Cerpen: Demi Kita [Part 2]

Next.


“Asiknya makan di kantin berduaan.” sindir Anggar.
“Anggar lo mata-matain gue ya tadi?”
“Jadi kangen Carissa. Liburan masih lama ya? Mau ketemuan sama My Boo.
“Boo? Kebo?” tanya Adri.
“Panggilan sayang itu,” jawab Alva. “By the way. Gimana rasanya makan berdua bareng cowok lain selain kita?”
“Ya kaya makan biasa bareng cowok pada umumnya.”
“Yakin ngga ada yang spesial?” tanya Adri.
“Ada sih. Tapi…”
“Kenapa?” tanya Adri, Alva, dan Anggar.
“Ngga lebih spesial kaya gue makan bareng kalian.”
“Akhirnya…” ucap Adri, Alva, dan Anggar yang bernapas lega.
~
Sore ini langit cukup mendung. Bahkan gerimis mulai turun. Gazebo di halaman belakang yang tadinya tempat mereka mengobrol, jadi pindah ke ruang tv lantai 2.
Sekarang gerimis sudah berubah jadi hujan yang cukup deras dan sahut-sahutan dengan kilat. Saat itu, Alva sedang asyik tiduran di sofa panjang sambil memainkan ponselnya. Anggar duduk di kursi tunggal sambil mengunyah keripik kentang sembari ia peluk toplesnya. Sedangkan Adri duduk di sebelah Elsa, di sofa di seberang sofa yang diduduki Anggar.
“Lo mau ngomong apaan sih El? Emangnya sepenting itu ya?” tanya Anggar.
“Gue ngga tau ini berita baik atau buruk. Tapi kalian harus tau karena kalian bersangkutan.”
“Emang apaan? Tegang gitu muka lo.” ucap Anggar.
“Kita di ajak liburan weekend ini.”
Alva bangun dari tidurannya.
“Serius El?” tanya Alva.
“Itu berita baik!” Anggar melempar keripik kentang kearah Elsa.
Mungkinkah keluarga Elsa akan mengajak Elsa dan sahabat-sahabatnya liburan ke Lombok lagi seperti saat libur kelulusan SMP tujuh bulan yang lalu? Atau menginap ke Villa milik keluarga Elsa di puncak? Atau bahkan pergi ke kampung halaman mama Elsa di Garut?
“Sebentar, Elsa belum selesai ngomong.” kata Adri.
“Kita di ajak liburan sama… Ka Febrian.”
“Febrian???” mereka bertiga kompak. Elsa mengangguk.
“Gue engga deh. Mending main game di rumah.” kata Anggar.
“Kalo gue mending skype-an seharian sama Carissa.” ucap Alva.
“Lo juga ngga mau Dri?” Elsa langsung menoleh kearah Adri. “Kalian mau gue cuman berdua pergi sama ka Febrian?” nada bicara Elsa lirih, hampir menangis.
“Gue ikut nemenin Elsa.”  ucap Adri.
“Hah?” Anggar dan Alva kaget.
Please Va, Nggar, ikut ya?” mohon Elsa.
“Adri ikut, gue ngga bisa diem aja.” kata Anggar.
“Yaudah, gue juga ikut.” kata Alva.
Elsa tersenyum kegirangan.
~
Malam ini Elsa meminta Adri untuk menemaninya ke mall. Elsa ingin membeli pakaian baru dan perlengkapan lain-lainnya untuk liburan bersama sahabatnya dan juga Febrian. Dengan sabar Adri menemani Elsa. Bahkan Adri harus rela jika diberi pertanyaan “Bagusan yang mana, yang ini atau yang ini?  Cocokan yang mana? Yang merah atau yang biru?”. Namanya juga hidup, penuh pilihan.
Hampir empat jam Adri menemani Elsa keliling mencari baju, celana, dan sepatu. Sesudah itu, mereka memilih tempat makan untuk lunch yang sebenarnya hampir masuk waktu makan malam.
“Maaf ya gue ngerepotin lo hari ini. Makasih ya, Dri.” ucap Elsa.
“Sama-sama El. Kenapa lo ngga ngajak Alva sama Anggar juga?”
“Yang ada, gue di keroyok. Gue minta lo nemenin gue, soalnya kan lo pendiem hahaha. Jadi pasti sabar banget.”
“Selagi gue bisa, pasti gue temenin ko.”
Adri menatap lekat sepasang mata gadis di hadapannya. Adri tak perlu takut untuk berlama-lama menatap mata indah Elsa. Berkali-kali Elsa membuang pandangan, namun seakan tatapan Adri adalah magnet yang selalu menarik Elsa.
Tapi semua buyar saat pelayan mengantarkan pesanan mereka.
“Dri, gue mau nanya sesuatu sama lo.”
“Apa?”
Elsa menarik napas.
“Menurut lo… friendzone itu ada ngga?”
Adri menghentikan suapannya. “Kenapa nanya kaya gitu?”
“Ngga, nanya doang ko.”
“Kalo ngga ada, ngga mungkin ada istilah itu.”
“Berarti ada?”
“Iya.”
“Dalam persahabatan kita ada ngga?”
“Dari TK sahabatan, kayanya belum ada kejadian itu deh.”
“Kemungkinan ada ngga?”
Adri menatap Elsa. “Mungkin.”
~
“Alva awaaaaaaaaaasss!!” teriak Elsa, Anggar, dan Adri.
Alva langsung menginjak rem. Dan… hampir saja!
“Alva lo kenapa?” tanya Elsa.
“Va, lo lagi ada masalah?” tanya Adri.
“Lo hampir ngebunuh kucing nyebrang loh tadi.” kata Anggar.
“Iya, sorry.” Alva melanjutkan mengemudinya.
Sesampainya di kelas, Alva langsung mendengarkan lagu dari iPod nya. Ketiga sahabatnya tak mau mengganggu dulu.
Saat istirahat, Alva langsung pamit keluar kelas. Entah si bule itu mau ke mana. Namun Adri dan Anggar memberi kepercayaan pada Elsa, dan Elsa tahu harus bagaimana.
Elsa tahu ke mana sahabatnya pergi kalau sedang galau atau ada masalah. Saat di sekolah, Alva selalu pergi ke atap gedung sekolah di lantai paling atas. Di sana memang asyik untuk menyendiri.
Alva duduk di sebuah balkon tembok.
“Hay bule. What happen with you?” tanya Elsa yang berdiri di samping Alva yang sedang duduk sambil melihat ke bawah.
Alva tersenyum.
No problem. I’m fine.
“Bohong ah. Kalo ngga kenapa-napa, ngga mungkin ke sini.”
“Cuman lagi mau sendiri aja.”
Lalu Alva turun dari balkon dan berdiri di samping Elsa.
“Ada apa sih?”
“Gue masih bisa ngatasin masalah ini sendiri ko. Lo sama temen-temen yang lain tenang aja.”
“Beneran?”
“Lo kalo lagi kepo kenapa lucu banget sih?” Alva mencubit hidung Elsa.
“Sakit, Alva!” Elsa langsung mengusap-usap hidungnya.
By the way, masih sering di bully di sosmed?”
“Masih, hahaha. Apa lagi di instagram, tapi untungnya udah gue protected.
“Padahal kan lo baik ya, lo cantik. Kenapa banyak yang ngga suka sama lo.”
“Soalnya, yang ngga suka sama gue itu pada sukanya sama lo, Adri, Anggar. Pada ngga suka sama gue karena gue deket banget sama kalian bertiga.”
“Padahal kan kita deket dari kecil ya. Sabar ya El.”
“Emangnya gue pernah stress ya mikirin ini?”
“Ngga, sih.”
Mereka diam untuk beberapa saat.
“Alva. Menurut lo… friendzone itu ada ngga?”
“Ada yang lo suka diantara gue, Anggar, dan Adri?”
“Ngga. Gue cuman nanya aja.”
“Kenapa nanya itu?”
“Iseng aja, iya, cuman iseng ko.”
Alva diam dan seperti memikirkan cara menjawab pertanyaan Elsa.
“Mungkin ada.” jawab Alva.
~
Saatnya liburan!
Sekitar pukul sepuluh pagi Alva sudah berada di depan rumah Elsa bersama Anggar dan Adri. Menunggu nona ribet keluar dan pamit pada kedua orang tuanya serta kakaknya. Namanya juga perempuan. Bukan perempuan namanya kalo ngga ribet.
Adri bahkan harus turun dari mobil untuk membantu Elsa membawa tas tentengnya yang berisi cemilan. Namun pada akhirnya, Anggar dan Alva ikutan turun untuk sekadar pamit dan menicum tangan kedua orang tua Elsa dan juga say hi pada ka Lucas.
Febrian menyuruh Elsa dan ketiga sahabatnya untuk langsung ke Villa milik keluarga Febrian di daerah Lembang. Febrian sudah memberikan alamatnya pada Elsa. Sekitar lima jam di tempuh mereka berempat. Selain macet, cuaca juga sedang tidak bersahabat karena hujan dan mengendarainya harus hati-hati agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Bahkan Alva meminta Adri untuk menggantikannya menyetir.
Sesampainya di lokasi, Alva, Anggar, dan Adri tidak begitu menyesal karena Villa milik keluarga Febrian ini cukup menarik. Selain view-nya yang bagus, lokasinya juga nyaman dengan udara dinginnya.
Villa yang cukup besar dengan halaman yang juga besar di sekeliling villa nya. Sudah ada Febrian di sana.
“Thanks ya udah mau dateng ke acara gue.” kata Febrian.
“Thanks juga buat undangannya.” ucap Adri mewakili sahabatnya.
“Nikmatin aja kaya di rumah sendiri. Oh iya, masuk yuk, sekalian pilih kamar.”
Elsa, Alva, Adri, dan Anggar mengikuti komando Febrian untuk masuk ke dalam sekalian pilih kamar untuk mereka tempati. Tapi…
“Kalian ngapain di sini??” tanya Anggar.
“Keberadaan kita di sini, sama ko kaya tujuan kalian.” jawab Clara.
“Ka Febrian, mereka kakak undang juga?” tanya Adri.
“Permintaan Elsa.” jawab Febrian.
Sontak Alva, Adri, dan Anggar menatap Elsa yang berada di belakang mereka.
“El?” tanya Alva.
Elsa tersenyum dengan mata yang berbinar-binar. Kemudian, Anggar menarik Elsa keluar Villa, disusul Adri dan Alva.
“Maksud lo apaan sih? Lo mau kita bertiga ikut guna nemenin lo supaya ngga cuman lo berdua sama Febrian. Tapi kenapa ada mereka bertiga?” tanya Anggar dengan tatapan yang tak biasa—marah.
“Dan lo tau kan, gue, Anggar, dan Adri ngerasa keganggu sama mereka bertiga?”
“Maksud gue tuh supaya kalian… juga… couple.” jawab Elsa dengan nada pelan.
Couple? Jadi lo mau kita ke sini atas dasar keinginan lo berdua sama Febrian dan lo ngasih kita ikan asin, gitu?”
Bukan hanya Elsa, bahkan Alva dan Anggar baru kali ini melihat Adri semarah ini sampai harus bicara seperti itu pada Elsa. Padahal, Adri selalu bersikap halus pada Elsa.
“Lo bilang kita ke sini untuk nemenin lo karena ngga mau cuman berdua sama Febrian. Kalo gini kenyataannya, berarti lo bohong.” ucap Alva.
“Ngga gitu maksud gue, Va, Dri, Nggar.”
“Terus apa? Bukannya kita berempat sepakat kalo yang namanya dibohongin itu ngga enak? Lo udah lupa rasanya dibohongin itu ngga enak, El?” kali ini Adri yang bicara.
“Gue ngga ada niat buat bohongin kalian.” Elsa mulai meneteskan air mata.
Alva, Adri, dan Anggar diam. Febrian dan ketiga cewek teman sekelas Elsa juga hanya bisa diam.
“Selamat liburan!” ucap Adri ketus dengan tatapan sinis dan kemudian pergi meninggalkan Elsa, disusul Alva dan Anggar.
“Dri, lo mau ke mana?” tanya Anggar.
“Gue mau pulang.”
“Yaudah, pulang sama-sama aja.” kata Alva.
“Lo berdua ngga mau nemenin Elsa?” tanya Adri.
“Gue ngerasain apa yang lo rasain, Dri.” ucap Anggar.
“Yaudah yuk balik.” kata Alva.
~
“Gue ngga abis pikir kenapa Elsa ngelakuin ini.” ucap Adri.
“Apa lagi gue Dri.” ucap Anggar.
“Sebenernya, Elsa jadian ngga sih sama Febrian?” tanya Alva.
“Ya lucu aja sih ngajak liburan tapi ngga ada apa-apa.” jawab Anggar.
“Jadi maksud lo mereka berdua jadian?” tanya Adri.
“Lo kenapa? Kaya orang cemburu gitu.” kata Anggar.
“Ya… ya mana mungkin ngga cemburu sih.” ucap Adri, pelan.
Alva menginjak rem mendadak. Untung jalanan sepi. Anggar langsung melirik Adri, bahkan Alva menoleh ke belakang.
“Sorry. Tapi gue terlalu munafik kalo ngga ada perasaan apapun sama Elsa.” ucap Adri.
“Gue juga minta maaf.” ucap Anggar.
“Lo juga ada rasa sama Elsa?” tanya Adri.
“Kebersamaan kita ngga sebentar. Ngga mungkin ngga menimbulkan apa-apa kaya yang tadi lo bilang.” jawab Anggar.
“Gimana sama lo Va?” tanya Adri.
“Ya ngga mungkin lah. Alva kan udah punya pacar.” kata Anggar.
“Gue udah putus sama Carissa.”
“HAH?!”
“Satu minggu yang lalu. Dan mungkin, perasaan gue ke Elsa juga udah ada sejalan dengan hubungan gue sama Carissa.”
Adri menghela napas.
“Jangan sampe Elsa tahu hal ini.” ucap Adri.
“Kenapa?” tanya Anggar.
“Gue ngga mau kita ganggu pikirannya karena kita. Biar semua berjalan apa adanya, sampai waktunya tiba. Siapa seseorang yang akan bersama Elsa. Salah satu diantara kita bertiga atau bahkan bukan salah satu diantara kita bertiga.”
“Gue setuju sama Adri.” kata Alva.
~
Elsa tidak mungkin pulang ke rumah, juga tidak mungkin menginap di Villa Febrian. Elsa memutuskan untuk menyewa satu kamar penginapan yang ada di sana. Besok pagi, baru ia pulang naik transportasi yang tersedia di sana. Elsa tak mau merepotkan Febrian.
Elsa mencoba menghubungi ketiga sahabatnya, namun semua nomor tidak ada yang aktif satupun. Mungkin mereka masih marah karena ulah Elsa.
Elsa bingung harus bagaimana. Siang ini, masih di daerah yang sama—Lembang. Berada di sebuah tempat makan sambil menatapi ruang percakapan grup mereka berempat. Berharap ada yang membalas chat Elsa. Tapi nihil. Mereka bertiga kompak.
Sepanjang perjalanan ke Jakarta, Elsa tak henti-hentinya menangis. Ia menyesal sudah membohongi—jika mereka anggap kebohongan—ketiga sahabatnya.
Elsa sampai rumah sekitar jam 8 malam. Elsa langsung masuk kamar dan mengabaikan sapaan kedua orang tuanya yang sedang berada di ruang tv. Kakaknya… mungkin sedang asyik menulis cerita di  kamarnya.
Selesai mandi, Elsa langsung menghubungi ketiga sahabatnya lagi. Namun tak satupun merespon panggilan telepon Elsa.
Keesokan harinya, Elsa memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Alva juga tidak menjemput Elsa. Sudahlah.
Begitu mama Elsa menyadari putrinya belum juga keluar kamar, beliau langsung beranjak ke lantai 2 rumahnya. Mengetuk kamar Elsa namun tak ada jawaban. Begitu masuk, tubuh Elsa terbungkus selimut.
Tubuhnya panas dingin. Elsa demam tinggi!
Mama langsung memanggil Lucas yang hendak pergi ke kampus. Mama minta tolong agar Lucas mengantar Elsa ke rumah sakit.
Elsa sudah dalam penanganan dokter.
“Kamu ngga kuliah?” tanya mama.
“Masa Lucas tega biarin mama sendirian nungguin Elsa? Lucas titip absen aja deh.”
“Emang maunya kamu itu.”
Elsa sudah sadar, namun pandangannya menerwang. Matanya berkantung, suhu tubuhnya sudah menurun.
“Alva, Adri, sama Anggar tahu kamu masuk rumah sakit?” tanya Lucas. Elsa menggeleng pelan. “Tumben mereka ngga kelihatan batang hidungnya.”
~
“Elsa masuk rumah sakit!” teriak Adri.
“Serius lo?” tanya Anggar.
“Ka Lucas ngeline gue. Kita ke sana ngga?”
“Sebenernya gue juga ngga tega sih.” ucap Anggar.
“Tapi?” tanya Alva.
“Gue juga ngga bisa marah lama-lama sama dia.” kata Anggar.
“Va, langsung ke rumah sakit sekarang. Cepet.” kata Adri.
~
Pintu ruang rawat inap terbuka. Tiga cowok berseragam sekolah masuk. Mama Elsa mempersilahkan Alva, Adri, dan Anggar untuk masuk dan menunggu Elsa bangun dari tidurnya. Ka Lucas sedang pergi ke kantin rumah sakit.
“Gimana ceritanya Elsa bisa masuk rumah sakit, tante?” tanya Adri.
“Tadi pagi Elsa demam. Makanya tante langsung bawa dia ke rumah sakit, takut kenapa-napa.”
“Terus dokter bilang apa tante?” tanya Alva.
“Dokter bilang Elsa ngga kenapa-napa, cuman demam biasa. Keadaannya juga udah mendingan.”
Tiba-tiba, mama Elsa bangun dari duduknya.
“Tante keluar sebentar ya. Titip Elsa.” ucap mama Elsa.
“Iya tante.” jawab Adri, Alva, dan Anggar.
“Dri, Nggar, kayanya Elsa abis nangis deh.” kata Alva yang sekarang berada di sebelah Elsa.
“Emang kenapa?” tanya Adri sekaligus bangun dari duduknya dan mendekat ke tempat tidur.
“Matanya berkantung gitu.” ucap Alva.
Tak lama dari itu, jari Elsa bergerak perlahan, dan Anggar menyadarinya. Pelan-pelan, Elsa membuka matanya. Wajahnya sangat pucat.
“El, lo udah sadar? El, maafin kita ya El.” ucap Anggar.
“Gue yang salah. Gue yang harusnya minta maaf sama kalian.” lirih Elsa.
“Gimana bisa lo sampe begini sih El?” tanya Adri.
“Gue kepikiran kalian.” Elsa menitihkan air matanya.
“Udah, yang penting kan sekarang kita udah ngga dingin-dinginan lagi.” Alva menghapus air mata yang membasahi pipi Elsa.
“Cowok lo ngga jenguk?” tanya Anggar.
“Cowok gue? Siapa?” Elsa malah menanya balik.
Anggar, Alva, dan Adri saling menatap.
“Bukannya, lo sama ka Febrian pacaran?” Adri bertanya.
Elsa terkikik.
“Kalian tahu dari mana? Gue ngga ada ikatan apapun sama dia.”
“Beneran?” Anggar meyakinkan.
“Iya. Gue ngga mau ngulangin kesalahan gue lagi dengan berbohong.”
“Syukurlah.” ucap Anggar, Alva, dan Adri.
“Syukurlah?” Elsa menatap aneh.
“Maksudnya, syukurlah, lo masih punya banyak waktu untuk kita, ngga membuang-buang waktu dengan pacaran. Iya, gitu El.” jelas Alva dengan nada bicara yang gugup.
Elsa tersenyum menatapi satu persatu sahabatnya.
Waktu berjalan begitu cepat. Ujian Nasional baru saja dilalui. Mereka mulai sibuk memilih Universitas yang akan mereka jadikan tempat untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Alva memilih jurusan yang baginya mudah dan tidak akan menyulitkan dirinya kedepannya, ia meneruskan di jurusan komunikasi di salah satu perguruan tinggi ternama di Jakarta.
Anggar mengikuti jejak ayahnya sebagai seorang engineer. Maka dari itu, Anggar mengikuti jalur tes di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah Depok dan memilih teknik elektro sebagai jurusannya.
Sedangkan Adri, kecintaannya terhadap sajak dan puisi membuatnya harus mengikuti kata hatinya untuk memilih jurusan sastra di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Elsa?
“Lo serius? Bukannya lo dapet undangan di kampus yang sama kaya Anggar?” tanya Alva.
“Iya, gue tau. Tapi gue punya pilihan sendiri. Bukannya kita harus ngikutin kata hati, bukan?”
“Tapi kenapa harus Australia? Di Jakarta juga banyak kampus yang bagus. Atau bahkan lo bisa milih kampus yang sama kaya Alva, karena jurusannya sama kan kalian?”
Elsa diam.
“Tapi bukannya sahabat harus mendukung keputusan terbaik sahabatnya?” Adri yang sedari tadi diam di sudut pintu membuka suara juga.
Alva, Anggar, dan Elsa menoleh ke arah Adri.
“Kita ngga bisa ngehalangin mimpinya. Kita juga ngga punya hak untuk menentang keputusannya, kalo menurut dia baik.”
Alva dan Anggar dibuat diam. Elsa menatap lirih ketiga sahabatnya.
“Sorry, mungkin karena gue udah terbiasa sama Elsa, jadi ngga siap dengan keputusannya. Tapi Adri bener, harusnya kita ngedukung keputusan Elsa.” ucap Alva.
“Lagian, teknologi udah canggih kan ya? Apapun itu asal terbaik buat lo, gue juga dukung, El.” ucap Anggar.
Entah mengapa air mata itu ikhlas membasahi pipi Elsa tanpa diminta. Alva yang duduk di samping kanan Elsa langsung merangkul dan membelai kepalanya, begitu juga Anggar yang duduk di samping kiri Elsa, dan Adri yang berdiri di belakang mereka semua.
“Ngga satupun orang menginginkan perpisahan, tapi dari situ kita belajar tentang berharganya sesuatu yang kita miliki. El, sering-sering hubungin kita ya?” ucap Adri.
Elsa mengangguk dengan tangisan. “Pasti.”
“Kapan lo berangkat?” tanya Anggar.
“Minggu depan, Nggar. Gue sekalian mau ngurus segala sesuatunya di sana.” jawab Elsa.
“Kita jalanin aja. Pasti waktu cepet banget berlalunya deh.” ucap Adri.
3 tahun kemudian.
“Elsa sama Adri mana? Ko mereka belum nyampe? Udah ngaret satu jam nih.” ucap Anggar.
“Mereka berangkat bareng kali. Lo pesen minum dulu aja Nggar.” kata Alva.
Tiba-tiba, ditengah obrolan mereka.
“Sorry ya gue telat. Kalian udah lama?” tanya Adri.
“Loh, Dri, ngga sama Elsa?” tanya Alva.
“Engga. Dia belum nyampe juga?” tanya Adri.
Alva dan Anggar sama-sama menggeleng.
“Permisi, mas, ini minuman dan snacknya.” ucap seorang pelayan perempuan.
Adri, Alva, dan Anggar langsung menoleh kearah pelayan tersebut secara bersamaan. Memperhatikan perempuan yang mengenakan dress biru dongker selututnya dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai dan flatshoes warna biru-putihnya.
“Elsa?!”
Elsa tersenyum manis.
“Lama banget sih loadingnya. Baru juga ngga ketemu tiga tahun, eh udah lupa sama muka gue.” kata Elsa yang duduk disamping Adri.
Adri langsung memeluk Elsa.
“Gue kangen banget sama lo, El.”
“Gue juga, Dri.” ucap Elsa yang membalas pelukan Adri.
“Va, kangen lo banget!” lalu Elsa menyambut pelukan bule yang makin terlihat blasternya itu.
“Anggarrrr.” Elsa memeluk Anggar erat. “Kangen banget gue dikhawatirin sama lo.”
Setelah melepas rindu dengan ketiga sahabatnya…
“El, ada yang mau kita omongin sama lo.” ucap Anggar.
“Oh, pas juga dong. Gue juga mau ngasih tau kalian sesuatu. Oh iya, kalo oleh-olehnya nanti ya di rumah, tadi abis dari rumah gue langsung ke sini soalnya.”
“El, maafin kita.” ucap Adri.
“Maaf? Maaf untuk apa?” Elsa malah kebingungan.
Adri melirik Anggar dan Alva. Elsa memegang tangan Adri.
“Dri, ada apa?” tanya Elsa.
Ada yang berbeda ketika Elsa menyentuh tangan Adri. Adri melirik tangan Elsa.
“El?” Adri menggenggam tangan kanan Elsa dan memberi pertanyaan dengan melihat cincin yang melingkar di jari manis Elsa. Alva dan Anggar kaget bukan main setelah melihat apa yang Adri tunjukan.
“Ini yang mau gue kasih tahu ke kalian. Gue udah tunangan.”
“TUNANGAN?!” teriak Adri, Alva, dan Anggar.
“Kalian kenapa?” tanya Elsa.
Alva, Anggar, dan Adri lemas dan langsung bersandar di sofa.
“Sama siapa El? Kenapa lo baru kasih tahu sekarang?” tanya Anggar.
“Biar kejutan aja gitu. Kalian semua kenal ko orangnya.” jawab Elsa.
“Siapa?” tanya Alva.
“Febrian.” Adri bersuara. Elsa tersenyum.
“Jadi bener Febrian?” Alva sedikit meyakinkan.
“Iya, Febrian. Ternyata dia juga kuliah di sana, kita ketemu pas lagi pergi ke tempat yang sama. Karena gue sama dia ngga bisa balik ke Jakarta, orang tua gue sama orang tua Febri memutuskan ke Australia. Dan kalo menikah usianya masih terlalu muda, semua sepakat kalo gue sama Febri terikat tunangan dulu. Sorry karena merahasiakan ke kalian, tadinya ka Lucas mau hubungin kalian, tapi gue larang. Gue mau biar gue sendiri aja yang ngomong ke kalian.”
“Ternyata ngga satupun dari kita bertiga.” ucap Alva.
“Maksudnya?” tanya Elsa.
“Tuhan mau persahabatan kita tetap utuh tanpa cinta.” kata Adri.
“Cinta? Apa sih gue ngga ngerti.” Elsa makin tidak paham.
“Maafin kita bertiga karena punya rasa sama lo.” Anggar mewakili kedua temannya.
“Hah?” Elsa kaget setengah mati. “Ra…sa? Kalian bertiga?”
Ketiga sahabatnya mengangguk.
“Dari kapan?”
“Tanpa kita sadari, rasa itu ngalir gitu aja dengan seringnya kita sama-sama, El.” jawab Alva.
“Dan kita sepakat untuk ngga akan bilang ke lo sampe saatnya tiba. Siapa orang yang akan jadi teman hidup lo, salah satu dari kita bertiga atau ngga satupun diantara kita bertiga. Dan kita udah tahu jawabannya.” jelas Adri.
“Gue… minta maaf. Tapi jujur, kalian punya tempat berbeda di hati gue. Gue ngga akan memilih satu diantara kalian, karena demi kita. Gue ngga mau ngotorin persahabatan kita, gue mau kita tetep bersahabat, gue ngga mau jadi perusak seandainya milih satu dari kalian bertiga.”
“El, kita paham ko, dan kita udah lega. Ternyata, ketakutan yang lo rasa, juga sama kaya kita bertiga seandainya ada ikatan antara lo dan salah satu dari kita.” ucap Adri.
Elsa tersenyum.
Selesai.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]