Cerpen: Rahasia Hati



Cowok berambut agak gondrong  dan berhidung sedikit tidak mancung itu seperti tergesa-tegesa di koridor lantai satu. Berpenampilan seadanya namun tetap keren di mata beberapa kaum hawa, maklum, untuk ukuran anak jurusan sastra, penampilan seperti itu sudah keren. Iya, sebagian anak sastra berpenampilan seperti dia. Mikha namanya.
Mikha, yang saat itu mengenakan celana jins panjang dengan bagian lutut sebelah kanan yang sobek, kaos polos berwarna putih dan dibalut dengan kemeja panjang warna biru dongker yang digulung setengah lengan, plus jam tangan warna hitam yang ia kenakan di pergelangan tangan kirinya, pemberian dari seseorang di hari ulang tahun Mikha yang ke tujuh belas.
Mikha berjalan dengan tergesa-gesa kearah kantin. Benar saja, sosok yang Mikha cari sedang duduk manis di salah satu kursi di kantin, sedang membaca buku sambil memakan cemilan dan tertawa seperti orang kesurupan.
Mikha merampas paksa buku yang sedang orang itu baca, disaat orang itu sedang tertawa membaca sebuah kalimat, mungkin. Namun Mikha tak memperdulikan itu.
“Mikha ah apaan sih, balikin sini buku gue, lagi baca tau”
“Orang gila juga tau guna buku buat di baca. Tapi bukan itu masalahnya, Fan”
“Terus apa masalahnya?”
“Lo tau nggak? Lo tau nggak gue dari tadi nyariin lo?! Kenapa hape lo ngga bisa dihubungin?”
“So-sorry gue ngga tau kalo lo telfon gue. Hape gue di tas, dari tadi juga gue disini, lagi baca buku, jadi ngga tau deh kalo ada telfon, maaf ya”
“Gue tuh ngga tau harus gimana lagi, Fan. Untuk ke sekian kalinya gue coba buat pedekate sama cewe, dan cewe itu udah punya pacar”
“Siapa suruh naksir pacar orang”
“Mana tau kalo cewe yang gue deketin udah punya pacar. Ah lo tuh, jadi sahabat nyegerin hati gue kek, ini mah malah bikin tambah panas”
Tifanny, seseorang yang sedang berada disamping Mikha. Mereka sudah dekat dari kecil, bahkan sampai sekarang. Mikha merasa, ia tidak butuh orang lain untuk menjadi sahabatnya. Karena baginya, Tifanny sudah cukup. Begitupun Fanny sendiri, ia tidak butuh kekasih untuk melindunginya. Bagi Fanny, Mikha sudah cukup untuk melindungi dirinya.
“Mikha, lo itu ngga perlu nyari sesuatu yang bahkan ngga lo mau”
“Maksud lo?”
“Secara fisik, lo emang butuh cewe. Tapi jiwa lo tuh ngga butuh siapa-siapa, lo punya gue yang kapanpun lo perlu selalu ada, yang ngertiin lo. Jadi, buat apa sih nyari-nyari cewe?”
“Masih aja teori SMA lo pake. Fan, kita tuh udah semakin dewasa. Kita emang sahabatan, bahkan udah kaya saudara. Tapi setelah ini kita udah ngejalanin hidup masing-masing. Emangnya lo ngga mau nyari cowo? Fan, kita tuh cuma sebatas sahabat. Bukan cuma gue yang lo butuhin, dan bukan lo aja yang gue butuhin”
Penjelasan Mikha barusan membuat Fanny terdiam sejenak, mencerna kalimat yang beru saja meluncur dari mulut Mikha. Entah dari hati atau tidak Mikha bicara itu. Yang jelas, ini menyakitkan untuk Fanny.
“Suatu hari, gue ngga akan selalu ada buat lo lagi, Fan. Dan sebaliknya” ucap Mikha sambil menatap Fanny. “Lo paham kan maksud gue?” tanya Mikha.
“Gue paham, Mik” ucap Fanny dengan anggukannya.
Fanny menggigit bibir bawahnya, gelisah.
“Gue duluan Mik, ada kelas” kata Fanny segera pergi dari sana.
Mikha menghembuskan nafasnya, mengacak-acak rambutnya.
‘Kenapa gue bisa semunafik tadi sih!’ batin Mikha.
Di taman depan kampus.
“Kelas lo pindah ke taman?” tegur Mikha, yang lalu duduk di bangku.
“Susah ya mau bohong sama lo” ucap Fanny.
“Fan, gue kenal lo bukan setahun dua tahun kali”
“Oke, kenapa lagi lo nyusulin gue kesini?”
“Oke, dan kenapa lo kesini? Kenapa lo kabur dari obrolan kita di kantin tadi?”
“Ditanya malah balik nanya”
“Ditanya malah ngga di jawab”
“Apaan sih lo”
“Lo apa?”
Obrolan mereka terhenti saat seorang cewe hadir dihadapan mereka berdua. Wajah Fanny berubah jadi bingung, pasti cewe di depannya ini bukan untuk mencari Fanny. Tapi, ada urusan apa dengan Mikha? Mikha ngga cerita apapun tentang cewe ini.
Fanny menatap Mikha seolah bertanya siapa dia, ya, Mikha paham arti tatapan Fanny.
“Nanti gue ceritain. Lo sana dulu” bisik Mikha pada Fanny.
Setelah itu, Fanny pergi dan sekali lagi menatap cewe itu. Fanny merasa asing dengan cewe itu. Setelah sekitar setengah jam berlalu, Mikha menemui Fanny yang sedang membaca buku di koridor depan kelas yang segara Fanny masuki setengah jam lagi.
“Fan, tutup buku lo” ucap Mikha.
“Ngomong aja. Telinga sama mata gue masih berfungsi dengan baik ko kalo digunain bersamaan” kata Fanny tanpa menoleh dari buku yang ia baca.
“Fan ko lo ngambek sih. Ya emang, mata sama telinga lo masih normal buat digunain barengan. Tapi otak lo bakalan tetep fokus sama bacaan lo. Tutup buku lo Fan” ucap Mikha dengan nada memohon. Fanny menutup bukunya, dan menatap Mikha.
“Fan, dia mantannya Mada” ucap Mikha.
“Terus?”
“Dia minta tolong sama gue, buat ngomong sama Mada kalo sebenernya Nadia mau baikan lagi sama Mada”
“Emangnya Nadia bikin salah apa sama kakak lo sampe jadi mantan gitu”
“Mada salah paham, kalo sebenernya Nadia itu ngga selingkuh, Nadia cuma lagi ketemu sama sahabatnya yang udah lama ngga ketemu, tapi Mada ngiranya kalo sahabatnya Nadia itu pacar barunya Nadia” cerita Mikha.
“Oh, makanya, apa-apa tuh langsung cerita kek”
“Iya sorry, abisnya males aja nyeritain masalahnya Mada, ngga penting”
“Mik, lo abis beli kaos kaki baru aja cerita ke gue. Padahal itu kan ngga penting” kata Fanny, tapi Mikha malah cengengesan.
Selesai jam kuliah, Fanny menunggu Mikha yang belum selesai jam kuliahnya. Duduk manis sambil mendengarkan musik di iPodnya, pemberian Mikha sebagai permintaan maaf karena suatu kesalahan.
Please don’t be in love with someone else.
Please don’t have somebody waiting on you.
Sebagian lirik dari lagu Enchanted milik Taylor Swift melantun merdu di telinga Fanny, tiba-tiba Fanny jadi senyum-senyum sendiri.
‘Gue selalu tersihir setiap ketemu sama lo, Mik’ batin Fanny.
Tak lama, sentuhan hangat mendarat di pundak Fanny. Fanny langsung melepas headsetnya, dan menaruhnya di dalam tas.
“Lama ya?” tanya Mikha.
“Engga ko, ngga lama. Tapi lama banget!” kata Fanny.
“Cuma satu jam sih ngga lama, Fan”
Setelah itu, mereka jalan ke parkiran, dan Mikha sudah siap di belakang kemudi, Fanny di sebelah Mikha.
“Mik, makan dulu kek. Gue laper nih dari pagi belum makan” pinta Fanny.
“Serius lo belum makan? Lo mau diet atau apa sih? Magh lo kambuh tau rasa lo”
“Bawel, makanya temenin gue makan dulu”
“Dimana?”
“Di hati lo” ucap Fanny dengan nada menggoda.
Mikha beralih pandangan dari jalanan di depannya, Mikha menatap Fanny tanpa melihat jalanan di depannya. Fanny yang juga jadi menatap Mikha, tersadar bahwa Mikha teralih dari fokus jalanan.
“Mikha awassssss!” teriak Fanny sambil menutup muka dengan kedua tangannya. Mikha langsung menginjak rem. Entah seseorang di depan mobilnya seperti apa. Mikha shock.
“Mikha gue ngga mau jadi pembunuh. Mikha gue ngga mau di penjara” panik Fanny.
“Fan jangan panik. Jangan bikin gue panik”
“Mikha kita udah nabrak orang. Mik gue takut. Mikha gue takut”
“Fan jangan panik! Lo bisa tenang sedikit ngga sih?! Mending kita keluar, kita liat gimana keadaan dia” usul Mikha. Fanny menuruti Mikha yang sudah lebih dulu turun dari mobil.
Seorang gadis. Gadis itu sudah tergeletak di atas aspal. Entah bagaimana keadaannya. Keadaan jalanan sedang sepi, Mikha memutuskan untuk membawa gadis itu ke rumah sakit. Mikha mengangkat gadis itu ke dalam mobilnya.
“Mikha lo gila. Mikha gimana kalo sampe ketahuan polisi? Mik, gue ngga mau di penjara. Mik, gimana kalo cewe ini ternyata udah mati?”
“Fanny lo bisa diem ngga sih?! Lo tenang. Ngga usah panik, gue lagi berusaha nolong orang. Ngga akan terjadi apa-apa” ucap Mikha. Fanny mulai meneteskan air mata. Air mata ketakutan.
Sesampainya di rumah sakit, gadis itu dibawa ke UGD. Mikha dan Fanny menunggu di depan ruang UGD. Mikha berdiri di depan pintu ruang UGD, sedangkan Fanny mondar-mandir ngga jelas dengan wajah paniknya.
“Ini semua gara-gara lo Mik. Gara-gara lo yang nyetir ngga fokus liat jalanan” ucap Fanny.
Mikha yang mendengar namanya disalahkan, langsung berubah aura.
“Gue? Yang bikin gue ngga fokus nyetir itu elo Fan, elo!”
“Tapi tetep aja, lo yang nyetir!” ucap Fanny sambil menangis.
Fanny duduk di kursi tunggu, menunduk dan menangis.
“Gue takut Mik, gue takut” ucap Fanny dalam tundukannya, dan dengan air mata yang deras mengalir. Mikha yang sadar bahwa sudah membuat Fanny menangis langsung duduk di sebelah Fanny. Mikha sadar, Fanny sedang ketakutan. Tidak seharusnya Mikha ikut terbawa emosinya Fanny. Mikha merangkul Fanny dan membawanya dalam dekapan.
“Lo jangan nangis, Fan. Gue minta maaf ya. Ngga akan terjadi apa-apa, cewe itu pasti baik-baik aja” ucap Mikha. Fanny masih menangis dalam dekapan Mikha.
Tak lama, dokter yang memeriksa gadis itu keluar dari ruang UGD. Mikha dan Fanny langsung bangun dari duduknya.
“Gimana dok keadaan dia?”
“Alhamdulillah, gadis itu tidak apa-apa. Hanya tangannya saja yang luka”
“Tapi dok, kalo cuma tangan yang luka, kenapa bisa sampe pingsan?” tanya Fanny.
“Dia hanya kaget, mungkin. Yasudah, saya permisi dulu ya” ucap dokter itu.
“Huh, lega. Untungnya dia ngga kenapa-kenapa. Yaudah yuk Mik, balik” ajak Fanny.
“Heh, ngga ada tangung jawabnya banget sih. Seenggaknya kita liat dulu kek kondisi dia gimana” kata Mikha, yang lalu masuk ke ruang UGD sambil menggandeng tangan Fanny.
Gadis dengan tangan kiri bagian sikut yang di perban, dan juga kening sebelah kiri yang ditempel sebuah perekat itu masih terbaring lemah di atas tempat tidur. Perlahan, gadis itu membuka mata. Gadis itu melihat Mikha dan Fanny.
“Hay?” sapa Mikha. Gadis itu bangun dari baringannya.
“Kalian siapa?” tanya gadis itu.
Fanny dan Mikha saling melirik.
“Kita bukan orang jahat ko, suer. Tadi kita nolongin lo yang pingsan” ucap Fanny.
“Pingsan?” tanya gadis itu. “Kenapa tangan saya di perban? Ini dimana?” tanya gadis itu lagi.
“Tenang, lo lagi di rumah sakit. Tadi lo kecelakaan. Ngga inget ya? Yaudah jangan diinget-inget lagi. Mendingan, sekarang lo ikut kita, kita anterin lo pulang. Mau kan?” jelas Mikha. Gadis itu menurut.
Di mobil, Mikha dan Fanny seolah bicara dalam tatapan. Gadis yang duduk di belakang itu melihat dengan tatapan aneh. Gadis itu berulang-ulang menatap Fanny, kemudian Mikha.
“Maaf ya jadi ngerepotin kalian” ucap gadis itu.
“Ngga ngerepotin ko, justru kita mau minta maaf karena udah bikin lo kaya gini” ucap Fanny.
“Iya, sorry ya, gue kurang hati-hati tadi nyetirnya” kata Mikha.
“Ngga ko, ini emang salah aku yang mau nyebrang tapi ngga liat kiri kanan” ucap gadis itu.
“Ngomong-ngomong, nama lo siapa?” tanya Mikha seraya melihat gadis itu dari kaca spion di atas Mikha.
“Elma. Kalian sendiri?”
“Gue Mikha, temen gue ini namanya Tifanny, tapi panggil aja Fanny” ucap Mikha dengan senyumnya. Elma mengangguk dan seperti mengingat sesuatu.
“Oh iya El, rumah lo dimana?” tanya Fanny.
“Nanti ada perempatan, belok kiri, ketemu perempatan lagi, belok kanan”
“Tulip Residence?” tebak Fanny.
“Iya” jawab Elma singkat.
“Ko lo tau Fan?” tanya Mikha.
“Pernah kesana waktu itu”
“Ngapain? Kapan? Ko gue ngga tau?”
“Udah lama. Nemenin Mama ke rumah temennya”
“Tuhkan”
“Ya ampun Mik, itu udah lama banget. Pas kita kelas tiga SMA”
“Iya deh iya iya”
Fanny mengelitiki perut Mikha.
“Fanny gue lagi nyetir Fan, ah lo” kata Mikha sambil tertawa. Lalu mata Mikha beralih ke     arah Elma, dan ternyata Elma sedang memperhatikan Mikha dan Fanny.
“Lagian, orang itu udah lama banget juga” kata Fanny.
Setelah sampai di depan perumahan Tulip Residence.
“Rumah lo blok berapa?” tanya Mikha.
“Aku turun disini aja deh” kata Elma yang segera membuka pintu mobil.
“Eh, ngga ngga. Biar kita anterin lo sampe depan rumah aja. Lo juga pasti masih lemes” kata Mikha.
“Apa ngga ngerepotin?” tanya Elma.
“Ngga ko” jawab Mikha sambil menengok ke belakang, ke arah Elma sambil tersenyum. Elma menunduk.
“Blok E nomer sembilan” jawab Elma.
Mikha segera memainkan stirnya kearah rumah Elma. Dan sesampainya di depan rumah bernuansa putih itu.
“Makasih ya udah mau nganterin aku, maaf jadi ngerepotin. Kalian mau mampir?” tawar Elma.
“Iya El sama-sama, ngga ngerepotin ko. Emmm, kayanya kapan-kapan aja deh” kata Mikha.
“Yaudah, kalian hati-hati ya” ucap Elma.
“Iya, daaah” kata Fanny.
Mikha memutar balik arah. Senyum tanpa arti yang Fanny tau mulai mengembang dari wajah Mikha.
Keesokan harinya, Mikha menjemput Fanny untuk berangkat kuliah bareng. Kebetulan mata kuliah mereka hari ini sama, jadi mereka akan sekelas siang ini. Mikha menunggu Fanny di depan gerbang rumah Fanny. Fanny keluar dengan menenteng sneaker di tangan kiri, tangan kanannya menenteng kotak makan. Ransel yang hanya ia sangkutkan di salah satu pundak membuatnya cukup kerepotan ketika ingin menutup pintu.
“Cewe tuh emang ribet ya” ucap Mikha yang tiba-tiba menhampirinya dan mengambil kotak makan milik Fanny. Barulah Fanny bisa menutup pintu rumahnya.
“Udah kuliah, masih aja bawa bekel” komentar Mikha yang memperhatikan kotak makan warna biru milik Mikha.
“Halah, nanti juga lo minta bekel gue. Gue bosen aja sama makanan kantin, kebetulan Nenek lagi nginep, jadi dibikinin nasi goreng” ucap Fanny sambil memakai sneakernya.
“Mama lo?”
“Nyusul Papa”
“Oh. Yaudah cepet, lama banget sih make sepatu aja” kata Mikha.
“Bawel lo, ini juga udah” kata Fanny.
Mereka masuk ke mobil. Fanny membuka ranselnya, seperti mencari sesuatu.
“Nih buat lo” Fanny memberi sekaleng susu putih untuk Mikha.
“Lo telat bangun ya?” tanya Mikha seraya menanggapi susu kaleng dengan tangan kanannya. Fanny hanya mengangguk sambil menenggak susu kalengnya.
“Emangnya semalem tidur jam berapa?” tanya Mikha.
“Setengah dua”
“Lo ngeronda apa gimana sih?”
“Ngga bisa tidur”
“Apa yang lo pikirin emang sampe ngga bisa tidur gitu?” tanya Mikha.
Fanny diam. Mengingat senyuman Mikha yang mengembang sepulang mengantar Elma kemarin sore adalah sebab Fanny tak bisa tidur semalaman.
“Ngga papa. Emangnya harus ada yang dipikirin ya kalo orang ngga bisa tidur?” tanya Fanny.
“Pasti ada. Kalopun ngga mikirin sesuatu, berarti lo lagi di mimpiin seseorang” ucap Mikha.
“Bohong lo. Ngga mungkin lah”
“Serius. Buktinya emang semalem gue mimpiin lo” kata Mikha.
“Mimpiin kenapa?”
“Gue mimpiin lo-- Lo punya pacar” ucap Mikha.
“Hahahahahaha, sumpah ngaco mimpi lo hahahaha” ucap Fanny dengan tawanya.
“Ko malah ketawa sih? Bukannya di aamiin-in” ucap Mikha dengan nada jutek.
“Aamiin deh” ucap Fanny sambil menatap jalanan di depannya. Tanpa Fanny sadari, Mikha menoleh kearahnya, sinis.
Sesampainya di kampus, mereka masuk ke kelas, duduk bersebelahan di barisan nomer tiga dari belakang. Fanny memperhatikan dosen yang sedang menjelaskan tentang sastra modern, sedangkan Mikha hanya memainkan pulpennya yang ia gerakan layaknya seorang drummer yang memainkan stik drumnya. Namun, matanya menatap Fanny, lekat.
Fanny menyandarkan tubuhnya pada kursi, mencatat yang harus ia catat, namun rupanya ekor mata Fanny mampu menangkap sesuatu yang sedang melihat kearahnya. Fanny menoleh kearah Mikha, Mikha malah buang pandangan dan pura-pura menulis sesuatu di bukunya. Padahal, sedari tadi Mikha sama sekali tak memperhatikan dosen.
Selama dua jam mata kuliah itu berlangsung, seselesainya mereka pergi ke kantin. Mikha memesan satu gelas jus alpukat kesukaannya, sedangkan Fanny menikmati nasi gorengnya.
“Mik, mau ngga?”
“Suapin dong” kata Mikha yang sedang memainkan ponselnya.
“Eh iya, tadi lo ngga merhatiin ya pas dosen jelasin?” tanya Fanny.
“E-emang kenapa? Merhatiin ko” jawab Mikha, gugup.
“Ngga, soalnya tadi pas gue liat kearah lo, lo lagi ngeliatin gue”
“Idih ge-er banget. Siapa yang liatin lo” ucap Mikha.
“Yaudah biasa aja kaleeeeee!” teriak Fanny di sebelah telinga Mikha.
“Woy! Bisa budeg nanti gue” kata Mikha sambil memegang telinganya.
“Emang gue pikirin hahahahaha”
Keesokan harinya.
“Loh, Mikha? Kamu ngapain disini?” tanya Elma yang ingin membuang sampah.
Mikha yang sedang berada di bawah pohon sebelah rumah Elma, langsung kaget begitu Elma menyapanya.
“Engh, ini, gue--- gue mau ke rumah temen gue” jawab Mikha, berbohong.
“Ke rumah temen? Siapa?” tanya Elma.
“Ya ada lah pokonya, temen SMP gue” jawab Mikha, asal.
“Temen SMP? Kamu bohong ya?”
“Bohong? Kenapa lo nanya gitu?” tatapan Mikha menyelidik.
“Kayanya kamu emang beneran udah lupa” ucap Elma dengan nada lirih.
“Maksudnya?”
“Ngga papa. Yaudah, kamu lanjutin cari rumah temen SMP kamu aja, aku masuk dulu” Elma berbalik.
“El, gue kesini mau ketemu lo” ucap Mikha. Elma berhenti melangkah. “Gue mau kenal lebih deket sama lo” lanjut Mikha. Elma berbalik menghadap Mikha.
“Masuk dulu yuk” ajak Elma.
Mikha masuk ke rumah Elma, duduk di ruang tamu. Mata Mikha menerawang apa saja yang ada di ruang tamu Elma. Terpajang frame berukuran besar di dinding sisi lain, ya, foto keluarga Elma. Ada kedua orang tua Elma, satu laki-laki yang sepertinya kakaknya Elma. Mikha kaget begitu Elma membukakan pintu rumah saat tadi mereka masuk, karena ada sesuatu yang terpajang di dinding menghadap pintu; salib. Mikha benar-benar tak menyangka bahwa gadis incarannya ini berbeda keyakinan dengannya.
“Nih, minum dulu” Elma datang membawa segelas minuman dingin dan setoples cemilan.
“Makasih ya. Oh iya, orang tua lo kemana?” tanya Mikha.
“Mama lagi nemenin Papa yang lagi sakit di Belanda”
‘Belanda?’ batin Mikha. “Lo blasteran?” tanya Mikha.
“Belanda-Jawa. Mamaku asli Semarang, Papaku orang Belanda” jawab Elma.
Mikha diam seperti memikirkan sesuatu.
“Kamila” gumam Mikha seraya melirik mata Elma. Elma tersenyum.
“Akhirnya kamu inget juga” ucap Elma.
“Mil, lo apa kabar? Sumpah gue ngga nyangka bisa ketemu lo lagi dengan cara ngga sengaja” ucap Mikha yang kemudian memeluk Elma.
“Aku juga kangen banget Mik sama kamu. Ternyata kamu beneran lupa ya sama aku” lirih Elma.
“Bukannya lupa Mil. Dulu itu kan aku biasa manggil kamu Mila, bukan Elma. Kenapa ngga bilang dari perama kita ketemu?” ucap Mikha melepas pelukannya.
“Aku sengaja mau ngetes kamu, inget sama aku atau engga”
Ternyata kejadian tanpa sengaja itu malah membuat Mikha kembali ke masa lalunya, masa-masa SMP nya. Kamila Elmaria, gadis yang sempat Mikha puja waktu SMP. Saat dimana Mikha sedang terpuruk karena ulah Fanny. Sekarang, mereka saling melepas kerinduan.
Setelah berkunjung ke rumah Elma, Mikha pergi ke rumah Fanny. Mikha benar-benar kaget, bahwa sedari tadi Fanny menghubungi Mikha, sayang, Mikha meninggalkan ponselnya di mobil. Ada tujuh panggilan tak terjawab dari Fanny.
“Ah, bego lo Mik!” gumam Mikha. Mikha langsung tancap gas ke rumah Fanny.
Fanny sedang berada di atas balkon rumahnya, tepatnya, di depan kamar Fanny. Berdiri menatap langit dengan piyama yang ia pakai malam itu. Mobil Mikha berhenti persis di depan gerbang rumah Fanny.
Mata Fanny menatap kedatangan Mikha dari atas. Mikha langsung menatap kearah Fanny berada. Fanny menatap dengan tatapan sinis.
“Fanny… sorry ya? Turun dong” ucap Mikha dengan nada memelas.
“Ngga mau, males” jawab Fanny tanpa melihat kearah Mikha.
“Yaudah, gue yang ke atas ya?” ucap Mikha. Fanny diam. “Gue anggap jawaban lo iya” kata Mikha dengan senyumnya dan segera masuk ke dalam rumah Fanny.
Mikha masuk dan bertemu Mama Fanny di ruang tv, ada adik Fanny dan juga Nenek Fanny disitu, Mikha izin untuk menemui Fanny. Setelah izin, Mikha meminjam gitar milik Kakak Fanny yang tergeletak di sudut ruangan. Setau Mikha, Ka Nial sedang tugas ke luar kota, jadi tak masalah kalau Mikha meminjamnya.
Mikha sudah sampai di lantai dua, tepat di depan pintu kamar Fanny. Tidak di kunci, Mikha langsung masuk, dan menemui Fanny yang sedang berdiri di balkon.
“Fan, gue minta maaf ya ngga ngangkat telpon lo. Janji deh, ngga lagi. Maafin ya?” ucap Mikha. Fanny hanya diam. “Mau gue nyanyiin ngga?” tanya Mikha, taka da jawaban juga dari Fanny. “Oke, gue anggap iya. Gue nyanyi ya” ucap Mikha yang mulai memainkan senar.
“Lagu apa yah? Hem, lagu d’Masiv aja deh, pas nih buat lo”
“Kau diam tanpa kata, kau seolah jenuh padaku
Kuingin kau bicara, katakan saja apa salahku
Sungguh aku tak mengerti apa yang tlah terjadi,
dan ku tak ingin engkau pergi jauh dari hidupku
Kau takkan pernah sadari betapa ku mencintaimu
Kau yang selalu aku banggakan
Kau takkan pernah mengerti betapa ku menyayangimu
Kau yang selalu aku inginkan
Ku ingin kau bicara, katakan saja apa maumu
Lihat aku, coba mengerti ini semua bisa teratasi
Resapilah semua yang pernah kita lakukan”
Mikha melantunkan lagu itu dengan gitar yang ada di pelukannya.
“Sorry ya kalo suara gue jelek. Fan, ko masih diem sih?”
“Jadi lo masih ngga ngerti apa yang terjadi? Lo masih ngga tau salah lo dimana?” tanya Fanny dengan nada marah. Mikha menatap mata Fanny, ada tatapan sangat marah disitu.
“Gue tau salah gue dimana, dan gue udah minta maaf”
“Gampang banget sih ngeluarin kata maaf?”
“Ko? Ko lo malah marah beneran sih? Gue kan udah--“
“Lo pikir daritadi gue bercanda?”
“Ya oke sorry, gue udah minta maaf karena ngga angkat telpon lo. Kenapa harus semarah ini sih? Inikan cuma masalah kecil”
“Masalah kecil kalo sering lo lakuin bisa jadi masalah besar, Mikha. Ngga bisa ya lo ngabarin gue, lo lagi dimana? Lagi ngapain sih sampe ngga bisa angkat telpon gue?”
Raut wajah Mikha berubah.
“Fan, lo ngga punya hak buat selalu tau kabar gue. Dan ngga seharusnya lo semarah ini cuma karena gue ngga ngangkat telpon lo” ucap Mikha.
Fanny diam, dan segera tersadar bahwa Mikha sudah membuat perasaannya sesakit ini, sebentar lagi tetesan itu tumpah. Fanny menunduk.
“Satu lagi, lo ngga perlu terlalu khawatir sama gue. Gue bisa jaga diri gue baik-baik, gue balik” ucap Mikha yang kemudian meninggalkan Fanny sendiri. Saat Mikha berbalik melangkah untuk meninggalkan Fanny, saat itu juga Fanny meneteskan air mata.
Saat Mikha membuka gerbang rumah Fanny, Mikha sempat menoleh ke atas balkon, sudah tak ada Fanny disitu.
Entah mengapa Fanny menangis. Fanny tak menyangka Mikha bicara seperti tadi, tapi Fanny juga tak punya alasan untuk menyangkal kata-kata Mikha. Semua yang Mikha ucapakan itu benar. Fanny bukan siapa-siapa Mikha, tak sepantasnya Fanny menuntut kabar dari Mikha.
Tujuh belas tahun mereka berteman baik sejak usia masih sama-sama empat tahun, baru kali ini Mikha membuat Fanny menangis semalaman. Fanny pernah menangis karena suatu hal yang masih tentang Mikha, namun berbeda cerita dengan tangisan sekarang.
“Fan, lo ngga punya hak buat selalu tau kabar gue. Dan ngga seharusnya lo semarah ini cuma karena gue ngga ngangkat telpon lo”
Ucapan Mikha tadi masih terus berputar di kepalanya selagi menyetir mobil.
“Cupu lo, Mik. Lo pengecut, Mik! Argh!” gumam Mikha seraya memukul stir mobilnya.
Keesokan harinya, mobil Mikha tak juga muncul di depan rumah Fanny. Fanny memutuskan untuk menaiki kendaraan umum ke kampus. Fanny bisa saja memakai mobil Kakaknya, tapi menurut kabar, hari ini Ka Nial sampai di Jakarta setelah dua pekan bertugas di Lombok.
Sesampainya di kampus dan Fanny baru saja turun dari angkutan umum.
“Fanny!” panggil seseorang.
“Hey, Mel, kenapa?” tanya Fanny.
“Ko lo naik angkot sih?” tanya Amel, teman Fanny.
“Lagi pengen aja, emang ngga boleh?” ucap Fanny. Mereka mengobrol sambil berjalan menuju kampus.
“Ngga bareng Mikha?”
“Hem, engga. Emang kenapa?”
“Ya ngga papa. Biasanya kan lo berduaan mulu sama Mikha udah kaya biji. Emangnya, lo sama Mikha putus ya?”
“Putus? Emang siapa yang jadian? Gue sama dia cuma temenan deket aja kali”
“Temen deket? Bukannya lo pacaran sama dia dari SMA?”
“Hahahaha, dapet gossip dari mana lo? Gue ngga pacaran sama dia. Yaudah ya, gue duluan, ada kelas bentar lagi. Bye”
“Iya, bye. Aneh deh, gue pikir mereka pacaran” ucap Amel.
Selesai jam kuliah siang ini, Fanny duduk di sebuah koridor dekat kelasnya. Memakan cemilan sambil membaca buku. Mikha yang melihat Fanny, langsung menemui Fanny dan duduk disebelah Fanny.
“Fanny” sapa Mikha, Fanny langsung mengangkat kepalanya. Fanny diam. “Fan gue minta maaf ya sama omongan gue semalem, gue ngga ada maksud” ucap Mikha.
“Kalo ngga salah, ngga perlu minta maaf” ucap Fanny dengan senyumnya.
“Em, sorry banget tadi ngga bisa jemput lo, soalnya gue—“
“Ngga papa Mik, malah gue mau bilang sama lo, mulai hari ini dan seterusnya, lo ngga perlu jemput gue lagi buat berangkat ke kampus” ucap Fanny yang memotong omongan Mikha.
“Kenapa? Lo marah ya sama gue?” tanya Mikha dengan nada panik.
“Ngga ko, gue ngga marah sama lo. Yaudah, gue mau ke perpus dulu ya” ucap Fanny yang segera meninggalkan Mikha.
Sore ini, sepulang kuliah. Fanny melihat Mikha berjalan menuju mobilnya di parkiran, Mikha terlihat sedang berkomunikasi dengan seseorang lewat ponsel.
“Iya, ini udah selesai ko. Ini lagi jalan ke parkiran. Tunggu ya”
Kata-kata itu yang Fanny dengar meskipun samar-samar.
‘Mikha mau ketemuan sama siapa ya? Ya ampun Fan, lo ngga berhak untuk tau. Tapi kenapa rasanya aneh gini ya. Biasanya kan apapun itu Mikha pasti cerita sama gue. Kayanya Mikha emang ngga butuh pendengar lagi’ batin Fanny yang segera meninggalkan kampus.
Mikha sampai di depan rumah Elma.
“Maaf, lama ya?” tanya Mikha yang turun dari mobil.
“Hem, lumayan. Aku udah nunggu lima belas menit disini” ucap Elma, lembut.
“Yaudah yuk berangkat” kata Mikha yang kemudian membukakan pintu mobil untuk Elma.
“Makasih” ucap Elma dengan senyumnya. Inilah yang membuat Mikha menyukai sosok Elma, lembut. Namun tetap satu yang Mikha cinta.
Mikha dan Elma sudah sampai di sebuah café yang ada di sebuah mall.
“Kamu mau pesen apa?” tanya Mikha.
“Aku ngga pernah ke tempat ini, aku juga ngga suka kopi. Jadi, kamu pilihin menu buat aku ya yang bukan kopi?” ucap Elma. Mikha diam dan baru teringat sesuatu.
‘Ya ampun, kenapa gue ingetnya pergi sama Fanny ya. Ini kan café favoritenya Fanny’ benak Mikha. “Oh gitu, yaudah aku pilihin menunya ya” ucap Mikha.
Mikha sudah memesan dua minuman dan snack yang ada di café tersebut. Saat sedang asik mengobrol dengan Elma, tiba-tiba ada seseorang yang menyapa Mikha.
“Mikha?”
“Fachri. Wah apa kabar lo?” tanya Mikha.
“Baik.. baik. Ga nyangka ketemu lo disini”
“Iya nih, inget juga lo sama Jakarta hahahaha”
“Inget lah hahaha”
“Ngumpul dululah kita ngobrol-ngobrol, udah lama juga kan kita ngga ngobrol”
“Nanti deh, soalnya gue baru banget nyampe dari luar kota. Gue kesini juga sama atasan gue, maklum, gue asistennya hahahaha”
“Yaelah lo, kerja apaan sih lo?”
“Asisten fotografer” jawab Fachri.
“Asik, udah jago megang kamera dong nih? Hahaha”
“Jago lah, yaudah, gue duluan ya”
“Iya, Ri”
Setelah teman lama Mikha pergi.
“Tadi temen kamu?” tanya Elma.
“Iya, dulu dia senior aku di SMA, kita deket semenjak aku masuk basket”
“Ohhh”
Di rumah Fanny.
“Kak Fanny” panggil adik Fanny yang langsung masuk saja ke kamar Fanny.
“Denis, bisa ngga sih kalo masuk ketuk pintu dulu?”
“Kelamaan. Buruan turun ke bawah, Ka Nial udah sampe”
“Serius? Oke!” kata Fanny langsung beranjak dari tempat tidurnya.
Fanny menuruni anak tangga. Fanny senang kakaknya pulang, karena Fanny sangat dekat dengan kakaknya walaupun usia Fanny sudah dua puluh satu tahun. Fanny bisa dekat dengan kakaknya mungkin karena usia mereka hanya selisih dua tahun. Tidak sejauh usianya dengan adiknya, Denis. Usia Fanny dan Denis selisih dua belas tahun.
Fanny langsung memeluk Ka Nial.
“Cuma ditinggal dua minggu aja juga” ucap Ka Nial sambil membelai rambut adiknya.
“Heh, dua minggu yang lalu itu Kakak cuma sehari di rumah” kata Fanny.
“Yaudah, kenalin nih temen Kakak” kata Ka Nial.
Fanny menerawang sosok yang ada di belakang kakaknya itu.
“Fanny” ucap Fanny dengan senyumannya sambil memberikan tangan kanannya untuk bersalaman.
“Gifachri” ucap orang itu yang menjabat tangan Fanny, dengan senyumnya juga.
“Nial di rumah sepuluh hari, setelah itu harus berangkat ke Bali karena ada client yang bakal foto prewedding disana. Jadi, Gifa juga bakal nginep disini selama sepuluh hari. Ngga papa kan?” tanya Ka Nial pada keluarganya, dan mereka setuju.
Malam ini, lagi-lagi Fanny menikmati langit malam dengan taburan bintang dari atas balkon kamarnya. Tapi, Fanny seperti mendengar pembicaraan. Kedengarannya seperti suara Ka Nial dan temannya yang sedang mengobrol di teras depan rumah.
“Adik lo lucu” ucap Gifa.
“Denis emang ngegemesin, Gif” ucap Nial.
“Ya masa gue homo” kata Gifa yang membuat Nial tersenyum jahil.
“Maksud lo Tifanny?”
“Iya, dia”
“Kalo mau ngambil hatinya, baik-baikin abangnya dulu hahahaha” kata Ka Nial.
Entah mengapa Fanny jadi senyum-senyum sendiri mendengarnya. Lalu Fanny masuk kamar, segera tidur karena besok pagi harus kuliah.
Keesokan paginya, sekitar jam setengah tujuh Fanny sudah rapih dengan pakaian ala Fanny. Fanny duduk di teras depan rumahnya.
“Fan, ko ngga berangkat ke kampus? Nunggu Mikha ya?” tanya Ka Nial. Fanny diam, dan Fanny baru ingat bahwa Mikha tidak akan menjemputnya lagi.
“Ngga nunggu siapa-siapa ko, ini mau berangkat” ucap Fanny.
“Hay Fanny” sapa Gifa yang baru datang dengan pakaian olahraganya.
“Nah, minta anterin sama Gifa aja. Gif, anterin Fanny ke kampus ya, mau kan lo?” ucap Ka Nial.
“Boleh, yuk” kata Gifa.
“Hem yaudah deh. Ka, aku berangkat ya. Bilang Mama juga, tadi aku udah pamit sih. Aku berangkat assalamualaikum”
“Iya hati-hati ya, waalaikumsalam”
Gifa dan Fanny segera menaiki mobil Ka Nial.
“Lo kuliah dimana?” tanya Gifa membuka pembicaraan.
“UI, Kak” jawab Fanny, singkat.
“Jangan manggil gue Kak, Gifa aja. Kesannya gue tua banget dipanggil Kak. Gue cuma beda setahun ko sama lo” ucap Gifa.
“Oh, iya Kak—maksudnya, Gif” ucap Fanny sambil tersenyum.
Sesampainya di depan kampus.
“Makasih ya Gif udah mau nganterin gue”
“Santai. Nanti mau di jemput ngga?”
“Emm, yaudah”
“Oke, yaudah gih masuk, ntar telat disuruh hormat bendera loh”
“Apaan sih, emang anak SMP” ucap Fanny dengan tawa ringannya. “Yaudah gue masuk dulu, hati-hati Gif”. Gifa hanya memberikan jempolnya dan segera memutar arah pulang.
Hari-hari selanjutnya Fanny jalani seperti itu, diantar dan dijemput oleh Gifa. Fanny merasa nyaman saat berada di dekat Gifa. Bagi Fanny, Gifa adalah sosok yang dewasa. Selasa ini adalah hari ke delapan Gifa menginap di rumah Fanny, itu berarti, lusa Gifa harus ikut Ka Nial bertugas lagi. Dan Fanny memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin, seperti hari ini, Gifa mengantarnya lagi sampai kampus.
“Fanny tunggu” panggil Mikha.
“Kenapa Mik?” tanya Fanny.
“Ada yang mau gue omongin sama lo, tapi ngga disini” ucap Mikha yang menggandeng Fanny.
Mikha membawa Fanny ke taman belakang kampus, mereka sudah duduk bersebelahan disana.
“Mau ngomong apa?” tanya Fanny, to the point.
“Lo ngerasa ngga sih hubungan kita akhir-akhir ini jadi renggang?”
“Renggang? Biasa aja deh kayanya”
“Ngga, ini ngga biasa. Kita semakin jauh”
“Bukannya lo sendiri yang dulu bilang sama gue, bahwa suatu hari ngga cuma lo  yang gue butuhin, dan ngga cuma gue yang lo butuhin. Lagian, kita udah sama-sama dewasa, sebentar lagi naik semester tujuh, setelah itu kita ngejalanin hidup masing-masing. Gitu kan kata lo?” jelas Fanny mengingatkan Mikha pada ucapannya dulu.
“Fan, gue kangen cerita-cerita sama lo” ucap Mikha, lirih.
“Lo mau cerita apa?”
“Lo udah ngelewatin banyak part cerita hidup gue akhir-akhir ini”
“Oh ya? Emang kenapa?”
“Elma”
“Kenapa sama Elma?”
“Dia temen lama gue” ucap Mikha yang sedikit mengagetkan Fanny.
‘Please Fan, marah. Marah karena gue ngga pernah cerita soal ini. Gue kangen marahnya lo, Fan’ batin Mikha.
“Elma temen lama lo? Oh, ya hem bagus dong? Lo berarti bisa kangen-kangenan kan? Gue ikut seneng, Mik. Em yaudah, gue harus masuk kelas. Bye” ucap Fanny yang segera meninggalkan Mikha.
‘Kenapa lo ngga pernah cerita sama gue, Mik. Arg, mau banget gue nonjok muka lo karena lo ngga pernah cerita tentang Elma, tapi—tapi gue ngga punya hak’ batin Fanny di sepanjang perjalanannya menuju kelas.
Siang ini, Gifa menjemput Fanny di kampusnya.
“Iya ini lagi jalan keluar kelas ko, yaudah ya” bicara Fanny pada seseorang diujung telpon dan segera memutus sambungan.
Di parkiran.
“Fachri?” sapa Mikha yang awalnya menebak-nebak.
“Loh, Mik, ko lo disini?”
“Gue kuliah disini. Nunggu siapa lo?”
“Cewe”
“Asik, cewe lo?”
“Will be”
“Kenalin ke gue kek”
Seseorang datang.
“Gif maaf, lama ya?” tanya Fanny. Mikha kaget. “Loh, kalian kenal?” bingung Fanny.
“Fan, lo kenal Fachri?” tanya Mikha, Fanny mengangguk.
“Yaudah, gini ya. Fanny, ini Mikha, junior gue waktu SMA. Mikha, ini Fanny, adiknya temen gue” ucap Gifa. Mikha masih tak percaya.
“Bentar deh Gif, tadi kata lo, lo seniornya Mikha waktu SMA? Gue satu SMA sama Mikha, tapi ko gue ngga kenal lo?”
“Dulu, waktu Mikha kelas satu, gue kelas tiga. Setahun lebih cepet masuk sekolah, bukannya lo ke Indonesia pas kelas tiga ya? Gue diceritain Nial” kata Gifa.
“Gif, balik sekarang aja. Gue udah di telpon sama Mama, ada acara keluarga” ucap Fanny dengan nada gugup yang kemudian masuk ke mobil tanpa mengucapkan apa-apa pada Mikha.
“Oke, duluan, Mik” ucap Gifa yang kemudian menyusul Fanny.
Keesokan harinya, Fanny berjalan dari dalam kelas. Tiba-tiba Mikha menarik paksa tangannya.
“Ikut gue” ucap Mikha seraya menggenggam erat tangan Fanny.
“Mikha sakit, lo mau bawa gue kemana?” tanya Fanny sambil merintih kesakitan.
“Udah ikut aja”
“Mik, tangan gue sakit” ucap Fanny yang masih berusaha melepas genggaman Mikha.
Mikha membawa Fanny ke dalam mobilnya. Setelah duduk, Fanny memegangi tangannya yang tadi di genggam erat Mikha. Genggaman itu meninggalkan bekas warna merah.
“Lo mau bawa gue kemana sih? Gifa udah nungguin gue” ucap Fanny setelah Mikha masuk ke mobilnya. Terlihat kemarahan di wajah Mikha. Mikha mulai bermain dengan stirnya.
“Kenapa diem aja? lo marah sama gue?” tanya Fanny.
“Lo suka sama Gifa?” tanya Mikha tanpa beralih dari pandangannya.
“Emangnya kenapa?”
“Lo suka sama Gifa?”
“Penting ya buat lo tau?”
“Penting”
Fanny diam, menoleh ke jalanan.
“Jauhin Gifa” ucap Mikha.
“Kenapa?” tanya Fanny yang langsung menatap Mikha.
“Gue bilang jauhin ya jauhin. Dia bukan orang yang baik buat lo”
“Gue tau mana yang baik buat gue dan mana yang ngga baik buat gue”
“Tapi Gifa ngga baik buat lo. Gue tau Gifa”
“Berhentiin mobilnya”
“Kenapa?”
“Gue bilang berhentiin mobilnya”
“Oke sorry. Maaf, gue minta maaf” ucap Mikha.
“Kalo ngga salah, ngga perlu minta maaf. Berhentiin mobilnya”
“Gue anter lo sampe rumah”
“Ngga perlu, Gifa udah di kampus buat jemput gue, Mikha”
Mikha mengeluarkan ponselnya, dan seperti mengetik sesuatu.
“Gue udah sms Gifa buat balik aja, dan gue juga bilang kalo lo lagi sama gue”
“Mikha lo apa-apaan sih?! Berhentiin mobil lo!” ucap Fanny dengan nada tinggi.
“Apa gue udah ngga punya hak buat nganterin lo pulang?” tanya Mikha yang masih mengendarai mobilnya.
Fanny diam, gelisah. Mikha menghentikan mobilnya.
“Mobilnya udah berhenti. Kalo lo mau turun, turun aja” ucap Mikha. Tapi Fanny malah ingin menangis, tanpa sepengetahuan Mikha.
“Lo mau nurunin gue di tempat sesepi ini?” tanya Fanny tanpa melihat wajah Mikha.
Tanpa jawaban apapun dari Mikha, ia langsung mengemudikan mobilnya lagi sampai rumah Fanny. Sesampainya di depan rumah Fanny, Fanny turun tanpa ucapan apapun. Mikha segera turun dari mobil dan berusaha meraih tangan Fanny, tapi langkah Fanny terlalu cepat.
Ada Gifa di depan rumah Fanny. Setelah Fanny masuk tanpa mengucap apapun pada Gifa, Gifa menghampiri Mikha yang sedang bersandar di mobilnya.
“Lo apain Fanny?”
“Emangnya urusan lo?”
“Ya jelaslah. Gue sayang sama Fanny”
“Tapi sayangnya Fanny ngga sayang sama lo. Ri, mending lo ngga usah deketin Fanny lagi deh”
“Emangnya kenapa? Lo bukan siapa-siapanya dia kan? Lo ngga berhak lah buat ngatur”
“Gue sahabatnya Fanny. Gue tau Fanny dari kecil”
“Alah, sahabat doang belagu” Gifa mendorong pundak Mikha.
“Maksud lo apa?” tanya Mikha yang juga mendorong bahu Gifa.
“Gifa masuk!” teriak Fanny dari atas balkon tanpa menunjukkan dirinya. Gifa tersenyum jahat untuk Mikha.
Keesokan harinya. Ya, hari ini adalah hari terakhir Gifa berada di rumah Fanny. Gifa mengantar Fanny sampai kampus seperti biasanya. Namun, ada yang berbeda hari ini. Gifa turun setelah Fanny turun.
“Fanny tunggu”
“Kenapa, Gif?”
“Em, Fann, ada yang mau gue omongin sama lo”
“Ngomong aja, Gif”
“Gue—gue sayang sama lo. Mungkin menurut lo ini terlalu cepet, tapi gue sayang sama lo” ucap Gifa sambil menggenggam kedua tangan Fanny. Fanny kaget dan bingung setengah mati harus bicara apa. “Lo mau jadi pacar gue, ngga?” ucap Gifa yang lalu mencium tangan Fanny yang sedaritadi ia genggam.
“Em, Gif, gue harus masuk kelas. Bye” ucap Fanny yang segera meninggalkan Gifa.
Gifa menghembuskan nafasnya dan segera masuk ke mobil. Tapi saat Gifa hendak membuka pintu, ada seseorang yang menyentuh pundaknya.
“Maksud lo apa nembak Fanny?” tanya Mikha seraya meremas pakaian bagian leher Gifa. Gifa melepas tangan Mikha dari cengkramnnya.
“Kenapa? Ngerasa keduluan?”
“Gue bilang jangan deketin Fanny!” ucap Mikha, menjatuhkan kepalan keras ke wajah Gifa. Gifa diam tak membalas.
“Gue juga punya hak buat sayang sama Fanny. Lo ngga terikat apa-apa sama dia, jadi gue berhak buat nembak dia. Dan lo, Mik, lo ngga berhak marah ataupun ngelarang, karena lo bukan siapa-siapanya Fanny!”
Mikha menarik Gifa untuk ke tempat yang lebih sepi.
“Lo mau kita selesaikan pake cara kasar atau lo jauhin Fanny?” tanya Mikha.
“Gue ngga nyangka, pertemanan kita yang udah lama bisa rusak karena satu cewe” ucap Gifa.
“Maksud lo Fanny yang bikin pertemanan kita rusak? Iya?! Ri, bukan gara-gara Fanny ya, tapi gara-gara lo yang ngga ngerti omongan gue!” satu pukulan lagi mendarat di wajah Gifa.
Sekarang, hidung Gifa sudah meneteskan darah.
“Udah gue bilang, lo jangan pernah deketin Fanny. Tapi apa? Lo malah nembak dia!” Mikha bersiap untuk memukul Gifa lagi, namun tangan Mikha yang bersiap memukul Gifa buru-buru Gifa tahan, dan Gifa menendang perut Mikha dengan lututnya sekaligus memukul wajah Mikha lebih dari sekali sampai Mikha harus tergeletak di atas tanah.
“Keegoisan lo ngga pernah hilang dari dulu Mik” ucap Gifa yang kemudian pergi meninggalkan Mikha terbaring lemas.
Selesai jam kuliah, Fanny mendapat kabar dari seorang teman.
“Orang yang biasa anter jemput lo, tadi rebut sama Mikha” ucap Amel.
“Ribut? Maksudnya rebut gimana?” tanya Fanny.
“Sepengetahuan gue, Mikha nampol cowo yang anter jemput lo, gila, muka tuh cowo langsung babak belur ditampol Mikha” jelas Amel.
“Gila, Mikha kurus begitu jago juga ya berantemnya” ucap Maya.
“Sekarang kalian tau Mikha dimana?” tanya Fanny.
“Kayanya tadi mereka ke taman belakang, tapi kurang tau Mikha masih disana apa engga” jawab Amel.
Fanny langsung berjalan kearah taman belakang. Benar saja, Mikha ada disana. Fanny berdiri disamping Mikha yang sedang duduk bersandar di pohon, memijat-mijat bagian pipi mendekati bibir.
“Bangun lo” ucap Fanny. Mikha berdiri sambil menahan sakit di perut dan pipinya.
PLAK!
Tanpa melihat keadaan Mikha sebelumnya, Fanny menampar keras bagian pipi kanan Mikha. Mikha mengusap pipi kanannya.
“Itu tamparan karena lo udah mukulin Gifa!” ucap Fanny dengan nada bicara sangat marah.
Mikha masih menyembuyikan luka di pipi kirinya.
“Segitunya ya lo ngebelain Gifa?” tanya Mikha.
PLAK!
Kali ini tamparan itu mendarat di pipi kiri Mikha. Fanny semakin naik darah. Setelah tamparan kedua, Mikha merasakan linu yang teramat sangat, karena perlahan darah yang mulai mengering, menetes lagi. Mikha membasuh darah yang keluar dari bibirnya dengan telapak tangannya. Mikha merintih kesakitan.
Mikha menatap Fanny.
“Mau nampar gue bagian mana lagi?” tanya Mikha. Fanny kaget saat melihat wajah Mikha biru melebam di bagian mata dan pipi, dan darah yang mengalir dari bibirnya.
Mikha beranjak dari pandangan Fanny. Duduk di bangku taman, dan memijat-mijat wajahnya yang melebam.
“Maaf, Mik” ucap Fanny.
“Lo ngga mau ngejar cowo lo? Dia pasti udah di Airport, lagi nunggu lo” ucap Mikha, perlahan. Fanny menoleh ke belakang, kearah Mikha.
“Dia bukan pacar gue”
“Maaf ya, tadi gue udah mukulin Gifa, gue ngerasa dia bukan orang yang tepat buat lo”
“Cukup. Kenapa sih lo selalu mikir kaya gitu? Sepanjang hubungan lo sama Elma, gue ngga pernah komentar apa-apa kan?”
“Gue udah ngga ada hubungan apa-apa sama Elma”
“Terus apa maksud lo ngelarang gue deket sama Gifa? Apa?” tanya Fanny. Mikha diam.
“Gue yang salah. Gue yang terlalu berharap, gue yang terlalu maksa keadaan. Gue yang terlalu anggap lebih persahabatan kita, Mik. Seharusnya gue sadar, seharusnya gue paham, kalu diantara kita ngga akan pernah ada cinta” ucap Fanny dengan linangan air mata.
“Lo yang dulu ninggalin gue, Fan. Lo yang pergi gitu aja setelah gue ngomong” ucap Mikha yang mengorek kembali masa lalu menyakitkan itu.
“Mik, gue pikir lo udah lupain kejadian itu, gue pikir lo ga akan bahas itu lagi” ucap Fanny dengan melawan detak jantung dan air matanya.
“Gue ngga akan pernah lupa saat lo ninggalin gue. Itu jauh lebih sakit daripada tamparan lo, Fan” ucap Mikha. Fanny mulai menangis di hadapan Mikha.
Sembilan tahun yang lalu, setelah menerima surat kelulusan SD.
“Fan, nanti kita satu sekolah lagi kan pas SMP?” tanya Mikha.
“Iya, Mik. Fanny ngga mau pisah sama Mikha” jawab Fanny dengan senyumnya.
“Fanny, Mikha suka sama Fanny” ucap Mikha malu-malu. Fanny tersenyum.
“Mikha cinta sama Fanny” ucap Mikha lagi.
“Terus sekarang kita harus ngapain, Mik?” tanya Fanny.
“Kamu mau ngga jadi pacar aku?” ucap Mikha, Fanny malah bingung.
“Pacar itu apa?” tanya Fanny.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan mereka.
“Fanny, ayo masuk” ajak Mama Fanny.
“Kita mau kemana, Mah?” tanya Fanny.
“Kita mau beli permen buat kamu sama Mikha, Mikha mau kan?” tanya Mama Fanny.
“Mau tante” jawab Mikha.
“Yasudah, ayo Fanny masuk” ucap Mama Fanny.
“Mikha, aku pergi sebentar dulu ya, nanti aku kesini lagi”
“Iya, daaah Fanny” ucap Mikha. Kemudian mobil itu segera berlalu dari hadapan Mikha.
Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, bahkan setiap hari Mikha selalu berkunjung ke tempat terakhir pertemuannya dengan Fanny. Tapi Fanny tak juga kembali. Mikha benar-benar keecewa.
Sampai suatu hari, di saat Mikha sudah mengubur masa lalunya dengan Fanny, Fanny kembali tanpa dosa dan tanpa perasaan bersalah sudah meniggalkan Mikha lima tahun lamanya.
“Mikha udaaaah!” tangis Fanny pecah.
“Lo bukan orang yang paling sakit Fan disaat lo harus memendam perasaan” ucap Mikha.
“Maafin gue, Mikha. Semuanya salah gue, iya, gue yang salah” ucap Fanny seraya membelakangi Mikha sambil menghapus air mata di pipinya.
“Itu alas an gue kenapa gue ngga pernah nyatain perasaan gue ke lo. Karena gue takut lo pergi lagi kaya dulu. Pergi setelah gue nyatain perasaan gue” ucap Mikha yang berjalan mendekat kearah Fanny.
“Gue ngerti, Mik. Gue paham sekarang, dan mungkin apa yang gue inginkan ngga akan pernah jadi kenyataan”
“Lo salah. Fan, keinginan kita itu sebenernya sama”
“Tapi Elma—“
“Gue ngga akan pernah cinta sama dia. Karena sampai detik ini, perasaan itu masih gue simpen rapih, Fan” ucap Mikha yang memeluk Fanny dari belakang.
Fanny merasakan hangatnya sandaran kepala Mikha di belakang pundak Fanny, dan eratnya tangan Mikha yang melingkar di tubuhnya.
‘Lo pernah meluk gue disaat gue nangis, Mik. Tapi pelukan lo hari ini beda, pelukan ini lebih hangat, Mik. Gue sayang sama lo’ batin Fanny.
“Gue juga sayang sama lo” ucap Mikha. Fanny menoleh kearah Mikha. “Gue bisa denger hati lo, Fan, sekalipun gue ada di belakang lo” ucap Mikha.
Fanny melepas pelukan Mikha. Mikha berdiri di hadapan Fanny.
“Malu ya ketahuan? Gue kenal lo lebih daripada lo mengenal diri lo sendiri, Fan” ucap Mikha seraya memegang kedua pundak Fanny.
“Makasih ya udah mau jaga perasaan itu” ucap Fanny.
“Jadi cuma perasaannya aja nih yang mau dijagain?”
“Maksud lo?”
“Susahlah jelasinnya, yang perlu lo tau sekarang, lo itu pacar gue. Oke?”
Fanny tersenyum.
END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]