Complicated [Tiga - Start]
Mrs.Rika
mengelompokanku dengan Sofi, dan laki-lakinya adalah…………..
‘Farel?!’ teriak hatiku. Aku berusaha biasa saja dan memang harusnya biasa saja kan?
‘Farel?!’ teriak hatiku. Aku berusaha biasa saja dan memang harusnya biasa saja kan?
Kami bertiga akan
berdialog, di mana si lelaki itu adalah playboy,
dua wanita adalah satunya sebagai kekasih pertama dan satunya lagi adalah
kekasih kedua. Dua wanita dipertemukan di restoran, saat si lelaki makan siang
dengan wanita pertama, kekasih kedua yang ternyata waiters di restoran tersebut memergoki sang kekasih bersama wanita
lain, dan di situ, si lelaki diputuskan oleh kedua kekasihnya.
Mengapa aku yang harus
jadi kekasih pertama? Yang diselingkuhi. Entahlah, dasarnya, kedua wanita di situ
kan sama-sama diselingkuhi. Dalam dialog, lelaki itu memanggilku Darling, haruskah Farel memanggilku
dengan sebutan itu? Ini hanya sekadar peran. Tak jadi masalah.
Tapi…… Mengapa aku
gugup?
Yang tau kegugupanku
hanyalah aku dan Tuhan. Aku menyembunyikan rasa gugup itu. Aku tetap berpikir tidak
akan ada apa-apa, percaya.
Aku lega setelah
selesai berdialog dengannya. Ini tidak akan berarti apa-apa bagi Farel.
Sepulang sekolah, aku
dan beberapa banyak temanku akan mengerjakan tugas kimia yang dikumpulkan hari Kamis—besok.
Sebelum melesat ke rumah Bella untuk mengerjakan tugas kimia yang terdiri dari
dua puluh soal pilihan ganda dan sepuluh soal essay, aku membeli segelas pop ice yang biasa ku beli di depan
sekolahku.
Aku berdiri di pinggir
jalanan dekat tukang pop ice, aku melihat Farel mengendarai motor dengan
memboncengi Farah, gadis yang belakangan ini memang dekat dengan Farel. Sampai
banyak kakak kelas yang bertanya, “Kamu pacaran dengan Farel ya?” tapi Farah
mengaku bahwa ia sudah punya kekasih. Kedekatannya dengan Farel hanyalah
sebatas teman.
Aku merasa ada yang
aneh dalam diriku. Seperti ada api kecil yang menggerogoti tubuh ini. Tapi apa
maksudnya? Cemburu? Farel bukan siapa-siapaku. Saat aku dan yang lain sudah
sampai di rumah Bella, aku dan satu temanku menumpang untuk sekadar salat
ashar. Selesai salat ashar, sosok Farel sudah ada di situ, duduk di sudut itu.
Aku mengambil kertasku
dan menyalin jawaban yang sudah di temukan itu. Hehehehehe. Tubuhku terasa
sangat pegal, hingga aku menulis harus dengan tengkurep. Tiba-tiba Farel duduk di sebelahku.
“Lun, liat jawabannya
dong.”
“Nih, jangan dibawa, aku juga mau nyalin.”
“Nih, jangan dibawa, aku juga mau nyalin.”
Sepertinya, dia
memutuskan untuk duduk di sebelahku dan menyalin bersama denganku. Dia membuka
percakapan.
“Lun, aku boleh pinjam
almetmu?”
“Nih, pake aja, buat apa?” aku memberikan almetku.
“Ngga papa, cuma buat dipeluk aja.”
“Nih, pake aja, buat apa?” aku memberikan almetku.
“Ngga papa, cuma buat dipeluk aja.”
Apa arti bicaranya? Apakah
sebenarnya ia ingin memelukku tapi tak kesampaian? Jadi, ia hanya meminjam
almet yang biasa kukenakan untuk ia peluk. Padahal, ia selalu mengenakan jaket
hitamnya dan membawanya ke mana-mana. Kenapa harus pinjam almetku? Entahlah.
Almetku ia dekap dengan
tangan kirinya, sementara tangan kanannya menyalin jawaban soal kimia. Lagi-lagi
ini membuatku bingung. Sehabis isya, kami semua bersiap untuk pulang.
“Aku pulang dengan
siapa?”
“Dari sini kamu sama Ardi dulu, nanti sama Fitri, setelah itu kamu bonceng tiga dengan Rina dan Sofi.”
“Hah?” penjelasan Marsha benar-benar membuatku bingung. “Kamu pulang sama siapa Sha?”
“Sama Farel.”
“Dari sini kamu sama Ardi dulu, nanti sama Fitri, setelah itu kamu bonceng tiga dengan Rina dan Sofi.”
“Hah?” penjelasan Marsha benar-benar membuatku bingung. “Kamu pulang sama siapa Sha?”
“Sama Farel.”
Aku diam.
Di depan rumah Bella.
“Aduuuh, aku bener-bener bingung pulang sama siapa.”
“Aduuuh, aku bener-bener bingung pulang sama siapa.”
Sebenanrnya, tentang aku
akan pulang dengan siapa sudah dijelaskan oleh tiga orang, tapi tetap saja aku
tidak mengerti.
“Memang rumahmu di mana?”
“Gang mesjid, tapi lewat taman duta kalau sudah beranjak malam seperti ini.”
“Sama aku aja, rumahku di pelni. Ehh, tapi aku sama Marsha ya.”
“Gang mesjid, tapi lewat taman duta kalau sudah beranjak malam seperti ini.”
“Sama aku aja, rumahku di pelni. Ehh, tapi aku sama Marsha ya.”
Aku mendengar nada
sesal dalam bicaranya itu.
“Kamu naik sama Ardi sekarang.” ucap Marsha. Aku mengikuti intruksi Marsha.
“Nanti sampai sekolah, kamu naik motor sama Fitri—“
“Loh, tapikan Fitri sama Dini.” potongku.
“Dengerin dulu. Makanya, sampai sekolah kamu naik sama Fitri, Dini kan turun di sekolah.”
“Ohh, gitu. Oke oke. Fitri mengantarku sampai rumah?”
“Sampai Bukit Cengkeh. Di situ, kamu bonceng tiga sama Rina dan Sofi.”
“Ohhh, sip sip.” kataku baru mengerti.
“Kamu naik sama Ardi sekarang.” ucap Marsha. Aku mengikuti intruksi Marsha.
“Nanti sampai sekolah, kamu naik motor sama Fitri—“
“Loh, tapikan Fitri sama Dini.” potongku.
“Dengerin dulu. Makanya, sampai sekolah kamu naik sama Fitri, Dini kan turun di sekolah.”
“Ohh, gitu. Oke oke. Fitri mengantarku sampai rumah?”
“Sampai Bukit Cengkeh. Di situ, kamu bonceng tiga sama Rina dan Sofi.”
“Ohhh, sip sip.” kataku baru mengerti.
Semua melesat bersama.
Ada yang aneh saat aku
melihat Farel berboncengan dengan Marsha. Tapi aku tidak berhak marah. Sungguh,
ini aneh. Membuatku bingung.
Saat bonceng tiga, aku
mencoba bertanya dengan Rina dan Sofi.
“Aku boleh ngomong?”
“Ada apa? Kamu kaya sama siapa aja. Ceritalah.” ucap Rina.
“Kenapa… ada yang aneh ya waktu aku lihat Farel dekat sama cewe lain?”
“Waduh. Kamu serius Lun?” kaget Rina diselingi tawa.
“Anehnya kaya gimana Lun?” tanya Sofi.
“Ngga ngerti. Ada perasaan kesal. Masa aku jatuh cinta sama Farel?”
“Ngga salah kan?” kata Rina.
“Tapi Rin, dulu kan aku mengabaikannya dan sekarang kan Farel dekat sama Farah.”
“Iyaya, dia udah deket banget sama Farah.”
“Aku mohon kalian jangan cerita tentang ini sama Marsha. Aku akan menceritkan semuanya kalau memang benar ini cinta.”
“Ada apa? Kamu kaya sama siapa aja. Ceritalah.” ucap Rina.
“Kenapa… ada yang aneh ya waktu aku lihat Farel dekat sama cewe lain?”
“Waduh. Kamu serius Lun?” kaget Rina diselingi tawa.
“Anehnya kaya gimana Lun?” tanya Sofi.
“Ngga ngerti. Ada perasaan kesal. Masa aku jatuh cinta sama Farel?”
“Ngga salah kan?” kata Rina.
“Tapi Rin, dulu kan aku mengabaikannya dan sekarang kan Farel dekat sama Farah.”
“Iyaya, dia udah deket banget sama Farah.”
“Aku mohon kalian jangan cerita tentang ini sama Marsha. Aku akan menceritkan semuanya kalau memang benar ini cinta.”
Aku memikirkan semua
ini di rumah. Sikapnya dia benar-benar aneh. Tingkahnya harus membuatku berpikir
keras untuk mengartikannya sendiri. Sendirian. Aku masih bertanya-tanya pada
hatiku. Jika memang ini cinta, aku tidak mungkin mampu menghindar. Namun,
mengapa harus rasa ini ada sekarang? Kenapa tidak dulu saat dia menyatakan
perasaannya. Saat dia menaruh rasa padaku. Aku benci jika ini cinta. Mengapa? Pasti
cintaku akan bertepuk sebelah tangan.
Bertepuk sebelah tangan?
Ya!
Dulu, aku menolaknya. Mungkinkah
dalam waktu enam bulan, rasa cinta itu masih ada? Memang, tidak ada yang tidak
mungkin. Tapi kalau benar Farel sudah tidak memiliki rasa seperti dulu,
bagaimana? Menangis lagi kan aku. Aku benci harus memiliki rasa ini.
Aku akan memastikan
yang aku rasakan besok, di sekolah. Aku dan Sofi duduk di barisan ketiga dari
pintu dan duduk di bangku paling depan. Di meja yang sederet terdapat Farel di situ.
Artinya, tegakku sejajar dengan Farel. Mata ini sering berpaling ke arah dia,
tanpa ada yang menyadari.
Aku masih bertanya-tanya
tentang apa yang aku rasakan. Aku masih belum bisa menyimpulkan perasaan ini. Yang
jelas, teman-temanku aneh setiap melihatku bertingkah tak karuan. Membanting
buku, pulpen, tiba-tiba meremas tangan siapapun yang berada di dekatku,
mencubitnya. Mereka tidak paham maksudku. Hanya aku.
Aku tersiksa dengan
perasaan ini. Aku tidak yakin Farel masih memiliki rasa seperti dulu. Menurutku,
aku jahat. Dulu, saat Farel menyatakan cinta padaku, aku menolaknya. Sekarang,
semua perasaan itu berbalik padaku. Tapi, apa semua ini salahku? Apa salah jika
perasaan itu baru muncul sekarang?
Aku masih emosi dalam
diam. Pikiran yang tak tentu arah. Aku tidak bisa mengartikan yang aku rasakan.
Tidak bisa mencerna dengan baik apa yang kupikirkan. Perasaan ini benar-benar
membuatku gila. Rasanya ingin meledak. Aku tidak mampu melihat Farel dekat
dengan teman perempuan lain. Itu perih bagiku. Apa yang terjadi denganku? Itu
yang kurasa. Aku tidak mengerti. Cemburu pun bukan hak ku.
Di sela waktu kosong
saat pelajaran matematika, aku mencoba mencuri waktu dengan bertanya tentang
perasaan pada Pa Rudi.
“Gimana kalau ada
wanita yang mencintai Bapak, tapi Bapak tidak
mencintainya. Namun seiring waktu berjalan, perasaan cinta itu timbul? Apakah
wanita itu masih punya cinta? Bisakah perasaan itu menyatu?”
“Susah..”
“Susah..”
Jawaban Pak Rudi yang
masih berusia 23 tahun itu membuatku harus menyerah pada perasaan ini. Aku
menangis.
Saat istirahat, salah
satu temanku seperti punya sinyal tentang sikapku, sampai ia bertanya padaku.
“Kamu menyukai siapa Lun?”
“Hem…….” aku bergumam.
“Farhan?”
“Hem…….” aku bergumam.
“Farhan?”
Aku menggeleng.
“Farel?”
“Farel?”
Aku terdiam.
“Farel??” ia meyakinkan tanyanya.
“Farel??” ia meyakinkan tanyanya.
Senyumku sedikit ku simpulkan.
“Kayanya susah deh Lun, dia udah deket banget sama Farah.”
“Kayanya susah deh Lun, dia udah deket banget sama Farah.”
Jawaban singkat itu
mampu membuat guncangan dalam hatiku. Apa aku harus menyerah terhadap
perasaanku? Haruskah aku kembali menangis? Sungguh, aku lelah berteman dengan
air mata hanya karena cinta.
Cinta? Aku simpulkan perasaan
ini cinta.
Aku masih menutupi
perasaan ini dari Marsha. Tapi dia temanku, aku tidak bisa menutupi perasaanku
padanya. Dia lah yang selalu menasihatiku dengan kata-katanya. Bagaimana aku
meminta saran, kalau masalahku saja tidak kuceritakan. Aku tidak memulai
ceritaku seperti aku memulai cerita pada Rina dan Sofi.
Hari Sabtu, sepulang
sekolah.
Pelajaran bahasa Inggris masih membahas materi lalu dan Sofi membantu kelompok lain yang kekurangan anggota. Hari ini, aku dan beberapa temanku yang lain termasuk Farel dan Farah akan menjenguk teman kami yang sakit, Desi.
Pelajaran bahasa Inggris masih membahas materi lalu dan Sofi membantu kelompok lain yang kekurangan anggota. Hari ini, aku dan beberapa temanku yang lain termasuk Farel dan Farah akan menjenguk teman kami yang sakit, Desi.
Aku terdiam di sudut
ruangan. Keadaan kelas sudah cukup sepi, hanya ada beberapa anggota kelompok
yang tak mempedulikan kegalauanku.
Lalu Marsha
menghampiriku.
“Sha, aku mau ngomong
sesuatu.”
“Ya? Ada apa Lun?”
“Aku lagi jatuh cinta sama seseorang.”
“Iya? Siapa?!” tanyanya begitu antusias.
“Tebak…”
“Ya? Ada apa Lun?”
“Aku lagi jatuh cinta sama seseorang.”
“Iya? Siapa?!” tanyanya begitu antusias.
“Tebak…”
“Farhan?”
Aku menggeleng.
Aku menggeleng.
“Rayyi?”
Aku menggeleng.
Aku menggeleng.
“Vino?”
Aku menggeleng lagi.
Aku menggeleng lagi.
“Siapa? Farel?”
Aku diam.
Aku diam.
“Kok pas aku bilang Farel,
kamu diam?”
“Iya, Luna suka sama Farel.” Sofi angkat bicara.
“Wah, pasti jadian!” Marsha begitu yakin dengan kata-katanya.
“Iya, Luna suka sama Farel.” Sofi angkat bicara.
“Wah, pasti jadian!” Marsha begitu yakin dengan kata-katanya.
“Ta—“
JEBRET!!! Suara pintu
dibuka kencang oleh Farel, sampai aku pun mau bicara jadi tertahan.
“Hey, jadi ngga ke rumah
Desi?” tanyanya.
“Jadi, itu lagi nungguin Sofi ngebantu kelompok lain dulu.” jawabku.
“Jadi, itu lagi nungguin Sofi ngebantu kelompok lain dulu.” jawabku.
Wajah Rina, Marsha, dan
Sofi menahan senyum.
“Eh, Lun, mau berangkat jam berapa? Cepet, udah siang.” Farel bicara di hadapan Sofi sambil mengetik-ngetik sesuatu di ponselnya.
“Eh, Lun, mau berangkat jam berapa? Cepet, udah siang.” Farel bicara di hadapan Sofi sambil mengetik-ngetik sesuatu di ponselnya.
“Lun? Aku Sofi…..” ucap
Sofi agak keras bicaranya.
“Eh iya, Sofi maksudku. Mau berangkat jam berapa?”
“Sampai ini selesai, sebentar lagi.” katanya.
“Eh iya, Sofi maksudku. Mau berangkat jam berapa?”
“Sampai ini selesai, sebentar lagi.” katanya.
Aku melihat itu. Cukup
aneh. Farel berdiri di sampingku. Aku tidak mau dia berada lebih dekat lagi,
aku tidak mau dia mendengar degupan jantungku. Berkali-kali dia mengajakku
ngobrol. Aku masih menanggapi itu dengan berusaha biasa saja. Walau sebenarnya
tidak biasa saja.
“Lunaaa, pinjem cassan
BB. Lun, pinjem cassan BB. Lunaaaa!!”
“Apaansih??? Luna di situ. Aku Sofi.” jawab Sofi yang sedang membantu kelompok lain.
“Apaansih??? Luna di situ. Aku Sofi.” jawab Sofi yang sedang membantu kelompok lain.
“Kamu ngeledek aku, Rel?
Aku kan ngga pakai BB.” kataku.
“Eh iya maaf, salah manggil.” katanya dengan senyum manisnya.
“Eh iya maaf, salah manggil.” katanya dengan senyum manisnya.
Beberapa kali dia salah
memanggil. Membuatku bertanya-tanya lagi.
Selesai itu, kami
bertujuh melesat ke rumah Desi. Seperti biasa, aku sudah sering menjadi sasaran
bonceng tiga. Itulah risikoku karena tidak punya motor. Farel berbonceng dengan
Farah. Mengapa? Farel adalah ketua kelas, sedangkan Farah adalah bendahara. Jadi
minimal, mereka wajib ikut.
Di rumah Desi, banyak
sekali pemandangan tidak enak. Suasana di situ memaksaku untuk melihat Farel
berfoto-foto dengan Farah. Aku hanya bisa menunduk. Keadaan ini sangat
menyakitkan. Setelah berfoto, Farah langsung menjadikan foto itu sebagai display picture bbm. Siapa yang tidak ngira
mereka pacaran, kalau setiap memasang DP, mereka selalu berdua.
Aku sama sekali tidak
mau melihat pemandangan itu. Farel dan Farah izin untuk pulang lebih dulu. Sofi
bilang, bahwa Farel beberapa kali menatapku. Mungkinkah dia merasakan yang aku
rasakan? Apakah dia tau apa yang ada dalam hatiku?
“Cewe ngga salah kok
untuk memulai.” Marsha bicara begitu padaku.
Tapi bagaimana mulainya?
“Aku harus memulai
seperti apa, Sha?”
“Ya kamu bisa aja sms dia, bilang makasih untuk hari ini misalnya”
“Untuk hari ini? Untuk apa?” tanyaku.
“Sudah mau berpartisipasi menjenguk teman kita”
“Teman kita? Desi kan juga temannya”
“Lun, plis deh, jangan dibikin ribet. Sms aja kaya yang aku bilang barusan.”
“Oh, oke siap. Aku coba.”
“Ya kamu bisa aja sms dia, bilang makasih untuk hari ini misalnya”
“Untuk hari ini? Untuk apa?” tanyaku.
“Sudah mau berpartisipasi menjenguk teman kita”
“Teman kita? Desi kan juga temannya”
“Lun, plis deh, jangan dibikin ribet. Sms aja kaya yang aku bilang barusan.”
“Oh, oke siap. Aku coba.”
Sorenya, aku merangkai
kata-kata untuk dijadikan kalimat, lalu kukirim pesan itu ke nomornya.
“Aduh, gimana ya..”
ucapku sendiri yang jadi bingung.
To: Farel
Farel, makasih ya untuk partisipasinya menjenguk teman kita yang sakit.
Farel, makasih ya untuk partisipasinya menjenguk teman kita yang sakit.
“Ahhh,
engga engga.” aku menghapus ketikkanku tadi dan merubahnya.
To: Farel
Makasih untuk hari ini, Farel, Farah, Rina, Sofi, Marsha, dan Dama yang sudah mau meluangkan waktunya untuk menjenguk Desi.
Makasih untuk hari ini, Farel, Farah, Rina, Sofi, Marsha, dan Dama yang sudah mau meluangkan waktunya untuk menjenguk Desi.
“Kok
ada nama Farah nya? Aku kan ngga punya nomer telponnya. Gimana nanti kalo Farel
nanya langsung sama Farah? Ketahuan bohong aku. Apus apus apuss.”
To: Farel
Farel, makasih ya sudah mau ikut partisipasinya menjenguk Desi. Sampaikan pesan ini ke Farah ya, karena aku ngga punya nomer hapenya…
Farel, makasih ya sudah mau ikut partisipasinya menjenguk Desi. Sampaikan pesan ini ke Farah ya, karena aku ngga punya nomer hapenya…
“Begini
sajalah.” aku menekan tombol send.
Satu menit kumenunggu
balasan pesan itu. Tidak ada balasan.
Lima menit menunggu, tidak
ada juga. Sampai setiap menit aku mengecek hape, tidak ada satu pun sms
darinya. Aku hampir menyerah.
Beberapa jam kemudian.
“Yaudahlah, mungkin memang ngga bakalan di bales.” setelah itu aku tidur.
“Yaudahlah, mungkin memang ngga bakalan di bales.” setelah itu aku tidur.
Besok paginya, aku
bangun sekitar jam tujuh pagi, karena hari ini hari Minggu, aku pun bebas
bangun jam berapa saja tanpa harus ada suara hape berdering membangunkanku. Aku
melihat ponselku. Ada satu pesan yang sampai di nomerku sekitar jam lima pagi.
“Farel??!” aku langsung
melotot melihat nama itu tertera di ponselku.
From: Farel
Iya sama-sama juga ya Lun J
Iya sama-sama juga ya Lun J
Dengan cepat dan hati-hati
aku membalas pesan singkat itu.
To: Farel
Oke Rel J
Oke Rel J
Lagi-lagi aku harus
menunggu balasan sms-nya sekitar, hem….. empat puluh lima menit.
From: Farel
Hehehehe, iya. Baru bangun ya Lun?
Hehehehe, iya. Baru bangun ya Lun?
Kurang dari sepuluh
detik aku membalasnya.
To: Farel
Dari tadi jam 7 ko..
Dari tadi jam 7 ko..
Dua menit kemudian.
From: Farel
Oh, udah makan Lun?
Oh, udah makan Lun?
PLAKKK!!!
Angin apa yang membuat Farel
seperti ini? Padahal sebelumnya, dia tidak pernah menanyakan ini padaku. Sungguh,
aku deg-degan.
To: Farel
Ini lagi makan ko. Kamu sudah makan?
Ini lagi makan ko. Kamu sudah makan?
Lima belas menit
kemudian….
From: Farel
Sudah. Kamu lagi ngapain?
Sudah. Kamu lagi ngapain?
Mengetik..
To: Farel
Aku baru selesai makan. Kamu sendiri?
Aku baru selesai makan. Kamu sendiri?
Dua menit kemudian..
From: Farel
Aku lagi main games aja.
Aku lagi main games aja.
Mengetik..
To: Farel
Oh.. yasudah, lanjutin aja main gamesnya.
Oh.. yasudah, lanjutin aja main gamesnya.
Setelah itu pesan
singkatku tidak dibalas lagi. Percakapanku selesai di jam sepuluh pagi. Padahal,
aku ingin lama sms-an dengannya. Bagiku, ia membalas pesan singkatku saja sudah
sangat menyenangkan. Aku rela menunggu menit demi menit, demi membaca balasan
pesan singkatnya.
Besoknya di sekolah,
aku masih biasa saja, menutupi perasaan, dan menyembunyikan kekesalan harus
melihat dia dekat dengan yang lain. Di pelajaran terakhir, keadaan kelas tidak
selayaknya ada guru, padahal pelajaran agama islam sedang berlangsung. Namun,
gurunya pun terlewat cuek, hingga membiarkan siswa yang lain keliaran keluar
tempat duduknya.
Aku menangis, menunduk,
sendiri. Ketiga temanku sedang menghafalkan surat di depan kelas. Setelah
menghapus air mataku, aku menghampiri teman-temanku.
“Kamu habis nangis?”
tanya Marsha.
“Hehehehe, ngga papa kok. Cuma masih galau aja.”
“Biar aku tanya ke orangnya langsung.”
“Sha, jangan.”
“Aku tau harus gimana Lun. Kamu tenang saja.”
“Hehehehe, ngga papa kok. Cuma masih galau aja.”
“Biar aku tanya ke orangnya langsung.”
“Sha, jangan.”
“Aku tau harus gimana Lun. Kamu tenang saja.”
Marsha itu kadang
nekat. Tapi, aku percayakan pada dia. Menunggu Marsha kembali duduk di depanku
seperti tadi, benar-benar membuatku gelisah setengah hidup. Beberapa menit
kemudian, Marsha datang.
“Dia bilang, dia akan
mencoba menjalaninya.” ucap Marsha sambil tersenyum.
“Kamu bertanya apa padanya?”
“Ngga usah kamu pikirkan pertanyaan jenis apa yang aku tanyakan padanya, menurutku dia masih menyukaimu.”
“Sebesar apa keyakinanmu terhadap itu?” tanyaku dengan mata yang sayu.
“Lebih besar dari bumi.” jawab Marsha asal.
“Jangan sok puitis, Sha…” komentar dari Rina.
“Jadi, aku harus bersikap bagaimana?” bingungku.
“Bersikap yang seharusnya. Ingat kataku, memulai itu tidak jadi masalah.”
“Aku dengar saranmu, Sha. Terimakasih untuk semuanya.”
“Sama-sama ya Lun. Aku mendukungmu…”
“Kamu bertanya apa padanya?”
“Ngga usah kamu pikirkan pertanyaan jenis apa yang aku tanyakan padanya, menurutku dia masih menyukaimu.”
“Sebesar apa keyakinanmu terhadap itu?” tanyaku dengan mata yang sayu.
“Lebih besar dari bumi.” jawab Marsha asal.
“Jangan sok puitis, Sha…” komentar dari Rina.
“Jadi, aku harus bersikap bagaimana?” bingungku.
“Bersikap yang seharusnya. Ingat kataku, memulai itu tidak jadi masalah.”
“Aku dengar saranmu, Sha. Terimakasih untuk semuanya.”
“Sama-sama ya Lun. Aku mendukungmu…”
Aku senang teman-temanku
mendukungku. Aku berusaha untuk memulai, namun tidak berlebihan. Dengan sms
iseng saja, aku jadi sms-an dengan Farel. Sedikit kaku dan entah apa yang kami
bicarakan. Benar-benar tidak penting, tapi bagi orang yang sedang jatuh cinta
sepertiku, penting atau tidak percakapan itu, tidak akan aku akhiri selama
masih bisa membalas pesan singkat itu.
Komentar
Posting Komentar