Cerpen: Rasa Sakit Yang Baru

“Yasha, tunggu!” ucap sekaligus panggil seseorang dari lorong jurusan Sastra Inggris.
“Kenapa, Cha?” jawab Yasha, agak bingung dengan raut wajah sahabatnya itu. Echa berdiri dihadapan Yasha.
“Gue mau minta jawaban sejujur-jujurnya dari lo. Galang bilang, lo berangkat bareng dia tadi?”
Yasha diam.
“Yasha jangan diem doang, jawab!” cecar Echa.
“Ngga sengaja, Cha. Tadi pas gue mau nyebrang di perempatan, motornya dia ga sengaja bikin dengkul gue nyium trotoar, akhirnya dia berbaik hati nebengin gue sampe kampus. Ga ada apa-apa ko” jelas Yasha. Echa cemberut. Yasha mengajak Echa untuk duduk dibangku koridor.
“Lo marah ya sama gue? Echa, demi apapun gue ngga ada maksud nyakitin perasaan lo, lagian, gue tuh ngga suka sama Galang. Idola lo bukan tipe gue, serius” ucap Yasha.

Perlahan, senyum jahil dari Echa mengembang.
“Ngga berubah ya dari pertama gue kenal lo setahun yang lalu, masih aja polos, beloon hahahahaha. Lo pikir gue marah, cemburu, jealous gitu? Lo lupa, kemarin gue abis jadian sama Fabian?” ucap Echa.
“Oh iya, ko gue bisa lupa sih lo udah ngga jones? Gue ingetnya Echa yang ngarep banget Galang, hahahahaha” kata Yasha.
“Yeeee, udah engga. Sha, lo suka ya sama Galang?” tanya Echa.
“Suka? Hah? Ngaco deh ngomongnya. Enggaklah”
“Jadi lo masih ngarep mantan lo?”
“Apaan sih, engga gitu juga”
“Ngaku aja, lo belum bisa move on kan? Haahaha”
“Udah. Gue udah move on”
“Siapa yang bikin lo move on?”
“Move on ngga harus karena siapa kan?”
“Hahahahahaha, mata lo ngga bisa bohong Sha, kalo lo itu belum bisa move on dari cinta pertama lo di SMA”

Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Echa dan Yasha.
“Lagi ngomongin apaan nih, asik banget kayanya” ucap Fabian, kekasih baru Echa.
“Urusan cewe. Mau tau  aja sih” ucap Yasha.
“Biasa, ada yang masih ngga bisa move on” ledek Echa.
“Oh hahaha. Jutek banget Sha, pantes belum nemuin pengganti mantan lo. Jadi cewe jangan galak-galak, nanti cowo pada kabur” kata Fabian.
“Kenapa lo ngga kabur?” tanya Yasha.
“Kan ada Echa” sambil tersenyum, merangkul manis Echa.
“Yaudah deh, gue mau ke kelas dulu, daripada jadi nyamuk. Bye!” ucap Yasha. Echa dan Fabian malah tertawa melihat tingkah temannya itu.

Di kelas, Yasha jadi memikirkan perkataan Echa tadi. Apa memang Yasha belum juga move on dari mantan kekasihnya dulu? Yasha sudah putus dua tahun yang lalu dari kekasihnya, apa selama ini Yasha belum juga melupakan Dimas? Kalau memang sudah move on, siapa orang lain yang berhasil menggeser posisi Dimas dari hati Yasha? Tunggu, apa move on harus disebabkan dengan adanya orang lain? Pertanyaan itu masih berenang di kepala Yasha.

Selesai mata kuliah teori sastra, Yasha pergi ke kantin, sekedar mengisi perut yang belum ia isi sedari pagi tadi. Yasha membeli setengah porsi nasi uduk di salah satu kios kantin di kampusnya, tanpa bawang goreng dan sayur yang berwarna hijau di nasi uduk.

“Makasih Bu’de” begitu ucap Yasha setelah mendapat nasi uduk dan es teh manis di tangannya. Yasha duduk di kursi terdekat dari kios nasi uduk. Menikmati sensasi saat suapan pertama menyambut cacing di perutnya. Yasha melirik jam tangan hijau di pergelangan tangan kirinya, menyesuaikan dengan warna kaos yang Yasha pakai hari ini.

“Jam sebelas. Masih tiga jam lagi masuk kelas” gumam Yasha yang kemudian melanjutkan suapan kesekian kali.

Tiba-tiba seorang cowok berdiri dihadapan meja tempat Yasha makan.
“Boleh duduk sini ngga?” sapa cowok yang ternyata Galang. Yasha melongo.
“Boleh kok boleh” kata Yasha.
“Kenapa? Ko gugup gitu sih hahaha” ucap Galang.
“Ngga papa. Aneh aja, seorang Galang nemuin gue”
“Loh, emang kenapa? Ngga boleh ya?”
“Ya ngga papa. Emang ada apa? Jangan-jangan, mau nagih ongkos nebengin gue ya?”
“Hahahahahaha. Lo pikir gue tukang ojek. Ya enggalah, gue ikhlas kali. Lagian kan emang salah gue juga”
“Hem, ya terus?”

Yasha masih penasaran dengan kehadiran Galang yang tiba-tiba ini. Padahal, hari-hari sebelumnya, Yasha hanya tau Galang dari puisi-puisi yang tertempel di mading. Bukan karena puisi yang dibuat oleh Galang, tapi kebanyakan, Galang menjadi tujuan dari isi puisi si penulis. Ya, Galang idola di kampus ini. Bahkan, saat Galang meghampiri meja Yasha, semua pasang mata mahasiswa di kantin tertuju pada mereka.

“Cuma mau ngobrol aja, ngga boleh? Apa kalo mau ngobrol sama lo, harus lewat contact person dulu?” tanya Galang.
“Nggalah, emangnya gue artis hahahaha” ucap Yasha. Galang tersenyum.
“Ngomong-ngomong, lo ngga ada kelas?” tanya Galang.
“Baru aja selesai, makanya gue ke kantin. Lo sendiri?”
“Sama, tapi sejam lagi gue masuk kelas”
“Lo ngga makan, Lang?” tanya Yasha.
“Udah sarapan ko tadi pagi, yaudah, lo abisin aja dulu makanan lo. Gara-gara gue dateng nih pasti, makanya makanan lo belum abis”
“Ngga juga ko, santai aja” ucap Yasha.

Beberapa menit kemudian, Echa datang. Kedatangan Echa, membuat Yasha merasa mendapat sambutan paling terkejut dari Echa.
“Cha, mingkem” bisik Yasha. “Sorry ya Lang, temen gue ini emang hobi banget mangap hehe” ucap Yasha.
“Ngga papa kok. Lo cewenya Fabian kan?” tanya Galang.
“Iya, kenapa, cemburu ya?” tanya Echa. Galang melongo. “Hehehe bercanda ko” ucap Echa.
“Yaudah deh, gue mau ke perpus dulu ya, bye” pamit Galang. Yasha mengangguk.

Setelah Galang beranjak dari duduknya, Echa memulai menjadi pekerjaan sampingannya; wartawan.
“Ko lo bisa di kantin sama Galang?”
“Yakan ini kantin mahasiswa. Gue sama Galang juga mahasiswa kampus ini, sefakultas juga. Ya ngga aneh lah”
“Maksud gue, gimana bisa lo berdua sama Galang??”
“Ngga berdua, banyak kok, tuh, di meja sana ada Arya sama Nina, di belakang lo ada Vania, Angel, Viska, sama Diana. Kantinnya rame, Cha”

Echa memijat keningnya, menghembuskan nafas terdalamnya.
“Maksud gue bukan itu Ayashaaaaaaa!”
“Lalu?”
“Gimana kronologisnya Galang sama lo bisa disini, di meja ini tadi. Itu!”
“Oh itu, tadi gue lagi makan sendirian, terus Galang dateng, nanya gue, boleh ngga dia duduk disini. Ya gue bilang boleh, kita ngobrol, eh lo dateng, Galangnya pergi deh”
“Nah gitu dong, jelas. Eh bentar, Galang nyamperin lo?”
“Iya” jawab Yasha sambil mengangguk.
“Jangan-jangan…. Galang suka sama lo”

Tenggorokan Yasha tersendat. Yasha butuh air.
“Lo kalo ngomong suka aneh. Ngga mungkin, Echa” ucap Yasha setelah meneguk es teh manis.
“Bisa aja. Atau…” Echa membiarkan kalimatnya menggantung.
“Atau apa?” penasaran Yasha.
“Atau elo yang suka sama Galang”
“Ngga” kekeuh Yasha.
“Berarti-“
“Kalo lo mau ngomong gue belum bisa move on dari Dimas, awas aja!” Yasha memotong ucapan Echa. Echa nyengir kuda.
“Udah ah, gue mau jalan-jalan. Bosen” ucap Yasha yang segera bangun dari duduknya, meninggalkan Echa.
“Yehhh, ngeyel. Suka beneran sama Galang, tau rasa lo” ucap Echa.

Yasha berjalan di sebuah lorong. Melihat apa yang tertempel di mading pekan ini. Meneliti apa saja yang tertempel disana, membuat Yasha cukup kaget. Isi mading penuh dengan kalimat-kalimat memuja. Ya, Galang. Mereka memuja Galang layaknya memuja artis idola mereka. Apa istimewanya Galang? Bagi Yasha, Galang sama saja seperti mahasiswa yang lain, hanya saja, terlihat lebih berkarisma. Galang juga ramah, baik, dan tidak memilih-milih teman. Mungkin itu yang membuatnya dikagumi bukan dari anak jurusan sastra saja.

Yasha membaca salah satu puisi untuk Galang.
 
Kamu adalah ciptan-Nya yang terindah.
Bentuk nyatamu membuat mata ini tak berkedip sekalipun.
Kamu adalah satu diantara sekian banyak manusia.
Kamu adalah yang paling indah dari yang terindah.
Datanglah padaku, sambut aku dengan cinta.
Sambutlah perasaan ini, sambutlah tangan ini.
Ajak aku pergi kemanapun kamu mau.
Ciptakanlah bahagia untuk kita berdua.

Ya, kurang lebih seperti itu. Dibawah puisi itu tertulis, ‘Untuk Ka Galang’. Cukup membuat Yasha terkikik membacanya. Terbukti, bukan dari angkatannya saja yang mengagumi Galang, namun juga adik kelasnya, entah dari fakultas mana.

“Jangan dibaca dong” tiba-tiba Galang sudah ada disamping Yasha.
“Eh, Galang. Emang kenapa? Lucu-lucu tau puisi buat lo. Hampir satu mading, isinya cuma buat lo semua. Keren” Yasha memberikan kedua ibu jarinya.
“Tapi malu. Lo percaya ga, setiap hari gue dapet surat dari… ya ngga taulah siapa mereka” cerita Galang sambil berjalan.
“Serius? Mereka ngirim surat ke elo? Emangnya mereka ngga tau kantor pos dimana ya?” ucap Yasha.
“Ha? Ko kantor pos?” bingung Galang.
“Ya tadi katanya banyak yang ngirim surat ke elo, berarti kan mereka ngga tau kantor pos dimana. Atau mungkin, rumah lo itu di kantor pos?”
“Aduh Yasha, lo ngomong apa sih ko jadi bawa-bawa kantor pos”
“Siapa yang bawa-bawa kantor pos? berat juga Lang bawa-bawa kantor pos”

Galang menatap Yasha aneh. Tatapan baru yang Galang berikan untuk seseorang. Iya, bagi Galang, Yasha aneh. Sangat aneh. Yasha berdadah-dadah di depan wajah Galang.
“Lang, lo ngga papa?”
“Ngga papa. Cuma geregetan aja sama lo”
“Loh, kenapa? Emangnya gue anak kecil”
“Emang geregetan harus sama anak kecil aja ya?”
“Ngga juga sih, hehehehe”
“Udah ngerti tentang mereka yang ngirim surat ke gue? Mereka tuh semacam secret admirer gitu loh Sha” jelas Galang dengan wajah sangat gemas.
“Oh, iya iya paham. Jadi mereka yang ngirim surat, suka sama lo?”
“Maybe” Galang mengangkat kedua bahunya.
“Lo suka sama mereka?”
“Gue kan ngga tau mereka, jadi gue ngga tau deh”

Yasha mengagguk-angguk kepala. Yasha melirik arlojinya, jam dua belas siang.
“Lang, lo ngga masuk kelas? Udah jam dua belas loh”
“Nanggung, gue mau zuhur-an dulu. Lo ikut gak, gue mau ke masjid”
“Gue lagi ngga sholat, Lang” jawab Yasha, dengan tatapan yang sulit ditebak.
“Yaudah, gue duluan ya” ucap Galang yang kemudian pergi meninggalkan Yasha.
“Pantes banyak yang naksir lo Lang. udah baik, ganteng, keren, ramah, pinter, ibadah lo juga oke. Sedikit banget spesies kaya lo” gumam Yasha.

Keesokan harinya, di depan perpustakaan.
“Eh” sapa Galang pada dua orang yang sedang duduk bersebelahan, Echa dan Fabian.
“Ada apa Lang?” tanya Fabian.
“Emh, sebenernya ada yang mau gue tanyain sama Echa” ucap Galang.
“Gue? Kenapa?” tanya Echa.
“Temen lo mana?” tanya Galang.
“Temen gue? Siapa?” tanya Echa balik, kebingungan.
“Yang aneh itu. Yasha” jawab Galang.
“Yasha? Lo nyari Yasha? Hahaha bentar, tadi lo bilang apa? Aneh? Hahaha, gitu-gitu temen gue tuh. Dia belum dateng Lang. Emangnya ada perlu apa sama Yasha?” selidik Echa.
“Emh, ngga ada perlu apa-apa kok. Yaudah, gue duluan” ucap Galang.

Setelah Galang pergi.
“Eh, si Galang ada apa ya nyariin Yasha?” tanya Echa pada Fabian.
“Mungkin ada perlu, aku juga ngga tau” jawab Fabian.
“Jadi kepo. Jangan-jangan bener, Galang suka sama Yasha”
“Ya bagus dong. Jadinya kan temen kamu itu ngga galauin mantannya lagi”
“Bukan masalah itu. Masalahnya, Yasha ngga suka sama Galang”
“Masalah perasaan cuma waktu yang nentuin. Bisa ajakan, mereka harus lebih deket dulu supaya Yasha bisa buka hatinya buat orang baru”
“Bener juga sih kamu”

Sekitar jam delapan pas Yasha mendarat di gedung fakultas tercinta. Yasha punya kegiatan baru, yaitu sekedar mengintip lorong tempat ditempelnya mading. Matanya menyapu seluruh tempat di benda berbentuk persegi panjang itu.
“Masih yang kemarin, belum ada yang baru” gumam Yasha.
“Cari apa sih?” tanya Galang yang menyamai tegapnya dengan Yasha, walau Yasha hanya sejajar dengan leher Galang.
“Eh, Galang, ngagetin aja. Kaya apaan aja suka tiba-tiba muncul. Dari kapan disini?”
“Kaya apa emang? Dari tadi, emang lo ngga sadar gue perhatiin?”
“Maksud lo?”
“Udah ngga usah dibahas. Mending sarapan aja yuk, gue tau lo belum sempet sarapan” ucap Galang, merangkul Yasha. Reflex, Yasha melirik ke pundak kanannya. Ada tangan Galang menggantung disitu. Yasha merindukan sebuah rangkulan.

Yasha yakin, akan ada banyak pertanyaan setelah ini. Bisa saja mereka yang melihat, mengira Yasha dan Galang pacaran. Sebenarnya, Yasha juga aneh mengapa Galang bersikap seperti ini padanya. Sesampainya di kantin, mereka duduk berhadapan. Yasha memperhatikan sekelilingnya. Rasanya, Yasha seperti diperhatikan mata-mata merah beraura kemarahan dari cewek-cewek yang ada di kantin. Yasha menunduk ketakutan.

“Lo kenapa sih?” tanya Galang.
“Lo liat dong sekeliling kita” ucap Yasha. Galang memperhatikan sekitarnya. Ya, Galang baru pertama kali mendapat  tatapan seperti itu.
“Cuekin aja” santai Galang.
“Hah? Santai? Aduh Galang, lo tau nggak sih sekarang gue semeja sama siapa?”
“Sama gue”
“Nah itu dia. Sama idola kampus”
“Hem, lalu?”
“Ih, berasa ganteng lo”
“Ko? Ya gue emang ganteng kali hahahaha”
“Pede”
“Yaudah sih, diemin aja. mereka mau marah, emang atas dasar apa? Lo kan temen gue, sama kaya mereka. Kenapa harus marah coba”
“Beda Galang, beda. Lo itu diidolain sama cewek-cewek di kampus ini. Nah sekarang lo makan berdua gue, otomatis mereka marah merasa ngga dapet kesempatan yang sama kaya gue”
“Jadi lo anggap ini sebuah kesempatan bisa makan bareng idola kampus?” pede Galang.
“Loh, ko jadi tambah pede? Gue kan ngga bilang gitu”
“Ngaku aja” kata Galang menggoda Yasha dengan mencolek dagu Yasha.
“Apa sih. Udah, pesen makanannya”
“Cie, udah laper ya hahahaha”
“Udah. Kenapa? Masalah?”
“Galak ya kalo laper. Yaudah, Bu, baksonya dua porsi, sama es teh manisnya juga dua”
“Yang satu polos, ngga pake bawang sama ijo-ijoan”
“Ijo-ijoan? Apaan tuh?”
“Apa aja yang warnanya hijau, yang harusnya ada di semangkuk bakso”
“Lo ngga suka sayur?”
“Enggak”
“Pantes lo gendut”
“Ih, ko ngatain gue. Ngga gendut tau segini”
“Gendut. Hahahaha, kaya badut”
“Ihhhh engggggaaakk”
“Hahahahahaha. Jangan marah, nanti muka lo tambah bulet”
“Ledekin aja deh terus”
“Ih, serius nih marah? Bercanda Sha, bercanda” tatapan Galang berubah panik. Yasha memajukan bibir bawahnya dua senti.

“Sha, sorry” tangan Galang memegang tangan Yasha. Yasha melirik tangannya, lalu melirik Galang. Apa maksudnya?
“Apaan sih” Yasha melepas genggaman Galang.
“Jangan cemberut. Nanti.. nanti cantiknya ilang”

Yasha mengerutkan dahinya. Tiba-tiba pesanan makanan mereka datang.
“Makasih ya Bu” ucap Galang.
“Ayo Sha, dimakan”
“Ya sabar kali, masih panas”
“Galak banget” goda Galang dengan senyum jahilnya.
“Ngapain lo senyum-senyum? Mau banget gue semprotin saos ya ke mata lo?”
“Berisik. Udah dimakan, tadi katanya laper” ucap Galang.

Mereka tenang untuk beberapa saat, dan mencoba menghabiskan makanan mereka tanpa pembicaraan apapun. Kecuali bicara dalam hati dan pikiran masing-masing.
‘Gokil. Gue baru nemu cewe kaya gini. Ternyata, Yasha aslinya cerewet banget’ batin Galang.
‘Sial! Kenapa ni cowo bikin gue ddeg-degan gini ya. Ah, gue gaboleh kepancing. Mati gue kalo suka sama cowo kaya Galang’ batin Yasha.

Setelah hari itu, dan beberapa hari kedepan, hubungan Galang dan Yasha semakin dekat. Mereka jadi sering menghabiskan waktu berdua. Ngobrol bareng, atau sekedar membaca buku bersama di perpus, bercerita tentang kesukaan masing-masing, dan sore ini, sepulang kuliah, mereka akan pergi ke suatu tempat.

“Eh iya, nanti kita mau nonton apa?” tanya Galang, di koridor menuju parkiran.
“Apa aja deh, yang penting gue ngga sendiri nontonnya” jawab Yasha.
“Kenapa emang kalo sendiri? Takut ya? Hahahaha”
“Ngga juga sih”
“Terus? Kalo lo takut, tenang aja, kana da gue”
“Kan di bilang ngga takut, Galang”
“Iya deh iya yang berani. Hem, berarti nanti pas di bioskop kita duduknya jauh-jauhan aja gimana?”

Yasha menoleh.
“Kok? Kalo gitu ngapain pergi berdua kalo disananya sendiri-sendiri. Tau gitu sih mending gue pergi sendiri, ngga jadi minta temenin lo” kesal Yasha. Galang malah tertawa kecil.
“Lo tuh ya, kenapa sih sensitive banget? Bilang aja takut” ucap Galang dengan nada canda seraya mencubit hidung mancung Yasha.
“Sakit, Galang” eluh Yasha melepas kedua jari Galang yang mengapit hidungnya.
“Lagian cerewet banget” kata Galang.

Mereka sampai di parkiran. Seperti biasa, mahasiswa yang ada disana terus mengamati Yasha dan Galang. Bahkan di sepanjang koridor tadi, mereka berdua menjadi pusat perhatian dan pembicaraan. Namun Galang dan Yasha berusaha untuk biasa saja. Lagi pula, tidak ada yang marah kalau Yasha dekat dengan Galang, menurut Yasha.

“Sha, peluk gue ya” ucap Galang sudah siap dengan kemudinya.
“Yeee!” balas Yasha sambil mengetuk helm Galang.
“Nanti kalo ngga meluk gue, lo jatoh lagi”
“Ngga meluk juga. Udah cepetan jalan”
“Iya wel” Galang bersiap memasukan gigi. Setelah itu, motor itu segera melaju ke sebuah mall daerah Jakarta.

Sepanjang perjalanan, Yasha merasakan perbedaan pada hatinya. Yasha merasa aman kalau berada dekat dengan Galang. Tanpa siapapun yang mengetahui, Yasha tersenyum bahagia bisa seperti ini, berada dengan seseorang dengan kenyamanan seperti ini.

Rasanya sudah sangat lama Yasha merindukan sosok yang menjaganya seperti ini, walau Yasha sendiri belum yakin dengan perasaannya. Yasha masih enggan untuk membuka hati. Entah kedekatannya dengan Galang apa namanya. Kadang, ke-tidak-jelasan bisa terasa nyaman dari sesuatu yang harus dijelaskan.

Yasha menyangkutkan kedua tangannya di saku jaket jins Galang, jika ia melingkarkan tangannya, ia takut Galang merasa terganggu walau Galang sudah meminta lebih dulu agar Yasha melingkarkan tangannya di pinggang Galang.

Galang yang menyadari keberadaan kedua tangan Yasha di saku jaketnya, langsung menarik tangan kiri Yasha menyentuh perut Galang, lalu tangan kanan Yasha juga ditarik untuk melingkar di pinggang Galang. Yasha menyampingkan kepalanya, mengisyaratkan apa maksudnya.

“Biar lo ngga jatoh, Yasha. Lagian pegangan setengah-setangah”
“Alasannnn hahahahaha” ucap Yasha dengan tawanya. Galang hanya tersenyum.

Mereka sampai di parkiran sebuah mall. Galang melepas helmnya, Yasha turun dari motor Galang. Yasha hendak berjalan meniggalkan Galang, tapi tiba-tiba Galang menarik tangan Yasha, mengembalikan posisi Yasha semula, disamping Galang.

“Ko jalan duluan sih? Kalo datengnya sama gue, jalannya harus disebelah gue” ucap Galang.
“Yaelah, emang gue anak kecil apa” ucap Yasha.
“Iya, nanti lo ilang lagi. Gimana? Kalo lo ilang, gue bilang apa sama nyokap lo? Udah, disbelah gue aja” kata Galang. Yasha menatap mata Galang, berusaha menemukan arti dari ucapannya barusan, walau saat Galang balik menatap, Yasha tak berani untuk menatap Galang lagi.
“Kenapa ngeliatin gue? Terpesona ya?” pede Galang sambil tersenyum.
“Ih pede banget, siapa yang ngeliatin lo. Eh ini apaan sih pegang-pegang tangan gue, lepas ah” kata Yasha yang berusaha melepas genggaman Galang. Galang mengalah, ia membiarkan Yasha melepas genggamannya, namun dengan tiba-tiba Galang merangkul Yasha erat.
“Lang!”
“Apa?”
“Ini tangan apa batu? Berat banget” kata Yasha.
“Biarin”
“Ih Galang, lepas” kata Yasha berusaha melepas rangkulan Galang yang terlihat memaksa.
“Gak”
“Kebo!”
“Bodo”

Akhirnya Yasha harus ikhlas berada dalam rangkulan Galang yang terkesan memaksa. Lagi-lagi mereka harus menjadi pusat perhatian orang-orang.
“Lang, diliatin” ucap Yasha.
“Biarin, mereka kan punya mata, berarti punya hak buat ngeliat apa yang mau mereka liat”
“Ah! Susah ngomong sama lo”
“Yaudah makanya diem, jangan ngedumel mulu. Ngerti?” tanya Galang seraya menatap wajah Yasha sangat dekat. Yasha terpaku selama beberapa detik, lalu berpaling karena takut Galang memahami arti tatapan mata Yasha.

Mereka sudah mengantri dalam barisan pembelian tiket bioskop. Dari empat teater, film yang di putar hanya dua. Jadi, dua teater untuk masing-masing satu judul film. Galang masih merangkul Yasha.
“Mau nonton apa?” tanya Galang.
“Engh…. Filmnya cuma dua?”
“Iya, tuh lo liat sendiri kan”
“Ngga jadi nonton film deh”
“Kenapa? Ini filmnya bagus-bagus loh” ucap Galang tanpa melihat ekspresi wajah Yasha.
‘Seru dari mananya sih?! Ini horror semua!’ batin Yasha.
“Heh, ko diem aja? Yaudah, gue yang milihin kita mau nonton apa”

Yasha masih diam.
“Mbak, conjuring dua tiket” ucap Galang pada seorang wanita dihadapannya.

Tiket sudah di tangan.
“Kita masuk tiga puluh menit lagi” ucap Galang.
“Jadinya nonton apa, Lang?” tanya Yasha, menutupi ketakutannya.
“Conjuring. Ngga papa kan? Abisnya tadi lo diem aja, jadi yaudah deh, gue beli tiket nonton conjuring”

Yasha diam, menunduk, memikirkan apa yang terjadi nanti selama film di putar.
“Yasha? Yasha ko lo diem aja? Lo kenapa? Laper?” tegur Galang sambil melambaikan telapak tangannya di depan wajah Yasha.
“Hah? Takut? Engga kok, ngga takut” ucap Yasha.
“Ko takut? Gue kan nanya, lo laper apa engga. Apa jangan-jangan lo takut nonton film ini?”
“Ta.. takut? Eng… engga ko. Siapa yang takut?”

Galang mengangkat alisnya melihat wajah Yasha berubah dari yang biasanya. Sejuta ide muncul begitu saja di kepala Galang, lalu senyum jahil Galang mengembang.
“Lo takut kan? Hahahahaha” ledek Galang.
“Enggak, udah gue bilang, gue ngga takut” ucap Yasha.
“Sha, muka lo tuh ngga bisa dibohongin”
“Yaudah, terus kalo gue takut, kenapa?” tanya Yasha, dengan wajah aneh.
“Hem, ya tetep nonton lah” ucap Galang.
“Oh, yaudah, ba.. bagus kalo gitu” kata Yasha.

Tiga puluh menit kemudian.
“Lang, laper, makan aja yuk?”
“Yasha, gue udah beli dua popcorn buat lo, plus satu gelas ukuran large, jadi lo bisa ganjel perut lo di dalem. Udah yuk ah masuk, udah mau mulai filmnya” ajak Galang, seraya menarik tangan Yasha.

Mereka duduk di deretan kursi J, di dua kursi paling pinggir, ya, mereka duduk di tengah, karena memang hanya disitu yang tersisa untuk dua pengunjung. Yasha yang duduk disebelah Galang, hanya diam sepanjang film siap untuk diputar. Untuk mengurangi degupan jantung Yasha karena segera menonton film dengan genre yang paling Yasha benci, Yasha mencoba memakan popcorn rasa caramel kesukaan Yasha, tanpa sedikitpun menatap layar yang memutarkan film. Galang yang melihat, hanya tersenyum sejahil-jahilnya.

Galang mengangkat dagu Yasha.
“Layarnya di depan, bukan di bawah, Yasha” ucap Galang, berbisik, namun suaranya masih bisa Yasha tangkap. Dengan keadaan lampu teater yang sudah dimatikan, Galang sangat sulit untuk melihat wajah Yasha, sorotan lampu dari film yang sudah terputarlah yang membuat Galang mampu melihat wajah Yasha, bahwa Yasha memejamkan kedua matanya.

“Yasha” ucap Galang dengan menghadapkan wajah Yasha kearahnya. Yasha membuka kedua matanya sambil tersenyum.

Deg. Sial. Kenapa Yasha harus membuka mata disaat wajah Galang sedekat ini, dan dengan tatapan seperti itu. Rasanya, degup jantung itu tak bisa berhenti, tak terkendali. Sialan. Galang. Iya, dia. Dia penyebab degupan jantung Yasha dan aliran darah yang begitu deras saat mata mereka bertemu.

Senyuman Yasha luntur, saat tersadar bahwa hatinya bicara. Bicara bahwa yang ia rasakan bukanlah lagi rasa yang biasa. Yasha merasa, perasaannya sudah keterlaluan. Yasha memang merasa, bahwa Dimas sudah tak lagi ada di pikiran Yasha. Justru, lelaki disampingnya lah yang akhir-akhir ini bermain di pikirannya, tak tau dimulai sejak kapan.

Mereka masih bertatapan di jarak sedekat itu, namun sumber suara dari film horror itulah yang membuat Galang dan Yasha kaget, dan melepas tatapan itu. Galang kembali ke layar besar dihadapannya, sedangkan Yasha kembali pada tundukannya dan popcornnya.

Sadar, terlalu lama menunduk membuat leher Yasha terasa pegal. Akhirnya, Yasha mengangkat kepalanya dan menyandarkan kepalanya pada kursi, namun wajahnya ditutupi kedua tangannya. Galang yang melihat itu, membuat senyumnya mengembang, kali ini bukan senyum jahil. Galang merangkul Yasha, mendekatkan kepala Yasha pada pundaknya. Ya, kepala Yasha sudah ada di pundak Galang, dan Galang mengusap kepala Yasha dengan keadaan rambut Yasha yang diikat satu namun sudah tak terbentuk sebuah ikatan rambut.

‘Galang, kenapa berada sedeket ini sama lo, bikin gue ngerasa nyaman dan terlindungi. Apa arti semua ini? Kenapa sikap lo kaya gini ke gue, sedangkan gue belum bisa definisikan apa yang gue rasakan. Apa mungkin gue udah lupa sama masa lalu gue? Apa lo sebab dari move on-nya gue? Galang, andai lo tau, gue ma uterus berada sedeket ini sama lo, sekalipun gue ngga ngerti cara ngejelasin perasaan gue ke lo’ batin Yasha.

Keesokan harinya, Echa berlari dari depan gerbang kampus kearah koridor terdekat dari gerbang.
“Yashaaaaaaaaaaaa!” teriak Echa.
“Hah? Apaan?” tanya Yasha.
“Kemaren lo abis jalan ya sama Galang?”
“Ko lo tau?”
“Ayasha Sagita Ananda Pratiwi, anak-anak di kampus tuh kemaren rame ngomongin lo!”
“Ngomongin apa?”
“Ya ngomongin kalo lo kemaren jalan sama Galang”
“Bentar, gue sama Galang ngga ada yang bilang kalo kita mau jalan kemaren. Tapi mereka tau darimana ya….”
“Aduh lo norak plus udik banget ya. Emang lo ngga tau?”
“Apaan?”
“Galang kemaren update di path, kalo dia lagi jalan sama lo. Dia ngapdet lokasi sama lagi pergi sama lo nya”
“Path tuh apa sih?”
“Aduh, panjang urusannya nih kalo gue jelasin” gumam Echa. “Ya pokonya update deh” kata Echa.
“Terus sekarang masalahnya apa?” tanya Yasha.
“Ngga ada sih” jawab Echa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Yaudah” ucap Yasha yang kemudian meninggalkan Echa.

“Eh Yashaaaaaaaa, masalahnya ada!” Echa mengejar Yasha.
“Apaan masalahnya?” tanya Yasha.
“Masalahnya, emmm, sebenernya pertanyaan sih. Berarti lo udah move—“
“Stop! Don’t talking about----- the past”
“Sorry, kan cuma mau mastiin”
“Cha, bahkan gue ngga ngerti sama apa yang gue rasain sekarang”
“Loh ko ngga ngerti? Jelas-jelas lo udah nemuin penggantinya”
“Tapi gue masih takut Cha. Gue belum siap jatuh cinta lagi”
“Di saat lo ngomong belum siap jatuh cinta, lo itu udah jatuh cinta, Sha”
“Gue masih belum yakin sama perasaan gue”
“Gue mau nanya deh, setiap di deket Galang, lo deg-degan ngga?”
“Iya”
“Terus, rasanya tuh nyaman ngga kalo lagi sama dia?”
“Iya”
“Lo ngerasa udah ngga mikirin mantan lo lagi ngga kalo lagi sama Galang?”
“Iya, kok lo tau sih? Lo dukun ya?” tanya Yasha dengan tatapan menyelidik.
“Ih apaan sih lo dukun dukun. Sha, fix banget lo jatuh cinta sama Galang!”
“Enggak. Lo sok tau”
“Yeh, dibilangin ngeyel. Lo itu jatuh cinta sama Galang”
“Enggak! Udah ah gue mau ke kelas, ada jam. Bye”

Sepanjang perjalanan Yasha ke ruang kelasnya, Yasha memikirkan ucapan Echa. Bagaimana mungkin Echa memberi pernyataan bahwa diriya telah jatuh cinta pada Galang, kalau hatinya saja masih mengelak tentang rasa cinta? Bagaimana mungkin Yasha jatuh cinta, tanpa pengakuan dari hatinya sendiri? Iya, ini tentang keraguan. Yasha belum yakin bahwa dirinya jatuh cinta pada Galang.

Di koridor, lorong tempat ditaruhnya mading.

Pertemuan tak sengaja itu telah mengantarku sampai sini.
Percakapan pertama itu berpengaruh pada hasrat ini.
Tatapan yang kuanggap biasa, sering kuulang bersama memori.
Senyuman itu menciptakan kedamaian dalam sembunyi.
Apa arti rasa dengan seringnya terjadi pertemuan?
Apa makna dari sebuah sapaan setiap hari?
Apa artinya tatapan yang disambut dengan degupan jantung?
Apa maksud dari senyuman akibat sebuah ucap dan laku?
Tuhan, sudahkah aku mengikhlaskan yang telah terjadi?
Sudah relakah aku melepasnya?
Apa seseorang yang kutunggu hadirnya membawa cinta?
Izinkan aku dekat dengannya, walau tanpa pengakuan.
-ASAP-

“Asap? Gue baru baca puisi yang nyantumin namanya. Eh, tapi ini bukan buat gue deh kayanya, mereka kan kalo nulis puisi biasanya ada nama gue hahahaha pede banget y ague. Tapi puisinya nyentuh juga, eh ko untitled ya? Tau deh” gumam Galang.

Galang berjalan menuju kantin, menemui Yasha yang sudah menunggunya.
“Sorry ya kalo lama” ucap Galang sambil mengambil kerupuk yang ada di piring nasi goring Yasha.
“Ngga papa. Emang dari mana dulu, Lang?”
“Kepo ya? Hahahahaha”
“Ngga mau ngasih tau juga ngga papa”
“Ngambek”
“Hih siapa yang ngambek. Gue kan nanyanya ngga maksa, kaya lo”
“Hahahaha, apasyiiiiii” ledek Galang sambil mencubit hidung Yasha.
“Galang gue lagi makan ih, iseng banget sih lo”
“Abis enak ngisengin lo hahahahaha” tawa Galang. “Eh, Sha, lo sebagai anak sastra harus liat mading” ucap cowok gondrong blasteran Italy-Jawa itu.

Yasha yang baru mangap untuk menyuap nasi goring berikutnya jadi tertahan.
“Ada apa emang?” tanya Yasha.
“Ada puisi baru”
“Ah, paling puisinya buat lo, bosen gue bacanya”
“Kayanya bukan buat gue deh. Soalnya ada nama pengarangnya, nama pengarangnya Asap”
“Asap? Temennya api, maksud lo?”
“Iya, temennya korek juga”
“Apaan sih lo”
“Yee lagian lo ngga serius. Tapi ini serius, suer puisinya keren, eh biasa aja deh, eh ngga biasa juga, tapi nyentuh banget”
“Nyentuh banget? Emang puisinya bisa megang lo?”
“Iya, bisa. Puisinya punya tangan, bahkan dia bisa nampar gue. Mau ngerasain ngga tamparannya gimana?!” ucap Galang dengan tatapan dan nada bicara kesal, namun malah membuat Yasha tertawa.
“Hahahahaha, sorry sorry. Emang puisinya bagus?”
“Kalo menurut gue sih, lumayan. Kayanya pengarangnya anak Sastra deh, beda sih coretan tangannya” ucap Galang, serius.
“Sok tau lo” ucap Yasha, melemparkan kerupuk ke wajah Galang.
“Yaelah Sha, gue kan juga anak Sastra, jadi gue paham betul coretan-coretan puisi anak Sastra. Kalo ngga percaya, lo ikut gue ayo” ucap Galang yang langsung menarik tangan Yasha.
“Eh bentar, gue bayar dulu” kata Yasha.
“Ayo cepetan” kata Galang.
“Ya sebentar, uangnya kan ada di dompet”
“Lama lo!” Galang mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah dari saku celananya dan menaruhnya diatas meja, “Bu, uangnya di meja ya. Ayo cepetan” kata Galang.
“Ih Galang, lo mah apa-apa maunya buru-buru sih ah” kata Yasha tergesa-gesa memasukan dompetnya ke dalam tas.

Mereka berjalan ke lorong, Galang masih menggandeng tangan Yasha.
“Nih, lo baca” kata Galang. Yasha memperhatikan setiap baris puisi itu.
“Lumayan” gumam Yasha.
“Nah kan bener” kata Galang. Yasha memperhatikan Galang yang membaca puisi tersebut, ini kesekian kali Galang membaca puisi itu, tanpa melepas tangannya dari genggaman Yasha.

“Ehem” gumaman Echa membuyarkan konsentrasi Galang yang sedang membaca puisi, juga mengagetkan Yasha yang sedang memperhatikan Galang.
“Eh, Cha, lo baca deh nih puisi” ucap Galang yang segera berbalik.
“Baca sih baca, tapi…… lengket banget sih tuh tangan” ledek Echa.

Yasha yang sadar, langsung melepas genggaman itu.
“Ng, ngga kok” ucap Yasha, yang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Tapi temen lo betah Cha, gue gandeng” ucap Galang dengan coolnya.
“Halah, kalian. Cepet sih jadian”
“Apaan sih lo” ucap Yasha, dengan raut wajah yang berubah, yang kemudian pergi dari situ.
“Yasha” panggil Echa, namun diabaikan.
“Kenapa temen lo?” tanya Galang.
“Ngga tau. Duh, mati gue, gue susul deh” kata Echa.

Yasha duduk di bangku taman kampus.
“Sha” tegur Echa. Yasha terlihat seperti menghapus air matanya. Echa duduk disebelah Yasha.
“Maafin kata-kata gue tadi ya?” ucap Echa.
“Gue cuma masih takut Cha buat buka hati”
“Iya, gue ngerti. Tapi ngga salah kan buat ngerasain perasaan sama orang lain? Lo butuh orang lain Sha”
“Ngga secepet itu, Echa”
“Apa dua tahun bukan waktu yang lama? Dua tahun serasa sehari ya buat lo? Gue Cuma ngga mau lo sedih, Sha”
“Gue tau ko maksud lo, tapi gue mohon, lo harus ngerti rasanya jadi gue”
“Iya, Sha. Sorry ya” ucap Echa seraya merangkul Yasha.

Sepulang kuliah, jam tiga sore.
“Hey, Sha” tegur Galang yang melihat Yasha berdiri di depan pintu depan fakultas.
“Kenapa?” tanya Yasha.
“Mau pulang bareng?”
“Duluan aja, Lang”
“Ngga mau bareng? Ini mendung loh”
“Engga usah, lo duluan aja ngga papa. Gue masih nungguin Echa”
“Oh gitu? Em, yaudah, gue duluan. Lo hati-hati ya” ucap Galang yang lalu meninggalkan Yasha.

‘Maafin gue Lang. Sekarang ini gue masih takut buat jatuh cinta, walau gue tau, jatuh cinta ngga pernah kenal waktu buat datang’ batin Yasha.

Saat waktu tak lelah untuk berlari.
Saat hari pun enggan untuk berhenti.
Saat matahari tetap terbit setiap pagi.
Saat hati terus berbisik tentang nama.
Malam-malamku selalu kau sita.
Lamunanku selalu terisi tentangmu.
Argumenku bersama hati selalu menyebut namamu.
Lalu, apa kesimpulan kalimat diatas?
-ASAP-

‘God, Asap lagi. Siapa sih dia? Jadi penasaran’ benak Galang setelah membaca puisi baru karangan Asap yang tertempel di mading.

Setelah membaca puisi itu, ia pergi meninggalkan lorong kampus. Galang melihat Echa dan Yasha seperti bicara serius di dalam ruang kesenian. Galang tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan, suara Yasha terdengar samar karena bersamaan dengan tangisan. Hanya sedikit yang bisa Galang tangkap.

“Gue pasti bilang kalo gue udah yakin ini cinta, Cha” ucap Yasha ditengah isak.
“Apa sampe sekarang lo belum yakin kalo perasaan lo ini cinta?”
“Gue belum yakin. Gue takut, Cha. Gue takut”
“Yaudah Sha, jangan nangis lagi. Kasihan mata lo, buat nangis mulu. Gunain tuh bibir lo buat senyum” ucap Echa, sedikit menenangkan Yasha. Yasha tersenyum.

Di depan kelas, Galang berdiri, menunggu seseorang keluar. Setelah kelas bubar, Galang masih menunggu yang ia cari segera muncul dihadapannya. Saat seseorang keluar dari bilik.
“Sha” panggil Galang seraya menarik tangan Yasha.
“Galang? Ngapain lo di depan kelas gue?” tanya Yasha. Galang memeluk Yasha.

“Jangan nangis Sha. Jujur, gue takut liat cewe nangis” ucap Galang.
“Lang, maksud lo apasih?” tanya Yasha di dalam dekapan Galang.
“Gue liat lo nangis di ruang kesenian tadi. Siapa yang bikin lo nangis Sha?”

Yasha melepas pelukan Galang.
“Lo liat gue nangis? Lo denger percakapan gue sama Echa?” tanya Yasha dengan nada kaget.
“Gue denger” ucap Galang. Yasha menatap Galang dengan tatapan terkejut.
“Lo harus bilang kalo lo cinta sama dia, gue selalu di belakang lo, Sha” ucap Galang.

‘Huhhhh, ternyata Galang ngga denger omongan gue dari awal’ batin Yasha.
“Oh… oke, gue pasti bilang. Tapi gue bakal bilang, kalo gue udah yakin perasaan ini cinta. Pasti” ucap Yasha.
“Lo harus jujur sama perasaan lo. Eh iya Sha, lo mau bantuin gue ngga?”
“Bantuin apa, Lang?”
“Bantuin gue untuk cari tau siapa………” Galang membiarkan ucapannya menggantung.
“Siapa?”
“Asap”
“A.. Asap? Bu.. Buat apa?”
“Gue mau tau aja siapa si Asap, gue mau muji kalimat yang dia tuang dalam bentuk puisi”
“Emangnya kalo lo tau, lo mau ngapain?”
“Gue mau… gue mau minta tolong sama dia, untuk ngebuatin gue puisi”
“Puisi buat siapa?”
“Someone” jawab Galang diselingi senyuman manisnya.
“Someone?” tanya Yasha dengan tatapan menyelidik. Galang menatap mata Yasha dalam, namun tak bisa ditebak apa astinya, lalu Galang mengangguk mantap.
“Lo mau kan bantu gue?” tanya Yasha.
“Gimana yaaaa”
“Ayolah Sha, please” memohon Galang.
“Ngga mau ah” ucap Yasha yang lalu pergi meninggalkan Galang dengan senyum jahilnya.

Yasha berjalan meninggalkan Galang, berjalan menjauhi Galang dengan langkah lambat, berharap Galang menarik tangannya seperti tadi. Namun, harapan Yasha tidak menjadi kenyataan. Rupanya, Galang tetap membeku di depan ruang kelas Yasha. Akhirnya, Yasha memutuskan untuk pulang.

Di kamar, Yasha terus berkomunikasi dengan hatinya. Yasha berharap, pertanyaan yang selama ini mengusik otaknya bisa segera terjawab. Rasa apa yang sebenarnya ada di hati Yasha selama ini. Perasaan cintakah, atau hanya kekaguman semata? Yasha memutar beberapa pecan kebelakang. Hari-harinya bersama Galang, waktu yang ia habiskan berdua dengan Galang, apakah ada artinya di hati Yasha? Benarkah Yasha telah jatuh cinta? Apakah Yasha sudah benar-benar melupakan mantan kekasinya? Ya, semua telah terjawab.

Aku yakin, tidak ada yang salah atas perasaan ini.
Aku yakin, rasa ini adalah anugerah dari Tuhan.
Aku telah yakin, bahwaa perasaan ini sudah berubah.
Aku yakin, aku jatuh cinta.
Bagaimana aku mengutarakan rasa ini?
Makhluk-Nya yang terindah berada jauh sekarang.
Apa aku harus meminta merpati untuk menyampaikan?
Apa aku harus memberi tulisan ini agar dia tau yang kurasakan?
Pertemuan yang tak sengaja itu sudah mengantarku kesini.
Ke gerbang jatuh cinta. Iya, aku telah jatuh hati padanya.
Aku jatuh cinta pada sosok yang selalu ada untukku.
Aku jatuh cinta pada seseorang yang ku kagumi.
-ASAP-

“Apa gue kasih puisi ini aja ya ke dia? Kayanya, Asap lagi jatuh cinta. Sama kaya gue yang lagi kangen. Hahahaha, apaan sih gue, kaya anak alay aja” ucap Galang setelah membaca puisi itu.

Galang berjalan menelusuri gedung fakultas, mencari seseorang; Yasha. Namun, ia tak juga menemui gadis itu. Galang memutuskan untuk duduk di bangku taman dekat perpustakaan, dan sepertinya, ia mengenal jelas sosok raga di ujung dekat pohon itu. Yasha sedang bicara dengan seseorang di ujung telepon.

“Gue bakal bilang sekarang, Cha” ucap Yasha di ponselnya, dengan nada bersemangat.
“Serius lo? Ah, kenapa sih bilangnya pas gue ngga masuk, gue kan juga mau liat” ucap Echa diujung telepon.
“Hahahaha, makanya jangan sakit. Yaudah, get well soon yah Echaku. Muwah, byeee” kata Yasha segera memutus sambungan. Yasha jadi senyum-senyum sendiri.

“DOR!”
“Galang! Kaget tau!” kesal Yasha yan dikagetkan Galang.
“Hahahaha, lagian ngapain sih lo sendirian dibawah pohon?”
“Em, ngga ngapa-ngapain. Lo sendiri ngapain?”
“Gue nyariin lo”

Deg.
“Nyariin gue?”

Galang mengangguk.
“Ada apa? Oh iya, sekalian gue juga mau ngomong sama lo”
“Ngomong apaan? Kayanya serius banget”
“Ada deh. Tapi jangan disini”
“Terus dimana? Tapi gue ngga bisa lama-lama, jam tiga gue harus ke bandara”
“Iya, sebentar ko. Yuk” ajak Yasha.

Mereka bicara di warung es pinggir jalan dekat kampus.
“Es kelapanya dua ya Bang” pesan Yasha. “Eh iya, jadi berapa? Saya mau langsung bayar” kata Yasha.
“Empat belas ribu, Mbak” jawab abang tukang es kelapa. Kemudian Yasha mengeluarkan selembar sepuluh ribuan dan selembar lima ribuan.
“Asik, gue di traktir nih?”
“Jarang-jarang kan gue nraktir lo?”
“Iya juga sih hahahaha”

Es kelapa sudah di tangan masing-masing. Menit pertama, mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Sha, lo mau ngomong apa?” tanya Galang. Yasha diam, dan degupan jantungnya semakin kencang.
“Enghh” gumam Yasha.
“Apa? Ko malah kaya grogi gitu sih?” kata Galang.
“Gue mau nanya aja sih, lo ngerasa beda ngga sih?”
“Beda? Beda gimana maksud lo?”
“Ya perasaan lo”
“Perasaan gue? Beda gimana?”
“Apa selama ini… selama kita berteman deket, ngga ada yang beda dari perasaan lo?”
“Gue masih bingung suer. Bentar-bentar, emangnya selama ini perasaan lo ke gue tuh lebih dari temen? Sahabat, maybe?” ucap Galang.
“Lang” ucap Yasha, menatap mata Galang.
“Oh ya, I know. Rasanya emang kita tuh bukan kaya temen ya, bukan kaya sahabat juga. Gue udah bener-bener nganggep lo tuh, saudara. Iya, lo gue anggep kaya ade gue sendiri, Sha” ucap Galang.

Yasha diam, kaget bukan main mendengar ucapan Galang barusan. Galang merangkul Yasha.
“Sha,  kedeketan kita tuh bikin yang lain nganggap kita pacaran ya? Padahal mereka ngga tau aja, hahahaha. Oh iya, gue juga sebenernya mau ngomong. Gue mau ngenalin lo sama seseorang” ucap Galang yang tak menyadari bagaimana wajah Yasha sekarang. Mata Yasha yang sudah menampung air mata.

“Siapa?” tanya Yasha, menahan apa yang ingin ia luapkan.
“Gue mau ngenalin lo sama Diandra, pacar gue yang baru balik dari Jerman. Gue seneng banget akhirnya dia balik juga, setelah dua tahun ninggalin gue demi ngejar cita-citanya. Lo harus ketemu dia ya pokonya. Gue mau ngasih tau Diandra, kalo gue punya seseorang yang bener-bener baik sama gue, lo mau kan?” jelas Galang. Yasha tersenyum.
“Lo mau kan Sha?” tanya Galang. Yasha mengangguk ragu.
“Eh tapi sebelum gue ngenalin lo ke Diandra, sekarang lo harus bantu gue nyari tau siapa Asap, karena gue mau minta bikini puisi sama dia. Puisi tentang cowok yang mau nyambut kedatangan kekasihnya yang bener-bener dia rindukan”
“Maaf, tapi kayanya gue ngga bisa nemenin lo nyari Asap, gue harus pulang. Maaf banget Lang, gue duluan” ucap Yasha.

Yasha bangun dari duduknya, meninggalkan Galang yang bertanya-tanya tentang sikap Yasha.
“Yasha, ngga mau gue anter?” teriak Galang. Namun Yasha mengabaikan suara itu.

Yasha benar-benar tidak menyangka, bahwa seseorang yang berhasil membuatnya membuka hati ternyata sudah punya kekasih. Yasha benar-benar tak habis piker, kalau Galang sudah punya kekasih sejak lama. Entah kesakitan apa lagi yang Tuhan berikan. Entah harus seberapa sabar lagi Yasha meratapi perasaannya. Yasha pulang dengan linangan air mata yang tumpah tanpa kendali di dalam taksi.

“Si Yasha kenapa yah, aneh gitu. Jangan-jangan, dia suka sama gue lagi. Ah, ngga mungkin” ucap Galang.
“Mas, maaf, kartu mahasiswa teman perempuan Mas yang tadi jatuh di dekat roda gerobak saya. Ini Mas” ucap tukang es kelapa itu seraya memberikan kartu mahasiswa milik Yasha.
“Oh, ya, makasih ya Bang” kata Galang menanggapi pemberian itu.

Awalnya Galang tak begitu peduli dengan kartu mahasiswa milik Yasha, namun rupanya, kartu mahasiswa milik Yasha menarik mata Galang untuk melihat sesuatu.
“Ayasha Sagita. A. P” Galang mengeja nama itu. “A-Es-A-Pe. Asap. Asap? Jadi, Asap itu Yasha?!” gumam Galang.

‘Sorry Yasha, sorry gue minta maaf banget. Kenapa gue sebodoh ini sampe gue ngga pernah paham tentang perasaan lo. Ternyata puisi yang tadi gue baca itu menggambarkan perasaan lo. Demi Tuhan, gue ngga maksud nyakitin perasaan lo, Sha’ batin Galang selagi perjalanan ke bandara, di mobil.

Keesokan harinya..
“Echa, Yasha mana?” tanya Galang.
“Loh ko nanya gue? Biasanya kan yang pertama Yasha temuin di kampus, elo”
“Gue belum ketemu dia, Cha”
“Telfon lah”
“Nomernya ngga aktif dari kemarin malem”
“Gue ngga tau, Lang. kalian ada apa sih?”
“Oke thanks, gue duluan” Galang langsung pergi meninggalkan Echa.

Beberapa menit kemudian.
“Hey, Cha” sapa Yasha.
“Yasha? Eh, tadi lo dicariin Galang”
“Oh”
“Ko? Kalian lagi berantem ya? Eh iya, gimana soal pengakuan lo sama dia?” antusias Echa.
“Ngga ada lagi yang harus di-aku-in Cha. Pengakuan tentang perasaan gue udah ngga perlu dijelasin”
“Loh, kenapa?”
“Jangan maksa gue untuk cerita sekarang ya. Lo ngga mau liat mata sahabat lo ini bolong kan gara-gara nangis?”
“Ya ampun. Ah, elo tuh ya, apa-apa ngga mau langsung cerita sih. Suka banget ngebuang air mata sih?”
“Tuhan mau gue lebih dewasa soal cinta. Kadang, seseorang yang kita anggap yakin yang kita cinta, belum tentu ngerasain yang sama kaya apa yang kita rasain” ucap Yasha sambil tersenyum, namun dengan air mata yang mengalir.

Tanpa Yasha sadari, seseorang yang sedari tadi mencarinya, mendengar apa yang Yasha dan Echa bicarakan dari balik tembok. Ternyata, kebersamaan itu bisa membuat seseorang bisa mengubah perasaan satu pihak.

Galang memperhatikan kartu mahasiswa milik Yasha.
“Kadang, menyayangi orang lain namun sadar keterikatannya juga menyakitkan, Sha. Maafin gue” gumam Galang.

END