Complicated [Dua - Holiday]
Jam sudah mengarah sepuluh
lebih empat puluh lima menit. Kami bergegas menuju Dufan. Kami memarkirkan
motor di tempat parkir yang sudah disediakan. Insiden kecil terjadi. Betis Sofi
terkena knalpot motor yang baru saja terparkir juga. Pasti perih bagi Sofi,
sampai harus meneteskan air mata. Bang Wildan meniupkan betis Sofi. Aku, Rina,
dan Marsha sibuk menenangkan Sofi. Esa membeli air mineral dingin. Tissue yang
kubawa cukup berguna untuk membalut luka Sofi.
Aku dan Rina yang
mengantre tiket. Tidak terlalu ramai, sehingga aku dan Rina dengan cepat bisa
mendapat enam tiket dengan menggunakan kupon diskon yang sudah kami fotocopy. Sebelum masuk ke Dufan, kami
berfoto dulu. Beberapa menit kemudian, kami masuk.
Wahana pertama yang
kami naiki adalah Bianglala, semacam
kincir angin, namun ini besar. Selagi berjalan menuju bianglala, aku mendengar
ucapan Rina, “Kok kecil sih.”, tapi ketika mengantre tepat di depan wahana itu,
aku mendengar ucapan dari suara yang sama, “Boleh balik lagi ngga… tinggi
banget.” ada nada ketakutan di situ.
Kami naik. Baru
beberapa senti naik ke atas, wajah Marsha sudah pucat, hanya menunduk, dan
berteriak ketakutan. Rina pun begitu. Tapi tidak aku, Sofi, Bang Wildan dan Esa.
Di wahana pertama, kami have fun.
Setelah itu, kami naik Ontang
Anting, semacam ayunan, tapi diputar hingga membentuk sudut tumpul.
Aku sengaja bilang pada
mereka semua, “Paling pinggir itu ngga berasa apa-apa.”
Ternyata ucapanku
dituruti Rina. Marsha duduk di paling pojok, di pinggir ada aku, Rina, dan Esa.
Teriakan itu cukup memekakan telinga, namun ya seperti itulah. Selesai bagian
kami, aku melihat wajah kusut kedua temanku, Rina dan Marsha.
“Ngga berasa kan paling
pinggir?”
“Matamuuuu!! Aku kira serius nggak berasa, jantungku seperti mau lompat keluar!”
“Matamuuuu!! Aku kira serius nggak berasa, jantungku seperti mau lompat keluar!”
Aku tertawa geli. Tertawa
di atas penderitaan memang tidak baik, tapi ini benar-benar membuatku harus
tertawa terbahak-bahak.
“Yuk, lanjut.” kataku.
“Nanti dulu Lun, pusing nih.” kata Bang Wildan memegangi kepalanya.
“Wahana apa ya setelah ini?” gumam Sofi.
“Halilintar yuk?” usulku. “Ngga serem kok, suer, seru!”
“Nanti dulu Lun, pusing nih.” kata Bang Wildan memegangi kepalanya.
“Wahana apa ya setelah ini?” gumam Sofi.
“Halilintar yuk?” usulku. “Ngga serem kok, suer, seru!”
Lagi-lagi mereka
mendengarkanku. Sangat lucu. Kami mengantre.
“Lun, aku sama kamu ya.”
ucap Rina.
“Sama siapa aja aku mah.”
“Bang Wildan, sama Sofi ya?”
“Okeee.” ucap Bang Wildan.
“Sama siapa aja aku mah.”
“Bang Wildan, sama Sofi ya?”
“Okeee.” ucap Bang Wildan.
Baru sebentar bersama,
mereka sudah benar-benar menyatu.
“Kita naik paling depan
ya Rin, ngga berasa kok.” ucapku.
Di belakangku ada Marsha
dan Esa, baris ketiga ada Sofi dan Bang Wildan. Sabuk sudah aman, tinggal
menghitung detik untuk membawa kereta melaju layaknya elang.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaa!”
belum apa-apa saja Rina sudah berteriak.
Selama hampir satu
menit kami meluncur dengan halilintar, sekembalinya di tempat semula, wajah
mereka sungguh-sungguh seperti benang kusut. Menuruni tangga, Bang Wildan tidak
kuat berjalan. Ia mengembalikan kondisi perutnya seperti semula, bergeletak di kursi
yang kosong. Aku dan Sofi memilih untuk membeli air mineral.
Setelah tiga wahana,
kami makan siang di salah satu resto di dalam Dufan. Mungkin hanya aku dan Sofi
yang masih memasang tampang strong. Selesai
makan, aku dan Sofi berniat untuk menaiki wahana selanjutnya. Tidak Bang Wildan,
ia memilih untuk duduk saja. Marsha dan Esa pergi sekadar berjalan-jalan. Karena
tidak mau sendirian, Rina ikut aku dan Sofi mengantre wahana Kora-Kora atau
perahu ayun.
Kami sudah berada di
antrian paling depan. Tanganku dan tangan Sofi menggenggam erat tangan Rina. Aku tidak mau Rina lari.
“Rin, kita naik paling
belakang ya.”
“Kok? Kenapa paling belakang?” tanyanya polos mirip bakso yang kupesan tadi saat makan siang.
“Soalnya paling belakang itu paling ngga berasa. Kalau di depan, berasa pusingnya.”
“Ohhh, iya iya.”
“Kok? Kenapa paling belakang?” tanyanya polos mirip bakso yang kupesan tadi saat makan siang.
“Soalnya paling belakang itu paling ngga berasa. Kalau di depan, berasa pusingnya.”
“Ohhh, iya iya.”
Aku hanya menahan tawa
berdua Sofi.
Kami bertiga sudah
duduk berderet di baris kedua dari belakang. Sedikit kecewa karena tidak
kebagian di paling belakang. Sengaja Rina duduk di tengah. Aku takut dia nekat
lompat keluar saat perahu diayunkan. Awalnya teriakan itu biasa, namun saat
ayunan itu semakin tinggi, teriakan Rina mungkin bisa menghancurkan gendang telingaku
kalau lebih lama lagi aku duduk di sampingnya. Aku tidak bisa berhenti tertawa
melihat wajah Rina. Tangannya gemetaran, keringat dingin menghujani wajah dan
tangan Rina. Ini sangat lucu.
Selesai menaiki wahana,
kami bertiga menghampiri Bang Wildan yang duduk sendiri. Marsha dan Esa masih
jalan-jalan, mungkin.
“Gimana Rin?” tanya Bang
Wildan dengan nada mengejek sepertinya.
“Gila! Gila! Aku pikir duduk di kursi paling belakang memang benar ngga berasa apa-apa.”
“Aku sengaja loh, hahahaha. Maaf ya. Tapi nyatanya memang seru kan?”
“Cukup sekali seumur hidup!!” ucap Rina.
“Seru tauuu.” ucap Sofi.
“Gila! Gila! Aku pikir duduk di kursi paling belakang memang benar ngga berasa apa-apa.”
“Aku sengaja loh, hahahaha. Maaf ya. Tapi nyatanya memang seru kan?”
“Cukup sekali seumur hidup!!” ucap Rina.
“Seru tauuu.” ucap Sofi.
Kami lanjut menaiki
wahana. Yang santai sajalah dulu. Kami mengantre wahana Istana Boneka. Lumayan
sejuk menaiki kereta di atas air sambil keliling dunia. Setelah itu ada
beberapa wahana yang kami taiki, hingga sampai di wahana terakhir, Arung Jeram.
Mengantre wahana ini cukup lama, sampai harus melewati adzan maghrib. Namun,
waktu kami terbayar dengan keseruan menaiki wahana ini. Satu ban yang berisi
delapan kursi, kami naikan hanya untuk rombongan kami.
Ban ini siap meluncur,
melawan arus buatan yang cukup mengacu adrenalin ini. Teriakan keseruan itu
benar-benar membuatku bahagia. Yang paling basah adalah Esa. Tadinya, setelah
dari Dufan kami berniatan ke pantai, namun tidak keburu, karena jam sudah
menunjukkan jam setengah delapan malam. Aku pun sudah di telepon ayahku.
Kami pulang lewat jalan
yang tadi. Tapi, motor yang ku taiki bannya bocor, di daerah Keramat Jati. Akhirnya,
Bang Wildan yang naik bersamaku harus menambal motornya dulu. Sekitar beberapa
puluh menit, setelah itu kami pulang bersama. Wajah mereka sudah lelah sekali.
Aku pun berterima kasih pada Bang Wildan yang mengantarkanku sampai depan
rumah.
Aku dan ketiga temanku membahas
ini di sekolah. Benar-benar tidakak ada habisnya. Hari itu benar-benar
bersejarah bagiku dan teman-temanku. Berlibur dengan uang tabungan sendiri. Perjalanan
yang tidak akan kulupakan.
Siapa yang sadar, aku berlibur
dengan teman-temanku tanpa membawa perasaan cinta. Tak sulit untuk melewatinya,
tanpa pengisi hati, aku bahagia seperti ini. Aku tidak butuh kekasih. Mereka
bertiga adalah kekasihku.
Aku hanyalah manusia yang
menjalani hari-hari bersama teman-teman di sekolah dan tugas-tugas dari guru. Guru
ini memberikan materi yang malesin bagiku. Guru pelajaran bahasa Inggrisku,
Mrs.Rika, menyuruh tiap siswa membentuk kelompok, satu kelompok terdiri dari 3
orang, dua perempuan dan satu laki-laki.
Komentar
Posting Komentar