Cerpen: You Belong With Me
“Ehem” seru suara cowok disebelah Leva.
“Eh, kamu udah dateng” Leva kaget dan langsung merapihkan posisi duduknya, menaruh ponsel di saku almamaternya.
“Kamu ngegalauin apasih di sosmed? Segitunya banget” ucap Terry, dengan tampang wajah kesal.
“Eh, kamu udah dateng” Leva kaget dan langsung merapihkan posisi duduknya, menaruh ponsel di saku almamaternya.
“Kamu ngegalauin apasih di sosmed? Segitunya banget” ucap Terry, dengan tampang wajah kesal.
Leva kikuk mendapat pertanyaan seperti itu dari Terry. Karena
memang hari ini adalah kenangan paling terkenang bagi Leva. Walaupun Leva sudah
menjadi kekasih orang lain, bukan berarti Leva harus benar-benar menghapus
mantan kekasihnya dari hidupnya, sekalipun mantan kekasihnya juga sudah menjadi
kekasih orang lain.
“Galau? Engga, biasa aja ko. Kamu aneh deh” jawab Leva,
bohong.
“Terus apa namanya kalo bukan galau? Apa aku harus ngucapin failed anniversary ke kamu?” ucap Terry masih dengan nada santai namun terdengar marah.
“Apaan sih. Yaudah ayo pulang” ajak Leva.
“Terus apa namanya kalo bukan galau? Apa aku harus ngucapin failed anniversary ke kamu?” ucap Terry masih dengan nada santai namun terdengar marah.
“Apaan sih. Yaudah ayo pulang” ajak Leva.
Leva beranjak dari duduknya. Melangkah menjauhi Terry,
disusul Terry yang mengikuti langkah Leva dari belakang. Bahkan langkah Leva
terlihat kaku. Gelagapan. BRUK! Leva menabrak seseorang di depannya.
“Leva? Leva lo ngga papa?” tanya cowok di depannya, cowok
yang sedang bermain dipikiran Leva. Terdengar desahan napas berat Leva ketika
melihat wajah Verrel hari ini.
“Gue ngga papa Rel” jawab Leva singkat.
“Gue ngga papa Rel” jawab Leva singkat.
Verrel menerawang jauh sosok yang berada tak jauh dibelakang
Leva. Terry menyamai tegapnya pada Leva. Leva masih menyembunyikan wajahnya.
“Va..” gumam Verrel.
“Panggilan lo ambigu” ucap Terry seraya menggandeng Leva untuk pergi dari situ.
“Ambigu? Entahlah” gumam Verrel yang kemudian merasa malas memikirkan hal ini.
“Va..” gumam Verrel.
“Panggilan lo ambigu” ucap Terry seraya menggandeng Leva untuk pergi dari situ.
“Ambigu? Entahlah” gumam Verrel yang kemudian merasa malas memikirkan hal ini.
Di mobil pun Terry dan Leva tidak banyak bicara. Beku. Terry
hanya bermain dengan stir. Sedangkan Leva masih berargumen dalam hati, matanya
menyapu jalanan sepanjang perjalanan mereka ke sebuah café. Sesekali Terry
melirik kekasihnya itu. Dia tau betul apa yang sedang Leva rasakan.
Satu-satunya yang harus Terry lakukan adalah tetap berada di sisi Leva. Tangan
kiri Terry menangkap tangan kanan Leva secara perlahan. Sentuhan itu membuat
mata mereka bertemu untuk beberapa detik. Terry tersenyum, bersimbolkan bahwa
dirinya akan selalu ada bagaimanapun keadaan Leva. Begitupun Leva yang membalas
tatapan dari mata teduh itu, tersenyum semampunya.
Sesampainya di café, Leva masih juga melamun. Iya, melamunkan
hal yang tak sepantasnya dipikirkan. Hari ini genap tiga tahun hubungannya
dengan Verrel seandainya mereka masih bersama. Sudah tiga tahun yang lalu, tapi
Verrel masih juga senang berada di pikiran Leva, sekalipun Leva sudah dimiliki
orang lain.
“Leva, udah dong ngelamunnya. Kamu tuh lagi sama aku” ucap
Terry.
“Iya” ucap Leva seraya menyeruput minumannya.
“Kamu ngga usah khawatir. Kamu ngga akan galauin mantan kamu lagi, karena sebentar lagi kita sekampus. Jadi kamu ngga selalu liatin mantan kamu itu” jelas Terry.
“Maksud kamu?” bingung Leva.
“Aku bakalan kuliah di tempat kamu. Ya biarpun beda jurusan, seenggaknya kita sekampus. Tadinya aku ngga mau cerita, biar jadi kejutan aja pas masuk nanti”
“Jadi kita sekampus?” tanya Leva, dengan tatapan seperti tidak ingin semua terjadi.
“Iya” Terry mengangguk mantap. “Kamu seneng ngga?” tanya Terry.
“Iya” ucap Leva seraya menyeruput minumannya.
“Kamu ngga usah khawatir. Kamu ngga akan galauin mantan kamu lagi, karena sebentar lagi kita sekampus. Jadi kamu ngga selalu liatin mantan kamu itu” jelas Terry.
“Maksud kamu?” bingung Leva.
“Aku bakalan kuliah di tempat kamu. Ya biarpun beda jurusan, seenggaknya kita sekampus. Tadinya aku ngga mau cerita, biar jadi kejutan aja pas masuk nanti”
“Jadi kita sekampus?” tanya Leva, dengan tatapan seperti tidak ingin semua terjadi.
“Iya” Terry mengangguk mantap. “Kamu seneng ngga?” tanya Terry.
Leva mengangguk kaku. “Aku seneng banget. Kenapa ngga cerita
dari kemarin?”
“Kan aku bilang, niatnya malah mau aku jadiin kejutan” ucap Terry.
“Kan aku bilang, niatnya malah mau aku jadiin kejutan” ucap Terry.
“Masa lalu biarlah masa lalu. Jangan kau ungkit, jangan
ingatan aku. Masa lalu biarlah masa lalu. Sungguh hatiku tetap cemburu”
tiba-tiba terdengar alunan lagu dangdut itu di ujung jalan, semacam dangdut
keliling.
“Buat kamu tuh lagunya” ucap Terry. Kemudian Leva memasang
telinga untuk mendengar tiap kata di lagu itu. Leva terdiam cukup lama.
Sedangkan Terry masih lahap memakan makanannya. Leva melirik Terry.
“Kenapa ngeliatinnya gitu? Ngerasa ya? Hahaha” ucap Terry
dengan nada mencibir. Tiba-tiba tatapan mata Leva berubah sinis.
“Jangan kamu piker ngebuang masa lalu tuh gampang ya!” ucap Leva, spontan.
“Jangan kamu piker ngebuang masa lalu tuh gampang ya!” ucap Leva, spontan.
Terry tidak melanjutkan suapannya. Leva menggigit bibir
bawahnya. Ia sadar sudah salah bicara. Terry menghembuskan nafasnya, berusaha
untuk tetap terlihat biasa saja.
“Ma-maaf. Bukan maksud aku--“
“Iya aku paham” ucap Terry memotong ucapan Leva yang belum selesai.
“Ma-maaf. Bukan maksud aku--“
“Iya aku paham” ucap Terry memotong ucapan Leva yang belum selesai.
Ada tatapan rasa bersalah di mata Leva. Leva menggenggam
jemari Terry. Mencari tatap mata Terry, namun Terry membuang pandangan.
“Terr..” ucap Leva.
“Yaudah pulang yuk” Terry bangun dari duduknya dan mengambil kunci mobil yang ada di atas meja. Berjalan lebih dulu, meninggalkan Leva yang masih duduk.
“Terr..” ucap Leva.
“Yaudah pulang yuk” Terry bangun dari duduknya dan mengambil kunci mobil yang ada di atas meja. Berjalan lebih dulu, meninggalkan Leva yang masih duduk.
Leva masuk ke dalam mobil setelah Terry selesai menyalakan
mesin mobil.
“Aku minta maaf, Terr” ucap Leva.
“Aku paham hati kamu, Lev” ucap Terry.
“Makasih” ucap Leva diselingi senyum.
“Aku minta maaf, Terr” ucap Leva.
“Aku paham hati kamu, Lev” ucap Terry.
“Makasih” ucap Leva diselingi senyum.
Keesokan harinya, seperti biasa. Terry menjemput Leva di
kampus, menunggu di mobil yang terparkir di lapangan berumput. Terry
memicingkan matanya begitu melihat sosok yang sangat ia kenal berjalan
bersebelahan dengan cowok yang juga tak asing dari pandangannya.
Di depan gedung fakultas.
“Lo mau balik bareng gue ngga?” tanya Verrel.
“Lo ngajaknya baru sekarang sih. Coba daritdai, sebelum Terry jemput gue hahaha”
“Yaudah, kalo gitu besok balik bareng gue. Gimana?”
“Hah? Terus Safa gimana?”
“Dia lagi cuti kuliah. Lagi mudik ke Aceh dia”
“Ohhh”
“Jadi gimana, besok mau balik bareng gue ngga?”
“Liat besok ya?”
“Oke. Yaudah, udah ditunggu tuh. Hati-hati ya”
“Iya, lo juga hati-hati ya. Duluan Rel”
“Lo mau balik bareng gue ngga?” tanya Verrel.
“Lo ngajaknya baru sekarang sih. Coba daritdai, sebelum Terry jemput gue hahaha”
“Yaudah, kalo gitu besok balik bareng gue. Gimana?”
“Hah? Terus Safa gimana?”
“Dia lagi cuti kuliah. Lagi mudik ke Aceh dia”
“Ohhh”
“Jadi gimana, besok mau balik bareng gue ngga?”
“Liat besok ya?”
“Oke. Yaudah, udah ditunggu tuh. Hati-hati ya”
“Iya, lo juga hati-hati ya. Duluan Rel”
Leva berjalan kearah Terry. Terry bersandar disamping
mobilnya, bersandar sambil memperhatikan kejadian barusan. Leva memandang
panik.
“Kamu dari kapan berdiri disini?” tanya Leva.
“Barusan ko. Tadi ngomongin apa sama Verrel? Serius banget”
“Kalo keliatannya serius, berarti ngomongin tentang kuliah”
“Yakin? Bukannya lagi ngomong serius untuk hal yang lebih serius?” tatapan Terry sangat menyelidik. Leva masuk ke mobil tanpa menjawab pertanyaan Terry.
“Kamu dari kapan berdiri disini?” tanya Leva.
“Barusan ko. Tadi ngomongin apa sama Verrel? Serius banget”
“Kalo keliatannya serius, berarti ngomongin tentang kuliah”
“Yakin? Bukannya lagi ngomong serius untuk hal yang lebih serius?” tatapan Terry sangat menyelidik. Leva masuk ke mobil tanpa menjawab pertanyaan Terry.
Hening. Lalu Terry mengeluarkan sebatang rokok dan
menyambarkan api dari korek gas yang dibawanya. Kaca mobil dibuka setengah, dan
asap putih itupun mengepul manja di udara. Leva menoleh.
“Sejak kapan kamu ngerokok?” tanya Leva. Tidak ada jawaban.
“Terry!” panggil Leva agak keras.
“Besok aku ga bisa jemput. Aku mau jemput temenku di bandara”
“Kamu tuh ngomong apa sih? Aku nanya apa, dijawabnya apa. Ga nyambung”
“Sejak kapan kamu ngerokok?” tanya Leva. Tidak ada jawaban.
“Terry!” panggil Leva agak keras.
“Besok aku ga bisa jemput. Aku mau jemput temenku di bandara”
“Kamu tuh ngomong apa sih? Aku nanya apa, dijawabnya apa. Ga nyambung”
Leva nyaman saja berada di sekitar orang-orang yang merokok,
hanya saja Leva bingung, selama mengenal Terry dan berpacaran dengan Terry,
baru kali ini Leva melihat Terry merokok.
“Oh iya, besok malem kamu ada acara ga?” tanya Terry.
“Emang kenapa?”
“Aku mau ngenalin kamu ke temen aku yang besok baru balik dari Australia”
“Oh, yaudah liat besok”
“Ngga bisa dijawab sekarang? Bisa apa engga?”
“Ko nada bicaranya gitu banget sih?”
“Loh kenapa? Kamu yang terlalu sensitive”
“Ya tapi harusnya ngomongnya biasa aja kali”
“Aku gamau berantem. Besok kamu bisa apa engga?”
“Engga”
“Oke”
“Oh iya, besok malem kamu ada acara ga?” tanya Terry.
“Emang kenapa?”
“Aku mau ngenalin kamu ke temen aku yang besok baru balik dari Australia”
“Oh, yaudah liat besok”
“Ngga bisa dijawab sekarang? Bisa apa engga?”
“Ko nada bicaranya gitu banget sih?”
“Loh kenapa? Kamu yang terlalu sensitive”
“Ya tapi harusnya ngomongnya biasa aja kali”
“Aku gamau berantem. Besok kamu bisa apa engga?”
“Engga”
“Oke”
Leva dan Terry masih perang dingin. Leva mencoba mencari
pelampiasan, mencoba menghubungi Verrel, namun hasilnya nihil. Leva sadar,
Verrel sudah punya kekasih dan tidak seharusnya mengganggu hubungannya. Terry?
Tumben dia tidak ada kabar sepulang dari mengantar Leva. Keesokan harinya,
Terry menjemput Leva untuk berangkat ke kampus.
“Kamu kenapa sih dari semalem ngga bisa dihubungin? Mending
jual tuh handphone kalo ga bisa ngangkat telepon” ucap Leva dengan nada kesal.
“Kenapa? Emang Verrel ngga bisa dihubungin?”
“Ko Verrel? Beneran ngga nyambung ya kamu”
“Maksudnya, tumben banget marah aku ga hubungin kamu. Emang Verrel ngga bales chat kamu? Biasanya kan gitu, kalo Verrel susah dikontak, kamu sibuk nyari aku” jelas Terry, santai sambil menyetir mobilnya. Leva menatap sinis.
“Terserah deh ya. Serba salah tau nggak. Aku nyariin, salah. Ngga nyariin, lebih salah”
“Kapan aku nyalahin kamu kalo kamu ngga nyariin aku?”
“Kenapa? Emang Verrel ngga bisa dihubungin?”
“Ko Verrel? Beneran ngga nyambung ya kamu”
“Maksudnya, tumben banget marah aku ga hubungin kamu. Emang Verrel ngga bales chat kamu? Biasanya kan gitu, kalo Verrel susah dikontak, kamu sibuk nyari aku” jelas Terry, santai sambil menyetir mobilnya. Leva menatap sinis.
“Terserah deh ya. Serba salah tau nggak. Aku nyariin, salah. Ngga nyariin, lebih salah”
“Kapan aku nyalahin kamu kalo kamu ngga nyariin aku?”
Leva diam. Memang, selama Leva tidak pernah merasa
membutuhkan Terry dan tidak mencari Terry, Terry tidak pernah marah. Tapi Terry
selalu ada setiap Leva membutuhkan dan mencarinya. Hanya saja semalam Terry
membiarkan Leva mencarinya, ponselnya ia matikan dan tidak meninggalkan kabar
apapun.
Sesampainya di kampus, Leva hendak membuka pintu.
“Lev” Terry menarik tangan Leva.
“Apa?” Leva menoleh.
“Nanti aku jemput kamu”
“Katanya kamu mau jemput temen kamu di bandara? Gimana sih”
“Aku ngga mungkin ngebiarin kamu ngga sama aku”
“Lebay. Sebelum kita pacaran juga aku terbiasa sendiri”
“Sekarang kan kamu udah ngga sendiri, jadi harus terbiasa”
“Lev” Terry menarik tangan Leva.
“Apa?” Leva menoleh.
“Nanti aku jemput kamu”
“Katanya kamu mau jemput temen kamu di bandara? Gimana sih”
“Aku ngga mungkin ngebiarin kamu ngga sama aku”
“Lebay. Sebelum kita pacaran juga aku terbiasa sendiri”
“Sekarang kan kamu udah ngga sendiri, jadi harus terbiasa”
Leva menatap cowok itu dalam-dalam. Mengapa Leva belum
sepenuhnya mencintai Terry? Padahal Terry sudah sangat sempurna menerima Leva
apa adanya, termasuk masa lalu Leva yang selalu diungkit saat bersama Terry.
Leva turun dari mobil, meninggalkan Terry.
“Semenyakitkan apapun sikap dan ucapan kamu, aku yakin, ada saatnya dimana kamu bisa sepenuhnya mencintai aku” gumam Terry. Terry memutar arah dan segera pergi ke bandara, menjemput teman kecilnya.
“Semenyakitkan apapun sikap dan ucapan kamu, aku yakin, ada saatnya dimana kamu bisa sepenuhnya mencintai aku” gumam Terry. Terry memutar arah dan segera pergi ke bandara, menjemput teman kecilnya.
Sekitar jam sebelas siang Terry sampai di bandara. Menurut
kabar, teman kecilnya Terry sampai Jakarta sekitar jam dua belas siang.
Akhirnya Terry memilih untuk sekedar nongkrong di J.Co café yang ada di
bandara. Terry memanfaatkan waktu senggang ini untuk sekedar melihat kicauan
Leva di akun sosmednya.
“Apaan banget sih galauin orang yang udah punya pacar. Gila” gumam Terry.
“Apaan banget sih galauin orang yang udah punya pacar. Gila” gumam Terry.
Tiba-tiba, ada yang menutup kedua mata Terry dari belakang. Terry
menyentuh tangan halus itu.
“Haiiiiiiii” cewek itu merangkul Terry dari belakang.
“Gita. Lo bilang landing jam dua belas?”
“Kejutan dong. Gue kira lo bakal ngaret, taunya on time. Sumpah gue kangen lo banget!” ucap Gita, yang kemudian duduk disamping Terry.
“Gue juga, kangen lo banget. Udah kenapa, ngga usah sok-sokan nempuh pendidikan di luar negeri”
“Heyyy, gue dapet beasiswa dari sekolah gue yang di Jakarta, ya masa gue tolak”
“Hahahahaha iya juga sih. Bawain oleh-oleh buat gue nggak?”
“Bawa dong. Apaan sih yang engga buat Romeonya gue” ucap Gita.
“Masih aja lo manggil gue Romeo. Dasar Juliet lola” ucap Terry.
“Kata siapa lola? Udah pinter nih sekarang” ucap Gita.
“Haiiiiiiii” cewek itu merangkul Terry dari belakang.
“Gita. Lo bilang landing jam dua belas?”
“Kejutan dong. Gue kira lo bakal ngaret, taunya on time. Sumpah gue kangen lo banget!” ucap Gita, yang kemudian duduk disamping Terry.
“Gue juga, kangen lo banget. Udah kenapa, ngga usah sok-sokan nempuh pendidikan di luar negeri”
“Heyyy, gue dapet beasiswa dari sekolah gue yang di Jakarta, ya masa gue tolak”
“Hahahahaha iya juga sih. Bawain oleh-oleh buat gue nggak?”
“Bawa dong. Apaan sih yang engga buat Romeonya gue” ucap Gita.
“Masih aja lo manggil gue Romeo. Dasar Juliet lola” ucap Terry.
“Kata siapa lola? Udah pinter nih sekarang” ucap Gita.
Mereka masih melajutkan ngobrolnya hingga lewat adzan zuhur
berkumandang. Terlalu asik mengobrol, Terry lupa bahwa dia harus menjemput
Leva. Leva selesai kuliah jam setengah satu siang, sedangkan jam segini Terry
masih belum beranjak dari daerah Tangerang.
“Lo kenapa sih panic gitu?” tanya Gita.
“Gue harus jemput Leva. Balik yuk” ucap Terry.
“Leva?”
“Cewek gue. Ayo ah” Terry beranjak dari duduknya.
“Lo kenapa sih panic gitu?” tanya Gita.
“Gue harus jemput Leva. Balik yuk” ucap Terry.
“Leva?”
“Cewek gue. Ayo ah” Terry beranjak dari duduknya.
Gita diam. Penuh tanya dalam kepalanya. Mengikuti langkah
Terry yang mendorong koper milik Gita sekaligus memainkan ponselnya.
“Kalo lagi jalan kaya gini tuh jangan sambil main hape. Sini, biar gue aja yang dorong koper gue sendiri” Gita berusaha mengambil alih genggaman kopernya.
“Ngga, biar gue aja. Lo pasti capek” ucap Terry tanpa menatap Gita.
‘Cewek mana Terr yang ngga luluh sama lo’ benak Gita penuh arti.
“Kalo lagi jalan kaya gini tuh jangan sambil main hape. Sini, biar gue aja yang dorong koper gue sendiri” Gita berusaha mengambil alih genggaman kopernya.
“Ngga, biar gue aja. Lo pasti capek” ucap Terry tanpa menatap Gita.
‘Cewek mana Terr yang ngga luluh sama lo’ benak Gita penuh arti.
Di kampus..
“Jadi balik bareng kan?” tegur Verrel yang melihat Leva duduk sendirian di bangku taman.
“Ha? Hemm”
“Lo nunggu Terry ya?”
“Dia nyuruh gue nunggu”
“Yah. Padahal niatnya gue mau ngajak lo nonton, Va. Lagian juga kan gue udah ngomong sama lo kemarin” ucap Verrel. Leva menggigit bibir bawahnya.
“Udah mau setengah tiga. Lo masih mau nungguin Terry? Ini mau ujan, Va”
“Jadi balik bareng kan?” tegur Verrel yang melihat Leva duduk sendirian di bangku taman.
“Ha? Hemm”
“Lo nunggu Terry ya?”
“Dia nyuruh gue nunggu”
“Yah. Padahal niatnya gue mau ngajak lo nonton, Va. Lagian juga kan gue udah ngomong sama lo kemarin” ucap Verrel. Leva menggigit bibir bawahnya.
“Udah mau setengah tiga. Lo masih mau nungguin Terry? Ini mau ujan, Va”
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan gedung fakultas.
Terry turun dan menghampiri Leva. Disusul Gita yang mengikuti langkah Terry
sampai ke taman di sebelah gedung fakultas.
“Sorry bikin kamu nunggu” ucap Terry. PLAK!
“Lama taunggak!” sentuhan panas dari telapak tangan Leva mendarat halus di pipi kanan Terry, lalu Leva pergi meninggalkan Terry.
“Leva tunggu” ucap Terry. Leva mengabaikan panggilan Terry.
“Levanya tunggu!” Terry menangkap tangan Leva.
“Apaan lagi?” tanya Leva yang berusaha melepas genggaman Terry.
“Aku minta maaf udah bikin kamu nunggu” ucap Terry. Leva diam.
“Terr, ngapain sih lo ngejar orang yang udah nampar lo? Harga diri lo udah dijatohin banget sama ni cewe” ucap Gita yang tiba-tiba berdiri disebelah Terry.
“Sorry bikin kamu nunggu” ucap Terry. PLAK!
“Lama taunggak!” sentuhan panas dari telapak tangan Leva mendarat halus di pipi kanan Terry, lalu Leva pergi meninggalkan Terry.
“Leva tunggu” ucap Terry. Leva mengabaikan panggilan Terry.
“Levanya tunggu!” Terry menangkap tangan Leva.
“Apaan lagi?” tanya Leva yang berusaha melepas genggaman Terry.
“Aku minta maaf udah bikin kamu nunggu” ucap Terry. Leva diam.
“Terr, ngapain sih lo ngejar orang yang udah nampar lo? Harga diri lo udah dijatohin banget sama ni cewe” ucap Gita yang tiba-tiba berdiri disebelah Terry.
Leva menatap Gita, lalu menatap Terry. Lalu melepas genggaman
yang mulai melemah. Leva berjalan meninggalkan Terry dan Gita.
“Ngga seharusnya lo ngomong kaya gitu sama Leva” ucap Terry. Lalu Terry kembali ke mobil, disusul Gita.
“Ngga seharusnya lo ngomong kaya gitu sama Leva” ucap Terry. Lalu Terry kembali ke mobil, disusul Gita.
Sesampaina di rumah Gita.
“Udah lumayan lama juga dong yah kalian pacaran. Tapi, Leva setengah hati sama lo? Dia masih ngarep mantannya? Ter, lo tuh ganteng. Lo masih laku kali, ngapain sih pertahanin yang begitu” ucap Gita.
“Gue bertahan karena gue sayang, Git” ucap Terry.
“Emangnya lo ngga mau ngeliat orang-orang yang sayang sama lo?”
“Maksud lo?”
“Yaa, yang sayang sama lo banyak, ngga cuma Leva. Bahkan Leva cuma setengah hati sama lo. Mencintai dan dicintai itu harus sepenuhnya tanpa terbagi, Ter”
“Tapi gue yakin ko, suatu hari nanti Leva jadi milik gue seutuhnya. Dia cuma butuh proses untuk lupain mantannya”
“Dan elo berbaik hati nemenin hari-harinya disaat dia ngelupain mantannya? Gokil. Kenapa Romeo gue jadi bodoh banget ya karena cinta”
“Udah lumayan lama juga dong yah kalian pacaran. Tapi, Leva setengah hati sama lo? Dia masih ngarep mantannya? Ter, lo tuh ganteng. Lo masih laku kali, ngapain sih pertahanin yang begitu” ucap Gita.
“Gue bertahan karena gue sayang, Git” ucap Terry.
“Emangnya lo ngga mau ngeliat orang-orang yang sayang sama lo?”
“Maksud lo?”
“Yaa, yang sayang sama lo banyak, ngga cuma Leva. Bahkan Leva cuma setengah hati sama lo. Mencintai dan dicintai itu harus sepenuhnya tanpa terbagi, Ter”
“Tapi gue yakin ko, suatu hari nanti Leva jadi milik gue seutuhnya. Dia cuma butuh proses untuk lupain mantannya”
“Dan elo berbaik hati nemenin hari-harinya disaat dia ngelupain mantannya? Gokil. Kenapa Romeo gue jadi bodoh banget ya karena cinta”
Beberapa hari kemudian, Terry menemui Leva di kampusnya.
Kebetulan Leva sedang duduk sambil membaca buku di bangku taman. Terry
melingkarkan tangannya dari belakang tubuh Leva sambil memegang setangkai
bunga. Leva menoleh.
“Terry..” gumam Leva.
“Buat kamu” Terry duduk di sebelah Leva. Leva tersenyum.
“Maafin aku ya” ucap Terry.
“Bunga doang? Coklatnya mana?”
“Nih” Terry memberi dua batang coklat untuk Leva.
“Makasih yah” ucap Leva dengan senyum.
“Rasanya udah lama ngga ngeliat senyum kamu”
“Rasanya udah lama juga ngga diginiin sama kamu”
“Terry..” gumam Leva.
“Buat kamu” Terry duduk di sebelah Leva. Leva tersenyum.
“Maafin aku ya” ucap Terry.
“Bunga doang? Coklatnya mana?”
“Nih” Terry memberi dua batang coklat untuk Leva.
“Makasih yah” ucap Leva dengan senyum.
“Rasanya udah lama ngga ngeliat senyum kamu”
“Rasanya udah lama juga ngga diginiin sama kamu”
“Verrellllllllll I miss youuuuu” teriak seorang cewek dari
kejauhan, menghampiri cowok yang sepertinya sedang menonton adegan romantis Terry
dan Leva. Leva dan Terry menoleh, menangkap tatapan Verrel yang sedang
memperhatikan mereka.
“Safa? Kamu udah balik dari Aceh? Ko ga ngabarin?” tanya Verrel yang masih gugup.
“Ngobrolnya di kantin aja yuk” ucap Safa seraya merangkul manja bekas kekasih Leva itu.
“Safa? Kamu udah balik dari Aceh? Ko ga ngabarin?” tanya Verrel yang masih gugup.
“Ngobrolnya di kantin aja yuk” ucap Safa seraya merangkul manja bekas kekasih Leva itu.
“Kamu cemburu?” tanya Terry.
“Enggak kok” jawab Leva.
“Mata kamu ngga bisa bohong. Kamu cemburu kan?”
“Balik aja yuk” ajak Leva.
“Enggak kok” jawab Leva.
“Mata kamu ngga bisa bohong. Kamu cemburu kan?”
“Balik aja yuk” ajak Leva.
Mereka sudah di mobil. Ingin sekali Leva menanyakan sesuatu
pada Terry.
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Terry, yang paham betul raut wajah Leva kalau Leva mau bicara sesuatu.
“Hem, kamu… apa kamu ngga sakit nanya aku cemburu sama Safa?”
“Udah aku tanggung kok resikonya” jawab Terry seolah sudah mempersiapkan jawabannya.
“Maksud kamu?”
“Levanya, sayang sama kamu tuh butuh pengorbanan. Karena aku sayang sama seseorang yang masih sayang sama mantannya. Jadi yaa aku selalu siap dengan kesakitan jenis apapun”
“Jadi, mencintaiku tuh sakit ya buat kamu?”
“Bukan, ngga gitu maksud aku. Aku tulus Lev sayang dan cinta sama kamu, sekalipun perasaan kamu belum sepenuhnya ke aku. Gitu maksud aku”
“Makasih banyak atas semua perasaan kamu ke aku. Aku yang jahat selama ini”
“Kamu ngga jahat, kamu cuma belum bisa ninggalin masa lalu kamu. Nah, tugas aku ya bantuin kamu ngubur semua masa lalu kamu, sampai kamu bisa buat ngerelain masa lalu kamu”
“Terus kalu aku udah relain masa lalu aku, kamu udah ngga nemenin dong?”
“Until you die. Aku udah stuck”
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Terry, yang paham betul raut wajah Leva kalau Leva mau bicara sesuatu.
“Hem, kamu… apa kamu ngga sakit nanya aku cemburu sama Safa?”
“Udah aku tanggung kok resikonya” jawab Terry seolah sudah mempersiapkan jawabannya.
“Maksud kamu?”
“Levanya, sayang sama kamu tuh butuh pengorbanan. Karena aku sayang sama seseorang yang masih sayang sama mantannya. Jadi yaa aku selalu siap dengan kesakitan jenis apapun”
“Jadi, mencintaiku tuh sakit ya buat kamu?”
“Bukan, ngga gitu maksud aku. Aku tulus Lev sayang dan cinta sama kamu, sekalipun perasaan kamu belum sepenuhnya ke aku. Gitu maksud aku”
“Makasih banyak atas semua perasaan kamu ke aku. Aku yang jahat selama ini”
“Kamu ngga jahat, kamu cuma belum bisa ninggalin masa lalu kamu. Nah, tugas aku ya bantuin kamu ngubur semua masa lalu kamu, sampai kamu bisa buat ngerelain masa lalu kamu”
“Terus kalu aku udah relain masa lalu aku, kamu udah ngga nemenin dong?”
“Until you die. Aku udah stuck”
Leva diam, menunduk, membiarkan air matanya menetes.
“Kamu ko nangis? Jangan nangis Lev. Ada yang salah ya sama kata-kata aku?”
“Ngga ko, kamu ga salah” Leva menghapus air matanya dan tersenyum. Terry membelai kepala Leva. Leva menggenggam tangan Terry, kuat, seakan sudah tau dimana letak kesalahannya selama ini.
“Kamu ko nangis? Jangan nangis Lev. Ada yang salah ya sama kata-kata aku?”
“Ngga ko, kamu ga salah” Leva menghapus air matanya dan tersenyum. Terry membelai kepala Leva. Leva menggenggam tangan Terry, kuat, seakan sudah tau dimana letak kesalahannya selama ini.
Komentar
Posting Komentar