Cerpen: Love Story After High School
Sudah sekitar kurang lebih tiga bulan menjadi seorang
mahasiswi. Aku, Marsha, Rina, dan Sofi masih sibuk mencari satu waktu untuk
bisa bertemu, walaupun terkadang kami masih sering berkumpul saat Rina pulang
ke Depok.
Pulang ke Depok? Jelas, dari kami berempat, Rina lah yang
kampusnya paling jauh. Rina yang lebih dulu memutuskan untuk berjilbab,
sekarang kuliah di Institut Pertanian Bogor atau biasa orang menyebutnya IPB, dengan jurusan nutrisi dan teknologi pangan.
Kalau Marsha sekarang menjadi anak fotografi di Politeknik
Media Kreatif. Dari hati, jurusan ini sebenarnya bukan minat Marsha. Namun penyesalan
juga sudah tak berarti, karena Marsha juga sudah mulai sibuk dengan serangkaian
tugasnya sambil menenteng kamera SLR. Baginya, tidur menjadi nomor dua disaat
tugas memotret sunrise atau matahari
terbit. Tak terbayangkan kalau pukul empat pagi harus sudah berangkat untuk
mencari matahari terbit. Itu waktu yang asik untuk bermimpi.
Nah, aku dan Sofi satu kampus, juga satu prodi. Kami melanjutkan
perjalanan pendidikan di Politeknik Negeri Jakarta, biasanya disebut PNJ. Terkadang,
orang-orang mengira PNJ adalah sebuah kampus yang setelah selesai menjadi
mahasiswa atau mahasiswi menjadi seorang guru. Bukan, PNJ bukan gedung
perkuliahan yang ada di daerah Rawamangun. PNJ dulu disebut Poltek UI, ya,
kebanyakan orang taunya Poltek UI. Padahal PNJ sudah memisahkan diri dengan UI,
walau masih satu kawasan dengan Universitas Indonesia.
Aku dan Sofi belajar di prodi teknik elektronika industri. Prodi
yang sama sekali tidak kuduga akan belajar menggergaji, ragum, baut dan
teman-temannya, kabel, ngebor, menyolder, dan masih banyak lagi. Sama sekali
tidak menyangka kalau kami belajar tentang semua itu.
Mungkin menyenangkan untuk Sofi. Bagiku, jadwal dari Senin
hingga Jumat adalah sebuah formalitas kehidupan. Perjalanan yang entah dimana
ujungnya. Bagaikan melangkah di atas aspal, di jalan yang lurus dan masih
abu-abu. Aku tak tau apa yang akan kutemui di ujung sana.
Untuk kesekian kali kami berkumpul di sebuah tempat
tongkrongan semasa SMA. Sabtu sore ini kami memutuskan untuk makan di sebuah
tempat makan. Dimana lagi tempat tongkrongan kita kalau lagi kepengin mie.
“Bu, mie bebeknya empat. Tiga komplit, satu polos tanpa sayur
dan daun bawang. Es teh manisnya empat, air mineral dinginnya satu” ucap Sofi
saat memesan makanan.
“Udah, tutup dulu kertas latihan soal kimianya, Rin. Bikin mual”
kataku.
“Masih penasaran ih kenapa ngga ketemu” kesal Rina.
“Tau lo, biasanya juga SMA udah tutup buku kalo ngga nemu jawabannya” komentar Marsha.
“Hah, sudahlah. Lelah” Rina putus asa dan memasukkan kertas fotokopian itu ke dalam tasnya.
“Masih penasaran ih kenapa ngga ketemu” kesal Rina.
“Tau lo, biasanya juga SMA udah tutup buku kalo ngga nemu jawabannya” komentar Marsha.
“Hah, sudahlah. Lelah” Rina putus asa dan memasukkan kertas fotokopian itu ke dalam tasnya.
Topik pembicaraan yang akan selalu seru dan tak ada habisnya
kalau sudah berkumpul. Apapun bisa jadi bahan obrlan, hingga sampai di satu
titik pembahasan. Cinta.
“Lun, gimana sama senior berhati beku? Hahaha” tanya
sekaligus ledekan dari Marsha.
“Ah, lo mah. Udah tau berhati beku, ya susahlah buat dicairinnya. Capek” jawabku.
“Tapi sama Farel kuat-kuat aja dulu” celetuk Sofi.
“Beda cerita kalo sama Farel”
“Yaudah, move on aja dari senior lo itu. Masih banyak yang lebih ganteng” kata Marsha.
“Gue move on dari Farel ke senior itu, dan sekarang dari senior itu harus move on lagi? Kisah gue kayanya move on mulu ya”
“Hahahahaha! Kapan jalannya ya kalo dari dulu episodenya cuman move on” tawa Rina.
“Lo ketawa emangnya udah punya gandengan?” tanya Sofi.
“Ada dong. Tapi… nonis”
“Lo mah demennya yang nonis mulu Rin” kata Marsha.
“Tau lo. Nanti endingnya sama lagi kaya waktu itu—terlalu baik”
“Sialan! Hahaha. Tapi masih suka doang, kalo kesemsenya mah sama senior setingkat diatas gue. Namanya Ka Fahri, adem banget mukanya” cerita Rina sambil membayangkan sosok seniornya itu.
“Adem kaya ubin abis di pel ya Rin” celetuk Luna.
“Hahahaha dodol!” tawa Marsha.
“Ah, lo mah. Udah tau berhati beku, ya susahlah buat dicairinnya. Capek” jawabku.
“Tapi sama Farel kuat-kuat aja dulu” celetuk Sofi.
“Beda cerita kalo sama Farel”
“Yaudah, move on aja dari senior lo itu. Masih banyak yang lebih ganteng” kata Marsha.
“Gue move on dari Farel ke senior itu, dan sekarang dari senior itu harus move on lagi? Kisah gue kayanya move on mulu ya”
“Hahahahaha! Kapan jalannya ya kalo dari dulu episodenya cuman move on” tawa Rina.
“Lo ketawa emangnya udah punya gandengan?” tanya Sofi.
“Ada dong. Tapi… nonis”
“Lo mah demennya yang nonis mulu Rin” kata Marsha.
“Tau lo. Nanti endingnya sama lagi kaya waktu itu—terlalu baik”
“Sialan! Hahaha. Tapi masih suka doang, kalo kesemsenya mah sama senior setingkat diatas gue. Namanya Ka Fahri, adem banget mukanya” cerita Rina sambil membayangkan sosok seniornya itu.
“Adem kaya ubin abis di pel ya Rin” celetuk Luna.
“Hahahaha dodol!” tawa Marsha.
Pesanan sudah datang.
“Sofi dari tadi main hape mulu. Di bbm sama siapa sih…” ucap Marsha sambil menuangkan kecap ke mangkuknya.
“Hah? Enggak, cuman ngomongin buku kok” jawab Sofi sambil cengengesan.
“Hem yakin cuman ngomongin buku” kata Rina.
“Iya bener” kata Sofi.
“Sama yang mana Sof? Ka Galuh atau Ka Nino?” tanya Luna dengan polos, persis seperti mie bebeknya.
“Lun!” Sofi memelototi Luna.
“Yah kan ceritanya sama Luna doang” kata Marsha.
“Abis gue masih ragu sama perasaan gue, Sha”
“Emang kenapa sih? Makanya cerita” kata Marsha.
“Sofi dari tadi main hape mulu. Di bbm sama siapa sih…” ucap Marsha sambil menuangkan kecap ke mangkuknya.
“Hah? Enggak, cuman ngomongin buku kok” jawab Sofi sambil cengengesan.
“Hem yakin cuman ngomongin buku” kata Rina.
“Iya bener” kata Sofi.
“Sama yang mana Sof? Ka Galuh atau Ka Nino?” tanya Luna dengan polos, persis seperti mie bebeknya.
“Lun!” Sofi memelototi Luna.
“Yah kan ceritanya sama Luna doang” kata Marsha.
“Abis gue masih ragu sama perasaan gue, Sha”
“Emang kenapa sih? Makanya cerita” kata Marsha.
Sofi meneguk es teh manisnya. Lalu mulai menceritakan
keraguannya.
“Gue suka sama Ka Galuh. Gue sama dia asik cuman di social media doang, di bbm. Tapi kalo ketemu, diem-dieman, ngga berani nyapa”
“Kaya siapa ya, asik di sosmed, tapi ketemu langsung diem-dieman” ucap Marsha.
“Gue suka sama Ka Galuh. Gue sama dia asik cuman di social media doang, di bbm. Tapi kalo ketemu, diem-dieman, ngga berani nyapa”
“Kaya siapa ya, asik di sosmed, tapi ketemu langsung diem-dieman” ucap Marsha.
Baru ingin menyuap sesendok mie, Luna mengangkat kepalanya
karena tersadar ucapan Marsha tertuju untuknya. “Kampret!” kata Luna yang
kemudian menyuap makanannya.
“Terus kalo sama yang satu lagi? Siapa namanya, Nano-nano ya?”
“Nino! Nano-nano mah permen. Sama dia asik di sosmed, asik juga kalo ketemu. Dia tuh senior paling tengil. Gue biasa aja sama dia. Malah temen gue yang suka sama Ka Nino, tapi yang deket sama dia malah gue. Dan temen gue yang suka sama Ka Nino malah deket sama Ka Galuh, cowok yang gue suka” cerita Sofi.
“Nino! Nano-nano mah permen. Sama dia asik di sosmed, asik juga kalo ketemu. Dia tuh senior paling tengil. Gue biasa aja sama dia. Malah temen gue yang suka sama Ka Nino, tapi yang deket sama dia malah gue. Dan temen gue yang suka sama Ka Nino malah deket sama Ka Galuh, cowok yang gue suka” cerita Sofi.
“Love story-nya Sofi mau nyaingin complicated punya gue” kata
Luna.
“Ngga ko Lun, complicated lo masih jadi cerita paling complicated se-nusantara” ucap Rina.
“Hem, iyaya, rumit juga. Jadi intinya lo galau antara Ka Galuh sama Ka Nindyo?”
“Nino bukan Nindyo!” sambar Luna yang tidak mau senior yang tidak dikenalnya itu disamakan dengan nama sang idola.
“Yang punya Nindyo sewot hahahaha. Iya, Nino maksudnya” kata Marsha.
“Tapi gue ngga ada perasaan apa-apa Sha sama Ka Nino”
“Dengan seringnya lo asik di sosmed ataupun secara langsung, pelan-pelan perasaan itu bisa muncul Sof. Orang kaya Ka Galuh mah lepasin aja”
“Goceng gue ambil” kata Rina.
“Kemurahan. Ceban buat gue sini” kata Luna.
“Lo berdua lagi ngomongin apaan dah?” tanya Marsha.
“Lah katanya mau di lepas?” tanya Rina.
“Gini nih udah kelamaan jomblo” ledek Marsha.
“Sha, please, disini gue yang paling lama jomblo” miris Sofi.
“Jomblo lapuk hahahahahahahaha!” ledek Luna.
“Seneng banget ngeledekin gue, paling dikit lagi nangis hahahaha!” kata Sofi.
“Itu rutinitas gue setiap mau bobo” kata Luna.
“Hahahahaha Luna… Luna!”
“Ngga ko Lun, complicated lo masih jadi cerita paling complicated se-nusantara” ucap Rina.
“Hem, iyaya, rumit juga. Jadi intinya lo galau antara Ka Galuh sama Ka Nindyo?”
“Nino bukan Nindyo!” sambar Luna yang tidak mau senior yang tidak dikenalnya itu disamakan dengan nama sang idola.
“Yang punya Nindyo sewot hahahaha. Iya, Nino maksudnya” kata Marsha.
“Tapi gue ngga ada perasaan apa-apa Sha sama Ka Nino”
“Dengan seringnya lo asik di sosmed ataupun secara langsung, pelan-pelan perasaan itu bisa muncul Sof. Orang kaya Ka Galuh mah lepasin aja”
“Goceng gue ambil” kata Rina.
“Kemurahan. Ceban buat gue sini” kata Luna.
“Lo berdua lagi ngomongin apaan dah?” tanya Marsha.
“Lah katanya mau di lepas?” tanya Rina.
“Gini nih udah kelamaan jomblo” ledek Marsha.
“Sha, please, disini gue yang paling lama jomblo” miris Sofi.
“Jomblo lapuk hahahahahahahaha!” ledek Luna.
“Seneng banget ngeledekin gue, paling dikit lagi nangis hahahaha!” kata Sofi.
“Itu rutinitas gue setiap mau bobo” kata Luna.
“Hahahahaha Luna… Luna!”
“Jadi harus gue lepas?” tanya Sofi.
“Jangan sama Ka Galuh. Dia ngga baik” kata Luna.
“Tau darimana?” tanya Sofi.
“Gue emang ngga kepo sama dia, tapi banyak suara-suara yang masuk ke telinga gue tentang Ka Galuh, dan gue simpulkan itu negatif. Pokoknya jangan deket-deket sama Ka Galuh” ucap Luna.
“Negatifnya?” tanya Marsha.
“Intinya, Ka Galuh juga TP sama temen sekelas gue” jawab Luna.
“Dan bisa aja tebar pesona ke semua cewek, siapapun yang dia mau” ucap Rina.
“Siapa Lun?” tanya Sofi.
“Ngga perlu lo tau. Mending sama Ka Nino, lumayan juga mukanya”
“Iyasih—“
“Lumayan ancur maksudnya” lanjut Luna.
“Hahahahahaha” tawa Marsha dan Rina.
“Sial. Eh, tapikan Ka Nino gebetan temen gue” kata Sofi.
“Temen lo boleh ngegebet Ka Nino, tapi kalo Ka Nino ngegebet lo, gimana?”
“Ngga mungkin Luna” kata Sofi.
“Nothing impossible, kecuali gue dan dia bersatu” ucap Luna.
“Sama siapa? Ka Prima?” tanya Sofi.
“Siapa lagi Sof yang gue suka di kampus selain doi?”
“Yaelah Lun, dia juga sama aja. Lepasin aja, ngga penting nunggu yang ngga pasti. Buang-buang waktu” kata Marsha.
“Wasting time. Masih banyak yang lebih penting, yang lebih pantes buat lo pikirin” kata Rina.
“Berharap sama si Prima, sama aja nunggu pohon rambutan berbuah mangga” kata Marsha.
“Emang bisa ya?” tanya Luna.
“Itu pengibaratan, Luna” geregetan Sofi.
“Oh, kirain bisa. Hem, sejujurnya gue juga udah capek ngarepin dia yang ngarepin orang lain”
“Nah, yaudah. Lo boleh suka sama dia, tapi jangan berharap apa-apa. Suka sama senior itu ya gitu risikonya” kata Marsha.
“Mending dipendem dalem-dalem deh rasanya” kata Rina.
“Tuh, denger kata Rina yang udah pandai jadi pemuja rahasia” ucap Marsha.
“Mending lo balik lagi sama Farel” usul konyol dari Sofi.
“Laah. Udah game over itu” kata Luna.
“Game over? Cerita kalian kaya permainan dong?” tanya Marsha.
“Udah game over layaknya permainan. Udah sampe ending layaknya sinetron, dan udah selesai layaknya sebuah novel yang gue baca” kata Luna.
“Aih. Endingnya gimana?” tanya Rina.
“Akan selalu happy ending kalo semua didasari rasa ikhlas” ucap Luna.
“Saik Luna” kata Sofi.
“Mungkin gue juga bakal ikhlasin Ka Prima. Ngga mau lagi ah ganggu hari-harinya yang lagi nunggu orang” kata Luna.
“Lo berdua tuh sebenernya sama-sama penunggu ya. Sama-sama penunggu, bukan saling menunggu. Hahahahaha” ucap Marsha.
“Jadi, mau ngosongin hati?” tanya Sofi.
“Kayanya iya. Mau damai kaya Rina. Mau jadi cewek yang suka ya sekedar suka, ngga yang berharap banget dan ngga yang kepo banget. Tapi kayanya butuh pemulihan. Butuh waktu beberapa hari buat ngga ngeliat mukanya Ka Prima. Semakin sering ngeliat muka Ka Prima, semakin kebayang-bayang kalo udah sampe rumah”
“Berarti lo hapus-hapusin foto-fotonya Nindyo” kata Rina.
“Janganlah kalo Nindyo. Nindyo mah ngga papa hahaha”
“Sama aja dong. Kan Nindyo mirip Ka Prima” kata Sofi.
“Ka Prima yang mirip Nindyo” kata Luna.
“Sama aja!” kata Marsha.
“Beda—“
“Oke oke beda. Panjang nih urusannya kalo yang beginian” kata Marsha.
“Jangan sama Ka Galuh. Dia ngga baik” kata Luna.
“Tau darimana?” tanya Sofi.
“Gue emang ngga kepo sama dia, tapi banyak suara-suara yang masuk ke telinga gue tentang Ka Galuh, dan gue simpulkan itu negatif. Pokoknya jangan deket-deket sama Ka Galuh” ucap Luna.
“Negatifnya?” tanya Marsha.
“Intinya, Ka Galuh juga TP sama temen sekelas gue” jawab Luna.
“Dan bisa aja tebar pesona ke semua cewek, siapapun yang dia mau” ucap Rina.
“Siapa Lun?” tanya Sofi.
“Ngga perlu lo tau. Mending sama Ka Nino, lumayan juga mukanya”
“Iyasih—“
“Lumayan ancur maksudnya” lanjut Luna.
“Hahahahahaha” tawa Marsha dan Rina.
“Sial. Eh, tapikan Ka Nino gebetan temen gue” kata Sofi.
“Temen lo boleh ngegebet Ka Nino, tapi kalo Ka Nino ngegebet lo, gimana?”
“Ngga mungkin Luna” kata Sofi.
“Nothing impossible, kecuali gue dan dia bersatu” ucap Luna.
“Sama siapa? Ka Prima?” tanya Sofi.
“Siapa lagi Sof yang gue suka di kampus selain doi?”
“Yaelah Lun, dia juga sama aja. Lepasin aja, ngga penting nunggu yang ngga pasti. Buang-buang waktu” kata Marsha.
“Wasting time. Masih banyak yang lebih penting, yang lebih pantes buat lo pikirin” kata Rina.
“Berharap sama si Prima, sama aja nunggu pohon rambutan berbuah mangga” kata Marsha.
“Emang bisa ya?” tanya Luna.
“Itu pengibaratan, Luna” geregetan Sofi.
“Oh, kirain bisa. Hem, sejujurnya gue juga udah capek ngarepin dia yang ngarepin orang lain”
“Nah, yaudah. Lo boleh suka sama dia, tapi jangan berharap apa-apa. Suka sama senior itu ya gitu risikonya” kata Marsha.
“Mending dipendem dalem-dalem deh rasanya” kata Rina.
“Tuh, denger kata Rina yang udah pandai jadi pemuja rahasia” ucap Marsha.
“Mending lo balik lagi sama Farel” usul konyol dari Sofi.
“Laah. Udah game over itu” kata Luna.
“Game over? Cerita kalian kaya permainan dong?” tanya Marsha.
“Udah game over layaknya permainan. Udah sampe ending layaknya sinetron, dan udah selesai layaknya sebuah novel yang gue baca” kata Luna.
“Aih. Endingnya gimana?” tanya Rina.
“Akan selalu happy ending kalo semua didasari rasa ikhlas” ucap Luna.
“Saik Luna” kata Sofi.
“Mungkin gue juga bakal ikhlasin Ka Prima. Ngga mau lagi ah ganggu hari-harinya yang lagi nunggu orang” kata Luna.
“Lo berdua tuh sebenernya sama-sama penunggu ya. Sama-sama penunggu, bukan saling menunggu. Hahahahaha” ucap Marsha.
“Jadi, mau ngosongin hati?” tanya Sofi.
“Kayanya iya. Mau damai kaya Rina. Mau jadi cewek yang suka ya sekedar suka, ngga yang berharap banget dan ngga yang kepo banget. Tapi kayanya butuh pemulihan. Butuh waktu beberapa hari buat ngga ngeliat mukanya Ka Prima. Semakin sering ngeliat muka Ka Prima, semakin kebayang-bayang kalo udah sampe rumah”
“Berarti lo hapus-hapusin foto-fotonya Nindyo” kata Rina.
“Janganlah kalo Nindyo. Nindyo mah ngga papa hahaha”
“Sama aja dong. Kan Nindyo mirip Ka Prima” kata Sofi.
“Ka Prima yang mirip Nindyo” kata Luna.
“Sama aja!” kata Marsha.
“Beda—“
“Oke oke beda. Panjang nih urusannya kalo yang beginian” kata Marsha.
Memang tak akan ada habisnya membicarakan cinta. Cerita dengan
bermacam-macam jenis. Tentang kebimbangan, tentang penantian, tentang memendam,
juga tentang sakit hati. Semua itu punya tingkat kesakitannya masing-masing,
tergantung cara manusia mengekspresikannya.
Kalau sakit hati yang jadi pembahasan, ingin rasanya kembali
ke halaman dimana bisa bebas berkhayal tanpa memikirkan kenyataan. Menciptakan tokoh
dengan sifat yang diinginkan tanpa harus menyinggung orang lain. Karena tokoh
tersebut hanya hidup dalam imajinasi.
Ingin kembali ke hari-hari dimana cinta yang sebenarnya tak
harus dirasakan. Hanya cinta yang tercipta semaunya sendiri, tanpa sakit hati
dan jenis sakit yang lainnya. Bahagia itu terlalu mudah, saat semua rasa
kaubuat sendirian, merasakanpun sendirian. Tidak akan ada pihak yang sakit,
karena kamu berperan ganda dalam imajinasi.
Tak banyak yang bisa diceritakan selepas masa SMA. Waktu terlalu
terbatas kalau harus membicarakan tentang cinta disela-sela waktu yang jarang
kami punya. Masih banyak hal menarik lainnya yang bisa kami bahas di
keterbatasan waktu ini.
“Lun, Sof, Rin, mie bebek kalian masih sisa? Boleh gue makan
ngga? Kemaren semaleman gue abis nangis dan dari siang belum makan gara-gara
berantem sama cowok gue. Asli, laper parah”
Luna, Sofi, dan Rina saling melirik kebingungan.
Mungkin membicarakan satu mangkuk dengan porsi penuh yang
masih kurang bagi Marsha adalah hal menarik.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar