Complicated [Satu - Numb]



Cukup lama tak ada perbincangan dengan Farel, hingga pada akhirnya aku dan dia disatukan dalam kelompok pelajaran sosiologi. Aku benar-benar tidak menyangka. Mungkin Farel masih menyimpan kekesalan, tapi aku berusaha untuk berpikir positif, walau sulit bagiku.
‘Ini cuma kelompok sementara. Ngga akan ada apa-apa Lun.’ batinku.
Karena Pak Setyana menyuruh tiap kelompok untuk memasukan data word yang sudah dibuat ke dalam CD, di-burning tepatnya. Farel meminta tolong padaku untuk menitipkan tugasnya padaku dan mem-burning dalam satu keping CD yang sudah dibeli.
Saat aku sampai di salah satu rental bersama satu temanku dan aku memberikan flashdisk milik Farel kepada penjaga rental itu untuk meng-copy tugas Farel ke dalam CD. Namun penjaga itu bilang, bahwa tugas milik Farel tidak terbaca dan tidak terbuka. Otomatis tugas itu tidak bisa di-copy ke dalam CD. Aku benar-benar merasa bersalah.
Bagaimana aku memberitahu Farel? Nomor teleponnya saja aku tidak punya. Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah berhubungan lagi dengannya.
Dengan niat baik, aku bertanya pada temanku yang cukup dekat dengan Farel. Setelah dapat nomer teleponnya, aku mengirim pesan singkat padanya.
To: Farel
Rel, tugas kamu ngga bisa dicopy ke cd, ngga kebaca. Maaf ya?
Beberapa menit kemudian, Farel membalas pesan singkatku.
From: Farel
Oke, ngga papa Lun.
Sesingkat itu Farel membalas pesan singkatku.
Aku mengaggap ia masih digeluti kekesalannya dulu. Membahas tugas padaku saja ia begitu. Besoknya, aku dan temanku menunggunya di depan kelas. Aku meminta maaf ketika ia datang.
“Farel, maaf banget ya, tugasmu bener-bener ngga kebaca, beda format katanya.”
“Iya udah, ngga papa kok.”
“Terus tugas kamu gimana?”
“Mungkin aku minta keringanan sama Pak Set untuk dikumpulin besok.”
“Aku jadi ngga enak sama kamu.”
“Udah, ngga papa kok. Yaudah, makasih ya.”
Perbincangan itu terjadi tanpa kuduga. Padahal, sebelumnya aku tak pernah bicara apapun kalau itu tidak penting sama sekali. Merasakan sms-an dengannya, walau cuma memberitahu tugasnya tidak bisa terbuka, itu cukup membuatku berpikir. Akankah dia memulai percakapan singkat di sms lagi, seperti dulu? Akankah ada pertanyaan ‘Siapa yang menjemputmu sepulang sekolah?’ lagi? Akankah ada pertanyaan ‘Lagi ngapain lun?’ ?
Kenapa aku jadi menunggu pertanyaan itu?
Dulu, dia sering bertanya begitu padaku. Aku tanggapi dengan candaan. Setelah semuanya terutarakan bahwa dia menyukaiku; semua berubah.
Dulu, aku pernah meminjam ponselnya. Aku membuka galeri ponselnya, tapi kenapa ada fotoku? Foto di mana aku sedang mengerutkan dahi dengan ekspresi wajah kaget? Memalukan.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata teman dekatku sempat menjalin komunikasi lewat sms. Siang ini, Rina menceritakan obrolan mereka lewat pesan singkat beberapa minggu lalu.
“Sebenernya aku ngga boleh cerita sama Farel, tapi aku ngga bisa nyembunyiin apa-apa, soalnya ini tentang kamu juga.”
“Emangnya Farel cerita apa aja sama kamu?”
“Farel sayang banget sama kamu Lun.”
“Tapi Rin, buat punya perasaan yang sama itu susah. Sekarang-sekarang ini aku bener-bener takut buat jatuh cinta.”
“Paham Lun, seandainya aku jadi kamu, ngga mungkin masa lalu aneh itu bisa cepet hilang, dan perasaan Farel ke kamu, tanggapan kamu ke Farel, itu hak kamu.”
Mungkin sekarang Farel sudah terlanjur membenciku. Aku pahami hatinya. Aku pun tidak terlalu mengurusi. Kubiarkan Farel bersenang-senang dengan perasaannya, kekesalannya padaku, kekecewaannya padaku. Tapi, yang namanya perasaan tidak bisa dipaksakan.
Aku menjalani keseharianku bersama ketiga teman dekatku. Tanpa cinta, aku masih bisa tersenyum karena mereka. Marsha, Rina, dan Sofi. Mereka adalah ketiga teman dekatku semenjak aku sekolah di sini.
Dari kami berempat, mungkin aku yang jauh dari status pacaran. Marsha. Ia memiliki kekasih yang selalu ada untuknya, menemani hari-harinya, menciptakan tawa dan air mata di setiap detiknya. Sedangkan Rina, dimulai dari empat hari yang lalu. Dia dan Adit terikat dalam satu hubungan dengan beda keyakinan. Perbedaan bisa saja indah untuk mereka yang menjalani dengan kekuatan perasaan. Kalau Sofi, dia memang tidak punya kekasih. Tapi, mantan kekasih yang selalu diceritakannya adalah salah satu bukti kalau Sofi masih bisa merasakan cinta.
Namun aku juga manusia biasa yang bisa saja bosan dan iri terhadap teman-temanku yang selalu menceritakan tentang cinta. Untuk saat ini, aku hanya merasakan cinta dari keluarga dan teman-temanku. Tapi, bagaimana dengan nasib hatiku? Menciptakan cinta saja aku takut.
Masa lalu yang masih menghantui benar-benar membuat keterpurukan yang panjang, bahkan sampai saat ini. Masa lalu yang konyol dan tidak masuk akal masih sesekali teringat. Seandainya aku tidak pernah menanggapinya.
Renunganku siang ini menggoreskan tangisan lagi. Membuatku bertanya-tanya soal perasaan.
“Apa aku punya perasaan? Apa aku punya hati?” tanyaku.
“Kamu punya perasaan, kamu punya hati, Luna.” jawab Marsha, membelai rambutku.
“Tapi kenapa ngga bisa ngerasain cinta? Itu wajar kan buat remaja seumuran kita? Apa aku bukan manusia normal?” tanyaku masih dalam isak.
“Lun, kamu itu cuma masih takut buat jatuh cinta, masa lalu itu masih ngebuat kamu ragu sama semuanya. Tapi kamu harus yakin, Allah pasti punya yang indah buat kamu, tapi nanti, ngga sekarang.” jelas Marsha yang sedikit menenangkanku.
“Aku kesepian, Sha.”
“Kamu punya kita bertiga, Luna.” ucap Sofi.
Cukup tenang setelah bercerita. Rina yang tanpa komentar apa-apa, langsung menciptakan topik pembicaraan baru, bukan sedih-sedihan seperti yang barusan kuceritakan.
“Lun, mending kita ngomongin planning liburan nanti.”
“Liburan ke mana?” tanya Sofi.
“Dufan, seru kali ya ke Dufan sama kalian.” ucapku sambil menghapus sisa air mata di pipi.
“Kok kita sepikiran ya Lun hahahahahaha.” ucap Rina.
“Kaya kita punya uang aja” ucap Marsha, datar.
“Hemm, bisa aja kita nabung. Jadi ngga perlu minta uang sama orangtua.” usul Sofi.
“Aku setuju sama Sofi.” ucapku.
“Sekarang tiket masuk Dufan berapa sih?” tanya Marsha.
“Dua ratus ribu kalo ngga salah.” jawabku.
“Ayo ke sanaaaaa.” semangat Sofi dengan rencana Rina.
“Ehh, tapi aku punya uang darimana dua ratus ribu.” gumam Rina.
“Rin, kan kita nabung sama-sama. Jadi ngga ada yang minta uang sama orangtua. Gimana?” ucap Sofi.
“Ehh tunggu. Ini beneran nih?” tanya Marsha sedikit ragu.
Luna, Rina, dan Sofi malah main lirik-lirikan tanpa menjawab pertanyaan Marsha. Kemudian bel masuk berbunyi.
Baru saja aku sampai di rumah, meng-charge hape, dan mandi sebentar lalu nonton tv. Saat aku melihat ponselku, ada satu pesan singkat sejak 15 menit yang lalu. Kubuka pesan singkat itu, dari Rina.
From: Rina
Lunaaaaaaaa, mamaku dapet kupon diskon ke Dufan dalam rangka hari bumi, diskon sampai tujuh puluh persen. Kuponnya bisa dicopy…
Kalau aku melihat raut wajah Rina sekarang, aku yakin, dengan semangat 45 dia mengirim pesan singkat itu padaku. Tanpa basa-basi, aku hanya menyuruhnya untuk membawa kupon itu besok ke sekolah.
Dan keesokan harinya, hari ini. Kami berempat langsung membicarakan ini di toilet lantai tiga.
“Yaudahlah, jadi deh ini ke Dufan. Asiiiiiiikkk.” ucap Marsha.
“Kemarin aja, kaya ogah-ogahan gitu.” ledek Rina.
“Ya kan kaya ngga mungkin aja gitu, hehehehe.” cengir Marsha.
“Oke, mulai besok kita nabung. Di sini ditulis diskon tujuh puluh persen. Berarti kita cuma bayar HTM sembilan puluh lima ribu, dan kita punya waktu sekitar satu bulan untuk nabung.” ucap Sofi.
“Aku perhitungkan semuanya ya?”
“Iya, Lun. Nanti biar aku yang sisihkan uangnya.” kata Sofi.
“Bentar, kita cuma berempat?” tanya Marsha.
“Eh iya, masa kita berempat doang?” aku jadi ikutan bingung.
“Yahhh masa ngga jadi cuma gara-gara berempat.” keluh Marsha yang tidak mau ini batal.
Kami berempat diam sejenak.
“Aku tau!” ucap Marsha.
Setauku, Marsha selalu punya kumpulan ide cemerlang.
“Aku ajak Esa sama Bang Wildan. Gimana?” Inka senyum-senyum.
“Cerdas! Hahahahahaha.” ucap Sofi.
“Kalau Marsha sama Esa, Sofi sama Rina, berarti aku sama Bang Wildan dong?”
“Yaiyalah Luna.” kata Marsha.
“Yaudah ngga papa, yang penting liburan.”
Setelah perincian dibuat, kita semua harus menabung minimal dapat dua ratus ribu. Sejak itu, kami tak pernah bolos menabung. Aku yang memegang buku tabungan benar-benar terkesima melihat tabel tabungan tidak pernah kosong. Setiap hari terisi. Dari kami berempat, kalau punya uang lebih, langsung ditabungi, berapapun itu. Rina yang biasanya menabung lima ribu, hari ini menabung lima puluh ribu.
“Gitu dong…” ucapku.
“Baru gajian donggg, heheheheh.”
“Nih, aku juga nabung segitu.” ucap Marsha.
“Bagus, bagus, aku nabung dua puluh aja deh, udah aku perhitungin kok, hehehe.”
“Nih.” Sofi memberi selembar seratus ribu. “Takut kepake, jadi aku tabungin semua aja.”
Dari hari ke hari, mereka benar-benar rajin menabung.
Uang terkumpul hampir sesuai target. Hanya tinggal mencari tanggal untuk pergi ke Dufan.
“Kalau bisa hari biasa aja ya, masalahnya kalau weekend takut ramai.” usulku.
“Gimana kalau tanggal 13?” usul Sofi.
“Hari apa tuh?”
“Jumat.”
“Yahhh, abangku sama Esa nggak salat Jumat dong nanti.”
“Iyaya…. Hari apa ya.” usul Rina.
“Senin aja, tanggal 16.” usul Luna.
“Tunggu dulu deh, takutnya abangku hari Senin ujian.” ucap Marsha.
Pemilihan tanggal dihentikan dulu. Menunggu kepastian dari Bang Wildan, apakah dia ujian atau tidak pada tanggal 16. Kalau tidak ujian, kami berangkat hari itu, tapi kalau ujian, kami terpaksa mencari tanggal weekday lainnya.
Keesokannya.
“Abangku hari Senin ujian.”
“Hmmm, terus gimana ini?” tanya Rina yang tidak mau semua ini batal cuma karena tanggal.
“Kata Esa, ngga mungkin terlalu ramai kalau kita pergi hari Sabtu. Lagi pula, anak kelas 3 nya juga menjelang UN.”
Aku terdiam. Mereka seperti menungguku bicara sesuatu.
“Esa mungkin benar. Yaudah, kita berangkat tenggal 14, hari Sabtu.”
“Kita kan pergi naik motor. Kita harus lewat jalan mana?” tanya Rina.
“Masalah harus lewat mana, biar nanti aku yang tanya sama Kakek.”
Hari Minggu, sepekan sebelum kami berangkat, aku menanyakannya pada Kakek ku.
“Kamu lewat Jalan Raya Bogor, lurus saja terus sampai mentok PGC. Nanti di situ akan ada banyak jalan, kamu ambil kiri, jangan ikut lampu merah. Jalan Sartika Dewi, kamu lewat jalan itu.” jelas Kakek.
“Setelah itu, lewat mana lagi?”
“Lurus terus, jangan belok-belok, nanti kamu sampai di Ancolnya, kalau sudah Mall Mangga Dua, itu sudah dekat.”
“Hmmmm.. oke oke.”
“Nanti ada pertigaan, ke kanan arah PRJ, tapi kamu lurus saja.”
“Iya Kek.. Makasih ya Kek..”
Keesokan harinya, di sekolah.
Aku menjelaskan pada ketiga temanku seperti yang Kakek jelaskan padaku. Mereka paham itu, dan Marsha akan menyampaikan ke Esa dan Bang Wildan.
Dan saat menjelang tanggal 14.
“Kita berangkat pagi-pagi.” kata Marsha.
“Aku bakalan bangun jam setengah lima pagi, Sha.” kataku.
“Kamu mau bersihin lantai Dufan dulu Lun?” tanya Marsha.
“Kalau perlu aku bersihin laut di Ancol juga deh Sha.”
“Hahahahahahahahaah.”
“Kita berangkat jam berapa lusa?”
“Dari rumah jam enam pagi, bisa? Biar kita berangkat jam tujuh dari rumah Marsha. Supaya ngga kena macet.” kataku.
“Aku usahakan ya.” kata Rina.
Uang sudah terkumpul delapan ratus ribu. Uang Esa dan Bang Wildan terkumpul di Mamanya Marsha. Karena kelas tiga mau UN, maka dua hari menjelang UN, seluruh siswa diliburkan. Hari Jumat ini, aku, Rina, dan Sofi ke rumah Marsha untuk menyusun dan membicarakan keberangkatan besok. Setelah zuhur, kami pergi ke minimarket untuk membeli cemilan yang akan dibawa besok.
“Lun, ini ngga kebanyakan?” tanya Marsha.
“Kita kan pergi berenam, Marsha.” ucapku yang masih memilih makanan ringan.
“Lun, kamu mau bawa pulang ke rumah sebanyak ini?” tanya Rina, sedikit takjub.
“Hem ngga mungkin juga sih. Sha, aku nitip di rumah kamu boleh ngga? Besok kan ngumpulnya di rumahmu..”
“Sangat sangat boleh..”
Selesai belanja, aku, Rina, dan Sofi pulang ke rumah masing-masing. Sibuk dengan khayalan masing-masing untuk hari esok. Malam ini, aku tidak bisa tidur. Begitupun Rina yang cerita keesokan paginya.
Rina dan Sofi menjemputku di rumah jam enam lewat lima belas menit. Aku sudah siap.
Pamit pada Mamah dan Nenekku, begitupun Adikku yang sangat ingin ikut. Tapi, aku tidak akan membiarkan keinginannya terkabul. Ini acaraku bersama teman-temanku. Untuk kali pertamanya Mamahku berani melepasku pergi bersama teman-temanku. Ayahku? Sebenarnya dia ragu melepasku, namun aku berusaha meyakinkannya, aku bisa.
Sekitar jam enam lebih tiga puluh menit kami sampai rumah Marsha.
Kami berempat sengaja memakai baju warna putih. Bang wildan sudah siap. Tinggal menunggu Esa datang. Marsha sibuk mengeluarkan makanan yang kemarin kami beli di minimarket. Ransel kami sudah penuh, tapi aku berusaha memuatkan makanan ringan itu dalam ransel, selebihnya masuk di ransel Sofi. Marsha membawa satu ransel dan satu tas jinjing.
Lima belas menit menunggu, Esa datang dengan motor matic punya Ibunya. Warna pink. Marsha yang menyuruh Esa untuk membawa motor matic saja dibanding motor jupiternya yang katanya nungging kalau Marsha duduk. Tidak mungkin kan dalam perjalanan jauh, Marsha merintih karena pegal.
Jam tujuh kurang lima menit kami berangkat. Sebelum keluar komplek rumah Marsha, Esa mengisi bensin. Full tank. Perjalanan yang benar-benar terencana. Berpakaian rapi. Helm, sarung tangan, lampu motor, jaket. Semua rapi. Sofi menambahkan kaca mata hitam untuk menutupi matanya dari sinar matahari.
Aku dan Bang Wildan berada di posisi paling depan. Di belakangku, Rina dan Sofi, yang paling belakang ada Esa dan Marsha. Benar-benar perjalanan yang seru. Sekitar jam sembilan kurang lima belas menit kami sudah sampai di Ancol. Karena loket Dufan di buka jam sebelas siang, kami memutuskan untuk pergi ke Pantai dulu dan mengganti pakaian kami.
Kami berlima pergi dari rumah mengenakan jaket dan celana panjang, rapi. Tapi akan terlihat aneh kalau ke Dufan memakai pakaian seperti itu. Aku mengenakan celana merah seatas lutut dikit, dan kaus putih dengan lengan sesikut. Rina memakai kaus putih dan celana jins selutut, sama dengan Sofi. Marsha memakai kaus putih, namun dibalut dengan rompi jeans dan mengenakan celana biru dongker seatas lutut dikit. Esa dan Bang Wildan pun sama, hanya saja mereka kompak memakai kaus warna hitam, ini tak terencana. Bukankah itu terlihat lebih santai?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]