Complicated [Empat - Love You]



Rabu ini, materi pelajaran seni budaya adalah melukis topeng. Aku membantu menghias topeng Sofi dengan menempelkan pernak-pernik berbentuk bunga berwarna gold ke topengnya. Pernak-pernik itu terpampar di meja, Farel berdiri di sebelahku. Tanpa sengaja, kami mengambil satu pernak-pernik yang sama. Tak ada yang bisa menghalangi ketika jariku dan jarinya bersentuhan.
Aku ingat saat ingin salat zuhur tadi, ia bertanya padaku.
“Nanti pulang sama siapa?”
“Aku ngga langsung pulang, tapi makan-makan dulu. Ditraktir Desi, soalnya kemarin dia ulang tahun.”
Percakapanku tadi siang hanya sampai situ, karena kami sudah sampai Mushola.
Sepulang sekolah…
“Aku naik motor sama siapa?”
Beginilah nasib yang tidak punya motor, sama siapapun jadi.
“Desi kan sama Dama, seandainya bonceng tiga, kami bertiga, kamu sama Farel aja, ajak dia juga.” usul Marsha.
“Jahat ya aku ditumbalin. Kenapa ngga kamu aja Sha yang sama Farel?” kataku.
“Mau dekat ngga?”
“Mau.”
“Nah, yaudah, ikutin aja.”
Akhirnya, aku diantar Farel sampai tempat makan, tapi Desi mengajak Farel juga. Awalnya Farel menghindar, malu-malu, dan menjauh dariku. Dia lebih memilih memainkan hapenya, dari pada memilih menu makanan dan minuman yang akan dibayari Desi. Padahal lebih asik memilih menu kan?
“Rel, di sini aja, jauh-jauh banget duduknya.” ucapku.
“Iya, nanti aja.” singkatnya.
Saat makanan datang, dia pindah duduk di depanku. Memakan makanan tanpa melihatku sama sekali.
“Di sekolah berisik banget, di sini aja, diem.” ledek Sofi.
“Tau nih, ngobrol dong.” kata Marsha.
Mukanya sudah mirip tomat segar yang baru dicuci—merah.
“Kamu mau mengantarku sampai rumah?”
“Yasudah.”
“Rel, anterin sampai rumah loh!” ucap Marsha.
Farel hanya tersenyum.
Aku diantar Farel sampai rumah. Lumayan banyak ngobrol saat di motor. Walaupun sedikit aneh menurutku. Mengapa ia mengajakku ngobrol tentang taman duta yang sering banjir? Aneh kan.
Itu adalah kali pertama aku pulang diantar cowo sampai rumah. Nekat, mungkin. Tapi, apa salahnya jika hanya mengantar pulang? Tidak dosa kan? Aku tak menawarkannya mampir, aku masih takut membawa teman cowo ke rumah. Aku akan membawanya, nanti.
Sejak pertama diantar pulang, keesokannya aku jadi selalu pulang bareng dengan Farel. Ini benar-benar tidak kusangka, benar-benar terjadi di luar logikaku.
Hari ini aku diantar olehnya lagi, aku sengaja tidak memintanya untuk mengantarku sampai depan rumah, karena aku yakin, di rumahku pasti ramai. Jadi, aku memutuskan untuk turun di depan toko yang berada tak jauh dari rumahku.
Baru saja aku turun dan Farel bersiap memutar motornya, Oom ku lewat dengan motornya, melihatku agak sinis dengan tawa ledekannya.
‘Jadi apa aku sesampinya di rumah?’ benakku.
“Kamu kenapa?”
“Ngga papa, tapi tadi Oom ku lewat, habislah aku diledekin nanti.”
“Ngga akan dimarahi kok, percaya deh.”
Aku tersenyum untuknya.
Setelah itu, Farel pulang dan aku pun berjalan menuju rumahku. Ternyata mamahku ada di rumah. Kok? Harusnya kan dia bekerja di kantornya. Entahlah, aku tidak mau ikut pusing hanya karena memikirkan mamahku yang sudah pulang kerja jam segini.
Aku langsung merogoh ponsel ku dan segera menghubungi Farel. Memastikan apakah dia sudah sampai rumah. Namun tetap saja, pesan singkatku lama ia balas. Sudah biasa dan akan terbiasa.
Beberapa hari kemudian, ia sering salah mengetik namaku di sms. Ia selalu memanggilku dengan sebutan Sayang, padahal kita belum terikat apa-apa. Sudahlah, aku tau ini semacam kode.
Senin pagi. Perasaanku benar-benar ceria. Berangkat sekolah semangat. Yap, karena dia. Dia yang membuatku semangat untuk pergi ke sekolah. Beberapa hari belakangan aku selalu diantar pulang dengannya. Seperti mimpi, tapi ini nyata. Selama di motor, kami ngobrol. Tiba-tiba dia bicara sesuatu….
“Lun, aku mau ngomong sesuatu.”
“Ngomong apa? Ngomong aja.”
“Kalau aku suka sama kamu, gimana?”
Senyumku mengembang di belakang punggungnya.
“Ya ngga papa. Perasaan suka itu wajar kan?”
“Iya, aku menyukaimu.”
“Kenapa bisa?”
“Karena cinta.”
“Tapikan aku aneh.”
“Aku juga aneh.”
Aku tak tau harus bicara apa lagi.
“Lun, kamu mau ngga jadi pacarkuku?”
Ucapannnya sulit ku dengar, hingga aku harus mendekatkan kepalaku lebih dekat lagi.
“Apa? Kamu bicara apa?”
“Kamu mau ngga jadi pacarku?”
“Hemmm, iya, aku mau.”
“Hah? Serius?”
“Iya.”
“Serius Lun?”
“Iya aku serius.”
“Makasih ya Lun, aku juga mau jadi pacarmu.”
Aku masih menyembunyikan senyumku dari kaca spion motornya. Sungguh, hari yang tak akan kulupakan. 4 Juni, tanggal yang setiap bulan akan kuingat dan berdoa untuk ada tanggal itu di bulan selanjutnya.
Masih sangat canggung dan kaku untuk memanggil Sayang. Sesampainya di rumah, aku mengirim pesan singkat padanya. Masih tetap. Membalasnya bermenit-menit. Aku sabar. Sekarang dia kekasihku. Kami nggak terlalu banyak sms-an, mengasih kabar, saling terbuka, tidak. Kami lebih asik bertemu. Namun, terkadang bertemu pun seperti teman biasa.
Beberapa hari berikutnya.
“Aku pinjam ponselmu.” ucapku.
“Sebentar.” ia mengutak-atik ponselnya. Entah apa yang ia delete.
Aku berusaha berpikir positif. Tak lama, ia memberikan ponselnya. Dia pergi salat Jumat dan aku menunggunya di depan kelasku bersama tiga temanku, namun tak ada Marsha, melainkan Desi.
Blackberry. Aku tidak terlalu paham cara menggunakan ponsel jenis ini. Aku hanya membuka BBM, galeri, pesan, dan lagu. Ya, hanya sebatas itu. Namun, BBM nya kosong. Mungkin itu yang ia delete. Di pesan, ada aku dan beberapa temannya, mungkin saudaranya. Di galeri foto, ada beberapa fotoku. Aku tersenyum melihat itu. Tak lama ia datang dan kami pulang bersama. Hanya mengobrol seperlunya dan setidak nyambungnya. Kami memang aneh.
Hari demi hari aku lalui dengannya. Aku tidak nyaman dengan perasaan yang terus-menerus curiga. Aku tidak bisa percaya sepenuhnya. Sms ku jarang dibalas. Mengucapkan selamat pagi pun jarang dan hampir setiap hari aku yang selalu memulai sms. Mengapa? Aku pun tidak mengerti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]