dea mencopot sebelah earphone yang terpasang di telinga kiri Silver, mendengar lagu yang Silver dengarkan. Silver menatap Dea, Dea mengerti tatapan penyesalan itu.
“Smile dong.” ucap Dea yang menaruh ibu jari dan telunjuknya di ujung mulut Silver, dan menyimpulkan senyum. Lalu Silver tersenyum, walau Dea tau itu hanya topeng.
Meyra kembali ke UKS. Tidak sendiri, melainkan bersama Gail. Kali ini Silver menoleh. Lagi, kesekian kali jantung itu berdegup saat mata mereka bertemu. Bagi Silver, ini bukan rasa baru yang ia rasakan, melainkan rasa lama yang masih ia rasakan sampai sekarang, walau hatinya pernah diisi dua orang selain Gail.
“Gue mau ngedata anak kelas yang belum ngumpulin tugas sosio, setelah gue data dan gue dapet tugasnya, tolong lo susun sesuai absen, dan lo bikin daftar isi, sekalian jilid. Uangnya minta aja sama bendahara kelas.” to the point Gail.
“Lo….. ngomong sama……. gue?” tanya Silver terbata-bata.
“Menurut lo?” tanya Gail, Silver diam.
“Kalo kurang paham yang gue maksud, tanya aja sama Meyra.”
Setelah bicara begitu tanpa menunggu Silver bicara, Gail sudah beranjak dari UKS.
“Jadi, maksudnya Gail tuh….”
“Gue ngerti ko Mey.” ucap Silver.
“Oke.”
Sepulang sekolah, saat Silver dan ketiga temannya beranjak keluar kelas.
“Nih data sama tugas yang udah pada ngumpulin. Lo susun sesuai absen ya.” Gail memberikan setumpukan kertas berukuran A4 di tangan Silver. Silver diam, menunggu reaksi Gail apa yang akan ia lakukan kalau Silver menolak cara permintaannya yang menurut Silver tidak seharusnya itu. Silver menatap Gail tajam, tapi rupanya balasan tatapan Gail yang hanya sedetik membuat Silver membuang pandangan.
“Ini.” kata Gail masih dengan ekspresi sama.
Gail membuang napas. Mungkin sudah habis kesabaran, Gail menaruh tumpukan kertas A4 itu di meja barisan dekat pintu kelas. “Gue duluan.” ucap Gail langsung berjalan tanpa menatap Silver.
“Ih, si Gail kenapa sih. Ngeselin banget!” ucap Meyra. “Lo ada masalah apa sih sama Gail? Makanya cerita sama gue, siapa tau gue bisa ngutarain ke dia, supaya dia ngerti.” kesal Meyra.
Silver mengambil tumpukan kertas itu, mendekapnya dan mereka kembali berjalan keluar kelas. Rupanya tawaran Meyra tidak menarik perhatian Silver, ia lebih memilih diam.
Sesampainya di rumah, Silver membuka laptopnya dan mulai membuat daftar isi setelah selesai menyusun tugas sosiologi secara absen.
Dia, memang hanya dia
Ku selalu memikirkannya, tak pernah ada habisnya.
Benar dia, benar hanya dia
Ku selalu menginginkannya belaian dari tangannya
Mungkin hanya dia, harta yang paling terindah
Di perjalanan hidupku sejak derap denyut nadiku
Mungkin hanya dia, indahnya sangat berbeda
Ku haus merindukannya
Ku ingin kau tau isi hatiku
Kaulah yang terakhir dalam hidupku
Tak ada yang lain hanya kamu
Tak pernah ada, tak kan pernah ada.
Tiba-tiba jari Silver berjalan ke folder foto. Foto yang ia copy dalam folder pribadinya. Foto lama, sekitar satu tahun yang lalu. Foto yang diambil saat pesta ulang tahun Deliana. Saat itu, saat di mana pertama kali Gail merangkul Silver, saat mereka masih sepasang kekasih, saat mereka menjalankan hubungan yang kedua kalinya.
“Seharusnya lo ngga mutusin gue, Bi. Seharusnya kita masih sama-sama sampai sekarang. Kenapa lo lebih denger omongan orang lain tanpa nerima penjelasan gue. Gue sayang banget sama lo, Bi.” untuk kesekian kali juga Silver bercakap sendiri sambil memandangi kenangannya.
Kejadian tiga bulan lalu, membuat Silver menyesal, menyalahkan dirinya sendiri, dan selalu merasa bersalah dihadapan Gail. Kamis itu, benar-benar sakit bagi Silver.
“Eh eh eh kita main Te O De yuk?” ajak Meyra.
“Ayo ayo ayo. Eh, tapi jangan ada dare nya dong.” pinta Dea.
“Oke deh, jadi cuma jawab pertanyaan aja ya?”
“Mainnya gimana?” tanya Gamal.
“Hem….” Meyra mencoba memikirkan sesuatu, dan diambilah satu botol bekas minuman. “Nah, kita duduk melingkar, botolnya diputer, berhentinya di mana, berarti dia yang ditanya. Dan harus jawab jujur.” kata Meyra.
“Kalo ngga jujur, ngga lulus UN.” ancam Niken.
“Boleh.. boleh.” Silver menuruti.
Mereka berenam duduk melingkar. Di sebelah kanan Silver ada Gamal, lanjut Meyra, Gail, Niken, dan Dea.
Botol sudah diputar, dan kami sudah menunggu di mana botol itu berhenti. Mereka semua seakan seperti menunggu undian seratus juta. Akhirnya, botol itu berhenti tepat menghadap Silver.
“Haaaaaa hahahahaha, gue tau nih mau nanya apa!” antusias Meyra.
“Hahahahahahahaha!” tawa yang lainnya.
Silver hanya pasrah menunggu pertanyaan yang sebenarnya sudah ia tebak, apa yang akan ditanyakan teman-temannya.
“Nih, gue mau nanya. Gimana perasaan lo setelah diputusin sama Gail? Hahahaha.” tanya Meyra.
Silver diam seperti memikirkan sesuatu. Bagi Siver, rasanya diputusin saat lagi sayang-sayangnya itu, seperti nadi yang teriris cutter, seperti panah yang menancap pada tempatnya, perih.
“Hem.. ya nyesek lah.” jawab Silver diselingi senyum.
“Tuh Gail, denger! Hahahaha.” kata Meyra, tapi Gail malah ikut tersenyum.
“Gue dong gue. Kira-kira, berapa persen lo balikan sama Gail?” tanya Gamal.
Lagi-lagi Silver dibuat berpikir.
“Tergantung tindakan.”
“Maksudnya tergantung tindakan apa?” Gamal tak mengerti.
“Ya semuanya harus pake proses, dan gimana sikapnya ke gue.”
“Nah, sekarang siapa?” tanya Meyra.
“Gue. Sil, gimana perasaan lo sama Kahza?” tanya Niken yang sedikit membuatnya menoleh.
“Kahza? Kok nanya dia?” bingung Silver.
“Kan bebas hahahaha, ayo jawab.”
“Ya biasa aja.” jawab Silver entah jujur atau tidak.
“Sekarang gue. Gimana perasaan lo ke Gail sekarang?” tanya Dea.
“Emmmmmmmmmh.” gumam Silver.
“Hahahaha, jujur loh ya.” kata Meyra.
“Kalian tau kok jawabannya.” kata Silver.
“Apa? Jawab dong, biar Gail tau.” kata Meyra.
“Masih sayang?” tanya Niken. Silver mengangguk. Gail tersenyum.
“Ga, sekarang lo.” ucap Meyra.
“Gue mau nanya, waktu malem Minggu kemarin, ada apa lo ngeline gue?”
“Lagi kepikiran aja.” jawab Silver asal, padahal, Silver lagi kangen.
“Nah, udah kejawab semua.”
Permainan itu terus berlanjut sampai akhirnya Gail lah yang menjadi orang terakhir yang ditanya. Dalam hati Silver, sangat banyak yang ingin ia tanya pada Gail, tapi tidak mungkin ia tanyakan semua, karena setiap orang hanya berhak satu kali bertanya.
“Gimana reaksi lo waktu baca buku yang gue kasih?” tanya Silver.
Silver memang pernah memberi buku, lebih tepatnya kisah hidupnya dan awal mula perasaan suka terhadap Gail muncul, perjalanan perasaannya, dan beberapa diary tentang Gail.
“Biasa aja.” singkat Gail sambil nyengir.
Kami semua diam, terutama Silver yang menunggu kelanjutan jawaban Gail, tapi ternyata tidak ada lagi jawaban yang keluar dari mulut Gail.
“Udah? Ngga galau?” tanya Meyra.
“Dikit doang. Dikit doang loh ya.” kata Gail.
“Yaudah, sekarang giliran gue yang nanya. Ga, setelah putus dari Silver, lo pernah suka sama cewe lain ga?”
“Hemmm pernah.”
Cukup. Jawaban singkat itu sudah benar-benar membuat Silver mati. Terbunuh. Silver mati di tempat. Seperti nuklir yang menghujani hatinya. Sakit, perih, meledak, hancur. Semua harapan sudah hilang bersama kata-kata Gail. Dan sekarang Silver hanya mematung.
Gail sempat menanyakan kebisuan ‘tiba-tibanya’ Silver, tapi Silver hanya menjawab “Ngga apa-apa”. Silver sendiri tidak mengerti dengan perubahan sikapnya ini. Ia enggan untuk bicara. Hanya duduk menyandar pada dinding, memeluk bantal, dan mengulang kata-kata Gail yang sudah membuatnya mati.
Ternyata rasa sakit hati itu masih ada, masih datang untuk menyambut perasaan Silver, dan semua sakit hati itu berasal dari orang yang sama; Gail.
Silver tidak bisa mengontrol emosi perasaannya saat itu. Silver hanya mampu diam saat ditanya keadaannya sekarang. Mood silver hilang untuk mengerjakan tugas matematika, yang sebenarnya tujuan awal mereka semua ke rumah Dea.
Malamnya, Gail mengirim pesan di line. Terlalu sakit untuk membaca percakapan mereka yang lalu setelah mendengar jawaban Gail tadi di rumah Dea.
Silver masih enggan untuk jujur. Silver hanya membalas pesan Gail seadanya. Masih sangat sakit untuk membayangkan Gail, sampai akhirnya Gail menyerah untuk bertanya lagi dan mendapat jawaban yang diinginkan.
Sampai keesokan harinya pun Gail masih sangat penasaran, apa yang membuat Silver membisu, dan malamnya Gail mencoba mengirim direct message pada Silver, karena tau malam itu Silver sedang on twitter.
Akhirnya Silver menjawab, bahwa diamnya adalah memikirkan perdebatan pemilihan jurusan kuliah nanti, antara dirinya dan kedua orang tuanya. Dan Gail percaya. Entah benar percaya, atau sudah malas membahasnya. Padahal, saat itu Silver memberi jawaban asal kesikan kalinya.
Kalau memang Silver sudah biasa saja di mata Gail, ia tidak mau mengganggu ketenangan yang sudah Gail dapatkan setelah menyelesaikan perasaannya pada Silver. Biarkan Silver mengatur kepingan hatinya sendirian tanpa Gail tau yang sebenarnya.
Masih dengan rasa perasaan yang sama, tapi Silver menerima ajakan menjadi kekasih Kahza. Hanya selang empat hari setelah hari Kamis, Silver dan Kahza sudah resmi jadian. Silver hanya berpikir, ‘Gue sama Kahza harus lebih baik daripada waktu gue pacaran sama Gail’.
Mungkin dengan Silver pacaran dengan Kahza, perasaan sakit hatinya terhadap Gail bisa perlahan hilang. Dan Gail bisa bebas menikmati perasaan tanpa ada Silver di dalamnya. Tapi, hati manusia siapa yang tau? Kadang, manusia itu sendiri saja tidak mengerti dengan yang dirasakan.
Tanpa Silver mencari tau, rasanya, mendengar Silver jadian dengan Kahza setelah Silver jawab biasa saja sewaktu ditanyakan tentang perasaannya pada Kahza, menjadi pukulan untuk Gail.
Saat itu Silver benar-benar tuli dengan komentar teman-teman dan sahabatnya, tentang jadiannya pada Kahza.
“Mey, gue sakit hati banget waktu denger jawaban Gail. Mungkin dengan gue jadian sama orang lain, bisa ngebuat sakit hati gue berkurang.”
Meyra hanya diam, tidak berkomentar apa-apa. Sepertinya, Meyra tidak tertarik untuk mengomentari hubungan Silver dengan Kahza.
Tidak butuh 24 jam untuk mengetahui perubahan sikap Gail, melihatnya hari ini sudah membuat Silver yakin, akan ada sikap es batu diantara mereka.
Sejujurnya, selama menjadi kekasih Kahza, Silver tidak menemukan rasa apapun. Sayang? Biasa saja. Cemburu? Dia bukan pria yang disenangi banyak perempuan. Cinta? Sayang saja engga, apa lagi cinta.
Silver salah. Dia tidak pernah menemukan rasa degupan jantung saat berada di dekat Kahza. Degupan itu hanya Silver dapat dari Gail.
Silver masih berusaha untuk menemukan rasa itu, tapi sampai di ujung hari ke 18 mereka pacaran, Silver malah menemukan banyak perbedaan dan ketidak cocokan diantara mereka.
Sampai akhirnya Silver sadar, Silver tidak pernah menyukai Kahza, tidak pernah mencintainya. Menerimanya hanya untuk menghilangkan sakit hatinya terhadap Gail, tidak mampu untuk menghilangkan Gail dalam hati Silver.
Tidak perlu basa-basi, dengan senang hati Silver menerima permintaan putus dari Kahza. Walaupun sesudahnya Kahza terus meminta balik pada Silver. Tapi Silver memang tidak pernah punya hati untuk Kahza.
Pemilik hati Silver masih dia, masih seseorang yang sudah membuat Silver hancur berkeping-keping kesekian kali. Memang, kadang seseorang yang mampu membuat kita tersenyum, dia juga lah yang membuat kita menangis.
Saat nasi sudah menjadi bubur. Cinta Gail untuk Silver sudah terbang bersama awan ke langit ke tujuh. Andai saja Silver punya keberanian untuk bicara pada Gail. Sayang, Gail terlanjur melirik Silver sebelah mata. Belum cukup pedih, saat Silver tau bahwa akun twitternya diblock oleh Gail, dan Silver juga di unfriend. Menangis lagi kan.
Cukup 18 hari Silver merasa tenggelam jauh ke dunia Kahza, menjauhkan Silver dari orang-orang yang selalu ada untuknya.
Silver sadar, ia merasa jauh dengan sahabtnya saat berpacaran dengan Kahza. Rasa benci dan ilfil terus berlomba saat Silver membayangkan Kahza. Betapa jahatnya Silver saat Niken sedang sendirian, tapi ia malah berduaan dengan Kahza. Saat itulah Silver menjauh dari Kahza tanpa penjelasan apa-apa.
Bukan hanya itu, bahkan Silver harus kehilang seseorang, mungkin lebih tepatnya perasaan seorang Gail yang ternyata masih menyayangi Silver.
“Lo tau? Gail tuh mau nembak lo lagi sekelar ujian nasional.” ucap Niken.
“Hahh? Bohong.”
“Ngapain gue bohong. Gail sendiri yang cerita. Sebenernya dia mau ngajak balikan dalam waktu dekat, tapi takut lo tolak dengan alasan lo mau fokus ujian. Makanya dia pilih bakal ngajak lo balikan seselesai ujian nasional, dengan begitu, ngga akan ada alasan lo buat nolak dia. Gitu katanya Gail.”
Cerita Niken membuat Silver makin membenci dirinya waktu menerima Kahza.
“Lo tau? Lo inget waktu di rumah Dea, jujur demi apapun gue berharap dia ngajak gue balikan lagi. Tapi apa? Dia malah matiin gue sama jawaban-jawabannya.”
“Kenal Gail berapa lama sih? Lo tau kan dia gengsian.”
Silver menghela napas ditengah dinginnya malam penyesalan itu. Permintaan Silver disitu hanya satu, kembalikan saat-saat pertemanan baiknya dengan Gail, dan Silver tidak akan menerima Kahza jadi pacarnya. Tapi apa mau dikata, semuanya sudah terlanjur.
Dan kebisuan diantara mereka berlangsung sampai sekarang. Bahkan, untuk melakukan tugas saja rasanya Gail enggan. Walau Silver tau, saat Gail diam menatap Silver, saat itulah matanya bicara.
Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]