Cerpen: Demi Kita [Part 1]



Sudah satu pekan Elsa dirawat di rumah sakit karena sakit demam berdarah yang menyerangnya. Hari ke tujuh, keadaan tubuhnya semakin membaik. Elsa sudah malas berlama-lama di rumah sakit. Ia kangen teman-temannya, kangen sekolah, kangen… sayangnya tidak ada pacar yang harus Elsa kangeni.
Kata dokter, besok siang atau sore Elsa sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Meskipun hari ini masih terbaring di tempat tidur dan infus masih menempel di tangannya, tapi Elsa sudah bisa beraktivitas walaupun sekadar makan sendiri atau ke kamar kecil.
Sore ini yang kebetulan malam Minggu. Beberapa teman dekatnya datang untuk menemani Elsa. Sepertinya, malam ini menjadi malam yang spesial bagi Elsa. Selain kedua orang tua dan kakak Elsa yang ada di sini, Adri, Alva, dan juga Anggara datang menjenguk.
Dari TK, Elsa sudah mengenal ketiga teman laki-lakinya itu. Mereka bertigalah yang paling dekat. Tapi, bukan berarti Elsa tidak dekat dengan teman perempuan yang lain. Hanya saja, baginya, berteman dengan lawan jenis memiliki beberapa keuntungan yang salah satunya bisa melindunginya dari apapun atau siapapun.
Sahabat Elsa yang pertama, Adrima Marcello atau biasa disapa Adri oleh semua yang mengenalnya. Adri yang paling sering bersama dengan Elsa, bahkan dari SD sampai SMA mereka selalu duduk bersama di satu meja. Kedekatan mereka sempat menimbulkan gossip, namun Elsa membantah kalau dirinya dan Adri dibilang berpacaran.
Sifat Adri mungkin membuat cewek lain gemas kalau melihatnya. Adri yang paling dingin diantara Alva dan Anggar. Bagi yang baru mengenal Adri mungkin akan merasa malas berada dekat dengan cowok super cuek ini, tapi kalau untuk tiga sahabatnya, Adri sosok yang penuh canda dan peduli.
Kedua, Alvaro Gavriel. Diantara ketiga sahabat Elsa, Alva lah yang paling bule dan paling disenangi cewek-cewek di sekolah. Sifatnya yang supel membuat Alva punya banyak teman. Namun bagi cowok keturunan Jawa-Inggris ini, Adri, Anggar, dan Elsa lah yang terdekat.
Alva juga terkenal paling royal kalau sedang ngumpul berempat. Bahkan kalau pergi kemana-mana, pasti mobil Alva yang jadi sasaran transportasi. Walau begitu, ia tak pernah merasa dimanfaatkan oleh ketiga sahabatnya. Meski banyak disukai cewek-cewek di sekolah, Alva tetap setia menjalin hubungan LDR dengan kekasihnya yang berada di Singapore.
Teman terdekat Elsa yang terakhir, Anggara Danish. Kami semua memanggilnya Anggar. Teman terberisik dan selalu asik, easy going dan selalu panik kalau Elsa kenapa-napa. Sifat peduli yang berlebihan ada di dirinya. Dan tak sedikit yang mengira bahwa Anggar menyukai Elsa.
Mungkin, kalimat jangan menilai seseorang dari penampilan cocok untuk Anggar. Mereka yang baru pertama kali melihat Anggar, mungkin akan menilai Anggar sosok yang konyol dan bodoh, seperti Patrick. Tapi, wajah lucunya sebenarnya menyimpan keistimewaan. Anggar yang paling jago soal mata pelajaran hitungan diantara yang lain.
Aku sendiri. Fabriana Elsierra. Mereka bertiga bilang, aku seorang yang manja. Entah, mungkin karena aku perempuan satu-satunya diantara mereka. Di rumah pun aku menjadi si bungsu yang katanya kalau sudah ngambek, segala sesuatunya harus dituruti.
Namun ada kalanya mereka membutuhkanku karena satu kelebihanku. Walaupun hanya pendengar yang baik dan pengertian, ketiga sahabatku selalu menjadikanku pilihan pertama untuk mereka mintai mendengar segala cerita apapun. Tidak jarang selalu diajak jalan berdua hanya untuk mendengarkan curhat mereka.
Kadang, aku merasa beruntung bertemu mereka bertiga. Kalau sudah berada diantara mereka bertiga, cewek lain selalu iri dan ingin menjadi aku. Siapa sih yang tidak mau berada dekat dengan cowok-cowok tampan? He he he.
~
“Gimana keadaan lo? Udah mendingan?” tanya Adri.
“Udah mendingan Dri. Anggar sama Alva mana?” tanyaku.
“Paling dikit lagi nyampe.”
Tak lama dari itu, dua orang masuk membawa bingkisan dan dua kantung plastik mini market di depan rumah sakit.
“Surpraise!” ucap Anggar dan Alva berbarengan.
Elsa menatap Adri, mencari tahu apa maksud mereka. Adri hanya tersenyum.
“Sebentar lagi kan lo keluar dari rumah sakit, udah sembuh juga, jadi kita bawain ini buat lo.” kata Anggar seraya menunjukan dua kantung penuh isi makanan dan minuman ringan.
“Kita juga bawain lo ini.” ucap Alva yang menunjukan parsel cokelat.
Akhirnya! Batin Elsa.
“Kalian ngga perlu repot-repot tahu. Eh tapi ngga papa deh, makasih ya.” ucap Elsa dengan senyumnya.
Kedua orang tua dan kakak Elsa membiarkan Elsa ngobrol berempat dengan sahabat-sahabatnya. Mereka bertiga keluar dari kamar VIP tersebut.
Anggar dan Alva sedang asyik menonton tv di sofa sambil memakan keripik kentang yang tadi mereka beli. Elsa menyuruh mereka memakannya saja, karena hanya ada buah di kamar rumah sakit. Orang tua Elsa juga tidak menyediakan apa-apa, karena tidak tahu ketiga sahabat Elsa akan datang. Karena hari-hari sebelumnya, Anggar, Alva, dan Adri hampir setiap hari ke rumah sakit.
“El, temen-temen sekelas bikin seusatu loh buat lo.” ucap Adri yang duduk di samping tempat tidur.
“Oh ya? Apa tuh?”
Adri mengeluarkan ponselnya dari saku celana jinsnya. Membuka sesuatu dan memperlihatkan video kepada Elsa.
Video ucapan cepat sembuh dan ucapan lainnya dari teman satu kelas Elsa, juga wali kelasnya. Di dalam video tersebut juga ada salah satu siswa cowok bermata biru—Febrian namanya. Siswa kelas 12 yang katanya menyukai Elsa.
“Cepat sembuh, My Owl. Miss you.”
Ucap Febrian dalam video itu. Owl adalah julukan dari Febrian untuk Elsa karena Elsa bermata bulat dan sangat menarik perhatian Febrian saat itu.
Febrian adalah kakak kelas yang Elsa kenal sejak dipasangkan duduk satu meja pada saat ujian akhir semester kemarin. Karena memang, kelas 12 dipasangkan dengan kelas 10 saat itu.
Febrian senang dengan kakak kelasnya itu. Tapi kisahnya terlalu rumit bila ia menerima cinta Febrian. Karena kakak kelas Elsa yang juga bekas pacar Febrian, tidak akan membiarkan Elsa betah berada di sekolah.
Ketiga sahabat Elsa menyarankan agar Elsa menjauhi Febrian. Karena tidak ingin terjadi apa-apa dengan Elsa dan membiarkan Febrian menyelesaikan masalahnya dulu dengan mantan kekasihnya. Febrian juga tidak ingin Elsa kenapa-napa karena Bianca—mantan kekasihnya.
“Ko ka Febrian bisa…”
“Bisa. Ciye seneng tuh.” Adri mencubit halus pipi Elsa.
“Apaan sih, biasa aja kok. Eh iya, makasih loh videonya. Gue juga udah kangen banget mau sekolah lagi.”
“Gaya. Biasanya juga paling males. Kuat-kuat aja sih pas masuk nanti, soalnya dari Senin sampai Jumat selalu ada ulangan.”
“Saran gue sih lo seminggu lagi aja di rumah sakit.” celetuk Anggar.
“Serius kalian? Apa iya seminggu full ulangan? Ulangan apa aja ih. Gue kan ngga masuk seminggu, mana ngerti materinya.” Elsa panik.
“El, lo gimana sih, kan ada gue.” Anggar membanggakan diri sendiri.
“Si Adri juga udah nyiapin rangkuman catetan buat lo. Tenang aja.” kata Alva.
“Ya tapi gimana cara belajarnya? Ah bete ah.” Elsa langsung memajukan bibirnya tiga senti.
“Awas jatoh tuh bibir.” ledek Anggar.
“Yaudah sih, belajar tinggal belajar. Senin ulangan Bahasa Inggris, belajar deh tuh besok sama Alva.” ucap Adri.
“El, lo tau ngga lo jelek kalo cemberut?” tanya Alva.
“Biarin aja.” jawab Elsa.
“Cokelatnya buat gue aja nih kalo masih cemberut. Lagian juga lo biasa belajar kilat kalo ada ulangan.” ucap Anggar.
“Eh jangan. Kalian emangnya mau borok sikutan ya?”
“Yaudah makanya jangan bete. You’ll never walk alone.” ucap Alva.
“Oke, ngga bete lagi deh. Tapi… kupasin buah mangga dong.”
Alva, Anggar, dan Adri menghela napas bersama. Tidak mungkin menolak. Kalau menolak, bisa jadi gadis manja ini cemberut sampai besok pagi. Ketiga cowok tampan ini juga tidak mengerti, apa yang membuat mereka begini pada Elsa.
~
“Ini tante bawakan makanan buat kalian bertiga yang sudah menemani putri tante. Nih silahkan dimakan ya.”
“Tante ngerepotin banget deh. Tapi kalo dipaksa ngga papa deh.” ucap Anggar.
“Ngga ada yang maksa, Nggar. Emang dasar lo nya aja yang laper.” ledek Adri.
“Ayo Adri, Alva, makan juga nih.”
“Iya tante, om, makasih.” jawab Adri dan Alva.
“Dri, Va, ngga usah malu-malu. Kalian kan kalo makan kaya dayak. Gue juga tahu nih, kalian ke sini pada belum makan. Makan udah gih.” ucap Elsa.
“Bukan gitu. Kalo gue makan, gue ngga tega sama lo. Lo ngga bisa makan yang sama kaya kita gini. Lo makannya cuman masakan rumah sakit.” ucap Adri.
“Apaan deh Dri.” Elsa tersipu.
“Kambing banget si Adri.” celetuk Anggar.
“Iya sih. Biasanya kan Adri sama Elsa kalo makan sepiring berdua.” kata Alva.
“Loh emangnya kenapa?” tanya papa Elsa.
“Biar so sweet gitu om.” kata Anggar sambil bersiap memasukan suapan pertama nasi padangnya.
“Ngga. Mereka emang patungan kalo makan.” kata Alva yang mengundang tawa seisi ruangan.
“Alvaaaaa!” teriak Elsa. Adri tersenyum melihat Elsa.
Jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Adri, Alva, dan Anggar bersiap-siap pamit pulang. Sebelum pulang, Anggar meminta untuk selfie bersama Elsa.
Anggar berada di posisi agak depan dari ketiga sahabatnya, sekaligus memegang ponselnya. Alva berdiri di samping kiri Elsa, dan Adri yang duduk di samping kanan Elsa. Elsa mengambil posisi duduk dan menyandarkan kepalanya di bahu Adri sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya atau bergaya peace. Klik. Dan langsung Anggar upload di akun path-nya dengan caption “Our Honey sudah sembuh, ini hari terakhir di rumah sakit.”
Tidak sedikit teman perempuan di sekolah yang membenci Elsa, walaupun membencinya diam-diam dan hanya menatap sinis kalau berpapasan. Bahkan tak jarang yang menjudge Elsa di berbagai macam social medianya.
Cekiber alias cewek kita bersama, gatel, centil, sok cantik dan macam-macam lainnya hujatan mengalir ke diri Elsa. Namun, Elsa santai menanggapi hal itu. Karena hanya membuang-buang waktu untuk menanggapi omongan mereka yang tidak tau apa-apa tentang hidup Elsa.
Begitu juga Adri, Alva, dan Anggar. Siap berdiri paling depan kalau ada yang berani macam-macam dengan Elsa.

“El, kita pulang dulu ya.” pamit Alva.
“Iya, makasih ya udah ngerusuhin.”
“Bilang aja seneng kita jengukin mulu.” ledek Anggar.
“Besok mau kita jemput ngga?” tanya Adri.
“Ngga usah. Besok gue pulang sama mama papa dan ka Lucas aja.”
“Yaudah, lucas sembuh ya El.” canda Anggar.
“Wah, ka, Anggar parah ka.”
Sang kakak hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya saja melihat kelakuan Elsa dan sahabat-sahabatnya.
“Becanda ka.” ucap Anggar.
“Santai.” ucap cowok berambut gondrong itu.
“Yaudah deh, om tante  ka Lucas, kita bertiga pamit ya. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Makasih ya, salam sama orang tua kalian. Hati-hati di jalan.”
Beberapa menit setelah Adri dan kawan-kawan pulang…
“Dek, kamu ngga bosen temenan sama mereka bertiga dari TK?” tanya ka Lucas.
Mendengar pertanyaan sang kakak, Elsa menoleh dan beralih dari layar tab yang sedang ia gunakan untuk menjawab pertanyaan di akun ask.fm nya.
Elsa diam sejenak lalu menggeleng.
“Kamu pernah suka sama salah satu diantara mereka bertiga?”
Elsa nyengir kuda.
“Pertanyaan kakak ada-ada aja deh.”
“Ngga ada yang namanya mutlak rasa temenan di persahabatan cowok-cewek.”
“Ada. Nih, aku sama mereka.”
“Oke kalau kamunya ngga suka. Kalau mereka gimana?”
“Ih kakak nanyanya aneh. Males ah jawabnya.”
“Loh kakak serius. Siapa tahu aja nanti jodoh kamu salah satu dari mereka.”
“Jangan mendahulukan Tuhan deh kak.”
“Kakak sih mastiin aja. Takut kamu terjebak friendzone.”
Elsa menatap kakaknya yang juga sedang menatap adiknya itu. Senyum maut kakaknya yang kata kebanyakan cewek bisa membuat meleleh, tapi menurut Elsa senyum kakaknya sekarang adalah senyum meledek.
“Ih, jangan lihatin aku kaya gitu.” Elsa melempar bantal berbentuk donat pemberian Adri ke wajah kakaknya.
Keesokan harinya setelah Elsa sampai di rumah, ternyata ketiga sahabatnya sudah ada di teras belakang pinggir kolam renang.
“Hai Elsa.” ucap mereka bertiga secara bersamaan.
“Dri, Va, Nggar, stok muka kalian cuman ini ya? Jelek!”
“Carissa bilang gue yang paling ganteng di bumi, El.” ucap Alva.
“Terus lo percaya?”
“Ya percaya lah. Dia kan pacar gue.”
“Emangnya Carissa udah keliling dunia buat ngeliat seluruh cowok di bumi sampai menetapkan lo yang paling ganteng?”
Alva terlihat berpikir.
“Carissa bilang Alva ganteng karena dia pacarnya. Paling juga kalo ketemu gue, dia bilang gue yang paling ganteng.” celetuk Anggar.
“Pede banget lo berdua. Eh, Va, bener juga kata Elsa, emang cewek lo udah keliling dunia buat ngelihat seluruh cowok di bumi? Ngga kan, jadi lo bukan yang paling ganteng. Hahahaha.” ucap Adri.
“Yaelah Dri, lo mah setuju mulu sama Elsa.” kata Anggar.
“Kan kita sehati.” Adri merangkul Elsa.
Tersenyum saat berpaling wajah kearah Elsa. Ada yang berbeda, namun masih Elsa cari apa yang berbeda.
“Yaudah, kita mulai aja belajarnya.” ucap Adri yang melepas rangkulan itu.
“Jadi kalian ke sini buat ngajarin gue materi buat ulangan?”
“Iya, kan kemaren kita udah bilang sama lo.” kata Alva.
“Baik banget sih kalian ya ampun. Mau peyuk.” ucap Elsa dengan nada manja.
“Ngga mau. Lo menang banyak dapet tiga, kita cuman dapet satu dibagi tiga. Curang.” kata Anggar.
“Sial,” Elsaa tertawa mendengar ucapan Anggar. “Tardulu ah, gue ganti baju dulu.” Elsa langsung ngacir ke kamarnya, mengganti pakaian yang ia pakai sedari di rumah sakit.
Elsa memakai celana santai sebawah lutut sedikit yang bermotif kotak-kotak merah dan kaus berwarna hijau tosca dengan angka 3 di bagian belakangnya. Ia selalu nyaman dengan pakaian yang terkesan sangat santai itu, dan ketiga temannya tahu itu.
“Yuk, belajar.” Elsa datang sambil membawa buku-buku dan kotak pensilnya.
“El, jangan marah ya.” kata Anggar.
“Kenapa?”
“Banyak yang ngasih gasped di foto yang semalem gue upload ke Path. Terus kakak kelas pada komen aneh-aneh gitu tentang lo.”
“Nggar, gue udah kenyang sama yang kaya gituan. Udahlah.”
“Lo ngga ngerasa risih?” tanya Alva.
“Mereka kan cuman tahu gue, ngga kenal gue. Begitupun dengan kalian. Apa diantara kalian ada yang berpikiran sama kaya mereka yang cuman tau gue?”
Adri, Alva, dan Anggar saling melirik. Mereka bertiga memajukan tubuhnya kearah Elsa yang duduk dihadapan mereka bertiga.
“El, lo itu udah gue anggap sahabat yang paling-paling terdekat, sama kaya gue anggap Alva dan Adri. Gue juga udah kenal lo dari kecil.” ucap Anggar.
“Gue juga anggap lo kaya…lebih dari seorang sahabat—“
Semua melotot kearah Alva.
“Bukan pacar juga. Biasa aja dong melototnya.” kata Alva yang melirik kedua cowok di samping kiri kanannya.
“Bahkan gue udah tahu hitam-putihnya lo. Dan kita udah tau jelek-buruknya lo.” ucap Adri.
“Jelek sama buruk kan sama aja, Dri.” ucap Elsa.
“Ya intinya, We know all about you deh.” kata Alva.
Elsa tersenyum mendengar pernyataan dari sahabat-sahabatnya.
~
“Haaaaa! Akhirnya pake seragam sekolah lagi setelah satu minggu ngga pake seragam sekolah.” teriak Elsa di dalam mobil Alva.
“Biasa aja woy teriaknya.” kata Anggar yang duduk di bangku belakang, tepat dibelakang bangku kemudi yang diduduki Alva.
Saking senangnya, Elsa sampai harus menarik dasi kotak-kotak abu-abu milik Adri yang baru saja jadi.
“Elsaaaa dasi gue. Perjuangan tau.” kata Adri.
"Abis gue seneng banget. Sorry deh, sini gue bikinin lagi dasinya.”
Elsa memutar tubuh ke belakang, membuatkan dasi yang tetap tersangkut di kerah seragam Adri. Wajah lugu Elsa sejenak mengunci tatapan Adri.
“Udah, deh.” Elsa tersenyum lalu menatap Adri yang sedang lekat menatap Elsa. Adri langsung salah tingkah.
Cepat-cepat Adri mundur dan duduk bersandar sambil memainkan ponselnya sebelum Anggar atau Alva menyadari ke-salah-tingkah-an Adri.
Sesampainya di kelas 10 IPS 3, Elsa langsung disambut dengan pelukan ketiga cewek teman sekelasnya. Alika, Clara, dan Sandra. Mereka bertiga mendekati Elsa supaya juga bisa dekat dengan gebetan mereka masing-masing.
Alika selalu gencar mencari perhatian si cuek Adri, Clara yang selalu berusaha menyeimbangi Anggar, dan Sandra yang berusaha manis agar si bule Alva tertarik.
“Gue kangen banget sama lo, El!” Alika memeluk Elsa.
“Gue juga. Lo udah sembuh kan?” tanya Clara.
“Lo tau hari ini ada ujian? Belajar bareng yuk.” ajak Sandra.
“Gue juga kangen sama semuanya. Udah ko gue udah sembuh, kalau masih sakit gue ngga mungkin masuk sekolah. Thanks San tawarannya, kemaren Adri, Alva, sama Anggar udah ngajarin gue kok. Gue ke bangku gue ya.” kata Elsa.
Adri, Alva, dan Anggar hanya tertawa melihat kelakuan Alika, Clara, dan Sandra, juga Elsa.
Elsa duduk disamping Adri, di depan barisan Alva dan Anggar.
“Selain banyak haters, ternyata banyak juga ya Elsanatic, hahaha.” bisik Anggar.
“Mereka bertiga pencitraan banget El.” kata Adri.
“Kalo lihat mereka bertiga, bawaannya mau ke toilet mulu.” bisik Alva.
“Parah lo bertiga hahahahaha.”
Karena ini hari Senin, maka hal wajib yang dilakukan saat hari Senin harus dijalani. Upacara. Hampir seluruh siswa dan siswi sudah berada di lapangan untuk berbaris.
“Gue udah sehat, bisa ko upacara doang.”
“Ngga, El. Lo ngga boleh upacara.” ucap Anggar.
“Nggar, gue kan udah keluar dari rumah sakit, itu tandanya gue udah sembuh. Ngga papa ya gue ikut upacara.”
“Yaudahlah, keliatannya Elsa juga udah sehat.” ucap Adri.
“Gue ngeri lo kenapa-napa El. Gue temenin lo di UKS. Dri, Va, izinin kita ya.”
“Anggar…”
“Elsa… udah deh, yuk ke UKS.”
“Dri, ko malah matung? Ayo ke lapangan.” panggil Alva saat sadar ia berjalan sendirian sedangkan Adri masih mematung di depan kelas—menatap Anggar berjalan bersebelahan dengan Elsa sambil merangkulnya.
Di UKS.
“Nggar, menurut lo friendzone itu ada ngga sih?”
Anggar langsung berpaling dari ponselnya.
“Maksud lo?”
“Iya. Menurut lo friendzone itu ada apa engga?”
“Ada. Kenapa?”
“Di persahabatan kita ada ngga?”
“Sejauh ini, kayaknya engga.”
“Apa bakalan ada?”
“Ngga menutup kemungkinan.”
“Bahaya ngga?”
“Ngga tau. Gue belum pernah ngerasain.”
Saat upacara selesai dan seluruh siswa bersegera untuk bubar, ada yang menahan pundak Adri.
“Dri, ada yang mau gue omongin ke lo. Soal basket.” ucap seorang kakak kelas cewek bersama teman cowoknya. “Di kantin, sekarang, bisa?” tanyanya kemudian.
“Va, lo duluan aja ke UKS. Bilang Anggar sama Elsa, gue ada perlu sebentar.”
“Oke.”
Alva berjalan di koridor menuju UKS sambil membawa sebotol air mineral yang ia beli tadi di koprasi sekolah.
“Alva!”
Alva menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
“Dari tadi gue ngga ngeliat Elsa. Dia kemana?”
“Elsa di UKS.”
“Gue boleh ke sana?”
Alva seperti mencari keberadaan seseorang.
“Bianca udah ngga sekolah di sini lagi. Orang tuanya bawa dia ke Bandung dan menetap di sana.”
Alva hanya mengangguk.
Grek. Pintu UKS dibuka. Elsa kaget bukan main Febrian menghampirinya. Elsa memilih berdiri di belakang Anggar.
“Ada apa ya ka?” tanya Anggar.
“Gue cuman mau ngobrol sama Elsa.”
“Cewek lo?” tanya Anggar.
“Bianca udah ngga sekolah di sini lagi. Dia udah pindah ke Bandung dan tinggal di sana.”
“Gimana lo nya?” tanya Anggar yang sedikit menengok ke belakang, kearah Elsa.
Elsa menatap Anggar dan berdiri sejajar dengan Anggar. “Mau ngobrol di mana ka?” tanya Elsa. Febrian tersenyum.
~
Adri sempat melongok ke kelasnya, setelah melihat kedua temannya, ia langsung masuk dan duduk di kursinya.
“Gue ke UKS taunya lo di kelas. Elsa mana?”
“Sama Febrian.” Alva menjawab.
“Febrian?” Adri mengulang nama itu dengan nada bicara yang kaget.
“Iya. Febrian.” Anggar bicara.
“Ko bisa?”
Alva dan Anggar tak perlu menjawab karena Elsa baru saja sampai kelas.
“Tanya Elsa nya langsung aja, Dri.” ucap Anggar.
“El, ko bisa?” tanya Adri.
“Ka Bianca udah pindah ke Bandung. Makanya ka Febrian berani nyamperin gue.”
“Dia ngomong apa aja sama lo?” tanya Adri yang semakin penasaran. Diam-diam, Alva dan Anggar juga memasang telinga.
Elsa memperhatikan wajah ketiga sahabatnya.
“Kalian pada kepo. Hahahahahaha!”
Bel berbunyi tanda masuk dan jam pelajaran pertama segera dimulai.
~
“Gue ke kantin duluan ya. Ka Febrian ngajak makan bareng,” ucap Elsa yang kemudian mencubit pipi ketiga sahabatnya itu. “Bye. Hahahaha.” Elsa segera keluar kelas.
“Tanpa Elsa di sisi kita, keberadaan kita terancam nih.” ucap Anggar.
“Maksudnya?” tanya Alva.
Dua detik kemudian, Alika, Clara, dan Sandra menghampiri meja mereka.
Di kantin, tak sulit bagi Elsa mencari sosok seorang Febrian. Cowok tinggi berkulit putih dan berhidung mancung itu sangat mudah ditemukan. Febrian sudah duduk di meja nomor 3.
“Maaf ka, lama ya?”
“Engga ko. Santai aja. Temen-temen kamu gimana?”
“Temen-temenku? Ngga gimana-gimana ko.”
“Yaudah. Kamu mau makan apa?”
“Aku bawa bekal, ka. Makanannya masih harus ikutin anjuran dokter.”
“Oh gitu, yaudah aku pesan makanan dulu ya.”
Tak lama, Febrian datang dengan nampan berisi nasi goreng seafood dan segelas es jeruk.
“Ada apa ya kaka ngajak aku makan bareng di kantin?”
“Kamu kan udah tahu perasaan aku. Masa masih nanya sih?”
“Hah? Maksudnya?”
“Fabriana Elsierra, aku kan suka sama kamu dari lama, pendekatan kita terhalang sama Bianca. Sekarang kan udah ngga ada dia, jadi aku bebas.”
So, what?
“Kamu mau jadi pacar aku?”
                                                                                                                              to be continue.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]