Cerpen: Chocochino



Langit berteriak sedari tadi, pun menangis deras yang turun ke bumi sebagai air hujan. Gelap mendung dan kilat memecah lamunan. Berdiri sendiri memeluk tubuh dengan kedua tangannya.
“Mau pulang kapan?”
Cowok yang berperan sebagai anak kerabat kedua orang tua Anne ini diberi tugas untuk selalu menjaga Anne. Karena selain bungsu dari tiga bersaudara yang sering dibiarkan sendiri di rumah, Anne juga seorang siswi yang berusaha untuk tidak merasa kesepian. Tapi, dengan adanya Ken tidak juga membuat Anne merasa tidak kesepian.
“Bukannya seharusnya lo udah pulang dari tadi?”
“Lo siap nyaksiin mayat gue besok kalo gue balik tanpa lo?”
Anne mencibir dalam hati.
“Ken, kenapa sih mau aja dikasih tugas kaya gitu? Papa mama gue tuh ngga serius dan cuman mau ngerjain lo doang.”
“Harus berapa kali lagi gue bilang, hal ini jangan dibahas lagi. Mau pulang kapan?”
“Tapi gue ngga suka. Lo pulang duluan aja, gue mau pulang sendiri aja.”
“Yaudah, gue nungguin lo dulu. Yang penting lo pulang sama gue.”
Kenapa orang tua Anne setega ini membiarkan anak perempuannya harus selalu bersama Ken kemanapun dia pergi. Ken bukan bodyguard, Ken bukan siapa-siapa Anne. Tapi kenapa Anne harus merasa terkekang saat bersama Ken?
“Hujannya udah reda. Ayo ke parkiran.”
“Kan udah gue bilang, lo pulang sendiri aja.”
“Terus lo mau pulang sama siapa? Naik apa? Jam berapa?”
“Ken! Lo itu bukan siapa-siapa gue. Bisa ngga sih—maaf”
Tersadar, Anne akan menyakiti hati seseorang bila ucapannya diteruskan. Anne memutuskan pulang bersama Ken.
Keheningan menyelimuti mereka berdua di dalam mobil. Ken asik dengan kemudinya, sedangkan Anne asik dengan iPod dan ponselnya.
Sesekali, Ken mencuri pandang ke arah Anne. Senyum orang yang sedang jatuh cinta tergambar jelas di wajah Anne. Mata Anne tak lepas dari layar ponsel, dan setiap kali ponselnya berdering, Anne menyunggingkan senyumnya. Ken hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Anne melepas headset yang sejak tadi menggantung di kedua telinganya, memasukkan ponsel ke dalam tas selempang warna putihnya.
“Ken, mampir ke O’Cafe ya?”
“Udah sore. Lagian kan lo bisa bikin sendiri chocochino kesukaan lo itu.”
“Yaudah, lo turunin gue di depan O’Cafe. Nanti gue bisa pulang sendiri naik angkot.”
“Susah ya kalo mau nolak ajakan lo.”
Kemudian Ken mengarahkan mobilnya ke arah kiri, ke kafe biasa yang sering mereka kunjungi. Sebenarnya, O’Cafe adalah tempat favorit Anne. Anne sering kesana walau hanya untuk memesan chocochino kesukaannya.
Setiap kali kesana, Anne selalu duduk di lantai dua, pinggir balkon. Karena menurutnya, menikmati chocochino sambil melihat aktivitas di bawahnya, mengasikan. Terkadang, Anne sering sekali menghabiskan waktu disini. Bersama Ken.
Tersadar, ini memasuki tahun pertama Ken menjabat sebagai teman sekolah sekaligus supir dan bodyguard Anne. Semenjak kakak pertama Anne menikah dengan orang berketurunan Arab-Jerman, kakak perempuan Anne memutuskan untuk menetap tinggal di Jerman, mengikuti suaminya.
Dan kakak kedua Anne, sejak dia diterima di salah satu Universitas di Australia, Anne merasa kehilangan sosok kakak keduanya ini. Walau dia seorang lelaki, tapi dialah yang paling dekat dengan Anne. Mungkin perbedaan usia yang hanya dua tahun yang menjadikan mereka begitu dekat.
Satu alasan lagi mengapa kedua orang tua Anne meminta Ken menjaga putri bungsunya. Karena pekerjaan papa mama Anne-lah yang mengharuskan Anne dijaga. Kepergian dan kembalinya papa mama Anne sulit ditebak. Di rumah, Anne hanya tinggal bersama Bik Sumi dan Mang Imo.
“Anne, gue mau nanya deh.”
“Nanya apaan? Nanya kapan lo diudahin sama kedua orang tua gue buat ngejagain gue?”
“Ngga kok, kalo soal itu sih gue ngga keberatan, bahkan kedua orang tua gue juga fine aja. Gue mau nanya, kenapa setiap kesini, lo selalu maunya duduk disini dan mesen minumnya selalu chocochino?”
Anne diam sejenak dan memperhatikan cowok sepantaran yang duduk di hadapannya. Tapi, Ken malah membuang pandangan.
“Soalnya duduk disini tuh asik. Bisa lihat kegiatan dibawah sana, liat kendaraan yang mondar mandir, pokoknya asik deh. Kalo soal gue selalu mesen chocochino,”
Anne memeluk secangkir chocochino hangat dengan kedua telapak tangannya, menghirup aromanya.
“Chocochino yang ngenalin gue tentang cinta.”
“Cinta?”
“Iya. Cinta. Kenapa?”
“Ngga. Ngga kenapa-napa.”
Mereka kembali asik dengan pikiran masing-masing sebelum akhirnya Anne juga melontarkan sebuah tanya untuk Ken.
“Ken, gue juga mau nanya.”
“Nanya apa? Nanya kapan gue bosen untuk selalu nemenin lo?”
Anne mengangguk sambil tersenyum.
“Sampe kedua orang tua lo nyuruh gue berhenti jagain lo.”
“Kalo ngga akan?”
“Sampe—“
“Apa?”
“Sampe gue udah ngga mampu lagi,”
Lalu Ken berdiri dan meninggalakn Anne.
“Gue tunggu di mobil.” ucapnya sebelum akhirnya benar-benar turun ke bawah.
Mendengar jawaban Ken yang terakhir, membuat Anne sedikit berpikir. Kenapa Ken memilih jawaban yang sama sekali tidak terlintas di pikiran Anne?
Lima menit kemudian Anne membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Duduk, diam, dan kembali sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Ken mulai menghidupkan mesin dan mengemudikannya.
“Anne,” yang punya nama hanya menoleh. “Jangan pernah bilang gue bodyguard lo atau supir dan lain-lainnya. Beberapa hal yang harus lo tau. Pertama, ini adalah sebuah keharusan yang harus gue jalanin atas dasar rasa hormat sama kedua orang tua lo. Karena apa? Papa mama gue bilang, orang tua lo adalah kerabat dekat mereka. Kedua, rumah kita cuman beda blok makanya gue siap-siap aja nganter dan jemput lo. Ketiga, gue ngga mau dibilang supir karena ini mobil gue. Jadi lo ngga bisa bilang gue supir. Oke?”
Anne diam untuk beberapa detik.
“Jadi lo turun duluan, masuk mobil duluan, untuk nyiapain kata-kata buat ngomong barusan?”
“Ngga juga.”
“Oke, I understand.
“Good.” Ken tersenyum.
Keesokan harinya, Anne sudah berdiri dengan seragam hari Kamisnya. Kemeja kotak-kotak berwarna merah marun dan rok putih selututnya. Untuk beberapa menit, Ken sudah ada di depan gerbang rumah Anne dengan mobil abu-abunya.
Hanya perlu menghabiskan waktu dua puluh menit untuk bisa sampai ke sekolah. Begitu selesai memarkir, Ken segera mematikan mesin mobilnya.
Ada yang menarik perhatian Anne melalui kaca spion mobil Ken. Dengan gesit, Anne bergegas turun dari mobil Ken.
“Eh, Anne, tunggu!” teriak Ken.
“Gue buru-buru.” Anne langsung menutup pintu mobil Ken.
Ken yang masih duduk di belakang stir mencoba mengikuti langkah Anne. Gadis itu berjalan seperti biasa di koridor lantai satu. Tapi, tepat di belakang seorang senior itu.
Sedikit Ken tau, Anne menyukai kakak kelas itu. Senior tingkat akhir itu berhasil merebut perhatian Anne. Padahal setau Ken, teman-teman setingkatnya juga banyak yang mengincar Anne. Bahkan, tak sedikit juga adik kelas yang kerap meminta nomor telepon Anne pada Ken, karena tau Ken selalu bersama dengan Anne. Hanya saja, Ken tidak pernah cerita pada Anne.
Sesampainya di kelas, Ken duduk di kursinya. Mencoba menenangkan pikirannya dari ketidakjelasan yang menyerang otaknya—entah sejak kapan.
Tapi tak berhasil, Ken bangun dan menghampiri Anne ke kelasnya, di sebelah kelas Ken.
“Tadi kenapa buru-buru banget turun dari mobil sih Ne?” tanya Ken yang duduk di kursi depan barisan Anne.
“Kenapa nanyain itu?”
“Iseng aja sih nanya itu.”
“Ke kelas gue cuman buat iseng nanya gituan? Ngga ada yang lebih kurang kerjaan lagi?”
Ken diam. Entah mengapa dia gugup. Lalu berdiri dan pergi dari kelas Anne. Anne hanya membuang napas dan menggelengkan kepalanya.
Saat jam istirahat, Ken mengisi satu jamnya untuk bermain futsal di lapangan sekolah bersama teman setimnya. Baru seperempat waktu bermain, ada sesuatu yang menarik perhatian Ken. Lehernya mendangak ke balkon koridor lantai tiga.
Ken pastikan seorang gadis yang sedang bersebelahan dengan senior itu adalah Anne. Ken tak habis pikir, mau-maunya Anne ke kawasan senior.
Ken melanjutkan permainannya. Beberapa menit kemudian, Ken mencoba mendangak ke lantai tiga, tempat tadi Ken melihat Anne. Tapi sudah tak ada siapa-siapa disitu.
Sepulang sekolah, Ken sudah menunggu Anne di mobilnya. Hampir satu jam menunggu Anne, namun gadis itu tak juga muncul.
Beberapa saat kemudian, Ken melihat Anne dari sudut koridor, bersama senior itu. Tapi, Anne kenapa masuk ke mobil senior itu? Anne pulang dengannya? Kenapa tidak memberitahu Ken?
Ken membuntuti mobil seniornya itu. Benar dugaan Ken, mereka pasti ke kafe langganan Anne. Ken merogoh ponsel dari tasnya, tidak ada pemberitahuan apapun dari Anne. Anne sengaja tidak menghubungi Ken? Entahlah. Ken memutuskan menunggu mereka selesai.
Sekitar dua jam, Anne dan senior itu keluar dari O’Cafe. Baru saja Anne membuka pintu mobil, Ken menarik paksa tangan Anne dan menghiraukan seniornya itu.
“Ken, apaan sih?! Ken, lo ngga sopan.” bisik Anne. Ken tetap diam dan tetap menggenggam pergelangan tangan kanan Anne.
“Ne, yaudah, kamu balik sama dia aja. Hati-hati ya.” Kata senior itu.
“Tapi kak—“
“Dia udah nyuruh lo balik sama gue.”
Sekarang Anne sudah bersama Ken. Terlihat kemarahan di wajah Anne.
“Lo keterlaluan Ken.”
“Kadang gue emang harus keterlaluan, Ne.”
“Lo tuh nyebelin!”
“Dan gue juga harus sesekali nyebelin.”
“Apa lo ngga pernah jatuh cinta? Lo tau? Ini first date gue sama dia, dan lo ngehancurin!”
“Ngehancurin? Gue narik lo paksa pas kalian udah selesai ngedate kan?”
“Lo emang bener-bener ngga ngerti perasaan gue Ken.”
Ken menoleh ke arah Anne, dimana Anne sedang menghapus air mata yang sudah turun ke pipinya. Ken merasa bersalah.
“Maafin gue, Ne.”
“Basi.” ucap Anne dengan suara bergetar.
“Apa lo ngga pernah jatuh cinta?” Pertanyaan Anne tadi sore masih terngiang di kepala Ken. Ken sendiri bingung seandainya pertanyaan itu harus dijawab. Ken baru sadar, dia belum pernah jatuh cinta. Ken belum pernah merasakan pahit-manisnya cinta. Kalau pahitnya serbuk chocochino, Ken sudah pernah merasakan. Juga manisnya saat chocochino sudah disajikan dalam cangkir.
Tunggu, apa rasa suka Anne terhadap senior itu sudah berkembang menjadi cinta? Apa cinta secepat detik berjalan? Ken tak percaya. Secepat itu tak bisa dikatakan cinta. Sebentar, tau apa Ken tentang cinta? Merasakannya saja belum pernah.
Beberapa hari kemudian, keluarga Ken diundang ke acara makan malam bersama oleh keluarga Anne. Hitung-hitung ngumpul bersama. Terlebih karena kedatangan kakak pertama Anne dan suami beserta kedua anaknya dari Jerman, juga kedatangan kakak laki-laki Anne yang sedang libur kuliah.
Karena makan malam sudah selesai, mama Anne, mama Ken dan kakak perempuan Anne—Jihan namanya, memilih menggosip ria di tempat santai yang tersedia. Kalau papa Anne, papa Ken dan suaminya kak Jihan sedang asik ngobrol soal kerjaan sambil minum kopi di gazebo. Kedua keponakan Anne, Raka dan Rafa sedang asik bermain ayunan di taman. Dan kakak laki-laki Anne memilih mengobrol dengan adiknya. Ken sedang menyendiri di sana.
“Lo lagi berantem sama Ken?” tanya kakak laki-lakinya, Jo nama panggilannya.
“Engga.” sesaat Anne melirik Ken yang ternyata sedang memandangnya.
“Terus kenapa diem-dieman? Biasanya kan lo udah cerewet ngomentarin si Ken yang pendiam.”
“Lagi pengin diem aja. Udah deh ah, kok sekarang jadi lo yang cerewet kak.”
“Oke. Ngomong-ngomong, udah punya pacar di sekolah?”
“Nanya apa deh lo? Gimana gue mau punya pacar kalo setiap hari ada bodyguard?”
Dengan kesengajaan, Anne bicara barusan dengan nada yang tidak pelan, guna menyindir Ken yang sedang asik memainkan ponselnya.
“Bodyguard? Maksud lo Ken? Ngga boleh gitu,” kak Jo mengelus kepala adiknya. “Ken, sini, sendirian aja. Nanti dimakan nyamuk lho.” teriak kak Jo.
“Kak Jo!” Anne menyikut perut kakaknya.
“Kenapa? Katanya lagi ngga berantem kan?”
“Kenapa kak?” tanya Ken.
“Disini aja. Anne minta ditemenin sama lo.” ucap Jo setelah akhirnya membiarkan Ken berdua dengan Anne.
“Hah?” Anne hanya memasang tampang penuh tanda tanya. Kapan Anne bilang pada kakaknya kalau ia minta Ken menemaninya?
“Gue boleh duduk?”
“Duduk aja.” jawab Anne ketus dan segera berdiri untuk pergi dari situ.
“Ada yang mau gue omongin.” Ken menarik tangan Anne.
Anne duduk di tempatnya semula. Matanya menerawang jauh, memasang wajah sinisnya, menunggu Ken untuk bicara.
“Maaf untuk kejadian beberapa hari yang lalu. Jujur, gue ngga enak sama lo. Terlebih, gue juga ngga enak lo marah sama gue.”
“Terus?”
“Kita baikan ya?”
“Tapi ada syaratnya.”
Apakah perkiraan Ken benar? Ken membuang napas.
“Apa?”
“Selama seminggu ke depan, lo ngga perlu nganter jemput gue. Karena gue bakalan berangkat dan pulang sama Rangga.”
Dugaan Ken tak meleset, Ken mengangguk.
“Lo jadian sama dia?”
“Engga. Dia bilang, dia ngga mau terikat apapun. Soalnya dia mau fokus UN dulu. UN kan tinggal lima bulan lagi.”
“Setelah itu?”
Anne diam mendengar pertanyaan Ken.
“Setelah itu? Kok pertanyaan lo udah jauh banget sih? Gue aja ngga sempet kepikiran nanya itu ke dia.”
“Sama aja dong lo jalan di atas air. Ngambang.” Ken meninggalkan Anne yang sedang berpikir keras.
Ken menjalankan syarat dari Anne. Selama satu minggu dia berangkat dan pulang sekolah sendiri. Tapi tetap saja, Ken selalu mengemudikan mobilnya di belakang mobil senior itu.
Hingga memasuki hari ke delapan Ken berangkat sekolah sendiri. Tidak ada tanda dari Anne. Sepertinya, Anne memanfaatkan situasi ini. Tapi Ken tidak.
Sepulang sekolah, tanpa menunggu Anne dan senior itu keluar dari sekolah, ia langsung cepat bergegas ke tempat langganan Anne. Kemana lagi kalau bukan ke O’Café.
‘Ken? Kesini sama siapa dia?’ Anne membatin.
Anne dan Rangga naik ke lantai dua. Ke meja biasa tempat Anne meminum secangkir chocochino.
“Ken? Kok lo ada disini?”
“Kenapa? Emangnya ngga boleh?”
“Boleh sih. Tapi maksud gue, kenapa lo duduk disini?”
“Lho, kenapa emang kalo gue duduk disini?”
“Tapi ini kan meja gue.”
“Sejak kapan lo ada saham di O’Café?”
Anne mulai menatap Ken dengan pandangan tak enak.
“Yaudahlah Ne, lagian emang kamu ngga bosen kesini setiap hari? Udah gitu duduknya selalu disini. Mending kita cari tempat lain aja deh yuk.” ucap Rangga.
“Kafe lain ngga punya menu chocochino seenak O’Café, Rangga.”
“Ne, sebenernya aku tuh bosen kesini setiap hari cuman untuk nemenin kamu sambil ngeliatin kamu minum chocochino.”
“Kok kamu ngomongnya gitu?”
“Kamu harus tau satu hal. Aku itu tipe orang yang cepet bosen. Apa lagi kalau harus ke tempat yang sama, khas menu yang sama, dan sama orang yang sama. Monoton.” Rangga meninggalkan Anne yang mematung disitu.
Anne benar-benar tak percaya, laki-laki yang selama ini ia cintai bicara setega itu padanya. Bahkan Ken juga tidak percaya dengan kejadian barusan yang ia lihat. Senior itu benar-benar keterlaluan.
Dan untuk kedua kalinya Ken meihat Anne menangis.
“Ne, udah ya ngga usah nangis lagi.”
“Ini gara-gara lo Ken.”
“Gue? Kenapa gue?”
“Kalo aja lo ngga duduk disitu, mungkin gue ngga akan berdebat sama Rangga.”
Ken diam. Benarkah ini salah Ken?
“Oke ini salah gue. Maaf.” setelah bicara begitu, Ken pergi meninggalkan Anne.
Anne tak bisa berteriak untuk memanggil Ken, walau sangat ingin Ken menemani kesedihannya. Mungkin lebih baik Anne sendiri disini sampai air matanya habis.
Sudah ada dua cangkir bekas chocochino hangat dan segelas ice chocochino yang masih tersisa setengah di hadapan Anne. Rasanya seperti ingin memuntahkan semua yang ada di perut Anne. Dan Anne juga ingin memuntahkan semua kalimat manis dari Rangga yang pernah ia telan.
Anne keluar dari O’Cafe dan menunggu angkutan umum. Saat sedang menunggu, mobil Ken berhenti di hadapan Anne. Anne tak langsung masuk sampai akhirnya Ken turun dari mobilnya dan berdiri di sebelah Anne.
“Pulang sama gue ya Ne?”
“Kenapa lo masih disini?”
“Gue ngga mungkin ngebiarin orang yang lagi patah hati pulang sendirian.”
“Lo seneng gue patah hati? Iyalah. Pasti. Lo mau ngetawain gue kan?”
“Lo ngomong apa sih? Gue sama sekali ngga pengin ketawa. Mendingan sekarang lo masuk mobil dan ngga usah ngomong aneh-aneh lagi.”
Akhirnya Anne masuk ke mobil Ken. Keheningan yang tercipta sejak tadi, terpecahkan oleh ucapan Anne.
“Pokoknya besok gue harus ngomong sama Rangga. Gue harus nanya kenapa dia ngomong kaya tadi.”
“Ne, dia tuh bukan orang yang baik buat lo. Dia udah nyakitin perasaan lo dengan ucapannya tadi.”
“Ngga, Ken. Gue yakin dia bukan orang ngga baik. Gue udah sayang banget sama dia.”
Love is blind.
“Lo bilang cinta itu buta karena lo belum pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta.”
Ken memilih diam dan tidak melanjutkan topik pembicaraan ini. Sesampainya di depan rumah Anne.
“Berarti besok bareng kan?”
“Iya.”
Keesokan harinya, rutinitas itu kembali berjalan. Ken menjemput Anne di rumahnya dan Anne sudah menunggu Ken di depan gerbang rumahnya.
Sesampainya di sekolah, lagi-lagi Anne turun dari mobil tanpa menunggu Ken. Ken sudah tau, pasti Anne pergi menemui mantan HTS-annya itu.
“Rangga, aku mau ngomong sebentar sama kamu.”
“Sebentar lagi masuk. Jangan sekarang ya Ne.”
“Terus kapan?”
“Pulang sekolah. Di depan ruang teater.”
Menjelang libur semester, guru-guru makin sering ngga masuk. Seperti sekarang, guru mata pelajaran geografi tidak masuk. Dari pada bosan di kelas, Anne memilih untuk keluar kelas menikmati hembusan angin dari lantai dua.
Kedua tangannya ia taruh di atas tembok balkon, lalu dagunya ia jatuhkan diatas tangannya. Melihat ke bawah, ke lapangan. Memperhatikan tukang bersih-bersih sekolah yang sedang menyapu daun-daun kering yang berjatuhan.
“Ngga ada guru juga?” tiba-tiba Ken sudah berdiri di samping Anne.
“Engga.”
“Nanti bel pulang langsung pulang aja ya. Ngga usah ke depan ruang teater buat ngomong sama Rangga.”
“Lo nguping?”
“Ngga sengaja denger dan liat kalian bicara.”
“Gue harus ngomong, dan lo ngga usah sok ngatur gue.”
“Gue bukannya ngatur, tapi sebagai cowok, gue tau kalau Rangga ngga suka sama lo. Dan selama lo deket sama dia, dia ngga punya rasa apapun sama lo.”
“Ken, berapa lama lo ngelatih mulut lo untuk jahat? Gue ngga nyangka ya, setega itu lo ngomong kaya gitu.”
“Tapi emang kenyataannya begitu.”
Tanpa membalas ucapan Ken, Anne meninggalkan Ken. Anne memilih masuk ke ruang kelasnya. Disitu sampai bel pulang berbunyi. Ya, sekitar tiga puluh menit lagi.
Begitu bel berbunyi, Ken buru-buru keluar kelas dan pergi ke kelas sebelah. Tapi, Anne sudah tidak ada di kelas. Berarti, Anne sudah ada di depan ruang teater. Menunggu Rangga.
Ken segera menyusul. Namun niat untuk menghampiri Anne ia urungkan, karena pada saat yang bersamaan, Rangga datang.
“Mau ngomong apa lagi Anne?”
“Aku yakin, kemaren kamu ngomong gitu cuman karena kamu lagi emosi kan?”
Rangga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Seperti orang kebingungan menanggapi adik kelasnya yang satu ini.
“Kak?” Anne mulai meneteskan air mata.
“Ayo pulang.” Ken sudah menggenggam erat pergelangan tangan Anne.
“Ken, lepas! Gue mau ngomong dulu sama Rangga!” Anne berusaha melepaskan tangannya dari genggaman erat Ken.
“Sekarang, Ne.” Ken tetap memaksa Anne untuk ikut dengannya.
“Ne, mending kamu nurut sama bodyguard kamu.” Ucap Rangga dengan nada meledek.
“Kak dia bukan bodyguard aku. Ken lepasin ih! Kak Rangga.”
Tak sempat banyak bicara karena Ken terlalu kuat menarik Anne untuk ikut dengannya. Anne hanya bisa menangis antara menahan sakit di pergelangan tangannya atau menahan sakit di hatinya karena ulah Ken dan Rangga.
Sesampainya di depan mobil Ken.
“Ken lepasin tangan gue! Sakit!” erang Anne. Ken melepas genggaman itu. “Lo ngga punya hak! Lo ngga punya hak, Ken!” teriak Anne.
“Masuk ke mobil,” ucap Ken. Anne masih menatap Ken dengan tatapan marah. “Gue bilang masuk ke mobil.”
Anne masuk ke mobil dan masih terus menangis meneteskan air mata. Ken benar-benar marah atas perlakuan Anne pada Rangga. Menurut Ken, Anne benar-benar sudah menjatuhkan harga dirinya di hadapan Rangga.
Anne diam menatap jalanan dan sesekali menghapus air matanya yang menetes. Ken juga sesekali menoleh ke arah Anne, melihat ceplakan genggaman erat tangan Ken di pergelangan tangan Anne.
“Ngga seharusnya lo mempermalukan diri lo sendiri di depan Rangga.”
“Lo yang keterlaluan Ken!” teriak Anne. “Berhentiin mobilnya.” ucap Anne kemudian.
“Lo apa-apaan sih? Ini udah mau hujan.”
“Gue bilang berhentiin mobilnya!”
Ken menghentikan mobilnya di tengah jalan yang sepi. Karena gelap sudah menyelimuti langit dan perlahan rintik hujan turun, mengikuti Anne yang turun dari mobil. Ken pun akhirnya turun.
“Lo mau kemana?” tanya Ken seraya menarik tangan Anne.
“Bukan urusan lo.” Anne membanting tangan agar tangan Ken terlepas dari tangannya.
“Ne, lo jangan gila. Ini udah mau—“
“Lo yang gila! Lo yang ngga waras!” Anne berhenti melangkah. “Ken, lo ngga punya sedikitpun hak untuk ngatur gue. Lo bukan siapa-siapa gue.”
“Gue cuman mau yang terbaik buat lo. Dan gue tau Rangga ngga baik buat lo. Gue ngga suka lo memperlakukan Rangga semanis itu.”
“Sikap gue ke Rangga itu urusan gue, bukan urusan lo. Ngga usah sok tau mana yang baik buat gue. Sekali lagi gue tegasin, lo bukan siapa-siapa gue dan lo ngga ada hak atas hidup gue!”
“Tapi gue peduli sama lo.”
“Kalo lo peduli, harusnya lo bantu gue untuk dapetin Rangga.”
“Rangga ngga pantes buat lo.”
“Ken, lo bukan papa gue yang bisa nentuin siapa yang pantes buat gue. Lo itu manusia yang ngga punya hati, yang ngga pernah ngerasain cinta dan ngga pernah ngehargain perasaan orang lain. Lo. Ngga. Punya hati.” Anne menatap tajam mata Ken.
Ken diam mendengar pernyataan dari Anne.
“Sekarang lo diem kan? Baru sadar kalo selama ini lo ngga punya hati?”
Anne berjalan menuju mobil Ken, mengambil tasnya dan segera pergi meninggalkan Ken yang masih mematung di depan mobilnya. Anne berjalan meninggalkan Ken sendiri.
Ken masuk ke mobilnya kemudian mengemudiakan dengan kecepatan yang melewati batas seharusnya. Ken mengendarai mobilnya sampai decitan dari ban mobilnya terdengar jelas dan mengendarai melewati Anne yang berjalan di pinggiran.
Anne memperhatikan mobil itu. Teringat sesuatu bahwa sepertinya omongannya terhadap Ken sudah menyakiti hati Ken.
Keesokan harinya, Anne menunggu Ken di depan rumahnya. Tapi, sudah dua puluh menit menunggu, Ken tak juga datang. Apakah Ken marah pada Anne?
Untung hari ini free class. Jadi gerbang tidak di tutup jam 7 teng. Kalau bukan hari bebas, mungkin Anne sudah telat dan disuruh pulang. Atau kalau tetap mau masuk, harus melewati hukuman sepanjang satu jam mata pelajaran.
Anne sampai sekolah jam 7.10 menit. Karena Ken tidak menjemputnya, Anne meminta Mang Imo mengantar Anne dengan motornya.
Sesampainya di sekolah, Anne mencari sosok Ken. Anne tau Ken ke sekolah karena mobil dengan nomor polisi B 107 KEN sudah terparkir di parkiran sekolah.
Tak sulit mencari sosok Ken. Karena Anne tau Ken pasti berada di lapangan. Anne menunggu Ken selesai bermain futsal—olahraga favoritnya. Seselesainya Ken bermain, Anne menghampirinya.
“Ken, kenapa tadi pagi lo ngga jemput gue?”
Ken diam tanpa sedikitpun melirik Anne.
“Ken gue nanya. Kenapa tadi ngga jemput gue? Gue sampe lumutan tau ngga sih nungguin lo. Kalo emang ngga mau jemput, kabarin gue kek!”
Ken masih diam sambil mengikat tali sepatu futsal di kaki kanannya. Tiba-tiba bola futsal tergiring ke samping kaki kanan Ken. Ken berdiri dan menendang bola futsal itu sekencang-kencangnya tanpa peduli siapa yang akan menjadi korban tendangan bola tersebut.
Anne tau kerasnya bola futsal. Dan Anne benar-benar kaget melihat bola yang Ken tendang dengan cantik menabrak jaring gawang di ujung sana. Mata yang melihat tendangan itu langsung memberi tepukan tangan untuk Ken.
Tapi Anne sadar akan satu hal. Tendangan Ken barusan adalah luapan amarah Ken padanya. Anne sadar, kemarin sore ia salah bicara. Anne keterlaluan sampai membuat Ken marah seperti ini. Mungkin Ken tersinggung dengan ucapan Anne.
Sepulang sekolah, Anne sudah menunggu Ken di depan mobilnya. Tak lama, Ken datang dan melempar tatap pada Anne seolah bertanya, ‘Ngapain di depan mobil gue?’.
“Akhirnya lo dateng juga. Ken, gue mau ngomong sama lo.” Anne menunggu jawaban Ken. “Kok lo diem aja sih? Ngga pengin tau gue mau ngomong apa?” tanya Anne.
“Mau ngomong apa?”
“Tapi ngga disini.”
Ken menekan tombol pembuka kunci mobilnya dan segera masuk, begitu juga Anne yang masuk ke mobil tanpa Ken suruh.
“Ken,” Anne diam sejenak dan meneliti wajah Ken yang sedang fokus melihat jalanan. “Ada temen sekelas gue yang nanyain lo.”
“Basa basi yang basi.”
Sejujurnya, Anne kesal menghadapi seseorang yang sikapnya seperti Ken sekarang. Ketus, sinis, dingin. Walaupun kadang Anne bersikap ketus dan sinis, bukan berarti ia suka berhadapan dengan orang yang bersikap seperti itu.
“Lo tuh kenapa sih? Bisa ngga sih ngga usah kaya gitu.”
“Kenapa? Emang bener kan, lo cuman basa basi doang?”
Anne diam. Lalu mobil Ken sudah terparkir di O’Café. Ken membuka pintu mobilnya.
“Mau tetep di mobil?” tanya Ken yang melihat Anne diam saja dari tadi. Lalu Anne membuka pintu mobil dan turun mengikuti Ken.
Ken sudah menghabiskan setengah gelas ice vanilla late-nya, tapi Anne belum juga menyentuh cangkir chocochino-nya yang hampir dingin.
“Kalo sampe minuman gue udah abis dan minuman lo belom abis, gue tinggal lo disini.” ucap Ken.
“Maafin gue.”
“Atas apa?”
“Omongan gue kamren sore.”
“Omongan lo kemaren sore ngga ada yang salah.”
“Tapi gue ngerasa salah.”
“Ngga kok. Semua yang lo omongin bener. Gue aja yang ngga sadar, dan omongan lo menyadarkan gue.”
“Ken…”
“Gue manusia tanpa perasaan.” Ken nyengir kuda.
“Setiap orang punya perasaan kok. Mungkin emang gue yang salah, bilang lo manusia tanpa perasaan.”
“Mungkin gue emang belum pernah ngerasain cinta, kaya yang lo bilang. Tapi semenjak,”
Ken diam.
“Semenjak apa?”
“Semenjak gue sadar kalo yang gue rasakan adalah cinta, gue tau yang namanya memendam.”
“Cinta itu harus diungkapakan biar ngga sesak.”
“Percuma. Karena gue jatuh cinta sama seseorang yang buta karena cintanya sama seseorang.”
Anne menyeruput chocochino-nya yang mulai mendingin.
“Apa cinta yang lo punya semanis chocochino?”
“Mungkin.”
Ken menatap Anne sampai Anne harus memalingkan wajahnya dari tatapan mata Ken.
“Semanis penikmat chocochino yang hampir dingin.”
                                                            END.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]