Cerpen: A Secret [Part 1]
Siang menjelang sore yang cukup terang untuk menanti. Di
halte depan fakultas ilmu budaya, banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berdiri
menunggu bis kampus.
Tidak sekali dua kali bis kampus melintas, namun karena
banyak penumpang di dalamnya, terpaksa Sheina harus berdiri lebih lama lagi.
Berkali-kali Sheina melirik arlojinya. Padahal, menitnya baru
berganti sekali. Wajahnya gelisah seperti harus menepati waktu.
Tapi, wajahnya berubah cerah setelah melihat Honda Brio warna
hitam bernomor polisi B 19 JNU hendak keluar dari kawasan gedung fakultas.
Dengan tiba-tiba, Sheina berdiri di depan mobil itu.
Pengemudi langsung mendadak menginjak rem mobilnya.
Cowok yang duduk di belakang kemudi, membuka kaca dan
mengeluarkan kepalanya sambil membuka kaca mata hitamnya.
“Lo bosen hidup?”
Ditanya begitu, Sheina malah tersenyum penuh maksud. Sheina
berjalan mendekati cowok tersebut dan berdiri di samping mobil.
“Lo pasti mau ke sekolah kan? Nebeng ya? Bis kampus ngga
dateng-dateng, Nu. Boleh ya?”
“Kenapa ya lo selalu ada di mana-mana? Tunggu sebentar lagi aja, nanti juga dateng bisnya.”
“Kenapa ya lo selalu ada di mana-mana? Tunggu sebentar lagi aja, nanti juga dateng bisnya.”
Cowok itu mulai menekan tombol untuk menutup kaca mobilnya.
“Janu, ayolah. Kita kan temen SMA. Gue bisa telat kalo
ngandelin bis kampus. Ya?”
Sheina tetap memohon meskipun tak sedikit pasang mata yang
melihat. Tak mau tambah malu, akhirnya Janu membiarkan seseorang duduk di
sampingnya.
“Yaudah masuk.”
Selama di dalam mobil, keheningan itu tidak juga pecah.
Mereka masih sibuk dalam pikiran masing-masing.
Aura wajah Sheina berbanding terbalik dengan aura wajah Janu.
Sheina senang karena diberi tumpangan oleh teman seperjuangannya. Tapi tidak
Janu, dia justru terlihat malas harus menumpangi Sheina.
“Janu, makasih ya udah mau nebengin.” ucap Sheina dengan
senyumnya.
“Ngga usah bilang makasih. Gue ngga nurunin lo di depan sekolah.” ucap Janu tanpa sedikitpun menatap Sheina.
“Ngga usah bilang makasih. Gue ngga nurunin lo di depan sekolah.” ucap Janu tanpa sedikitpun menatap Sheina.
Seketika senyum Sheina luntur.
“Loh, terus di mana?”
“Di perempatan. Nanti dari situ lo jalan kaki. Gue males temen-temen yang lain ngeliat gue turun dari mobil bareng lo.”
“Tega banget sih nurunin gue di perempatan. Kan jauh Nu jalannya lagi.”
“Di perempatan. Nanti dari situ lo jalan kaki. Gue males temen-temen yang lain ngeliat gue turun dari mobil bareng lo.”
“Tega banget sih nurunin gue di perempatan. Kan jauh Nu jalannya lagi.”
Janu menghentikan mobilnya.
“Mau gue turunin di sini?” kali ini Janu melihat ke arah
Sheina.
“Iya iya sampe perempatan.” jawab Sheina lengkap dengan cemberutnya.
“Iya iya sampe perempatan.” jawab Sheina lengkap dengan cemberutnya.
Cowok berambut sedikit gondrong itu langsung melanjutkan
kemudinya. Sheina berusaha menghubungi teman-teman SMA-nya yang membawa
kendaraan.
‘Harus banget ngga ya gue nanya
Lingga? Huh, mau ngga mau deh. Dari pada gue jalan kaki sepanjang satu kilo!’ batin Sheina.
Semenit kemudian, Sheina mendapat balasan BBM. Sheina harap
itu bukan Lingga. Namun harapan itu tidak terwujud. Hanya Lingga yang memiliki
tumpangan di jok belakangnya. Karena teman-teman yang lain juga sudah punya
tebengan masing-masing.
Sampailah mereka di perempatan. Janu memberi lampu sen kiri
dan segera menghentikan mobilnya.
“Silahkan.” ucap Janu tanpa sedikitpun menatap Sheina.
Sheina membuka pintu mobil dan segera turun. Sebelum menutup
pintu, Sheina sempat bilang terimakasih namun hanya dijawab sebuah anggukan
kepala dari sang pemilik mobil.
Sheina berdiri di samping tiang listrik. Sambil sesekali
memainkan ponselnya. Beberapa menit kemudian, sebuah motor Kawasaki ninja warna
hitam berhenti di samping Sheina.
“Naik.” ucap seseorang di balik helm.
Sheina memegang pundak Lingga untuk bisa duduk di
belakangnya. Entah kapan terakhir kali Sheina duduk di situ.
Sheina sudah duduk di belakang Lingga. Tapi Lingga belum juga
mengendarakan motornya.
“Gue udah duduk. Kok ngga jalan?” tanya Sheina.
“Lo mau jatoh? Peraturan duduk di belakang gue belum berubah. Ngga perlu gue ingetin kan?” ucap Lingga dengan kepala yang sedikit menoleh ke belakang.
“Lo mau jatoh? Peraturan duduk di belakang gue belum berubah. Ngga perlu gue ingetin kan?” ucap Lingga dengan kepala yang sedikit menoleh ke belakang.
Sheina menghela napas dan kemudian melingkarkan kedua
tangannya di pinggang Lingga. Lalu, Lingga mulai mengendarai dengan kecepatan
standar.
Sesampainya di sekolah, sudah lumayan banyak para alumni yang
datang. Seusai Lingga memarkir motor, Lingga dan Sheina jalan bersebelahan.
Tidak sedikit teman yang meledek. Bagaimana tidak, waktu
masa-masa SMA, Lingga dan Sheina adalah pasangan kekasih yang disenangi
teman-teman yang lain. Mereka terlihat cocok dan tidak sedikit juga yang
menginginkan keserasiannya seperti Lingga dan Sheina.
Namun, mata Sheina malah mencari sosok Janu. Bisa Sheina
tebak, Janu pasti sudah berkumpul dengan komplotannya semasa SMA. Maklum, Janu
terpisah kampus dari ketiga teman terdekatnya.
Dua temannya melanjutkan kuliah di luar negeri, dan satunya
lagi memilih sekolah pilot. Sheina mendapati Janu sedang berdiri di ujung
koridor. Bukan menemui ketiga sahabtnya. Tapi, mantan kekasihnya. Felly.
“Na, balikan?” tanya teman dekat Sheina, Audy namanya.
Sheina langsung melirik Lingga yang masih berdiri
disampingnya.
“Engga. Siapa yang balikan.” jawab Sheina.
“Maunya sih gitu, Dy. Sayangnya, hati bicara lain.” ucap Lingga yang kemudian memisahkan diri.
“Maunya sih gitu, Dy. Sayangnya, hati bicara lain.” ucap Lingga yang kemudian memisahkan diri.
Audy tertawa.
“Kalian berdua tuh emang bener-bener cocok. Ngga terpisahkan.
Eh, tapi kok bisa bareng Lingga? Kalian kan ngga sekampus. Lo kan sekampusnya
sama Janu.”
“Bisa dong. Tadi tuh yang pas gue tanyain temen-temen yang lain siapa yang ada tumpangan, gue mau nebeng. Tapi sebagian pada udah di sekolah dan sebagain pada ngga ada tumpangan. Jadilah gue sama Lingga.”
“Lingga tuh emang selalu punya tempat buat lo, Na.”
“Bisa dong. Tadi tuh yang pas gue tanyain temen-temen yang lain siapa yang ada tumpangan, gue mau nebeng. Tapi sebagian pada udah di sekolah dan sebagain pada ngga ada tumpangan. Jadilah gue sama Lingga.”
“Lingga tuh emang selalu punya tempat buat lo, Na.”
Sheina diam mendengar omongan Audy barusan.
“Dy, gue mau minuman kaya lo dong. Di mana ambilnya?” Sheina
mengalihkan.
“Di sana. Yuk ke sana, sekalian ketemu sama Bu Indi, dia bawa anaknya lho. Anaknya ganteng banget!”
“Dy, lo lagi ngga mau macarin anak SMP kan?”
“Di sana. Yuk ke sana, sekalian ketemu sama Bu Indi, dia bawa anaknya lho. Anaknya ganteng banget!”
“Dy, lo lagi ngga mau macarin anak SMP kan?”
Audy tersenyum. Sheina menatap tak percaya.
“Udah ah ayo, katanya mau ngambil minum.” Audy menggandeng
Sheina.
Hari ini memang hari reuni yang sudah direncanakan oleh
sekolah. Sekolah mereka memang selalu mengadakan reuni setiap dua tahun setelah
angkatan.
Mereka yang hari ini berada di sekolah, adalah siswa-siswi angkatan
dua tahun yang lalu. Acaranya dilangsungkan di sekolah. Beberapa guru yang bisa
hadir, datang untuk menemui anak didiknya. Yang tidak bisa hadir, mungkin lain
waktu bisa bertemu.
Setelah mengambil minuman, Sheina duduk di salah satu kursi
barisan paling belakang. Sekolah juga membuat panggung. Siapa saja siswa atau
siswi bisa menyumbang suara untuk menghibur yang ada di sini.
Seseorang naik ke atas panggung. Dengan dress polos warna
merah dan rambut selehernya, ia menyanyikan sebuah lagu.
Alunan musik sudah terdengar dan sedang menunggu Felly
menyebutkan lirik dalam nada lagu Raisa yang berjudul pemeran utama.
Sheina bangun dari sandarannya di kursi. Mencari seseorang
dari sudut lapangan ke sudut yang lain.
Sheina menemukan seseorang itu. Ternyata Janu sedang berdiri
tak jauh di belakang Sheina. Memperhatikan Felly yang mulai menyuarakan isi
hatinya.
Sheina sibuk mendinginkan hatinya yang panas, sampai tak sadar
bahwa Felly sudah selesai bernyanyi. Sheina membalikan tubuhnya. Janu sudah
tidak ada di sana.
Saat menghadap ke depan, rupanya Janu sudah berdiri di
hadapan Felly, di samping tangga panggung.
Sekitar pukul sembilan malam, acara selesai. Audy sudah pamit
lebih dulu untuk pulang bersama kekasihnya yang juga teman SMA Sheina. Mereka
langgeng.
Seharusnya Papa Sheina mengizinkan putri tunggalnya
mengendarai mobil sendiri hari ini. Papa selalu tidak mengizinkan putrinya
mengendarai mobil sendiri, karena belum memiliki SIM dan belum terlalu bisa.
Mungkin kalau Mama Sheina masih ada, pasti beliau yang menjemput
semata wayangnya ini. Tapi, Mama pergi saat Sheina lahir ke bumi.
Tapi Sheina masih bersyukur karena memiliki orang tua tunggal
yang super. Namun, karena hari ini Papa sedang ada urusan di luar kota,
terpaksa Sheina harus mandiri, tidak bisa merengek pada Papanya agar di jemput.
Sheina berjalan perlahan sambil mencari taksi. Tapi
sepertinya taksi tidak akan lewat sini. Bahkan angkutan umum pun sudah tidak
beroperasi. Berarti, Sheina harus berjalan sampai depan perempatan.
Langkah Sheina terhenti karena sebuah mobil memepet dirinya.
Seseorang membuka kaca mobil. Felly.
Tapi, Felly duduk di samping Janu. Janu?
“Shein, kok jalan kaki?” tanya Felly.
“Bokap ngga jemput, Fell.” jawab Sheina.
“Yaudah, bareng kita aja yuk?” ajak Felly.
“Bokap ngga jemput, Fell.” jawab Sheina.
“Yaudah, bareng kita aja yuk?” ajak Felly.
Tak lama, sebuah motor berhenti tepat di depan mobil Janu.
Lingga.
“Na, pulang sama gue aja.” ucap Lingga.
Suatu pilihan yang berat bagi Sheina. Ia enggan melihat Janu
duduk bersebelahan dengan Felly, tapi ia juga malas kalau harus pulang dengan
Lingga.
“Fell, kayanya gue bareng Lingga deh.” ucap Sheina.
“Ciye, mau bernostalgia ya? Yaudah deh, hati-hati ya.” ledek Felly.
“Ciye, mau bernostalgia ya? Yaudah deh, hati-hati ya.” ledek Felly.
Sheina baru sadar. Janu sama sekali tak menoleh ke arah
Sheina. Setelah mobil Janu melesat, Sheina menghampiri Lingga.
Baru saja Sheina ingin memegang pundak Lingga untuk naik ke
motornya, tapi Lingga malah mematikan mesin motornya.
“Kenapa?” tanya Sheina.
Lingga melepas jaket putihnya dan memberikannya pada Sheina.
“Pake. Nanti masuk angin.” ucap Lingga.
“Lo sendiri?” tanya Sheina.
“Yang penting lo, Na.” kata Lingga.
“Lo sendiri?” tanya Sheina.
“Yang penting lo, Na.” kata Lingga.
Memang, malam ini terasa dingin dan berangin. Apa lagi,
Sheina hanya mengenakan celana jins dan kemeja kotak-kotak warna merah muda
yang digulung sesikut.
Sheina memakai jaket Lingga dan kemudian naik ke atas motor
Lingga.
Entah apa yang tertinggal. Sheina selalu merasa nyaman saat
berada di belakang Lingga. Sheina baru sadar, ia benar-benar menyakiti hati
Lingga, dulu. Namun kesalahan Sheina yang menyebabkan mereka seperti sekarang
hanya mereka yang tau.
Sesampainya di depan rumah Sheina.
“Makasih ya jaketnya.” ucap Sheina.
“Sama-sama. Lo sendiri di rumah?” tanya Lingga.
“Sama-sama. Lo sendiri di rumah?” tanya Lingga.
Sheina mengangguk.
“Berani? Ngga takut ada yang ngetok-ngetok pintu kamar lo
tengah malem?” ledek Lingga.
“Lingga, jangan bikin gue parno. Gue bener-bener sendiri ya di rumah. Pembantu juga lagi pada mudik.” kata Sheina dengan nada yang biasa saja.
“Ya kan bisa aja. Hati-hati juga kalo keran di kamar mandi nyala.”
“Udah deh ah sana pulang. Kerjaan lo bikin gue takut mulu.”
“Bukannya lo ya yang kerjaannya bikin gue takut?”
“Gue? Kok gue?” Sheina menatap bingung.
“Gue takut kalo lo udah jadi milik orang lain.”
“Lingga, jangan bikin gue parno. Gue bener-bener sendiri ya di rumah. Pembantu juga lagi pada mudik.” kata Sheina dengan nada yang biasa saja.
“Ya kan bisa aja. Hati-hati juga kalo keran di kamar mandi nyala.”
“Udah deh ah sana pulang. Kerjaan lo bikin gue takut mulu.”
“Bukannya lo ya yang kerjaannya bikin gue takut?”
“Gue? Kok gue?” Sheina menatap bingung.
“Gue takut kalo lo udah jadi milik orang lain.”
Sheina membuang pandangan.
“Gue masuk ya.” pamit Sheina.
“Na,” Lingga menarik tangan Sheina. “Maaf gue ngomong kaya
tadi. Hem, oiya, kalo lo butuh seseorang buat nemenin lo, kabarin gue aja.”
ucap Lingga.
Sheina melepas tangan Lingga, kemudian masuk tanpa ucapan
apa-apa.
Ini yang Sheina benci dengan acara reunian. Sejujurnya, ia
sangat malas bertemu Lingga. Begini akibatnya. Ternyata Lingga masih berusaha,
padahal ia tau bagaimana hati Sheina.
Walaupun berada dekat dengan Lingga Sheina merasa nyaman,
bukan berarti hatinya masih milik Lingga. Sheina merasa Lingga terlalu putih
untuk perasaan Sheina yang warna-warni.
Keesokan harinya saat sampai di kampus, Sheina mendapati Janu
sedang asyik membaca buku di bangku taman sambil mendengarkan lagu melalui earphone. Sheina langsung mendekat dan
segera duduk disamping Janu, tapi Janu malah siap untuk segera berdiri.
Janu menutup buku dan melepas earphone-nya, menaruhnya di leher. Tanpa sedetikpun melirik Sheina,
Janu berjalan menjauhi bangku taman.
“Gue pernah punya salah apa sih sama lo? Kenapa kayanya lo
males banget deket-deket gue?” tanya Sheina yang ikutan berdiri.
Janu menghentikan langkahnya.
“Gue cuman lagi buru-buru.” ucap Janu tanpa melirik ke arah
Sheina.
Sedangkan Sheina masih menyimpan tanda tanya besar dan
mengartikan sikap Janu padanya.
Sebenarnya Sheina agak kesal atas perlakuan Janu. Semenjak
kelas satu SMA semester dua, Janu berubah jadi seseorang yang angkuh bagi
Sheina. Padahal, waktu awal masuk sekolah, Janu selalu bersikap baik padanya.
Entah apa yang membuatnya berubah.
Siang ini, Sheina baru saja selesai membaca buku di
perpustakaan. Sheina baru saja membuka pintu. Tanpa ia ketahui, seseorang
sedang berdiri di depan pintu, alhasil, kepalanya kepentok pintu yang Sheina
buka.
“Ma—“ Sheina menghentikan ucapannya setelah tau siapa yang
ada di hadapannya sekarang.
Janu menatap wajah Sheina, lalu membuang pandangan.
“Maaf.” ucap Sheina yang setelah itu beranjak dari hadapan Janu.
Sepulang kuliah, seperti biasa, Sheina harus menunggu bis
kampus untuk bisa sampai gerbang utama kampus.
Bersandar di tiang halte sambil mendengarkan music melalui
iPod mini berwarna biru. Mobil yang baru saja keluar dari gerbang fakultas,
membuat Sheina sedikit beralih. Setelah beberapa detik, Sheina merogoh ponsel
yang ia selipkan di saku celana jins-nya.
Sheina melepas salah satu headset
yang terpasang di telinganya, menerima satu panggilan dari seseorang.
“Hah? Yaudah, tinggal lurus dikit lagi, terus muter arah. Gue
di depan halte fakultas.” Sheina memutus telepon.
Mobil Janu sudah pergi. Datanglah sebongkah masa lalu.
“Kenapa ke kampus gue? Segala jemput gue.” ucap Sheina yang
masih berdiri di samping motor Lingga.
Lingga melepas helmnya.
“Karena gue masih kangen sama lo.” jawab Lingga.
Sheina menaikan kedua alisnya.
“Kangen? To the point banget
ya lo. Yaudah, karena lo udah jemput gue, jadi sekarang anterin gue pulang ke
rumah.”
“Kupu-kupu banget sih lo. Mampir dulu kek ke mall kaya mahasiswi lainnya.”
“Kalo gue ngga mau kaya mahasiswi yang lainnya, gimana?”
“Kupu-kupu banget sih lo. Mampir dulu kek ke mall kaya mahasiswi lainnya.”
“Kalo gue ngga mau kaya mahasiswi yang lainnya, gimana?”
Lingga diam ditanya seperti itu.
“Yaudah, naik. Galak banget sih.”
Saat itu, keadaan langit sudah mulai mendung. Tanpa jaket dan
tanpa helm. Kalau perjalanan dilanjutkan, pasti Sheina basah kuyup setelah
sampai rumah.
“Mau neduh dulu ngga? Mumpung masih gerimis.” tanya Lingga.
“Yaudah, neduh dulu aja.”
“Yaudah, neduh dulu aja.”
Hendak berhenti di bawah kios yang sedang tutup. Tapi Lingga
malah masuk ke restoran cepat saji di sebelah kios yang sedang tutup itu.
Mereka masuk ke restoran yang menyajikan menu makan sepaket
ayam dengan rasa pedas yang ada levelnya.
“Kenapa malah ke sini? Katanya mau neduh?” tanya Sheina.
“Ini juga kita lagi neduh. Pesan makan yuk.” ajak Lingga.
“Lo aja deh.”
“Yakin ngga mau? Gue mau pesan fire wings level lima, lho.”
“Ngga mau. Gue maunya pulang!” kata Sheina yang kemudian meninggalkan Lingga.
“Ini juga kita lagi neduh. Pesan makan yuk.” ajak Lingga.
“Lo aja deh.”
“Yakin ngga mau? Gue mau pesan fire wings level lima, lho.”
“Ngga mau. Gue maunya pulang!” kata Sheina yang kemudian meninggalkan Lingga.
Sheina berjalan keluar restoran dan mendapati jalanan sudah
diguyur hujan.
“Na, ujannya udah deres. Masuk aja dulu yuk.” Lingga
menghampiri Sheina.
Bukan. Bukan hujan yang sedang Sheina perhatikan. Tapi
seseorang yang berjalan ke arahnya. Namun, itu hanya perasaan Sheina saja. Janu
berjalan melewati Sheina—masuk ke dalam restoran.
“Gue tetep mau pulang. Lo ngga usah ribet, gue mau pulang
sendiri.” setelah bicara begitu, Sheina menerobos hujan.
Entah mengapa, perasaannya benar-benar kesal hari ini.
Melihat sikap Janu yang keterlaluan. Selalu menjauh kalau Sheina hendak
mendekat. Sebenarnya, apa salah Sheina?
Malam harinya, saat pembantu di rumah Sheina mengetuk-ngetuk
pintu kamar Sheina. Namun tidak ada jawaban. Bik Inah terpaksa membuka pintu
kamar Sheina karena takut terjadi sesuatu pada majikannya itu.
Sheina sedang tertidur pulas dibalik selimutnya. Awalnya
biasa saja, namun Bik Inah berubah khawatir begitu mendekati tubuh Sheina.
Sheina menggigil, wajahnya pucat dan tubuhnya panas.
“Aduh, Non. Bibik telepon Tuan ya supaya Tuan pulang ke
rumah.” panik Bik Inah.
“Bik, jangan telepon Papa.” ucap Sheina dengan nada bicara yang gemetaran.
“Kalo gitu, kita ke rumah sakit ya Non?”
“Kompres kening aku aja Bik. Abis itu aku minum obat demam yang ada di kotak obat aja. Aku lemes banget, Bik. Males ke rumah sakitnya.”
“Yaudah, Bibik ambilkan dulu ya Non.”
“Bik, jangan telepon Papa.” ucap Sheina dengan nada bicara yang gemetaran.
“Kalo gitu, kita ke rumah sakit ya Non?”
“Kompres kening aku aja Bik. Abis itu aku minum obat demam yang ada di kotak obat aja. Aku lemes banget, Bik. Males ke rumah sakitnya.”
“Yaudah, Bibik ambilkan dulu ya Non.”
~
Malam ini, Janu hanya ditemani segelas kopi susu dan
laptopnya. Membaca sesuatu di atas balkon kamarnya.
Tidak ada bintang malam ini. Mungkin langitnya masih sembap,
maka dari itu bintang dan bulan tidak menampakan keindahannya.
Janu sedang asyik membaca sebuah arsip blog seseorang.
Mengartikan setiap kata dalam bait puisi seseorang itu. Mengamati wajahnya yang
diselipkan dalam ruang profil. Senyum manis pemilik alamat blog ini mampu
mengundang senyum di bibir Janu.
Kenapa bola matamu sangat sulit
kutemukan, padahal kita sedang berdekatan.
Salah satu kalimat yang ditulis seseorang dalam blog-nya.
“Suatu hari lo pasti akan tau yang sebenarnya. Pasti.” ucap
Janu.
Keesokan harinya, mobil Janu mulai menelusuri tempat parkir.
Entah siapa yang salah, Janu menabrak seseorang yang sedang berjalan.
Janu turun dari mobilnya. Seseorang sedang merintih sambil
memegangi kaki kirinya, lalu sikut tangan kirinya.
Janu masih berdiri tanpa mengambil sikap. Seseorang yang Janu
tabrak sedang berusaha berdiri, lalu menoleh.
Sheina hanya diam dan tidak percaya kalau Janu hanya
memperhatikan tanpa tindakan dan ucapan. Bahkan tatapannya seperti tanpa rasa
bersalah. Membuat Sheina jadi enggan bicara apapun padanya.
Sheina mulai melangkah meninggalkan Janu yang masih mematung.
Setelah sudah agak jauh melangkah, Janu menarik tangan kanan Sheina, mendrongnya
untuk naik ke mobilnya. Lagi-lagi tanpa ucapan.
“Tanpa kata. Tanpa maaf. Dan sekarang lo ngajak gue pergi
dari kampus. Gue bener-bener ngga ngerti Nu sama jalan pikiran lo.” ucap
Sheina.
Mobil Janu berhenti di sebuah jalanan yang kiri-kanannya hanya
terdapat pepohonan. Maklum, kampus mereka terletak diantara pepohonan yang
besar dan rindang. Hanya satu atau dua mobil yang melintas.
Janu membuka dasbor, mengambil sebuah tas kecil berwarna
hijau dengan logo tambah di depannya.
“Mana telapak tangan lo?” ucap Janu setelah membasahkan kapas
dengan alkohol.
Sheina menoleh dengan penuh ketidakpercayaan. Karena Sheina
sama sekali tidak menggubris pertanyaan Janu, akhirnya Janu menggamit telapak
tangan kanan Sheina.
Janu membersihkan secara perlahan. Setelah kedua telapak
tangan Sheina, Janu berniat untuk membersihkan goresan luka di sikut tangan
kirinya.
“Hadap ke gue.” pinta Janu. Sejak tadi, posisi tubuh Janu
tidak menghadap ke depan, namun beralih ke samping kiri, menghadap Sheina.
“Biar gue bersihin sendiri.” Sheina meminta kapas dan
alkoholnya pada Janu.
Janu memberikannya. Kemudian, Janu turun dari mobil disaat
Sheina sedang mengompres sikutnya dengan kapas yang sudah dibasahi alkohol.
Janu membuka pintu sisi kiri mobil.
“Keluarin kaki lo.” ucap Janu.
“Mau ngapain?” tanya Sheina panik.
“Gue bilang keluarin.” paksa Janu.
“Ya lo mau ngapain dulu?”
“Mau ngapain?” tanya Sheina panik.
“Gue bilang keluarin.” paksa Janu.
“Ya lo mau ngapain dulu?”
Janu menatap Sheina.
“Lo keluarin atau gue paksa tarik kaki lo keluar?”
Saat itu, Janu duduk di trotoar jalanan, berniat membersihkan
dan membalut luka di kaki Sheina dengan perban.
Sheina mengeluarkan kedua kakinya dan membiarkan Janu
melakukan apa yang ingin dia lakukan. Sekarang, kaki Sheina sudah dibalut
perban.
Janu sudah kembali duduk di belakang kemudi. Ia belum juga
menyalakan mesin.
“Gue minta maaf.”
Sheina menoleh ke sumber suara.
“Hah? Gue ngga salah denger seorang Janu bisa bilang maaf?”
“Lo ngga salah denger kok.”
“Lo ngga salah denger kok.”
Sheina tak berekspresi.
“Janu. Kenapa kita ngga jalan?” tanya Sheina.
“Gue lagi males ke kampus.” jawab Janu seenaknya.
“Terus lo cabut ngajak-ngajak gue, gitu?” tanya Sheina.
“Kalaupun sekarang lo ke kampus, lo yakin Pak Bono bakal ngizinin lo masuk kelas?”
“Gue lagi males ke kampus.” jawab Janu seenaknya.
“Terus lo cabut ngajak-ngajak gue, gitu?” tanya Sheina.
“Kalaupun sekarang lo ke kampus, lo yakin Pak Bono bakal ngizinin lo masuk kelas?”
Sheina diam dan berpikir.
“Ya engga sih. Terus kita mau di sini aja gitu, ngeliatin
pohon sama jalanan?” tanya Sheina.
“Ya emangnya lo mau ngeliat apaan? Turun aja kalo mau liat yang lain-lain, susah banget.”
“Ya emangnya lo mau ngeliat apaan? Turun aja kalo mau liat yang lain-lain, susah banget.”
Sheina mencibir dalam hati.
Beberapa saat kemudian, ponsel Sheina berdering. Lingga.
Sheina sempat melirik ke arah Janu, kemudian keluar dari mobil.
Satu menit kemudian, Sheina masuk ke mobil Janu.
“Nu, anterin ke halte fakultas dong.” pinta Sheina.
“Suruh aja cowok lo jemput ke sini. Kenapa harus lo yang nyamperin?”
“Cowok gue? Orang Lingga.”
“Ya dia kan cowok lo.”
“Kita lagi ngga di kelas mengarang ya, Janu. Jadi jangan sembarangan kalo ngomong.”
“Gue ngga mau nganterin. Kalo lo ngga nyuruh dia ke sini, ya lo jalan kaki aja ke sana.”
“Ih kok nyebelin sih. Kan lo yang ngajak gue ke sini.”
“Tapi lo juga ngga protes waktu gue narik lo ke mobil.”
“Suruh aja cowok lo jemput ke sini. Kenapa harus lo yang nyamperin?”
“Cowok gue? Orang Lingga.”
“Ya dia kan cowok lo.”
“Kita lagi ngga di kelas mengarang ya, Janu. Jadi jangan sembarangan kalo ngomong.”
“Gue ngga mau nganterin. Kalo lo ngga nyuruh dia ke sini, ya lo jalan kaki aja ke sana.”
“Ih kok nyebelin sih. Kan lo yang ngajak gue ke sini.”
“Tapi lo juga ngga protes waktu gue narik lo ke mobil.”
Skakmat. Sheina diam lalu menatap wajah Janu dengan tatapan
kesal.
“Terimakasih tumpangannya.” Sheina bicara begitu sebelum
akhirnya turun dari mobil Janu.
Sheina berjalan dengan pincang. Kaki kiri yang terbungkus
perban membuatnya sedikit susah untuk berjalan.
Untuk kedua kalinya, seseorang yang sama menarik tangan
Sheina dan membawanya ke dalam mobil.
“Yang ada lo nyampenya besok malem kalo jalan kaki dengan
keadaan gitu.” Janu mulai menyalakan mesin dan mengantarkan Sheina ke depan
gedung fakultas.
Sheina tersenyum melihat sikap Janu.
Janu menghentikan mobilnya tepat di belakang motor Lingga.
Lingga langsung bangun dari duduknya setelah melihat Sheina turun dari mobil
Janu.
“Kok lo bisa sama Janu? Dari mana?” tanya Lingga begitu Janu
sudah melesat dengan mobilnya. “Kaki lo kenapa diperban? Lo abis ngapain sih
sama Janu?” tanya Lingga.
“Lo ngga punya pertanyaan yang lebih penting?” Sheina malah
balik bertanya.
“Itu pertanyaan penting menurut gue.”
“Kalo menurut lo penting, gue rasa, gue ngga perlu ngejawab. Karena itu bukan urusan lo.”
“Oke, oke. Gue minta maaf. Mendingan sekarang kita pergi.”
“Itu pertanyaan penting menurut gue.”
“Kalo menurut lo penting, gue rasa, gue ngga perlu ngejawab. Karena itu bukan urusan lo.”
“Oke, oke. Gue minta maaf. Mendingan sekarang kita pergi.”
~
“HAH? Lo gila ya? Gue ngga mau!” teriak Sheina.
“Na, gue bener-bener ngga tau harus gimana lagi. Cuman lo satu-satunya harapan gue.”
“Gue ngga mau, Lingga.”
“Jadi lo bener-bener ngga peduli sama gue?”
“Sebagai mantan kekasih, gue peduli sama lo. Tapi dalam kasus ini, gue ngga mau ikut campur.”
“Jadi lo tega ngeliat gue sama orang lain yang duduk di pelaminan? Na, gue ngga mau nikah di usia gue yang sekarang. Dalam masalah ini, gue belum siap menikah. Dan cuman lo satu-satunya orang yang klop sama nyokap gue. Waktu awal-awal kita putus, nyokap masih sering ngajak lo jalan kan? Na, nyokap gue sayang banget sama lo. Jadi gue mohon, lo mau bantuin gue supaya nyokap ngebatalin pertunangan ini dan berhenti nyari-nyari tanggal pernikahan.”
“Lingga, terus gimana sama keluarga si cewek itu? Masa lo mau ngeberantakin semua yang udah terencana?”
“Gue ngga peduli. Yang jelas, cuman lo yang bisa bantu gue. Dengan lo jadi pacar gue lagi, nyokap pasti ngga akan ngejodoh-jodohin gue.”
“Na, gue bener-bener ngga tau harus gimana lagi. Cuman lo satu-satunya harapan gue.”
“Gue ngga mau, Lingga.”
“Jadi lo bener-bener ngga peduli sama gue?”
“Sebagai mantan kekasih, gue peduli sama lo. Tapi dalam kasus ini, gue ngga mau ikut campur.”
“Jadi lo tega ngeliat gue sama orang lain yang duduk di pelaminan? Na, gue ngga mau nikah di usia gue yang sekarang. Dalam masalah ini, gue belum siap menikah. Dan cuman lo satu-satunya orang yang klop sama nyokap gue. Waktu awal-awal kita putus, nyokap masih sering ngajak lo jalan kan? Na, nyokap gue sayang banget sama lo. Jadi gue mohon, lo mau bantuin gue supaya nyokap ngebatalin pertunangan ini dan berhenti nyari-nyari tanggal pernikahan.”
“Lingga, terus gimana sama keluarga si cewek itu? Masa lo mau ngeberantakin semua yang udah terencana?”
“Gue ngga peduli. Yang jelas, cuman lo yang bisa bantu gue. Dengan lo jadi pacar gue lagi, nyokap pasti ngga akan ngejodoh-jodohin gue.”
Sheina diam.
“Terserah gimana perasaan lo. Tapi gue mohon dan gue
bener-bener butuh bantuan lo sebagai temen.” ucap Lingga.
Sheina menatap Lingga.
continued...
Komentar
Posting Komentar