Cerpen: Dalam Diam
Siang menjelang sore. Bahkan gerbang SMA Lumious sudah hampir
di tutup. Hanya beberapa siswa yang mengikuti ekstrakurikuler basket yang
sekarang berada di lapangan.
Seseorang mencari seseorang. Di kelas, di kantin, bahkan di
taman sekolah seseorang itu tidak ada. Menghubunginya pun percuma, karena tas
seseorang yang dicari, masih ada di kelas.
Dia memutuskan untuk duduk di bangku yang terbuat dari semen,
di tepi lapangan sambil memperhatikan anak basket berlatih.
“Bintang? Lo ngapain di situ?” tanya seseorang yang
sedaritadi dicari.
“Lo sendiri dari mana? Gue muter-muter nyariin lo.” katanya.
“Gue dari tadi di perpus. Kenapa nyariin gue? Kangen?” ledek Gladys.
“Kepedean banget lo. Gue mau ngajak lo pulang bareng.” ucap Bintang.
“Bukannya lo lagi merhatiin anak basket putri latihan?” goda Gladys.
“Ngga. Gue merhatiin mereka karena terpaksa. Soalnya kan gue duduk di sini.” jawab Bintang, jutek.
“Iya deh, percaya.” kata Gladys.
“Udah yuk ah ngambil tas.” Bintang merangkul Gladys.
“Lo sendiri dari mana? Gue muter-muter nyariin lo.” katanya.
“Gue dari tadi di perpus. Kenapa nyariin gue? Kangen?” ledek Gladys.
“Kepedean banget lo. Gue mau ngajak lo pulang bareng.” ucap Bintang.
“Bukannya lo lagi merhatiin anak basket putri latihan?” goda Gladys.
“Ngga. Gue merhatiin mereka karena terpaksa. Soalnya kan gue duduk di sini.” jawab Bintang, jutek.
“Iya deh, percaya.” kata Gladys.
“Udah yuk ah ngambil tas.” Bintang merangkul Gladys.
Saat Bintang dan Gladys berjalan menaiki anak tangga, tanpa
ada yang menyadari, seseorang yang berdiri di lapangan, lekat menatap mereka
berdua.
Selesai mengambil tas, Gladys dan Bintang pergi ke parkiran.
Parkiran yang tak jauh dari lapangan. Sepanjang koridor, Bintang asyik
bercerita dengan gadis yang hari ini rambutnya diikat habis bagai ekor kuda.
Sesampainya di parkiran motor, dari kejauhan, Bintang
menghentikan langkahnya begitu melihat seseorang duduk di atas motornya.
Seorang wanita yang memakai kaos tim bernomor punggung 12.
Gladys yang tingginya hanya sebatas dagu Bintang, mencoba
menatap Bintang seolah menyimpan tanya ‘Gimana ini?’. Namun Bintang masih lekat
memperhatikan seseorang yang duduk di atas motornya.
“Ternyata bener ya kata anak-anak yang lain. Lo cepet banget
dapet pengganti gue, Tang.” kata seseorang itu.
‘Oh, ini mantannya Bintang yang
namanya Anggi. Anak basket putri yang paling cantik di angkatannya.’ benak Gladys saat memperhatikan
wanita berambut hitam kecoklatan sebahu yang diikat ke belakang.
“Lo ngomong apaan sih? Ngga usah nyari jawaban dari orang
lain deh. Kalo mau, tanya langsung ke gue.” ucap Bintang.
“Apa yang gue lihat sekarang, itu udah jadi jawaban kok. You,” Anggi melirik Gladys. “Selamat masuk ke perangkapnya Bintang ya. Mungkin sebentar lagi Bintang akan ngelakuin hal yang sama ke lo.” ucap Anggi yang setelah itu pergi dari hadapan mereka berdua.
“Apa yang gue lihat sekarang, itu udah jadi jawaban kok. You,” Anggi melirik Gladys. “Selamat masuk ke perangkapnya Bintang ya. Mungkin sebentar lagi Bintang akan ngelakuin hal yang sama ke lo.” ucap Anggi yang setelah itu pergi dari hadapan mereka berdua.
“Ngga usah dengerin omongannya Anggi ya.” kata Bintang sambil
naik ke motornya.
“Gue aja ngga ngerti yang dia omongin itu apa.” kata Gladys.
“Yaudahlah, ngga usah dingertiin. Ayo naik.” kata Bintang.
“Gue aja ngga ngerti yang dia omongin itu apa.” kata Gladys.
“Yaudahlah, ngga usah dingertiin. Ayo naik.” kata Bintang.
Gladys sudah duduk diatas motor Bintang. Bintang sempat
menoleh ke arah Gladys. Namun Gladys melihat lirikan mata Bintang.
“Nakal banget sih mata lo!” Gladys mengetuk helm yang sudah
Bintang pakai.
Bintang melepas helmnya, lalu membuka ritsleting jaket hitamnya.
“Nih, lo pake. Biar cowok-cowok lain ngga terpancing. Lagian make rok pendek
banget. Besok ganti kek rok lo.” ucap Bintang yang kemudian memakai helmnya
lagi.
Gladys hanya menurut dan mereka pun pergi dari sekolah. Ada
pelupuk yang mulai berat di ujung lapangan.
Sesampainya di depan perempatan, Gladys sudah siap-siap
berdiri dan segera turun.
“Jangan turun dulu.” kata Bintang.
“Loh, kenapa? Biasanya kan gue turun di sini?” Gladys kembali duduk di belakang Bintang.
“Di mana rumah lo? Gue anterin sampe depan rumah.” kata Bintang.
“Di sini aja Bintang. Jalan ke rumah gue tuh ribet.”
“Kenapa sih gue ngga boleh tau rumah lo? Lagian kan enak kalo gue anter sampe depan rumah, lo ngga perlu jalan.”
“Loh, kenapa? Biasanya kan gue turun di sini?” Gladys kembali duduk di belakang Bintang.
“Di mana rumah lo? Gue anterin sampe depan rumah.” kata Bintang.
“Di sini aja Bintang. Jalan ke rumah gue tuh ribet.”
“Kenapa sih gue ngga boleh tau rumah lo? Lagian kan enak kalo gue anter sampe depan rumah, lo ngga perlu jalan.”
Gladys turun dari motor Bintang dan memberikan jaket Bintang.
“Makasih ya jaketnya. Gih, sana pulang.” Gladys selalu
menunggu motor Bintang hilang dari pandangan sebelum ia melangkah ke rumahnya.
Bintang memakai jaketnya dengan tatapan kesal pada Gladys.
Tapi Gladys malah tersenyum konyol membalas tatapan Bintang.
“Hati-hati, Bintang.” ucap Gladys.
“Iya.”
“Iya.”
Gladys berjalan sekitar lima ratus meter dari perempatan tadi
menuju rumahnya. Sesampainya di depan komplek, bahkan ia harus berjalan lagi melewati
3 blok untuk sampai ke depan rumahnya.
“Gladys pulang.” Gladys membuka pintu rumahnya. Sepi.
Gladys hanya menemukan Mbak Ina di halaman belakang rumahnya
yang sedang menyapu.
“Mbak, mama mana ya?” tanya Gladys.
“Tadi nyonya cuman nitip ini ke mbak, buat kamu Dys katanya.” jawab Mbak Ina.
“Makasih ya.”
“Tadi nyonya cuman nitip ini ke mbak, buat kamu Dys katanya.” jawab Mbak Ina.
“Makasih ya.”
Gladys memanggil Ina dengan sebutan Mbak karena usianya hanya
berbeda setahun. Seharusnya, mbak Ina ini senior Gladys. Tapi, kedua orang
tuanya di kampung tidak punya biaya untuk melanjutkan pendidikan Ina.
Setelah menerima surat yang dititpkan mama kepada mbak Ina,
Gladys langsung masuk ke kamarnya yang berada di lantai 2.
Belum sempat membuka sepatu dan mengganti pakaian, Gladys
langsung membuka surat itu. Setelah membaca surat dari mamanya, Gladys kembali
melipat kertas itu dan menaruhnya di atas meja belajarnya.
Malam harinya, Gladys baru saja hendak pergi ke tempat makan
sederhana dekat perempatan. Lidahnya sedang kepengin ketoprak langganannya.
Begitu mengeluarkan sepeda…
“Vino?”
~
“Tang, nanti gue ngga bareng lo ya baliknya. Soalnya gue
dijemput temen lama gue.” ucap Gladys.
Baru saja Bintang mau menyuap sesendok nasi goreng, namun
terhenti begitu Gladys bicara barusan.
“Temen lama? Siapa?” tanya Bintang.
“Vino. Dia ngelanjutin sekolah di Singapore, dan kebetulan lagi libur jadi dia mampir ke rumah gue.”
“Vino. Dia ngelanjutin sekolah di Singapore, dan kebetulan lagi libur jadi dia mampir ke rumah gue.”
Bintang diam sejenak.
“Oh, yaudah.” singkatnya.
Saat bel pulang sekolah, Bintang tidak langsung meluncur ke
parkiran. Melainkan berdiri bersandar pada balkon lantai dua. Sedangkan Gladys,
sudah turun dan berdiri di dekat pos satpam. Menunggu seseorang.
Setelah menerima panggilan, Gladys memasukan ponselnya ke
dalam tasnya dan saat itu juga sebuah sedan berwarna hitam berhenti tepat di
sebelah Gladys.
“Temen lamanya Gladys pake mobil? Berarti rumahya ngga di
jalanan setapak orang lewat dong? Kenapa gue ngga boleh mulu kalo ke rumahnya.
Alesannya jalanannya ribet.” gumam Bintang.
Di mobil.
“Lama ngga nunggu gue? Sorry ya, agak lupa jalanan sini.”
kata Vino.
“Tau deh yang hafal jalanan Singapore.” ledek Gladys.
“Loh, bukannya gitu. Tapi serius deh emang lupa. Oh iya, mau nonton di mana kita?”
“Terserah lo, Vin. Gue sih ikut aja, kan dibayarin. Hahahaha.”
“Yee dasar! Oh iya, nyokap bokap gimana?”
“Tau deh yang hafal jalanan Singapore.” ledek Gladys.
“Loh, bukannya gitu. Tapi serius deh emang lupa. Oh iya, mau nonton di mana kita?”
“Terserah lo, Vin. Gue sih ikut aja, kan dibayarin. Hahahaha.”
“Yee dasar! Oh iya, nyokap bokap gimana?”
Gladys diam.
“Eh, maaf maaf, ngga maksud. Yaudah, kita ganti topik deh ya.
Kita mau nonton apa nanti?” ucap Vino.
“Yang jelas, jangan horror ya.” jawab Gladys.
“Ternyata masih kaya dulu ya, hahaha.”
“Yang jelas, jangan horror ya.” jawab Gladys.
“Ternyata masih kaya dulu ya, hahaha.”
Keesokan harinya saat sampai di kelas, Gladys langsung
mencari sosok Bintang. Tapi, di kelas tidak ada Bintang. Begitu Gladys keluar
kelas, Gladys melihat Bintang naik ke lantai 2. Dia dari lantai 1.
‘Ngapain dia dari kawasan kelas dua belas?’ benak Gladys.
“Eh, lo udah dateng.” kata Bintang.
“Ciye, abis dari kawasan senior. Ceritanya kangen mantan nih?” ledek Gladys.
“Siapa yang abis ketemu mantan? Kantin kan juga di lantai 1. Nih, gue abis beli air minum.” Bintang meninggalkan Gladys yang salah tingkah.
“Ciye, abis dari kawasan senior. Ceritanya kangen mantan nih?” ledek Gladys.
“Siapa yang abis ketemu mantan? Kantin kan juga di lantai 1. Nih, gue abis beli air minum.” Bintang meninggalkan Gladys yang salah tingkah.
Gladys menggigit bibir bawahnya.
“Kenapa gue bisa lupa dan nganggep lantai satu pure kawasan senior? Bodoh.” gumam
Gladys.
Gladys menyusul Bintang ke kelas. Gladys yang duduk di depan
Bintang, langsung memutarkan badannya menghadap Bintang. Bintang kaget dengan
sikap Gladys seperti itu.
“Lo ngagetin aja sih!”
“Maaf. Tang, kemaren Vino ngajak gue nonton.” cerita Gladys.
“Terus?” tanya Bintang sambil menaikan alisnya sebelah.
“Berarti, sebentar lagi gue ngga jomblo.”
“Oh gitu? Gue pikir, selama ini gebetan lo ada di sekolah.”
“Vino sekarang tambah ganteng, Tang. Nyesel dulu gue mutusin dia.”
“Mutusin? Bukannya lo bilang dia temen lama?”
“Maaf. Tang, kemaren Vino ngajak gue nonton.” cerita Gladys.
“Terus?” tanya Bintang sambil menaikan alisnya sebelah.
“Berarti, sebentar lagi gue ngga jomblo.”
“Oh gitu? Gue pikir, selama ini gebetan lo ada di sekolah.”
“Vino sekarang tambah ganteng, Tang. Nyesel dulu gue mutusin dia.”
“Mutusin? Bukannya lo bilang dia temen lama?”
Gladys salah bicara. Ia langsung membungkam mulutnya dan
kembali pada posisi duduk yang seharusnya.
Sepulang sekolah, Bintang langsung menarik Gladys keluar
kelas. Bintang menggandeng tangan Gladys sampai ke parkiran.
“Lo balik sama gue kan hari ini?” tanya Bintang.
Gladys menoleh ke pos satpam.
“Tapi Vino udah nunggu di depan gerbang.” jawab Gladys.
“Yaudah deh. Hati-hati lo.” kata Bintang sambil melepas genggaman di tangan Gladys.
“Yaudah deh. Hati-hati lo.” kata Bintang sambil melepas genggaman di tangan Gladys.
Bintang langsung menyalakan mesin motornya dan segera pergi
dari hadapan Gladys. Gladys langsung menghampiri Vino.
“Tadi pacar lo ya?” tanya Vino begitu Gladys berdiri di
hadapannya.
“Bukan. Dia temen gue.” jawab Gladys.
“Yakin? Dari tatapan matanya, kayanya dia suka sama lo, Dys.”
“Ya ngga papa dong. Itu menandakan dia laki-laki normal dan gue perempuan normal.”
“Iya deh iya. Yaudah yuk.” Vino dan Gladys masuk ke mobil.
“Bukan. Dia temen gue.” jawab Gladys.
“Yakin? Dari tatapan matanya, kayanya dia suka sama lo, Dys.”
“Ya ngga papa dong. Itu menandakan dia laki-laki normal dan gue perempuan normal.”
“Iya deh iya. Yaudah yuk.” Vino dan Gladys masuk ke mobil.
Vino dan Gladys pergi ke salah satu tempat makan. Sesampainya
di parkiran, Gladys melihat motor Bintang terparkir di sana.
Begitu masuk ke dalam, benar saja, Bintang berada di sana.
Bersama perempuan berseragam berbeda dengannya.
“Pindah tempat makan yuk.” ucap Gladys.
“Kenapa?” tanya Vino.
“Ngga kenapa-napa.”
“Kalo ngga papa kenapa harus pindah? Udahlah kita pesan makanannya.” Vino menggandeng Gladys sampai ke meja pemesanan makanan.
“Kenapa?” tanya Vino.
“Ngga kenapa-napa.”
“Kalo ngga papa kenapa harus pindah? Udahlah kita pesan makanannya.” Vino menggandeng Gladys sampai ke meja pemesanan makanan.
“Vino, gue ke toilet dulu ya.” kata Gladys begitu pelayan
sedang menyiapkan makanan.
“Oke.”
“Oke.”
Gladys berdiri di depan kaca sembari mencuci tangannya di
wastafel. Beberapa detik kemudian, seseorang melakukan hal yang sama dengannya,
disebelahnya.
“Ciye, lagi bernostalgia ya?”
“Apaan sih Tang. Lo juga kan lagi sama gebetan baru?”
“Dia temen lama gue.” ucap Bintang sambil tersenyum pada Gladys.
“Apaan sih Tang. Lo juga kan lagi sama gebetan baru?”
“Dia temen lama gue.” ucap Bintang sambil tersenyum pada Gladys.
Gladys menatap Bintang, lalu pergi meninggalkannya.
Gladys duduk di kursi, di hadapan Vino. Memakan makanannya
tanpa sedikitpun bicara. Bahkan Vino sedari tadi bercerita sendirian, tanpa
tanggapan Gladys.
Sesampainya di rumah dan baru saja menutup pintu rumahnya,
ponselnya berdering.
“Halo?”
“Gue di depan perempatan. Lo kesini ya.”
“Gue baru aja sampe rumah, Tang. Capek ah.”
“Yaudah. Kasih alamat rumah lo, biar gue yang ke rumah lo.”
“Bawel ya lo! Yaudah, gue kesana!”
“Gue di depan perempatan. Lo kesini ya.”
“Gue baru aja sampe rumah, Tang. Capek ah.”
“Yaudah. Kasih alamat rumah lo, biar gue yang ke rumah lo.”
“Bawel ya lo! Yaudah, gue kesana!”
Gladys memutus sambungan dan membuka pintu rumahnya. Benar-benar
kaget bukan main, Bintang sudah berdiri di depan gerbang rumahnya.
“Kenapa bisa ada di sini?”
“Emangnya cuman Vino doang yang bisa,” ucap Bintang. “Besok pagi gue jemput. Kita berangkat bareng.” katanya.
“Gimana sama gebetan baru lo?”
“Gebetan apa sih? Kan gue udah bilang, dia temen lama gue.”
“Oh. Temen lama.”
“Emangnya cuman Vino doang yang bisa,” ucap Bintang. “Besok pagi gue jemput. Kita berangkat bareng.” katanya.
“Gimana sama gebetan baru lo?”
“Gebetan apa sih? Kan gue udah bilang, dia temen lama gue.”
“Oh. Temen lama.”
Bintang memperhatikan Gladys.
“Lo cemburu?” tanya Bintang.
“Cemburu?” Gladys mencibir Bintang.
“Kok kayanya lo kesel gitu sih.”
“Engga. Biasa aja.”
“Eh iya, orang tua lo kemana? Gue mau pamit pulang.”
“Cemburu?” Gladys mencibir Bintang.
“Kok kayanya lo kesel gitu sih.”
“Engga. Biasa aja.”
“Eh iya, orang tua lo kemana? Gue mau pamit pulang.”
Gladys menatap Bintang.
“Kenapa sih kok ngeliatin gue kaya gitu?” tanya Bintang.
“Langsung pulang aja. Ngga ada siapa-siapa di rumah kecuali gue sama pembantu gue.”
“Pembantu lo cowok apa cewek?”
“Kenapa?”
“Kalo cewek mau gue ajak kenalan.” ucap Bintang dengan senyum nakalnya.
“Mbak Ina ada yang mau kenalan sama lo.” teriak Gladys.
“Langsung pulang aja. Ngga ada siapa-siapa di rumah kecuali gue sama pembantu gue.”
“Pembantu lo cowok apa cewek?”
“Kenapa?”
“Kalo cewek mau gue ajak kenalan.” ucap Bintang dengan senyum nakalnya.
“Mbak Ina ada yang mau kenalan sama lo.” teriak Gladys.
Bintang langsung menutup mulut Gladys dengan tangannya.
“Gue cuman bercanda kali.” kata Bintang.
“Yaudah sana lo pulang.”
“Jutek banget sih. Iya, gue pulang.”
“Yaudah sana lo pulang.”
“Jutek banget sih. Iya, gue pulang.”
~
“Vin, nanti pulang sekolah temenin ke toko buku bentar ya,
mau beli novel.”
Seseorang disamping Gladys langsung menoleh.
“Kayanya lo sering banget ya pergi sama Vino. Sampe salah
nyebut nama.” ucap Bintang.
“Oiya! Maaf. Abis kalo lo bawa mobil ke sekolah, gue keinget Vino mulu. Maklumlah, dia kan udah balik lagi ke Singapore, terus gue masih kangen.”
“Yaudah, susul aja ke Singapore kalo masih kangen.”
“Oiya! Maaf. Abis kalo lo bawa mobil ke sekolah, gue keinget Vino mulu. Maklumlah, dia kan udah balik lagi ke Singapore, terus gue masih kangen.”
“Yaudah, susul aja ke Singapore kalo masih kangen.”
Gladys melirik Bintang.
‘Bintang cemburu, hahahaha.’ batin Gladys.
“Tang, lo ngga mau ngomong sesuatu gitu?”
“Sesuatu? Apaan? Ngga ada kayanya.”
“Beneran ngga ada?”
“Apaan sih?”
“Ngga deh.”
“Sesuatu? Apaan? Ngga ada kayanya.”
“Beneran ngga ada?”
“Apaan sih?”
“Ngga deh.”
Saat bel pulang sekolah.
“Bintang, gue ngumpul bentar ya sama anak-anak ekskul.” kata
Gladys.
“Yaudah, gue tunggu di mobil.” ucap Bintang.
“Yaudah, gue tunggu di mobil.” ucap Bintang.
Bintang turun ke parkiran dan menunggu Gladys di dalam
mobilnya. Tiba-tiba, ada seseorang yang membuka pintu mobil Bintang.
“Udah selesai Dys—,” Bintang menoleh. “Anggi?”
Anggi duduk disebelah Bintang.
“Kenapa lo nemuin gue?” tanya Bintang.
“Ada yang mau gue omongin sama lo.” ucap Anggi.
“Kalo buat ngejelasin masalah yang waktu dulu, gue males dengerinnya.”
“Tapi lo harus tau yang sebenernya, Bintang. Itu ngga sepenuhnya sa—“
“Lo boleh turun sekarang.”
“Ada yang mau gue omongin sama lo.” ucap Anggi.
“Kalo buat ngejelasin masalah yang waktu dulu, gue males dengerinnya.”
“Tapi lo harus tau yang sebenernya, Bintang. Itu ngga sepenuhnya sa—“
“Lo boleh turun sekarang.”
Anggi menunduk. Tapi kecupan di pipi kiri Bintang sempat
mendarat sebelum akhirnya Anggi turun dari mobil Bintang.
“Gue masih sayang sama lo.” ucap Anggi.
Bintang mengela napas. Sesekali melirik jam tangannya. Kenapa
Gladys tidak juga muncul?
“Setengah jam. Selama ini ya anak ekskul kalo rapat?!”
Bintang mulai menelepon Gladys, tapi nomornya tidak aktif.
Sudah hampir dua jam Bintang menunggu. Bintang memutuskan
kembali ke gedung sekolah, ke ruangan tempat ekskul English club ngumpul. Sepi.
“Gladys kemana?” gumam Bintang.
Tengah malam sekitar pukul dua belas kurang lima belas menit,
Bintang menerima pesan singkat.
Maaf tadi gue pulang duluan. Gue
buru-buru jadi ngga sempet ngabarin lo.
Bintang membanting ponselnya ke kasurnya.
Lalu, ponselnya berdering. Buru-buru Bintang meraih
ponselnya. Anggi.
“Kenapa?”
~
“Ngga bisa ya ngabarin gue selagi di perjalanan pulang? Gue
nunggu lo selama dua jam tapi lo baru ngabarin tengah malem? Mendingan sekalian
lo ngga usah hubungin gue.” bentak Bintang di halaman belakang sekolah saat
menemui Gladys.
“Yaudah kalo maunya gitu.” jawab Gladys yang kemudian segera
beranjak dari sana.
“Dys, lo kenapa sih?” Bintang menggamit tangan Gladys.
“Gue ngga papa. Gue mau ke kelas duluan.” Gladys melepas tangan Bintang yang masih melingkar dipergelangan tangannya.
“Dys, lo kenapa sih?” Bintang menggamit tangan Gladys.
“Gue ngga papa. Gue mau ke kelas duluan.” Gladys melepas tangan Bintang yang masih melingkar dipergelangan tangannya.
Selama di kelas, tak sedikitpun Gladys menoleh ke belakang.
Gladys benar-benar diam sepanjang hari ini. Bahkan ia menghindari Bintang
selama jam istirahat.
Sepulang sekolah, Bintang berdiri di samping meja Gladys,
mencegat Galdys bangun dari kursinya.
“Gue mau pulang, permisi.”
“Lo pulang sama gue.”
“Lo pulang sama gue.”
“Bintang.” seseorang memangil di bibir pintu.
Gladys bangun dari duduknya dan mendorong tubuh Bintang, lalu
ia pergi dari kelas dan meninggalkan Bintang bersama Anggi.
“Gladys.” teriak Bintang seraya berlari mengejarnya. Bahkan
Bintang menabrak pundak Anggi untuk mengejar Gladys.
Gladys berusaha melangkah secepat mungkin. Tapi langkah
Bintang lebih cepat. Bintang menarik tangan Gladys dari belakang dan membuat
Gladys berdiri dihadapannya.
“Lo nangis?” tanya Bintang yang melihat pipi Gladys basah.
Gladys menunduk dan menghapus air matanya yang masih
mengalir.
“Gue mau pulang sendiri, Bintang.” Gladys bicara dengan nada
yang lirih.
Bintang menarik Gladys ke mobilnya.
“Masuk. Gue anterin lo pulang.” kata Bintang.
“Kak Anggi masih nungguin lo di depan kelas.” ucap Gladys.
“Gue ngga mikirin dia. Sekarang gue lagi mkirin lo, jadi cepet masuk.”
“Kak Anggi masih nungguin lo di depan kelas.” ucap Gladys.
“Gue ngga mikirin dia. Sekarang gue lagi mkirin lo, jadi cepet masuk.”
Gladys menurut.
Di dalam mobil.
“Lo tuh kenapa sih?” tanya Bintang di belakang kemudinya.
“Kali aja Kak Anggi mau ngajak lo ngomong, terus mau ngasih jatah di pipi kanan lo.”
“Jatah di pipi kanan?”
“Kali aja Kak Anggi mau ngajak lo ngomong, terus mau ngasih jatah di pipi kanan lo.”
“Jatah di pipi kanan?”
Bintang diam sejenak.
“Lo liat Anggi nyium pipi gue?”
Terlintas ide usil di kepala Bintang.
“Waktu masih pacaran sih, sering kali.” ucap Bintang yang
membuat Gladys menoleh.
“Harusnya kalian ngga perlu putus.”
“Lo cemburu?” goda Bintang.
“Engga!”
“Bilang aja cemburu. Sampe nangis gitu hahahahaha!”
“Gue nangis bukan karena itu.”
“Halah, masih ngelak—“
“Kedua orang tua gue resmi bercerai.”
“Harusnya kalian ngga perlu putus.”
“Lo cemburu?” goda Bintang.
“Engga!”
“Bilang aja cemburu. Sampe nangis gitu hahahahaha!”
“Gue nangis bukan karena itu.”
“Halah, masih ngelak—“
“Kedua orang tua gue resmi bercerai.”
Bintang mengerem mobilnya. Lalu menoleh ke arah gadis
disampingnya. Gladys hanya mematung menunduk.
“Papa sekarang tinggal di luar negeri. Mama pulang ke rumah
nenek di Bandung. Gue sendirian di rumah.”
Bintang menggenggam tangan Gladys.
“Maafin gue, gue bener-bener ngga tau hal ini.”
“Ngga papa, Tang.” Gladys tersenyum melihat Bintang.
“Lo kepikiran mau ikut nyokap lo? Atau bokap?”
“Selesai SMA, mungkin gue tinggal di Bandung.”
“Ngga papa, Tang.” Gladys tersenyum melihat Bintang.
“Lo kepikiran mau ikut nyokap lo? Atau bokap?”
“Selesai SMA, mungkin gue tinggal di Bandung.”
Bintang semakin erat menggenggam tangan Gladys.
“Di sini ada gue. Lo jangan pergi kemana-mana.” ucap Bintang.
“Kenapa?”
“Gue. Gue ngga mau kehilangan lo.”
“Kenapa?”
“Gue. Gue ngga mau kehilangan lo.”
Gladys diam. Meneliti wajah Bintang yang sekarang ini
terlihat tenang. Telapak tangan Gladys mungkin sudah basah akibat genggaman
Bintang.
“Lo ngomong apa sih? Gue masih di sini. Ke Bandungnya tahun
depan, abis ujian nasional. Tenang aja kali.”
“Sampai kapanpun, jangan pernah tinggalin gue.”
“Gue ngga akan ninggalin lo.”
“Sampai kapanpun, jangan pernah tinggalin gue.”
“Gue ngga akan ninggalin lo.”
Bintang melirik mata Gladys, lalu tersenyum.
~
Hari-hari berikutnya, Bintang jadi sering main ke rumah
Gladys. Untuk sekadar menemani Gladys yang kesepian.
Tapi Gladys masih tidak mengerti, apa maksud ucapan Anggi “Selamat masuk ke perangkapnya Bintang ya.
Mungkin sebentar lagi Bintang akan ngelakuin hal yang sama ke lo.”?
“Diem aja. Mikirin apaan sih?” tanya Bintang.
“Omongannya Kak Anggi.” jawab Gladys.
“Omongannya Kak Anggi.” jawab Gladys.
Bintang langsung mengalihkan matanya dari layar ponselnya.
“Anggi ngancem lo?”
Gladys diam dengan raut wajah berpikir keras.
“Hal apa yang lo lakuin ke Kak Anggi? Biar gue antisipasi.” ucap
Gladys.
“Yakin mau tau?” tanya Bintang. Gladys mengangguk. “Gue mutusin dia.” jawab Bintang tanpa basa-basi.
“Yakin mau tau?” tanya Bintang. Gladys mengangguk. “Gue mutusin dia.” jawab Bintang tanpa basa-basi.
“Oh.” singkat Gladys.
“Gue ngga akan ngelakuin itu ke lo,”
“Gue ngga akan ngelakuin itu ke lo,”
Gladys melirik tatapan Bintang.
“Karena kita kan ngga pacaran. Jadi tenang aja.” ucap Bintang.
“Iyaya. Kita kan cuman temenan.” kata Gladys. Bintang nyengir kuda.
“Iyaya. Kita kan cuman temenan.” kata Gladys. Bintang nyengir kuda.
“Emang lo mau lebih?” tanya Bintang.
Gladys kikuk ditanya seperti itu.
“Kok salah tingkah?” tanya Bintang.
“Biasa aja! Siapa yang salting.” kata Gladys.
“Biasa aja! Siapa yang salting.” kata Gladys.
Bintang tersenyum.
“Kalo emang kenyataannya perasaan gue lebih dari temen ke lo,
gimana?” tanya Bintang.
“Mana gue tau. Emangnya gue harus apa?” Gladys malah bertanya balik.
“Yaudah. Lo diem aja. Biar gue nikmatin aja perasaan gue ini.” ucap Bintang santai.
“Tapi Tang, ngerasain perasaan sendirian mana enak? Apa lagi perasaannya sama.” ucap Gladys dengan bola mata yang berkeliaran kemana-mana.
“Mana gue tau. Emangnya gue harus apa?” Gladys malah bertanya balik.
“Yaudah. Lo diem aja. Biar gue nikmatin aja perasaan gue ini.” ucap Bintang santai.
“Tapi Tang, ngerasain perasaan sendirian mana enak? Apa lagi perasaannya sama.” ucap Gladys dengan bola mata yang berkeliaran kemana-mana.
Bintang tersenyum melihat Gladys.
“Jadi gimana?” tanya Bintang.
“Biarin kaya gini aja. Tau sama tau, ngga perlu ada ikatan apa-apa,” jawab Gladys yang membuat Bintang sedikit kecewa. “Dari pada gue sakit hati nantinya, kaya yang Kak Anggi rasain.”
“Biarin kaya gini aja. Tau sama tau, ngga perlu ada ikatan apa-apa,” jawab Gladys yang membuat Bintang sedikit kecewa. “Dari pada gue sakit hati nantinya, kaya yang Kak Anggi rasain.”
“Gue ngga bisa janji kalo gue ngga akan ngelakuin hal yang
sama ke lo. Tapi gue akan berusaha jatuh cinta sama lo setiap harinya. Dan satu
hal,”
Gladys menunggu ucapan Bintang selanjutnya.
“Jangan pernah ngelakuin apa yang Anggi lakuin ke gue.”
“Emang Kak Anggi ngelakuin apa?”
“Ngeduain gue. Gue rasa lo cukup pandai mengartikan sikap gue ke Anggi.”
“Emang Kak Anggi ngelakuin apa?”
“Ngeduain gue. Gue rasa lo cukup pandai mengartikan sikap gue ke Anggi.”
Gladys hanya ber-oh sambil berpangku dagu. Kemudian kening
Gladys terasa hangat.
Selesai.
Komentar
Posting Komentar