Complicated [Prolog]
“Aku menyukaimu. Maukah
jadi kekasihku?”
Kalimat yang ku terima
pagi itu benar-benar membuatku kaget. Aku tak pernah mengira, secepat itu Farel
menyatakan perasaannya. Harus bagaimana raut wajahku sesampainya di sekolah
nanti? Aku dan Farel satu kelas. Pasti akan terasa canggung setelah Farel
menyatakan perasaannya.
Sebelum Farel
menyatakan semuanya, aku dan dia hanyalah sebatas teman biasa. Mengerjakan tugas
kelompok di kelas, lampu yang dipadamkan cukup menenggelamkanku dan dia.
Memang, tidak hanya berdua. Namun, keadaan berubah ketika salah satu anggota
kelompok mereka keluar kelas.
Dalam perjalanan menuju
sekolah, ku balas pesan singkat itu.
Aku
menghargai perasaanmu, Rel. Tapi maaf, kita hanya bisa berteman, tidak lebih.
Entah apa yang ku
pikirkan. Aku sudah menyakiti perasaan seseorang. Tapi, bukankah lebih sakit
menerima tanpa perasaan cinta sedikitpun?
Sesampainya di sekolah,
benar saja. Berpapasan dengan Farel seperti orang yang belum mengenal satu sama
lain. Tapi aku berusaha tak menanggapi hal itu. Beberapa hari berikutnya, aku
benar-benar merasakan perbedaan sikap darinya.
Namanya Farel. Tinggi,
hitam manis, dan sedikit penuh canda. Pemilik senyum yang manis dan begitu
baik, namun semua berubah saat semuanya terutarakan. Mungkin sekarang dia
membenciku karena aku tak membalas perasaannya.
Sebenarnya aku sudah
lebih dulu menaruh kagum pada seseorang sebelum Farel menyatakan perasaannya.
Farhan, aku mengagumi cowok putih berbehel itu. Menurutku, cowok berbehel
memiliki karisma tersendiri.
Aku ingat, saat
pelajaran TIK sedang berlangsung setelah jam upacara selesai, dan saat itu
seluruh siswa kelas satu masih mengenakan seragam putih-putih—karena belum
menerima seragam formal yang seharusnya dikenakan setiap hari Senin dan Rabu.
Farhan yang duduk di sebelahku
meminta bantuanku untuk menyelesaikan ketertinggalannya. Aku pun membantunya
dengan senang hati. Mataku dan matanya bertemu dalam satu suasana. Berkali-kali
senyuman terlukis di mulut indahnya. Mataku jatuh tepat di kelopak matanya. Indah
bukan? Rasanya, sungguh, tak ingin cepat berakhir semua ini.
Sadarakah? Seseorang
yang duduk di depanku. Hanya terhalang komputer. Entah apa yang ia pikir dan
rasakan saat melihatku dan Farhan saling berbincang. Aku simpulkan itu sakit. Namun
apa peduliku saat itu? Farel berubah hanya karena aku tak bisa menerimanya.
Komentar
Posting Komentar