Cerpen: Apa Yang Kurang Dariku?



Naya tidak pernah menduga akan ada kejadian seperti ini, hari ini. Arby memang kompor! Memaksa Devan untuk melakukan hal yang menurut Naya konyol. Mungkin Devan ingin mengatakan ini dari lama, hanya saja ia tidak punya keberanian dan hanya ada ketakutan yang amat besar.
“Kalau emang lo gentle, ngomong yang gue tulis didepan kelas!” ucap Arby, memberikan selembaran kertas berisi tulisan yang disuruhkan Devan untuk membaca didepan kelas. Bagaimana tidak konyol, saat pelajaran berlangsung, Arby memaksa Devan melakukan hal konyol itu. Ditambah guru pelajaran matematika yang sedang berlangsung, tapi Bu Melly malah mendukung kejadian ini. Satu kelas ramai dengan sorakan dukungan Devan agar membacakan apa yang Arby tulis. Ketiga teman Naya pun tidak berpihak padanya. Naya benar-benar merasa malu.
“Ssssutt, Devan mau bicara” ucap Bu Melly, didepan kelas. Devan maju kedepan papan tulis, sambil membawa kertas itu. Berdiri tak tegap, wajah yang pucat, sangat terlihat bahwa Devan sangat nervous. Dia tertawa, dan menjelaskan sambil berbisik, bahwa dia sangat degdegan.
Beberapa teman Naya sudah memegang ponsel mereka, dan mengarahkannya pada Devan yang ada didepan kelas, yang siap untuk bicara.
“Ayo dong baca!” sorak Arby.
“Ehm, Nay, jujur gue nyesel, gue mau minta maaf sama lo karena kesalahan gue yang kemarin, gue masih suka, sayang, dan cinta sama lo, gue janji gue akan berubah….”
Belum selesai Devan bicara, satu kelas dan beberapa kompor dikelas sudah ramai berteriak ikut senang.
“Eh, tunggu, belum kelar ini. Ayo Van, lanjutin” kata Arby.
“Lo mau gak balikan sama gue?”
“CIYEEEEE, CIYEEEE. Trima Nay, terima” kata beberapa teman dikelas.
“Samperin dong, duduk disebelahnya” kata Bu Melly.
Sial. Saat itu Naya memang sedang duduk sendiri, karena teman sebangkunya, Sofi, beranjak dari duduknya dan memilih merekam semua adegan.
“Gimana?” katanya agak jaim.
“Apa?” tanya Naya, malu-malu dan senyum senyum gajelas. Mereka bicara berbisik. Satu kelas masih ramai, dan beberapa ponsel dengan pancaran flash sudah berada didepan Naya dan Devan, sudah seperti selebritis saja.
Naya masih diam dengan senyuman, menunggu keadaan kelas sunyi sejenak. Bukan inginnya didengar satu kelas, tapi percuma kalau Naya bicara, Devan tidak begitu mendengar suara Naya. Naya malas menjelaskan dua kali.
“Ehh, diam, Naya mau ngomong…” ucap Bu Melly, rasanya dia sangat mendukung.
“Nay, jangan bohongin perasaan lo” ucap Lintang, didepanku. Kebetulan, saat itu Naya duduk paling pojok dekat tembok, dan duduk dibaris nomor dua, dan kursi depannya kosong, jadi Naya bisa menangkap suara Lintang dari situ. Oke, Naya menjelaskan pelan-pelan dan dengan kejujuran hati.
Sebenarnya, Naya masih bingung harus menjawab apa, dan detik ini Naya nggak tau bagaimana perasaannya. Namun, Naya harus menjelaskan.
“Van, hari ini gue nggak nolak lo, tapi juga nggak nerima lo. Gue mau lihat perubahan lo dulu” ya, itu hati Naya. Tidak bisa menolak, namun juga tak mengiyakan.
“Tapi gue janji, gue akan berubah lebih baik”
“Nah, gue mau lihat perubahan itu”
“Jadi, gimana?”
“Ya tadi, gue nggak menolak, dan gue juga nggak nerima”
Mungkin hatinya serasa ada nuklir. Tapi mau bagaimana? Naya tidak bisa menerimanya begitu saja, apalagi setelah diingat, bahwa tiga bulan yang lalu, Devan memutuskan hubungan. Rasanya masih sangat sakit. Sulit bagi Naya untuk mudah percaya dengan segala kata-katanya barusan, dan lagi Devan begini karena pojokan dari Arby, bukan keinginan hatinya. Ya, mungkin Devan ingin melakukan ini dari lama, tapi tidak pernah muncul keberanian. Tetap saja, berbeda dengan pendapat Naya.
“Tapi masih ada kesempatan gak, Nay?” tanya Lintang. Naya mengangguk dengan senyuman. Sebenarnya, Naya sangat menaruh harapan pada Devan. Devan berubah jadi lebih baik, dan akan membicarakan ini lagi, empat mata, nanti.
Benar-benar konyol hari Kamis ini, tapi punya gejolak sendiri dalam hati Naya. Naya malu, tapi tidak dapat dibohongi, Naya senang. Kalau diingat, waktu pertama kali Devan menyatakan perasaannya, saat berdua dengan Naya. Mengajak balikan, empat bulan lalu, dihadapan ketiga teman Naya. Dan mengajak balikan yang kedua kalinya, didepan kelas.
Mengajak balikan yang kedua? Wajar, Naya nggak langsung menerima. Ini yang kedua! Mau sampai berapa kali lagi jika Naya menerimanya hari ini? Itu sebabnya Naya inginkan perubahan darinya.
Sepulang sekolah, Devan mengajak Naya bicara empat mata, dibalkon.
“Ada apa?”
“Gue mau nanya, sebenarnya lo masih sayang ga sih sama gue?”
“Gue sayang sama lo”
“Kenapa lo mau gue berubah, kalau emang lo sayang sama gue? Setelah gue pikir-pikir, gue nggak bisa berubah jadi apa yang lo mau, karena emang ini adanya gue”
Naya tersenyum.
“Devan, berubah maksud gue tuh bukan berubah seperti yang lo pikir. Berubah maksud gue itu, lo gak kaya dulu yang gampang buat ngomong putus. Bukan berubah jadi yang gue mau”
“Ya tapi gue gabisa. Kalau lo mikir, gue deket sama cewe manapun, itu cuma temen, dan gak ada perasaan apa-apa. Kalau lo tetep maksa gue berubah, gue gabisa”
“Sekarang gue tanya sama lo, selama kita jadian yang pertama sama yang kedua, pernah ga gue nuntut lo buat jadi yang gue mau? Pernah ga lo ngerasa kalau gue ngelarang lo buat nggak deket sama si ini atau si dia?”
“Ya engga sih…….”  Naya memotong omongan Devan.
“Nah, tuh lo paham. Berubah yang gue maksud, supaya lo bisa berpikir dewasa, nggak kaya anak kecil yang gampang ngambil keputusan. Gue mau nanya sama lo, kenapa dulu lo mutusin gue?”
“Gue lagi badmood, dan sikap lo bikin gue tambah emosi. Gue makin emosi sama status lo ditwitter”
Untuk kesekian kali Naya tersenyum.
“Cuma gara-gara status ditwitter lo mutusin gue. Kaya anak kecil gak sih? Konyol. Harusnya masalah kaya gitu tuh bisa diomongin baik-baik. Lo nya juga gapernah cerita kalau lagi badmood, bener-bener gabisa diganggu. Asal lo tau, sakit banget Van, sakit. Apalagi lo tau, lo mutusin gue pas gue lagi sayang-sayangnya sama lo” jelas Naya hampir menitihkan air mata.
Devan diam sejenak dengan tatapan mata keatas, tidak menoleh sedikitpun ke wajah Naya. Padahal, mata Naya selalu berusaha mencari tatap matanya.
“Tapi, kalau emang mau lo begitu, gue gabisa, kalau lo tetap maksa gue berubah, gue gabisa, dan kalau mau lo jadi temen selama-lamanya, gapapa. Jadi temen gak akan ada saling cemburu kan” ucap Devan.
“Ta……” mulut Naya baru mangap untuk bicara, Devan sudah pergi meninggalkan Naya.
“Yaudah” lalu Devan masuk ke kelas. Dan Naya pergi ke kelas 11 ipa 1 untuk rapat KIR.
‘Kenapa dia gak ngerti maksud gue. Siapa lagi sih yang jadi kompor?!’ benak Naya.
“Gimana?” tanya Lintang, ketika Naya duduk disebelahnya. Naya menceritakan semua yang terjadi.
“Ko Devan gitu sih? Ih, nyebelin banget. Kayanya tadi dia baik-baik aja” ucap Lintang yang juga ikutan kesal. Mereka bicara dengan nada pelan.
Entah bagaimana perasaan Naya, dia sendiri juga tidak mengerti. Naya benar-benar bingung, dan mungkin, Naya tidak salah mengambil keputusan. Naya tidak menerima Devan sekarang karena memang hatinya belum siap dipatahkan Devan untuk kesekian kalinya. Siapa yang akan menjamin sikapnya lebih baik dari kemarin, kalau tidak ada perubahan? Siapa yang mau tangung jawab kalau nanti kejadian kemarin terulang lagi? Siapa?!
“Berubah maksud gue kan bukan berarti dia harus jadi siapa yang gue mau, bukan! Kenapa sih, dia gak bisa mikir panjang? Gue nyuruh dia berubah, supaya kejadian kemarin nggak terulang. Ah, bodoh!” kesal Naya jadi jatuh ke Lintang, saat Naya dan Lintang pulang bareng, dimotor.
“Wajarlah kalau gue minta Devan buat berubah. Ini yang ketiga, Tang. Gue gamau ngerasain sakit yang sama dengan jarak waktu yang singkat ini” Naya masih terus bicara hingga Lintang benar-benar meresapi kata-kata Naya.
“Cewe minta cowonya berubah, wajar. Tapi kalau cowo? Kurangajar. Kalau kata Esa, tulang rusuk cewe itu bengkok, dan gabisa dipaksa lurus. Jadi, kalau cewe dipaksa berubah, ya gak bisa, bakalan patah yang ada tulang rusuknya. Beda sama cowo, katanya kan tulang rusuk cewe, ada dicowo. Wajar kalau cewe banyak nuntut, karena cowo bakal jadi pemimpin, kalau dia mau jadi pemimpin yang baik”
Naya diam mendengar penjelasan Lintang barusan, dan Naya cukup meresapi ucapan Lintang. Perasaan Naya malam ini benar-benar ganjal. Baru belum lama, komunikasinya dengan Devan sangat baik, dan masih bercanda. Sekarang?
Keesokannya Naya berusaha biasa saja. Nggak sedikitpun ada tampang galau diwajah Naya. Ya, menurutnya, Naya pandai menempatkan topeng diwajahnya.beda dengan raut wajahnya. Naya tidak menoleh sedikitpun kearah Devan, namun Naya menyimpan kebencian pada dirinya sendiri.
Saat istirahat kedua, jamnya siswa cowo sholat Jum’at.
“Nay, lo liat matanya Devan gak? Sembap loh, kaya abis nangis” cerita Lintang yang beberapa kali bolak-balik ketempat duduk Devan dan Arby.
“Gue ga liat. Ah, masa iya dia nangis? Buat apa dia nangis? Baru pertama kali kan? Gue? Udah sering nangis gara-gara dia” kata Naya, jaim. Tapi, setelah Naya memutar otak, Naya malah menyakiti dirinya sendiri, telapak tangannya luka, cuma karena Naya membuatnya menangis, kalau benar dia menangis.
Naya malah menyesali keputusannya kemarin. Tapi, yasudahlah, menurutnya nggak ada yang salah kalau Naya bersikap seperti kemarin. Positifnya, mungkin ini proses pendewasaan diri untuk Naya dan Devan.
Setelah selesai sholat Jum’at, Devan masuk ke kelas, dan Naya penasaran dengan matanya.  Naya melihat tanpa Devan sadari. Ya, matanya sembap dan agak berkantung. Bukan seperti kurang tidur, bola matanya seperti Icha kemarin yang habis menangis. ‘Maafin gue, Van’ benak Naya.
“Nay, tadi gue cerita-cerita dan ngejelasin semua sama Devan, gue juga jelasinnya dengan perantara, tapi tetep aja dia keras. Dan ada satu alasan yang menurut gue masuk akal. Emang, lo takut yang dulu keulang. Dan dia bilang, mau sampai kapan lo terus berpikir kebelakang. Bagi Devan, yang lalu ya udah berlalu. Gitu katanya” cerita Lintang. Naya hanya mampu mendengar, dan malas untuk menanggapi, walau Naya terus mengulang ucapan Lintang dikepalanya.
Sudahlah, seminggu kedepan Naya akan melaksanakan ujian akhir semester, Naya malas memikirkan hal seperti ini. Kalaupun sudah jalanNya, Devan akan kembali kok. Beberapa hari ini, Naya tidak bertegur sapa dengan Devan.
7 Juni, sudah tiba hari dimana Naya menjalankan ujian akhir semester hari pertama. Entah tidak atau Naya sadari, Naya satu ruangan dengan adik kelas yang ia perhatikan akhir-akhir ini. Trian namanya. Dia memang tidak duduk semeja dengan Naya, tapi dengan teman sekelas Naya, Tiara.
Duduknya nggak jauh dari kursi Naya, sehingga Naya masih mampu menangkap wajahnya. Memperhatikannya diam-diam, ditengah mengerjakan soal matematika memang sangat indah. Dan sesekali, Trian melihat kearah Naya, malah Naya yang menoleh.
Naya menjalani Sabtu, Senin, Selasa, dan Rabu dengan melihatnya selagi dikelas. Indah, dan dia malah terbawa dalam malam Naya sebelum tidur. Memikirkannya? Apakah ini cinta? Benarkah perasaan Naya pada Devan sudah hilang? Entah. Yang jelas, Naya hanya melihat wajah Trian dalam malam.
Mungkin bukan cinta, tapi benih cinta. Benih cinta yang mulai hadir ketika seruangan dengan Trian. Tapi, benih cinta itu perlahan hilang ditelan gossip Tiara menyukai Trian. Cukup kaget. Karena Naya menyukai Trian sudah dari lama sebelum Tiara tau Trian. Tapi, pada kenyataannya, Tiara lebih dulu kenal dekat denga Trian dibanding Naya. Naya hanya bisa melihatinya dari jauh, tanpa berani mengeluarkan suara dihadapannya.
Belum selangkah maju, sudah lebih dulu diselak. Mungkin ini takdir Naya dengan Devan. Devan? Magnet jenis apa yang ada ditubuhnya, hingga mampu menarik Naya, dan semakin kuat. Dan pedang dengan ketajaman macam apa yang juga mampu menyakiti seketika yang ia mau.
Setelah selesai uas, Naya dan Devan kembali seperti biasa lagi, mencair lagi semenjak kebekuan beberpa hari lalu diantara mereka. Tapi tetap saja, harus Naya yang selalu diejeknya. Jum’at ini tanggal 14. Lintang menghampiri Naya, dan dia bercerita.
“Nay, tadi Devan ngomong sesuatu”
“Ngomong apa?” tanya Naya.
“Gini, eh, Tang, Naya gainget ya ini tanggal berapa? Gitu, hahahaha”
“Terus mau apa kalau gue inget??? Mau apalagi???” kata Naya jadi naik darah. Tapi Lintang malah tertawa puas.
Memang benar kan, buat apa mengingat tanggal 14 lagi? Gak ada yang perlu diingat kan? Hanya untuk dikenang. Naya sudah terlalu lelah menyakiti dirinya sendiri, dan ia cukup kasihan terus membiarkan matanya meneteskan air mata.
Namun, untuk jatuh cinta lagi pun tidak dapat restu dari yang Maha Kuasa. Dan takdir Naya, harus kembali meratapi masa lalu yang memang hanya itu peninggalan perasaannya. Sakit memang, namun Naya tidak bisa menahan mereka untuk menimbulkan rasa cinta. Mungkin, Trian hanya kereta yang singgah sejenak. Tapi Devan, adalah stasiunnya yang akan tetap tinggal.
Beberapa malam, komunikasi Naya baik, sangat baik karena Naya yang memulai menyapanya di sms, dan mereka melanjutkannya di twitter, hingga tengah malam. Sampai keesokan paginyapun mereka masih lanjut mentionan.
Naya cukup melayang dengan segala kalimat manis ditengah candanya dalam percakapan itu. Devan bilang, Naya menggemaskan, karena sesekali membuatnya naik darah. Namun, bunga-bunga dihati Naya perlahan gugur, saat siang sudah tak ada balasan mention darinya.
Malam ini, Naya menerima satu foto. Foto yang cukup menggetarkan telapak tangannya ketika melihatnya, dan mampu mengiris sedikit luka yang hampir kering. Foto itu yang menyebabkan jari Naya menulis ini, mengetik kata demi kata yang disusun dari cerita nyata akhir-akhir ini.
Kurang apa hati seperti hatinya? Yang rela disakiti, rela untuk dilukai, dan menerima segala maaf secara tak langsung, walau tidak ada yang harus dimaafkan, dan tidak pernah ada maaf yang terucap darinya.
Kurang apa perasaan seperti perasaannya? Yang ingin jatuh cinta lagi, namun selalu kaubuat untuk tetap tinggal dirumahmu yang tak pernah kauhampiri. Kamu yang selalu mengunciku dirumah pengabaianmu, dan sesukamu bisa kaudatang dan tinggali.

Apa aku kurang sabar menanggapi sikapmu? Apa air mataku kurang banyak untuk menangisi setiap lakumu? Apa hatiku kurang kuat untuk kausakiti? Atau mungkin, aku kurang pintar untuk meninggalkanmu.
                                                 END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]