Complicated [Tiga - Start]



Mrs.Rika mengelompokanku dengan Sofi, dan laki-lakinya adalah…………..
‘Farel?!’ teriak hatiku. Aku berusaha biasa saja dan memang harusnya biasa saja kan?
Kami bertiga akan berdialog, di mana si lelaki itu adalah playboy, dua wanita adalah satunya sebagai kekasih pertama dan satunya lagi adalah kekasih kedua. Dua wanita dipertemukan di restoran, saat si lelaki makan siang dengan wanita pertama, kekasih kedua yang ternyata waiters di restoran tersebut memergoki sang kekasih bersama wanita lain, dan di situ, si lelaki diputuskan oleh kedua kekasihnya.
Mengapa aku yang harus jadi kekasih pertama? Yang diselingkuhi. Entahlah, dasarnya, kedua wanita di situ kan sama-sama diselingkuhi. Dalam dialog, lelaki itu memanggilku Darling, haruskah Farel memanggilku dengan sebutan itu? Ini hanya sekadar peran. Tak jadi masalah.
Tapi…… Mengapa aku gugup?
Yang tau kegugupanku hanyalah aku dan Tuhan. Aku menyembunyikan rasa gugup itu. Aku tetap berpikir tidak akan ada apa-apa, percaya.
Aku lega setelah selesai berdialog dengannya. Ini tidak akan berarti apa-apa bagi Farel.
Sepulang sekolah, aku dan beberapa banyak temanku akan mengerjakan tugas kimia yang dikumpulkan hari Kamis—besok. Sebelum melesat ke rumah Bella untuk mengerjakan tugas kimia yang terdiri dari dua puluh soal pilihan ganda dan sepuluh soal essay, aku membeli segelas pop ice yang biasa ku beli di depan sekolahku.
Aku berdiri di pinggir jalanan dekat tukang pop ice, aku melihat Farel mengendarai motor dengan memboncengi Farah, gadis yang belakangan ini memang dekat dengan Farel. Sampai banyak kakak kelas yang bertanya, “Kamu pacaran dengan Farel ya?” tapi Farah mengaku bahwa ia sudah punya kekasih. Kedekatannya dengan Farel hanyalah sebatas teman.
Aku merasa ada yang aneh dalam diriku. Seperti ada api kecil yang menggerogoti tubuh ini. Tapi apa maksudnya? Cemburu? Farel bukan siapa-siapaku. Saat aku dan yang lain sudah sampai di rumah Bella, aku dan satu temanku menumpang untuk sekadar salat ashar. Selesai salat ashar, sosok Farel sudah ada di situ, duduk di sudut itu.
Aku mengambil kertasku dan menyalin jawaban yang sudah di temukan itu. Hehehehehe. Tubuhku terasa sangat pegal, hingga aku menulis harus dengan tengkurep. Tiba-tiba Farel duduk di sebelahku.
“Lun, liat jawabannya dong.”
“Nih, jangan dibawa, aku juga mau nyalin.”
Sepertinya, dia memutuskan untuk duduk di sebelahku dan menyalin bersama denganku. Dia membuka percakapan.
“Lun, aku boleh pinjam almetmu?”
“Nih, pake aja, buat apa?” aku memberikan almetku.
“Ngga papa, cuma buat dipeluk aja.”
Apa arti bicaranya? Apakah sebenarnya ia ingin memelukku tapi tak kesampaian? Jadi, ia hanya meminjam almet yang biasa kukenakan untuk ia peluk. Padahal, ia selalu mengenakan jaket hitamnya dan membawanya ke mana-mana. Kenapa harus pinjam almetku? Entahlah.
Almetku ia dekap dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menyalin jawaban soal kimia. Lagi-lagi ini membuatku bingung. Sehabis isya, kami semua bersiap untuk pulang.
“Aku pulang dengan siapa?”
“Dari sini kamu sama Ardi dulu, nanti sama Fitri, setelah itu kamu bonceng tiga dengan Rina dan Sofi.”
“Hah?” penjelasan Marsha benar-benar membuatku bingung. “Kamu pulang sama siapa Sha?”
“Sama Farel.”
Aku diam.
Di depan rumah Bella.
“Aduuuh, aku bener-bener bingung pulang sama siapa.”
Sebenanrnya, tentang aku akan pulang dengan siapa sudah dijelaskan oleh tiga orang, tapi tetap saja aku tidak mengerti.
“Memang rumahmu di mana?”
“Gang mesjid, tapi lewat taman duta kalau sudah beranjak malam seperti ini.”
“Sama aku aja, rumahku di pelni. Ehh, tapi aku sama Marsha ya.”
Aku mendengar nada sesal dalam bicaranya itu.
“Kamu naik sama Ardi sekarang.” ucap Marsha. Aku mengikuti intruksi Marsha.
“Nanti sampai sekolah, kamu naik motor sama Fitri—“
“Loh, tapikan Fitri sama Dini.” potongku.
“Dengerin dulu. Makanya, sampai sekolah kamu naik sama Fitri, Dini kan turun di sekolah.”
“Ohh, gitu. Oke oke. Fitri mengantarku sampai rumah?”
“Sampai Bukit Cengkeh. Di situ, kamu bonceng tiga sama Rina dan Sofi.”
“Ohhh, sip sip.” kataku baru mengerti.
Semua melesat bersama.
Ada yang aneh saat aku melihat Farel berboncengan dengan Marsha. Tapi aku tidak berhak marah. Sungguh, ini aneh. Membuatku bingung.
Saat bonceng tiga, aku mencoba bertanya dengan Rina dan Sofi.
“Aku boleh ngomong?”
“Ada apa? Kamu kaya sama siapa aja. Ceritalah.” ucap Rina.
“Kenapa… ada yang aneh ya waktu aku lihat Farel dekat sama cewe lain?”
“Waduh. Kamu serius Lun?” kaget Rina diselingi tawa.
“Anehnya kaya gimana Lun?” tanya Sofi.
“Ngga ngerti. Ada perasaan kesal. Masa aku jatuh cinta sama Farel?”
“Ngga salah kan?” kata Rina.
“Tapi Rin, dulu kan aku mengabaikannya dan sekarang kan Farel dekat sama Farah.”
“Iyaya, dia udah deket banget sama Farah.”
“Aku mohon kalian jangan cerita tentang ini sama Marsha. Aku akan menceritkan semuanya kalau memang benar ini cinta.”
Aku memikirkan semua ini di rumah. Sikapnya dia benar-benar aneh. Tingkahnya harus membuatku berpikir keras untuk mengartikannya sendiri. Sendirian. Aku masih bertanya-tanya pada hatiku. Jika memang ini cinta, aku tidak mungkin mampu menghindar. Namun, mengapa harus rasa ini ada sekarang? Kenapa tidak dulu saat dia menyatakan perasaannya. Saat dia menaruh rasa padaku. Aku benci jika ini cinta. Mengapa? Pasti cintaku akan bertepuk sebelah tangan.
Bertepuk sebelah tangan? Ya!
Dulu, aku menolaknya. Mungkinkah dalam waktu enam bulan, rasa cinta itu masih ada? Memang, tidak ada yang tidak mungkin. Tapi kalau benar Farel sudah tidak memiliki rasa seperti dulu, bagaimana? Menangis lagi kan aku. Aku benci harus memiliki rasa ini.
Aku akan memastikan yang aku rasakan besok, di sekolah. Aku dan Sofi duduk di barisan ketiga dari pintu dan duduk di bangku paling depan. Di meja yang sederet terdapat Farel di situ. Artinya, tegakku sejajar dengan Farel. Mata ini sering berpaling ke arah dia, tanpa ada yang menyadari.
Aku masih bertanya-tanya tentang apa yang aku rasakan. Aku masih belum bisa menyimpulkan perasaan ini. Yang jelas, teman-temanku aneh setiap melihatku bertingkah tak karuan. Membanting buku, pulpen, tiba-tiba meremas tangan siapapun yang berada di dekatku, mencubitnya. Mereka tidak paham maksudku. Hanya aku.
Aku tersiksa dengan perasaan ini. Aku tidak yakin Farel masih memiliki rasa seperti dulu. Menurutku, aku jahat. Dulu, saat Farel menyatakan cinta padaku, aku menolaknya. Sekarang, semua perasaan itu berbalik padaku. Tapi, apa semua ini salahku? Apa salah jika perasaan itu baru muncul sekarang?
Aku masih emosi dalam diam. Pikiran yang tak tentu arah. Aku tidak bisa mengartikan yang aku rasakan. Tidak bisa mencerna dengan baik apa yang kupikirkan. Perasaan ini benar-benar membuatku gila. Rasanya ingin meledak. Aku tidak mampu melihat Farel dekat dengan teman perempuan lain. Itu perih bagiku. Apa yang terjadi denganku? Itu yang kurasa. Aku tidak mengerti. Cemburu pun bukan hak ku.
Di sela waktu kosong saat pelajaran matematika, aku mencoba mencuri waktu dengan bertanya tentang perasaan pada Pa Rudi.
“Gimana kalau ada wanita yang mencintai  Bapak, tapi Bapak tidak mencintainya. Namun seiring waktu berjalan, perasaan cinta itu timbul? Apakah wanita itu masih punya cinta? Bisakah perasaan itu menyatu?”
“Susah..”
Jawaban Pak Rudi yang masih berusia 23 tahun itu membuatku harus menyerah pada perasaan ini. Aku menangis.
Saat istirahat, salah satu temanku seperti punya sinyal tentang sikapku, sampai ia bertanya padaku.
“Kamu menyukai siapa Lun?”
“Hem…….” aku bergumam.
“Farhan?”
Aku menggeleng.
“Farel?”
Aku terdiam.
“Farel??” ia meyakinkan tanyanya.
Senyumku sedikit ku simpulkan.
“Kayanya susah deh Lun, dia udah deket banget sama Farah.”
Jawaban singkat itu mampu membuat guncangan dalam hatiku. Apa aku harus menyerah terhadap perasaanku? Haruskah aku kembali menangis? Sungguh, aku lelah berteman dengan air mata hanya karena cinta.
Cinta? Aku simpulkan perasaan ini cinta.
Aku masih menutupi perasaan ini dari Marsha. Tapi dia temanku, aku tidak bisa menutupi perasaanku padanya. Dia lah yang selalu menasihatiku dengan kata-katanya. Bagaimana aku meminta saran, kalau masalahku saja tidak kuceritakan. Aku tidak memulai ceritaku seperti aku memulai cerita pada Rina dan Sofi.
Hari Sabtu, sepulang sekolah.
Pelajaran bahasa Inggris masih membahas materi lalu dan Sofi membantu kelompok lain yang kekurangan anggota. Hari ini, aku dan beberapa temanku yang lain termasuk Farel dan Farah akan menjenguk teman kami yang sakit, Desi.
Aku terdiam di sudut ruangan. Keadaan kelas sudah cukup sepi, hanya ada beberapa anggota kelompok yang tak mempedulikan kegalauanku.
Lalu Marsha menghampiriku.
“Sha, aku mau ngomong sesuatu.”
“Ya? Ada apa Lun?”
“Aku lagi jatuh cinta sama seseorang.”
“Iya? Siapa?!” tanyanya begitu antusias.
“Tebak…”
“Farhan?”
Aku menggeleng.
“Rayyi?”
Aku menggeleng.
“Vino?”
Aku menggeleng lagi.
“Siapa? Farel?”
Aku diam.
“Kok pas aku bilang Farel, kamu diam?”
“Iya, Luna suka sama Farel.” Sofi angkat bicara.
“Wah, pasti jadian!” Marsha begitu yakin dengan kata-katanya.
“Ta—“
JEBRET!!! Suara pintu dibuka kencang oleh Farel, sampai aku pun mau bicara jadi tertahan.
“Hey, jadi ngga ke rumah Desi?” tanyanya.
“Jadi, itu lagi nungguin Sofi ngebantu kelompok lain dulu.” jawabku.
Wajah Rina, Marsha, dan Sofi menahan senyum.
“Eh, Lun, mau berangkat jam berapa? Cepet, udah siang.” Farel bicara di hadapan Sofi sambil mengetik-ngetik sesuatu di ponselnya.
“Lun? Aku Sofi…..” ucap Sofi agak keras bicaranya.
“Eh iya, Sofi maksudku. Mau berangkat jam berapa?”
“Sampai ini selesai, sebentar lagi.” katanya.
Aku melihat itu. Cukup aneh. Farel berdiri di sampingku. Aku tidak mau dia berada lebih dekat lagi, aku tidak mau dia mendengar degupan jantungku. Berkali-kali dia mengajakku ngobrol. Aku masih menanggapi itu dengan berusaha biasa saja. Walau sebenarnya tidak biasa saja.
“Lunaaa, pinjem cassan BB. Lun, pinjem cassan BB. Lunaaaa!!”
“Apaansih??? Luna di situ. Aku Sofi.” jawab Sofi yang sedang membantu kelompok lain.
“Kamu ngeledek aku, Rel? Aku kan ngga pakai BB.” kataku.
“Eh iya maaf, salah manggil.” katanya dengan senyum manisnya.
Beberapa kali dia salah memanggil. Membuatku bertanya-tanya lagi.
Selesai itu, kami bertujuh melesat ke rumah Desi. Seperti biasa, aku sudah sering menjadi sasaran bonceng tiga. Itulah risikoku karena tidak punya motor. Farel berbonceng dengan Farah. Mengapa? Farel adalah ketua kelas, sedangkan Farah adalah bendahara. Jadi minimal, mereka wajib ikut.
Di rumah Desi, banyak sekali pemandangan tidak enak. Suasana di situ memaksaku untuk melihat Farel berfoto-foto dengan Farah. Aku hanya bisa menunduk. Keadaan ini sangat menyakitkan. Setelah berfoto, Farah langsung menjadikan foto itu sebagai display picture bbm. Siapa yang tidak ngira mereka pacaran, kalau setiap memasang DP, mereka selalu berdua.
Aku sama sekali tidak mau melihat pemandangan itu. Farel dan Farah izin untuk pulang lebih dulu. Sofi bilang, bahwa Farel beberapa kali menatapku. Mungkinkah dia merasakan yang aku rasakan? Apakah dia tau apa yang ada dalam hatiku?
“Cewe ngga salah kok untuk memulai.” Marsha bicara begitu padaku.
Tapi bagaimana mulainya?
“Aku harus memulai seperti apa, Sha?”
“Ya kamu bisa aja sms dia, bilang makasih untuk hari ini misalnya”
“Untuk hari ini? Untuk apa?” tanyaku.
“Sudah mau berpartisipasi menjenguk teman kita”
“Teman kita? Desi kan juga temannya”
“Lun, plis deh, jangan dibikin ribet. Sms aja kaya yang aku bilang barusan.”
“Oh, oke siap. Aku coba.”
Sorenya, aku merangkai kata-kata untuk dijadikan kalimat, lalu kukirim pesan itu ke nomornya.
“Aduh, gimana ya..” ucapku sendiri yang jadi bingung.
To: Farel
Farel, makasih ya untuk partisipasinya menjenguk teman kita yang sakit.
“Ahhh, engga engga.” aku menghapus ketikkanku tadi dan merubahnya.
To: Farel
Makasih untuk hari ini, Farel, Farah, Rina, Sofi, Marsha, dan Dama yang sudah mau meluangkan waktunya untuk menjenguk Desi.
“Kok ada nama Farah nya? Aku kan ngga punya nomer telponnya. Gimana nanti kalo Farel nanya langsung sama Farah? Ketahuan bohong aku. Apus apus apuss.”
To: Farel
Farel, makasih ya sudah mau ikut partisipasinya menjenguk Desi. Sampaikan pesan ini ke Farah ya, karena aku ngga punya nomer hapenya…
“Begini sajalah.” aku menekan tombol send.
Satu menit kumenunggu balasan pesan itu. Tidak ada balasan.
Lima menit menunggu, tidak ada juga. Sampai setiap menit aku mengecek hape, tidak ada satu pun sms darinya. Aku hampir menyerah.
Beberapa jam kemudian.
“Yaudahlah, mungkin memang ngga bakalan di bales.” setelah itu aku tidur.
Besok paginya, aku bangun sekitar jam tujuh pagi, karena hari ini hari Minggu, aku pun bebas bangun jam berapa saja tanpa harus ada suara hape berdering membangunkanku. Aku melihat ponselku. Ada satu pesan yang sampai di nomerku sekitar jam lima pagi.
“Farel??!” aku langsung melotot melihat nama itu tertera di ponselku.
From: Farel
Iya sama-sama juga ya Lun
J
Dengan cepat dan hati-hati aku membalas pesan singkat itu.
To: Farel
Oke Rel
J
Lagi-lagi aku harus menunggu balasan sms-nya sekitar, hem….. empat puluh lima menit.
From: Farel
Hehehehe, iya. Baru bangun ya Lun?
Kurang dari sepuluh detik aku membalasnya.
To: Farel
Dari tadi jam 7 ko..
Dua menit kemudian.
From: Farel
Oh, udah makan Lun?
PLAKKK!!!
Angin apa yang membuat Farel seperti ini? Padahal sebelumnya, dia tidak pernah menanyakan ini padaku. Sungguh, aku deg-degan.
To: Farel
Ini lagi makan ko. Kamu sudah makan?
Lima belas menit kemudian….
From: Farel
Sudah. Kamu lagi ngapain?
Mengetik..
To: Farel
Aku baru selesai makan. Kamu sendiri?
Dua menit kemudian..
From: Farel
Aku lagi main games aja.
Mengetik..
To: Farel
Oh.. yasudah, lanjutin aja main gamesnya.
Setelah itu pesan singkatku tidak dibalas lagi. Percakapanku selesai di jam sepuluh pagi. Padahal, aku ingin lama sms-an dengannya. Bagiku, ia membalas pesan singkatku saja sudah sangat menyenangkan. Aku rela menunggu menit demi menit, demi membaca balasan pesan singkatnya.
Besoknya di sekolah, aku masih biasa saja, menutupi perasaan, dan menyembunyikan kekesalan harus melihat dia dekat dengan yang lain. Di pelajaran terakhir, keadaan kelas tidak selayaknya ada guru, padahal pelajaran agama islam sedang berlangsung. Namun, gurunya pun terlewat cuek, hingga membiarkan siswa yang lain keliaran keluar tempat duduknya.
Aku menangis, menunduk, sendiri. Ketiga temanku sedang menghafalkan surat di depan kelas. Setelah menghapus air mataku, aku menghampiri teman-temanku.
“Kamu habis nangis?” tanya Marsha.
“Hehehehe, ngga papa kok. Cuma masih galau aja.”
“Biar aku tanya ke orangnya langsung.”
“Sha, jangan.”
“Aku tau harus gimana Lun. Kamu tenang saja.”
Marsha itu kadang nekat. Tapi, aku percayakan pada dia. Menunggu Marsha kembali duduk di depanku seperti tadi, benar-benar membuatku gelisah setengah hidup. Beberapa menit kemudian, Marsha datang.
“Dia bilang, dia akan mencoba menjalaninya.” ucap Marsha sambil tersenyum.
“Kamu bertanya apa padanya?”
“Ngga usah kamu pikirkan pertanyaan jenis apa yang aku tanyakan padanya, menurutku dia masih menyukaimu.”
“Sebesar apa keyakinanmu terhadap itu?” tanyaku dengan mata yang sayu.
“Lebih besar dari bumi.” jawab Marsha asal.
“Jangan sok puitis, Sha…” komentar dari Rina.
“Jadi, aku harus bersikap bagaimana?” bingungku.
“Bersikap yang seharusnya. Ingat kataku, memulai itu tidak jadi masalah.”
“Aku dengar saranmu, Sha. Terimakasih untuk semuanya.”
“Sama-sama ya Lun. Aku mendukungmu…”
Aku senang teman-temanku mendukungku. Aku berusaha untuk memulai, namun tidak berlebihan. Dengan sms iseng saja, aku jadi sms-an dengan Farel. Sedikit kaku dan entah apa yang kami bicarakan. Benar-benar tidak penting, tapi bagi orang yang sedang jatuh cinta sepertiku, penting atau tidak percakapan itu, tidak akan aku akhiri selama masih bisa membalas pesan singkat itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]