Cerbung: Encoder Love [Chapter 3]

Annyeong.
Postingan kali ini bakal ngelanjutin jalan cerita antara Nathan, Shinta, Dewa, Viona, dan Rey. Inget siapa mereka? Kalau lupa, bisa cek di sini dan di sini. Kali aja kamu lupa sama jalan ceritanya, hehe. Silahkan disimak~



“Shinta. Viona mana? Langsung pulang? Kok dia diem aja sih daritadi?” tanya Dewa.
“Gue juga ngga tau Wa. Nanti gue telepon deh.”
“Emang lo punya nomor hape?”
“Nih hape gue, ya berarti punya hape dong.”
“Berapa nomor hape lo?”
“Bisa aja lo cumi!” Rey memberi pukulan halus pada teman semejanya ini.
“Ya kan temen sekelas, masa ngga punya nomor hape temennya sih.” ucap Dewa.
“Wa, Rey, kita dicariin Kak Teyta di aula. Buruan yok.” ucap Nathan.
“Sabar Than, baru juga masukin buku ke tas.” kata Rey.
“Nathan lagi PMS, Rey. Hahahaha!” ledek Shinta.
Tawa Shinta disusul Dewa dan Rey.
“Apa yang lucu sih?” tanya Nathan sambil berjalan keluar kelas.
Rey dan Dewa saling melirik. Setelah itu, Shinta memberikan ponsel Dewa seusai Shinta mengetikkan 12 digit nomor ponsel di ponsel Dewa.
“Thanks, Shin.” kata Dewa.
“Oke. Kalian mau latihan ya?” tanya Shinta.
“Kayanya nih. Soalnya kita dapet job buat beberapa hari ke depan.” jawab Dewa.
“Ya ngga mungkin juga kali beberapa hari ke belakang.” ucap Rey yang berdiri di belakang Dewa.
Shinta terkikik. “Yaudah, gue pulang duluan ya.”
“Lo ngga mau ngeliat kita latihan? Bukannya lo penasaran sama permainan drum gue?” kata Rey.
“Ngeliat? Sendiri?” Shinta mengrenyitkan kening.
“Sendiri? Terus kita, Nathan, sama Kak Teyta lo anggap apa?” tanya Dewa.
“Maksudnya, gue sendirian nonton kalian latihan. Kan ngga enak.”
“Mau gue temenin?” tanya Dewa.
“Kan lo juga latihan, Wa.” kata Rey memperingatkan.
“Oh, iya.” Dewa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Udah, mending lo ikut aja yuk.” ucap Rey yang mendorong tubuh Shinta dari belakang.
Mereka bertiga berjalan menuju aula. Sudah didapati Nathan dan Kak Teyta yang sedang berlatih vokal.
“Maaf Kak, kita telat.” ucap Rey.
Kak Teyta dan Nathan menoleh. Kedua mata Nathan jatuh ke sosok tubuh. Bukan Dewa ataupun Rey.
“Kak, temen gue mau lihat kita latihan. Ngga papa kan?” tanya Rey.
“Boleh kok, atau mau nyumbang suara juga?” tanya Kak Teyta.
“Ngga Kak, saya cuman mau nonton aja kok.” kata Shinta.
“Kak, suara Shinta paling bagus waktu di kelas sepuluh Kak.” kata Nathan.
“Nathan!” Shinta memelototi Nathan. Tapi Nathan malah tersenyum jahil.
“Wah, boleh dicoba tuh. Jadi kan nanti pas kalian di acara, aku ngga perlu dateng, karena ada urusan juga di kampus.” kata Kak Teyta.
“Kebetulan daritadi pas nunggu lo berdua dateng, gue lagi bahas ini sama Kak Teyta. Hari H, Kak Teyta ngga bisa dateng karena urusan. Kita lagi nyari pengganti. Dan gue baru kepikiran Shinta. Suaranya bagus lho.” ucap Nathan.
“Serius? Bisa dong kita semua denger.” kata Dewa.
“Saya ngga bisa nyanyi, Kak.” ucap Shinta.
“Shinta, inget waktu materi nyanyi pas pelajaran seni budaya? Gue punya semua rekaman temen-temen lho. Jangan sampe gue tunjukin di sini nih.” kata Nathan.
Shinta benar-benar geram karena ulah Nathan. Mau tidak mau, Shinta mencoba untuk bernyanyi.
“Seperti bintang-bintang, hilang ditelan malam. Bagai harus melangkah, tanpa kutahu arah. Lepaskan aku dari derita tak bertepi, saat kau tak di sini. Seperti dedaunan, berjatuhan di taman. Bagaikan debur ombak, mampu pecahkan karang. Lepaskan aku dari derita tak berakhir, saat kau tak di sini.”
Sepenggal lirik yang Shinta nyanyikan, cukup membuat Dewa, Rey, dan Kak Teyta berdecak kagum. Terlebih Dewa. Nathan yang sudah tau lebih dulu, hanya tersenyum.
“Kok ngga masuk reff?” tanya Nathan.
“Than, jangan sampe sepatu gue mendarat di kepala lo ya!” ucap Shinta.
“Suara kamu bagus, lembut. Kayanya kita udah nemuin penggantinya nih.” ucap Kak Teyta.
“Tapi kita ngga mungkin latihan tanpa Kakak sekalipun Shinta ngegantiin posisi Kakak.” kata Rey.
“Kakak bakalan tetep dateng dan ngelatih kok. Tapi yang nemenin Nathan nyanyi bukan Kakak lagi.”
“Kak, ini serius?” tanya Shinta dengan tatapan polos.
“Serius udah bubar. Ya iyalah, Shin.” kata Nathan.
Mereka mulai mengambil posisi. Shinta tidak menyangka. Berniat hanya untuk melihat latihan mereka, tapi malah direkrut untuk menggantikan Kak Teyta.
Rey sudah duduk di belakang drum set, Dewa juga sudah memeluk gitar di pangkuannya. Nathan dan Shinta duduk bersebelahan—berserong berhadapan. Kak Teyta memperhatikan di jarak yang tidak terlalu jauh dari mereka berempat.
Suara drum dan gitar mulai beriringan. Nathan mulai membuka suara.
Tak pernahku rasakan cinta begitu hebatnya sebelumku kenal kamu duniaku kelabu dan kau datang membawakan cinta yang t’lah lama kunanti.”
Lalu Shinta mulai mengikuti.
“Oh kasihku, kau membuat cinta jatuh dari mata dan turun ke hati, tawamu buat aku tersenyum lagi. Oh kasihku, kau membuat dunia indah dijalani. Kuyakini hati kau paling berarti.”
Ada sorot mata yang masuk ke dalam pemilik bola mata cokelat ini. Ada yang berdetak cepat ketika mata mereka saling bertemu.
Shinta melanjutkan partnya.
“Hanya kamu satu-satunya yang ada di hati, andai saja kita berdua bersama selamanya dan kau datang membawakan cinta yang t’lah lama kunanti.”
“Oh kasihku, kau membuat cinta jatuh dari mata dan turun ke hati, tawamu buat aku tersenyum lagi. Oh kasihku, kau membuat dunia indah dijalani. Kuyakini hati kau paling berarti.” Nathan menyunggingkan senyumnya pada Shinta dan dibalas senyum segaris dari Shinta—Shinta tersipu malu dan menyembunyikannya.
Alunan drum dan gitar berhenti. Hanya terdengar suara tepukan tangan dari Kak Teyta.
“Keren. Kakak berasa lagi nonton konser HiVi beneran!” ucap Kak Teyta.
“Kakak terlalu berlebihan. Masih lebih bagus suara Kakak.” kata Shinta.
“Setiap orang punya ciri khasnya masing-masing kali.” kata Nathan. Ada pujian untuk Shinta dibalik ucapannya barusan.
Shinta diam mendengar ucapan Nathan.
“Ngga nyangka gue suara Shinta sebagus itu.” puji Rey dari balik drumnya.
“Iya. Gue juga berasa jadi Febrian Nindyo beneran.” kata Dewa dengan sedikit konyol.
“Wa, tolong ya, Nindyo itu kece. Jangan sama-samain lo sama dia deh.” ucap Shinta.
“Kalian keren. Kenapa ngga dari awal aja Shinta join.” ucap Kak Teyta.
“Pilihan gue emang ngga pernah salah.” ucap Nathan, agak pelan.
Shinta melirik Nathan, juga dilirik balik oleh Nathan. Buru-buru Shinta menjatuhkan pandangannya ke lantai.
“Kalo gitu, kalian pikirin lagi aja lagu apa yang mau kalian bawain di acara itu nanti.” kata Kak Teyta, mengarahkan.
“Emang acara apa ya Kak?” tanya Shinta.
“Ulang tahun anak kelas satu SMA.” Dewa menjawab.
“Dari sekolah kita?” Shinta bertanya lagi.
“Iya. Siang ini gue, Dewa, sama Rey mau nemuin dia. Lo ikut aja. Kan lo juga terlibat di acaranya.” ucap Nathan.
“Hm, yaudah, boleh.” kata Shinta.
Dewa, Nathan, Rey, dan Shinta menunggu Gina di kantin. Nathan sudah mengirim pesan semalam pada Gina untuk segera ke kantin jika upacara penutupan MOS selesai.
“Ngomong-ngomong, kok Viona jarang kelihatan batang hidungnya akhir-akhir ini?” tanya Nathan sekaligus membuka percakapan.
“Coba tanya Shinta. Kan dia temen semejanya.” kata Dewa setelah menyeruput es jeruknya.
“Gue juga ngga ngerti sama sikapnya akhir-akhir ini. Dia jadi pendiem. Ngomong sama gue kalo seperlunya doang.” cerita Shinta.
“Emang biasanya kalian ngomongin hal-hal yang ngga perlu ya?” tanya Nathan.
“Maksud lo?” tanya Shinta.
“Udah deh udah. Mulai lagi nih abis ini. Baru juga asik-asikan duet lo berdua.” Dewa mencegah perdebatan yang akan berlangsung antara Nathan dan Shinta.
“Gue boleh nanya ngga?” tiba-tiba Rey melontarkan pertanyaan dengan tatapan wajah yang serius.
“Mau nanya apa? Serius banget mukanya.” Shinta terkikik.
“Lo sama Nat—“
“Kakak. Maaf ya buat kalian nunggu. Baru kelar.” Gina datang dan memotong ucapan Rey.
“Eh, iya ngga papa kok. Rey, lanjutin. Kayanya tadi lo mau nyebut nama gue tuh.” kata Nathan.
“Nanti aja. Kita bahas acara ulang tahun Gina aja dulu. Gina-nya kan udah ada di sini.” kata Rey.
Mereka berlima mulai bicara tentang acara ulang tahun Gina yang akan mengundang… apa nama kelompok musik Nathan CS?
Acaranya akan berlangsung hari Sabtu, 8 Agustus. Gina meminta Nathan CS untuk hadir memeriahkan acaranya. Menyanyikan lagu yang sepantaran dengan usia Gina dan teman-teman seumurannya.
“Aku udah bilang Mama Papa kalo aku mau ngundang kalian. Mereka setuju aja kalo bertujuan untuk meriahin acaraku. Aku berharap kalian tampil baik dan keren ya di acaraku.” ucap Gina.
“Tenang aja. Vokalis kita keren-keren, Dek.” ucap Dewa sambil memberi kedua ibu jarinya.
“Kak Nathan sama Kak Teyta kan?” tanya Gina.
“Bukan Kak Teyta, dia ngga bisa berpartisipasi karena ada urusan. Jadi yang ngegantiin dia, namanya Shinta.” ucap Nathan.
“Hai, Kak. Salam kenal.” ucap Gina, ramah seraya melempar senyum pada Shinta.
“Salam kenal juga. Kamu masuk kelas berapa?” tanya Shinta yang sepertinya mengakrabkan diri.
“Aku masuk kelas sepuluh dua Kak.” jawab Gina.
“Itu kelasku dulu!” kata Shinta.
“Heh, kok cuman nyebut nama lo doang? Gue kan juga dari sepuluh dua.” Nathan menatap sinis.
“Kak Nathan dari sepuluh dua? Waah, aku penerus kalian berdua!” kata Gina.
“Jangan mau Gin jadi penerus Nathan.” bisik Shinta.
Nathan menatap sengit. Ditatap seperti itu, bukan kesal malah jadi salah tingkah. Ada apa dengan Shinta?
Sepulang sekolah, Dewa pulang duluan karena sudah ditelepon Ibunya untuk segera pulang. Sedangkan Rey sudah dijemput supirnya. Tinggal Shinta dan Nathan.
Mereka berjalan berdampingan menuju parkiran sekolah. Hening tanpa suara yang keluar dari mulut Nathan maupun Shinta. Mereka hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Than, kenapa hari ini lo rese banget sih?” Shinta membuka percakapan.
“Kenapa?” tanya Nathan.
“Harusnya lo ngga usah bilang ke Kak Teyta. Niat gue kan cuman mau ngelihat latihan.”
“Jadi lo ngga mau ngegantiin Kak Teyta?” tanya Nathan.
Shinta diam menatap wajah Nathan.
“Kok diem? Yaudah, mungkin ini ngga resmi. Biar gue deh yang minta lo secara khusus untuk ngegantiin Kak Teyta.”
Shinta diam menatap Nathan.
“Apa deh?!” setelah itu Shinta pergi meninggalkan Nathan.
“Eh, lo mau ke mana?” tanya Nathan.
“Pulang lah.” jawab Shinta tanpa menoleh ke belakang.
Nathan menyamakan langkahnya dengan Shinta.
“Parkiran belok kanan,” Nathan memegang kedua pundak Shinta dan mengarahkan langkahnya ke parkiran. “Balik sama gue aja.” ucap Nathan.
Senyum tipis itu mengembang di bibir Shinta.
Tiba saatnya mereka hadir di acara ulang tahun Gina.
Sore ini, Rey—menggunakan mobil Papanya—menjemput ketiga temannya untuk datang ke rumah Gina.
Gina menggelar acaranya di rumahnya, tepatnya di halaman belakang rumahnya, di pinggir kolam renang.
Dewa, Nathan, Rey, dan Shinta mengenakan pakian dengan warna yang dominan sama—putih. Nathan sangat tampan dengan kemeja putih dengan warna hitam di kerahnya, ia juga menggulung bagian lengannya sampai sikut. Rey yang selalu terlihat rapi, memakai kemeja putih bercorak kotak-kotak tipis yang ia masukkan ke dalam celana jinsnya, lengannya juga ia gulung setengah sikut. Sedangkan Dewa yang terkesan cuek, hanya memakai kaos putih polos dan dibalut jaket kulit warna hitam (mirip Nindyo dalam video klip lagu Heartbeat). Shinta mengenakan kemeja belang-belang hitam-putih yang tidak pas di tubuh, membuat tubuhnya semakin kelihatan mungil, dengan jins dan sepatu kets warna putih. Hari ini, Shinta membuat rambutnya seperti ekor kuda. Membuat Nathan sedikit tertegun saat melihat Shinta keluar dari rumahnya.
Setelah melewati bagian pembukaan acara dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Gina, keempat orang yang berada di panggung kecil sisi kolam renang, mulai mendentumkan musik dan menyanikan sebuah lagu.
Hey kau yang berdiri di sana, tahukah ku di sini penuh tanya.” Nathan mulai bersuara.
“Mengapa begitu sempurna, hingga detak jantungku berdebar-debar dengan begitu hebatnya.” Shinta mulai bernyanyi.
“Angin seakan membawaku menghampirimu. Demi satu niat ku ‘tuk selalu menjagamu. Tanpa tahu untuk apa ku membuang waktu.” ini kejutan! Dewa dan Rey bernyanyi pada part ini.
“Woo.. ow.. indahnya dirimu. Ingin selalu bersamamu di setiap waktu, habiskan sisa hidup denganmu
. Andaikan dirimu dapat ku miliki sepenuhnya, seutuhnya. Ku ‘kan selalu ada ‘tuk dirimu selamanya.” bagian ini diisi Nathan dan Shinta. Kolaborasi di atas panggung yang memikat siapapun yang melihatnya.
Lagu pertama selesai. Mereka berempat turun dari panggung kecil. Dari kejauhan, Gina memberikan ibu jarinya sambil berkomat-kamit “Kalian keren!”.
Acara ulang tahun berjalan selayaknya pesta anak usia 17 tahun. Selang beberapa saat, ketika Shinta dan Nathan menikmati minuman bersama di pinggir kolam, dan Rey juga Dewa menghampiri mereka berdua, seseorang datang.
“Loh, kok ada kalian di sini?” tanya Viona yang baru saja datang, sepertinya.
“Viona? Vi, gue kangen lo Vi. Jangan diem terus dong.” Shinta langsung menggamit tangan Viona.
“Nah, lo sendiri juga ngapain di sini? Ini kan acaranya Gina, siswi kelas sepuluh.” ucap Nathan.
“Ya kali deh gue diundang tapi ngga dateng.” kata Viona.
Shinta, Nathan, Rey, dan Dewa saling melirik bingung.
“Kak Vio, kenal mereka berempat? Ah, Kakak telat sih datengnya. Tadi penampilan mereka keren banget lho!” tiba-tiba saja Gina datang.
“Mereka berempat temen sekelas Kak Vio, Gin.” ucap Viona.
“Serius kalian temen sekelas?! Ya ampun, kalo gitu ngapain aku susah-susah ya. Kalo tau Kak Vio sekelas sama mereka, aku minta tolong sama Kak Vio deh.” kata Gina.
“Kalian ada hubungan keluarga?” tanya Dewa.
“Gina adik sepupu gue, Wa.” jawab Viona.
“Eh, kalian lanjut ngobrol deh. Aku mau keliling. Have fun!” setelah itu, Gina meninggalkan mereka.
“Serius? Aaah, ngga nyangka dunia sesempit ini!” kata Shinta.
“Kalian ngisi acara di sini?” tanya Viona dengan nada bicara dingin.
“Iya, Vi.” jawab Nathan.
“Shin, lo juga?” tanya Viona, yang sepertinya memang pertanyaan ini tersudut untuk Shinta.
Shinta mengagguk.
“Bukannya lo ngga suka ya sama grup mereka dan Kak Teyta?” tanya Viona, mengingatkan ucapan Shinta.
“Ini juga ngga sengaja, Vi. Gue sebenernya males, tapi Nathan malah ngoceh yang aneh-aneh. Akhirnya Kak Teyta minta tolong sama gue untuk gantiin dia.” cerita Shinta.
“Ooh.” singkat Viona.
“Vi, kayanya ada yang aneh sama lo.” ucap Dewa.
“Kayanya biasa aja deh.” kata Viona.
“Serius. Lo lebih kelihatan anggun pake dress.” puji Dewa, membuat wajah Viona berseri.
“Vi, Dewa tuh emang gitu. Gampang muji cewek. Hati-hati aja.” kata Nathan.
“Ngga. Gue tulus bilang itu ke lo, dari hati.” kata Dewa.
Shinta menahan tawa. Viona diam, mendekat ke arah Shinta.
“Ta, gue takut sama Dewa.” bisik Viona yang terdengar teman-teman lainnya.
“Bhahahahahahaha!” tawa Nathan dan Rey.
“Wa, emang udah nasib lo jadi jones.” ledek Nathan sambil tertawa.
Viona mengajak Shinta keliling, hanya berdua.
“Vi, maafin gue kalo gue ada salah sama lo. Jangan jadi pendiem dong kalo di kelas. Gue kesepian Vi biarpun lo di sebelah gue, tapi lo ngga ngajak ngobrol gue.” cerita Shinta.
“Maafin gue juga karena sering ngacangin lo. Gue juga ngga tau kenapa gue kaya gitu Shin. Gue kaya ngerasa sendirian aja setiap ngeliat lo asik sama trio kwek-kwek itu.” kata Viona.
“Trio kwek-kwek?” Shinta bingung.
“Dewa, Nathan, sama Rey. Mereka juga asik banget sama lo.”
“Viona.. Viona.. Lo tau ngga sih? Mereka tuh juga nanyain lo kenapa tiba-tiba lo jadi pendiem. Jangan punya pikiran gitu lagi deh. Pokoknya nanti pas masuk sekolah, lo harus jadi Viona yang biasanya. Oke?” ucap Shinta. Viona tersenyum.
Sampailah di penghujung acara. HiVi versi anak kelas 2 SMA juga membawakan lagu terakhir.
“Ketika ku mendengar bahwa kini kau tak lagi dengannya, dalam benakku timbul tanya.
Masihkah ada dia di hatimu bertahta, atau ini saat bagiku untuk singgah di hatimu. Namun siapkah kau tuk jatuh cinta lagi. Meski bibir ini tak berkata bukan berarti ku tak merasa ada yang berbeda di antara kita. Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya karena diriku tak mampu untuk bicara bahwa aku inginkan kau ada di hidupku.”
Shinta bernyanyi dengan sepenuh hati, dan sesekali menatap Nathan sangat dalam terjun ke dalam bola matanya.
“Kini ku tak lagi dengannya, sudah tak ada lagi rasa antara aku dengan dia (dengan dia). Siapkah kau bertahta di hatiku, adinda. Karena ini saat yang tepat untuk singgah di hatiku, namun siapkah kau tuk jatuh cinta lagi oooh. Meski bibir ini tak berkata bukan berarti ku tak merasa ada yang berbeda di antara kita. Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya karena diriku tak mampu untuk bicara bahwa aku inginkan kau ada di hidupku.” Nathan juga bernyanyi sangat dari hati.
Kedua mata mereka seperti bicara sesuatu.
Shinta menyanyikan partnya kembali.
“Pikirlah saja dulu hingga tiada ragu, agar mulus jalanku melangkah menuju ke hatimu. Pikirlah saja dulu hingga tiada ragu, agar mulus jalanku melangkah menuju ke hatimu, oooh. Siapkah kau tuk jatuh cinta lagi.” diikuti Nathan sebagai suara dua.
Setelah itu mereka bernyanyi bersama.
“Meski bibir ini tak berkata bukan berarti ku tak merasa ada yang berbeda di antara kita. Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya karenadiriku tak mampu untuk bicara bahwa aku inginkan kau ada di hidupku. Bila kau jatuh cinta, katakanlah, jangan buang sia-sia.”
Tanpa keduanya menyadari, jemari Shinta terasa hangat karena sebuah genggaman. Mereka benar-benar tenggelam di dalam sebuah lirik dan alunan musik.
Kedua mata Viona terbelalak saat melihat Nathan menggenggam jemari Shinta secara perlahan. Kenapa mereka tidak sadar?
Setelah alunan musik selesai, Nathan dan Shinta mengucapkan terimakasih. Disambut tepuk tangan dari siapapun yang melihat mereka di atas panggung.
Perlahan, mata Shinta melirik tangannya. Lalu melirik Nathan. Nathan melirik dengan ekor matnya—masih menggenggam jemari Shinta. Tiga detik kemudian, Nathan melepasnya dan bersikap seharusnya.
Saat hanya ada mereka berlima di depan rumah Gina.
“Ada yang nyanyi dari hati banget ya kayanya tadi.” ledek Viona.
Shinta dan Nathan malah membeku.
“Gila! Romatis banget tadi! Than, Shin, gila, dapet banget kalian berdua!” ucap Dewa.
“Kayanya mereka ngga sekadar nyanyi deh. Pesan di lagu itu nyampe banget kayanya.” ucap Rey.
“Kita cuman nyanyi, dan berusaha ngedapetin feel-nya. Udah.” kata Nathan, dingin.
Shinta menelan ludah.
“Rey, sorry, kayanya gue ngga nebeng di mobil lo. Gue udah minta jemput bokap. Gue duluan ya. Vi, gue duluan.” ucap Shinta. Nathan langsung merasa aneh.
“Shin, kenapa ngga di sini aja nunggu bokap lo?” tanya Viona yang mengejar Shinta.
“Tadi gue bilangnya jemput di depan komplek. Yaudah, gue duluan ya.” ucap Shinta.
Are you oke?” tanya Viona.
“Apa deh pertanyaan lo. Gue ngga kenapa-napa.” kata Shinta.
“Yaudah, hati-hati ya. Kabarin gue kalo lo udah sampe rumah.” ucap Viona. Shinta tersenyum, lalu berjalan keluar gerbang tanpa melirik ke tiga teman cowoknya di belakangnya, yang sedang memperhatikan Shinta.
“Kalian yakin Shinta ngga kenapa-napa?” tanya Viona setelah Shinta beranjak pergi.
“Gue sih ngga yakin.” kata Rey.
“Gue juga ngga yakin. Apa lagi setelah Nathan ngomong.” kata Dewa.
“Jadi maksud lo, ini karena gue? Emang gue kenapa? Ada yang salah sama ucapan gue?” tanya Nathan yang memang tidak mengerti.
“Than, sebenernya gimana sih perasaan lo?” tanya Viona.
“Apanya yang gimana? Ngga gimana-gimana.” jawab Nathan.
Viona, Dewa, dan Rey menatap tajam mata Nathan.
“Kenapa sih kalian bertiga? Kok ngelihatinnya kaya gitu?” tanya Nathan.
~
Saat Viona hendak memasuki parkiran dengan motornya, ia tidak bisa mengendalikan motornya yang masih terus melaju. Viona rasa ada yang salah dengan rem motornya.
“Mingiiiiiiiir!” teriak Viona yang matanya sudah dihalingi poninya.
“Eh! Eh!” seseorang berteriak dan menahan motor Viona.
Rem motornya baru bereaksi saat ditekan sudah dari lama.
“Vi, lo sebenernya bisa bawa motor ngga sih?” tanya Dewa.
“Maaf Wa. Gue juga ngga tau ada apa sama motor gue.” kata Viona sambil masuk ke dalam parkiran sekolah.
“Kayanya gue baru liat lo bawa motor ke sekolah.” kata Dewa.
“Iya, motor ini turun dari Kakak gue. Gua juga baru bisa sebulan yang lalu, dan baru berani bawa ke sekolah sekarang.” cerita Viona.
“Baru sebulan?! Nekat bener lo!” kata Dewa.
“Ya biarin sih. Lagi pula, sekarang Kakak gue kerjanya dipindah keluar kota. Jadi ngga ada barengan lagi gue. Terus gue disuruh belajar motor.”
“Lo kok malah curhat sih?” tanya Dewa.
“Ngga suka?! Yaudah, tutup kuping!” kesal Viona. Akhirnya, Viona berjalan lebih dulu meninggalkan Dewa.
“Gue baru tau ternyata Viona orangnya suka marah-marah.” gumam Dewa.
Di kelas sudah ada Shinta yang sedang mendengar lagu menggunakan headset-nya. Nathan memperhatikan Shinta dengan lekat. Viona mendapati situasi itu saat ia masuk ke dalam kelas.
“Pagi, Shinta!” Viona duduk di samping Shinta.
“Hai.” Shinta melepas headset-nya dan menaruh ponselnya di loker meja. Viona melirik Nathan, ternyata Nathan sudah tidak menaruh pandangan pada Shinta.
“Lo sama Nathan kenapa kaya orang musuhan ngga tegur-teguran?” tanya Viona. Shinta melirik Nathan.
“Ngga. Biasa aja kok Vi.” kata Shinta.
“Bila kau jatuh cinta, katakanlah, jangan buang sia-sia. Bila kau jatuh cinta, katakanlah, jangan buang sia-sia.” Dewa menyanyikan lirik terakhir lagu milik HiVi saat baru sampai kelas. Sepertinya ia sedang menyindir seseorang.
Dewa duduk di atas meja Nathan dan terus menggoda Nathan dengan lagu yang dinyanyikan saat pesta ulang tahun adik kelasnya. Nathan diam tak berkata apapun.
“Gue baru tau kalo Dewa kayanya sedikit punya gangguan jiwa.” gumam Viona.
“Apa sih? Sirik aja lo!” kata Dewa, sok imut. Viona menatapnya sengit.
Saat pelajaran berlangsung, Viona mengeluh perutnya sakit pada Shinta.
“Lo lagi dapet?” tanya Shinta.
“Hari pertama. Sakit banget Shin. Aduh, apa gue ijin aja ya ke UKS?” keluh Viona.
Dua pasang mata melirik ke arah Shinta dan Viona. Ada seseorang yang mengucapkan sesuatu pada Shinta, mengucapkan tanpa bersuara.
“Viona kenapa?” komat-kamit seseorang itu.
“Perutnya sakit, Wa.” jawab Shinta dengan polosnya. Dewa langsung buang muka ke arah Rey.
Viona melirik Shinta lalu ke Dewa.
“Kenapa Shin?” tanya Viona setelah melirik Dewa.
Shinta baru ngeh apa maksud Dewa. “Eh? Ngga Vi, ngga papa.”
Nathan yang melihat kejadian itu langsung terkikik.
Saat jam istirahat, Shinta dan Viona langsung turun ke UKS, meminta obat untuk Viona dan menemani Viona di UKS.
“Sakit banget ya Vi?” tanya Shinta.
“Sakit. Gue kalo dateng bulan emang gini Shin.” jawab Shinta sambil memegangi perutnya.
Tok. Tok. Tok.
Shinta dan Viona menoleh ke pintu UKS.
“Rey? Ngapain?” tanya Shinta.
“Hm, ngga. Iseng aja. Ngomong-ngomong, lo kenapa Vi?” tanya Rey sambil melirik ke dalam—ada Viona yang sedang tiduran di atas kasur UKS.
“Biasa, tamu bulanan.” jawab Viona.
“Lo belum makan kan? Nih, gue bawain roti sama susu. Biar perut lo keisi aja.” kata Rey.
“Harusnya lo ngga perlu kaya gini Rey, gue ngga papa kok.” Viona bangun dari tidurnya.
“Ngga, ini bukan apa-apa kok. Yaudah, gue naik ke kelas dulu ya.” ucap Rey.
Setelah Rey keluar dari UKS.
“Cie. Ada elpiji meledak.” ledek Shinta.
“Hah?” bingung Viona.
“Ngga usah pura-pura bego deh lo! Rey suka sama lo tau!”
“Ya kali! ngga usah ngawur kaya Dewa deh kalo ngomong.” kata Viona.
“Kok tiba-tiba nyamber ke Dewa sih? Jangan-jangan…” Shinta menggantungkan ucapannya.
“Apa?!” Viona menatap Shinta galak.
“Hahahahaha. Ngga jadi deh. Mau liat fakta dulu.” ledek Shinta.
“Rese lo ih!” Viona memajukan bibirnya.
Saat bel pulang berbunyi, Shinta merapihkan buku-bukunya dan buku-buku Viona.
“Sini, gue bantu. Lo rapihin buku-buku lo aja.” ucap Dewa yang langsung menambil alih buku-buku Viona.
Shinta membiarkan Dewa merapihkan buku-buku Viona, dan sesekali Shinta melirik ke arah Rey. Shinta menyunggingkan senyumnya. Namun tiba-tiba ekor matanya melirik ke sebelah kanannya—Nathan.
“Nih.” Dewa memberikan ransel Viona.
“Thanks, Wa.” setelah sedetik melirik Nathan, Shinta keluar dari kelas menuju UKS.
“Than, kalian berdua kenapa sih?” tanya Dewa.
“Kalian? Siapa yang lo maksud?” Nathan bertanya balik.
“Lo sama Shinta.”
“Ngga gimana-gimana. Eh iya, kita bertiga diajak ketemu sama Kak Teyta.” kata Nathan.
“Cuman kita? Shinta engga?” tanya Rey.
“Kalo ngga Dewa, lo aja deh Rey yang sampein ke dia. Gue duluan ya.” Nathan segera keluar dari kelas.
“Dia kenapa?” tanya Dewa. Rey mengangkat bahunya.
~
“Halo Kak, maaf nih agak telat. Jalanan macet banget.” ucap Rey di ponselnya.
“Sama Dewa, Nathan, dan Shinta juga?” tanya Kak Teyta di ujung ponsel.
“Ngga Kak, gue sendiri.” jawab Rey.
“Oke deh. See ya.”
Kak Teyta memutus sambungan.
Tidak lama kemudian, mobil Rey sudah terparkir di salah satu café di daerah Depok.
“Hai Kak, maaf telat.” Rey langsung duduk di hadapan Kak Teyta.
“Iya, ngga papa Rey.” ucap Kak Teyta.
“Belum ada kabar dari Dewa, Nathan, sama Shinta?” tanya Rey.
“Shinta lagi di jalan katanya tadi.”
“Oh. Eh, Kakak udah pesen?”
“Udah kok udah.”
Rey bangun dari duduknya untuk memesan minuman.
Ada yang baru datang.
“Hey!” sapa Kak Teyta.
“Maaf Kak, kita telat. Macet banget tadi.” ucap Shinta.
“Kita? Dateng sama siapa?” tanya Kak Teyta.
Seseorang menyusul masuk ke dalam café.
          Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]