Miris: Finding Love [Chapter 8]

Hai, simak kelanjutannya ya!



“Tumben banget Kak Erland ngajak kita-kita ke rumahnya.” ucap Lira sambil memakan sisa-sisa kremes dipiringnya.
“Gue juga ngga tau. Dia bilang, rumahnya kosong, dia disuruh jaga rumah. Eh, dia ngundang kita semua. Lo mau kan Ra?” tanya Ingga.
“Sheryl sama Dizi udah pasti ikut?” ucap Lira yang mengalihkan pandangan ke arah Dizi dan Sheryl.
Dizi dan Sheryl saling melirik.
“Gue tanya Papa gue dulu.” ucap Dizi.
“Tuh, Dizi aja belum pasti.” kata Lira.
“Kalo gue, ya semoga sih Mama gue ngebolehin.” ucap Sheryl.
“Ayolah, kapan lagi tahun baruan bareng-bareng.” ucap Ingga dengan nada bicara yang lirih.
“Sore, anak-anak SMA.” ucap seseorang yang baru datang berdua dengan temannya.
“Eh, Kak Nanda, Kak Arsen.” ucap Sheryl.
Lira yang sedang asyik dengan ponselnya, mendengar nama Arsen disebut, langsung menoleh ke arah seseorang yang memakai kaos warna biru laut. Arsen melempar senyum pada Lira, namun Lira kembali menatap layar ponsel setelah diberi senyuman.
“Lagi pada ngapain?” tanya Nanda.
“Abis makan aja Kak.” Ingga menjawab.
“Dirly ngga ke sini Diz?” tanya Nanda mengalihkan mata Dizi dari layar ponsel.
“Engga, dia lagi sibuk apa gitu katanya.” jawab Dizi.
“Lira, diem aja. Ada Arsen nih.” ledek Nanda.
Lira diam saja, membalas ucapan Nanda barusan hanya dengan sunggingan senyum. Arsen yang geregetan melihat tingkah Lira, langsung duduk di hadapan Lira. Untuk apa lagi kalau bukan untuk mengganggu Lira.
“Pinjem ya.” Arsen menggamit novel Move On dari hadapan Lira.
“Ih, lagi dibaca, juga!” lira merampas novelnya.
“Ra, gue baru baca sampe judul ketiga. Mau—“
“Bukannya lo ngga suka cerita romantis bullshit ya?”
“Ya emang ngga suka. Tapi penasaran aja, abis judulnya Move On.”
“Lira baca itu biar bisa move on dari mantannya, Kak.” ucap Ingga.
“Oh ya? Jadi lo lagi terpuruk? Sama dong kita.” ucap Arsen.
“Lo aja ya, gue sih engga.” kata Lira.
Tak lama, seseorang memarkir motor di depan warung makan Mama Sheryl. Orang itu turun dan melepas helm.
“Sher, gue pesen ayam kremes tiga ya, dibungkus.”
‘Virgo. Ah!’ benak Lira.
“Lira?”
Lira masih terpaku dengan bacaannya. Arsen malah memperhatikan cowok yang baru saja memanggil Lira.
Dizi dan Ingga menonton adegan di depan matanya, Sheryl juga memperhatikan dari balik meja penyajian—dibantu Nanda yang memasukan ayam ke penggorengan.
“Itu siapa Sher?” bisik Nanda setelah memasukan ayam ke penggorengan.
“Itu Virgo, mantannya Lira.” jawab Sheryl yang juga berbisik.
“Tadi lo bilang ngga mau ke mana-mana, taunya malah di sini.” ucap Virgo yang terkesan ‘sok akrab’ pada Lira yang hanya memberi kacang rebus pada Virgo.
“Ra, diajak ngobrol tuh sama Virgo.” ledek Dizi.
Tiba-tiba, pandangan Virgo berpindah ke cowok yang duduk di hadapan Lira—Arsen. Arsen menatap Virgo dingin.
Lira masih fokus dengan bacaannya.
“Ra?” Virgo duduk disampingnya.
Lira berdiri dan pergi dari sana.
“Eh, Ra, mau ke mana?” Ingga dan Dizi berdiri.
“Lira!” panggil Sheryl.
Ingga dan Dizi berniat mengejar, namun Arsen meminta agar ia saja yang mengejar Lira.
“Go, lo tuh ngerti ngga sih perasaannya Lira kaya gimana?” tanya Ingga.
“Iya, gue ngerti. Makanya gue mau perbaikin semuanya, Ngga.” jawab Virgo.
“Lo pikir, gelas yang udah pecah, bentuknya bakal tetep sama kalo diperbaiki?” tanya Sheryl. Nanda menatap Sheryl.
“Gue butuh kesempatan ketiga.” ucap Virgo.
“Itu sih namanya dikasih segelas air tapi minta samudera.” Ingga berfilosofi.
“Lira udah terlanjur hancur, Go. Mendingan lo cari cara buat mandiri lagi.” kata Sheryl.
“Tapi, cowok yang tadi siapanya Lira?” tanya Virgo.
“Tadi—“
“Pacarnya.” Nanda memotong ucapan Sheryl yang baru ingin menjawab.
Dizi, Ingga, Sheryl dan Virgo kaget mendengar jawaban Nanda.
~
“Lo mau ke mana?” Arsen menarik tangan Lira.
“Terserah gue.” Lira menepis tangan Arsen.
“Ra, lo tuh kaya anak kecil banget sih?” Arsen kembali menggamit pergelangan tangan Lira.
“Yaudah, gue ini yang kaya anak kecil. Lepas, ngga?!”
“Engga.”
“Mau lo apa sih?” Lira mendengus kesal.
“Lo mau tau mau gue apa?” tanya Arsen.
Lira menatap Arsen. Arsen malah mendekati wajahnya ke depan wajah Lira.
“Gue mau lo ngga jutek lagi sama gue. Bisa?”
Lira melepas genggaman Arsen, mundur beberapa langkah.
“Gue tuh ngga jutek sama lo, cuman emang lo itu patut dijutekin sama orang lain.” ucap Lira.
“Gue mau tau, apa lo sejutek ini sama cowok yang tadi?”
“Ngga usah bawa-bawa Virgo deh. Lo tuh ngga kenal sama dia.”
“Gue kan cuman nanya, ngga bawa-bawa dia. Berat kali.”
“Ih!” Lira menatap kesal.
Lira berjalan meninggalkan Arsen. Arsen malah tersenyum memandangi Lira dari belakang. Arsen mengikuti langkah Lira, hingga Arsen mencoba untuk merangkul Lira.
“Heh. Lepas ngga!” ketus Lira.
“Ngga denger.”
Lira mencoba melepaskan tangan Arsen dari pundaknya. Usahanya gagal sampai mereka kembali ke warung Mama Sheryl.
Dizi, Ingga, dan Sheryl melongo melihat kejadian ini. Virgo malah berpikir keras dengan apa yang ada di depan matanya. Nanda hanya tersenyum dalam tundukannya.
“Kalo emang bener, boleh gue ngomong sama lo sekali lagi?” tanya Virgo.
Lira melongo mendengar ucapan Virgo barusan. Benar? Maksudnya benar apa?
“Bi—“ ucap Lira.
“Ngga.” serobot Arsen.
“Apaan sih lo?!”
“Lo apa?”
“Yaudah Ra, mungkin ngga hari ini. Lain hari. Masih ada yang harus gue omongin sama lo.” kemudian Virgo pergi dari situ.
Setelah Virgo pergi, Lira melepas paksa tangan Arsen dari pundaknya. Arsen malah tersenyum.
“Kok bisa pas, ya.” ucap Sheryl.
“Hahahahahaha!” Nanda tertawa geli.
“Kenapa sih?” Lira mengrenyitkan dahi.
“Tadi Virgo nanya, Kak Arsen itu siapa lo. Terus Kak Nanda jawab, Kak Arsen pacar lo.” jelas Ingga.
Arsen tertawa sambil menatap Lira. Lira hanya diam tak menanggapi ucapan Ingga.
Senja sudah berganti menjadi gemerlap bintang. Masih ada Dizi, Ingga, Lira, Nanda, dan Arsen di warung Mama Sheryl.
“Eh, gue udah dijemput Erland di depan Sevel.” ucap Ingga.
“Terus gue balik sama siapa?” tanya Lira yang khawatir pulang sendiri.
“Dizi? Eh, yaudah gue duluan. Bye!” ucap Ingga.
“Nanti Dirly jemput. Iya, hati-hati Ngga!” ucap Dizi sambil cengengesan.
“Oke, kalian gitu sekarang.” kata Lira.
“Ra, rumah kita tuh deketan. Lo ngga mau ngajak gue balik bareng?” tanya Arsen.
“Nah! Arsen kan rumahnya deketan sama Lira. Kalian bareng aja!” antusias Nanda.
“Kenapa engga, Dizi balik sama gue, orang aneh ini balik sama adenya, Kak Dirly. Mereka kan lebih deket lagi, seatap.” ucap Lira.
“Orang aneh?” Arsen menaikan sebelah alisnya.
“Kenapa? Mau protes?” Lira lebih kejam lagi menatapnya.
“Udah ih! Saling jatuh cinta beneran baru tau rasa lho.” ucap Sheryl.
Lira diam tak menjawab. Arsen malah menyunggingkan bibirnya yang disambut tawa dari Nanda.
Sekarang hanya tersisa Nanda, Arsen, Lira, dan Sheryl.
“Ra, masih mau di sini? Gue udah mau nutup warungnya nih.” ucap Sheryl.
“Masa gue harus balik sama dia sih?” rengek Lira.
“Ra, kasihan temen gue, ngga dikasih mobilnya gara-gara lo. Ngga inget?” ucap Nanda.
“Kak Nanda ih.”
“Nah, denger tuh kata Nanda.” Arsen menyetujui ucapan Nanda.
Lira membuang napas.
“Yaudah deh ah.” Lira berdiri sambil mengeluarkan kunci motor dari saku jaketnya.
“Balik sekarang?” tanya Arsen.
“Lo maunya besok? Gue sih sekarang.” jawab Lira.
“Sher, temen lo yang satu ini makannya apa sih? Anak singa?” tanya Arsen.
“Lira kaya gitu sama Kak Arsen doang tau. Hahahahaha!” ucap Sheryl.
“Sher…” gumam Lira.
“Hahahahahaha!” tawa Sheryl.
“Ciye, akhirnya pulang bareng. Akur ya kalian.” ledek Nanda.
“Kak Nanda!” Lira memelototi Nanda. Tapi Nanda malah tertawa.
Lira sudah duduk di atas motornya.
“Lo turun.” ucap Arsen.
“Kan gue yang punya motor, kok disuruh turun?” tanya Lira.
“Lo tuh ya. Mau lo yang bawa? Sini biar gue aja.”
“Ooh. Bilang dong kalo mau lo yang bawa.” Lira turun.
“Takut banget gue bawa kabur motor lo.” Arsen naik ke atas motor Lira.
“Kan ngeri.”
“Mending pemilik motornya yang gue culik.” gumam Arsen.
“Hah?”
“Engga. Yaudah Nda, Sher, kita balik duluan ya.” pamit Arsen.
“Hati-hati ya.” kata Sheryl.
Setelah Lira dan Arsen pergi, Nanda membantu Sheryl merapikan warung dan menutupnya.
“Sher?”
“Hm…”
Sheryl masih asyik dengan kegiatan rapi-rapinya.
“Sheryl.”
“Apa?” Sheryl membalikan tubuhnya, menghadap Nanda yang berdiri di belakangnya.
Spontan. Kening Sheryl terasa hangat seketika itu juga.
“Sorry.” ucap Nanda. Sheryl membuang pandangan. “Gue suka sama lo, Sher.” ucap Nanda. Sheryl menatap Nanda.  Mata indah itu mampu mengunci tatap Sheryl.
“Sheryl juga.” ucapnya sambil mencari arah selain mata Nanda. Sheryl tersenyum.
“Lo suka sama gue juga?” tanya Nanda memegang kedua bahu Sheryl. Sheryl mengangguk sambil tersenyum. Nanda ikut tersenyum. “Kalo gitu, gue diterima kan?” tanya Nanda. Sheryl menjawab dengan anggukan mantap.
~
“Lo di mana?” tanya Ingga dari ujung telepon.
“Gue udah di depan pos satpam komplek rumah Kak Erland. Jemput gue sini.” ucap Lira.
“Yaudah, tunggu sebentar ya.” Ingga memutus sambungan setelah bicara barusan.
Ingga mengirim pesan singkat pada seseorang.
“Ngga, tadi Lira?” tanya Sheryl.
“Iya.” jawab Ingga.
“Kok lo ngga jemput dia?” tanya Sheryl.
“Dikit lagi dia sampe kok.” jawab Inggar sambil tersenyum.
Di atap rumah Erland, sudah ada pemilik rumah, kekasihnya, Nanda, dan Sheryl. Semua sudah tersusun rapi untuk acara malam ini. Erland dibantu Ingga, Nanda, dan Sheryl mendekorasi lantai tiga rumah Erland sejak tadi sore.
Di depan pos satpam.
“Ingga lama banget sih. Sejauh apa sih dari rumah Kak Erland ke sini?!” gerutu Lira sambil melirik jam tangannya.
Tin.. Tin..
Suara kalkson mobil berbunyi. Lampu mobil menyilaukan kedua mata Lira hingga membuatnya harus terpejam.
Honda Mobilio itu berhenti disamping Lira. Pengemudi membuka kaca mobilnya. Sepertinya, Lira tak asing dengan kendaraan di hadapannya ini.
“Naik.” ucap Arsen.
“Lo kok ada di sini?” tanya Lira.
“Jangan banyak tanya deh. Udah, buruan naik. Gue cuman menjalankan perintah.” ucapnya.
Lira naik ke mobil Arsen.
“Bukannya lo lagi dihukum?” tanya Lira.
“Hukuman gue udah dicabut kok. Jadi gue boleh bawa mobil lagi.”
“Baretnya udah hilang.”
“Ya udah lah. Lo pikir mau gue tinggalin kenang-kenangan dari lo itu? Bikin mobil gue kelihatan jelek aja.”
“Yaudah sih biasa aja!” ketus Lira.
“Becanda kali. Sensitif banget sih kalo sama gue.”
Lira melihat ke jalanan, tanpa melirik Arsen yang sedang cengengesan sedari tadi.
Sesampainya di depan rumah Erland, tidak lama dari itu, Dirly dan Dizi baru saja sampai. Mereka sampai dari arah yang berbeda.
“Baru sampe juga kalian?” tanya Arsen.
“Iya Kak. Lo sama Lira?” ucap Dirly.
“Gue baru sadar kalo gue lagi dikerjain.” ucap Lira seraya turun dari mobil.
“Pede banget sih jadi cewe.” gumam Arsen.
Lira hanya melirik kemudian menggandeng Dizi masuk ke dalam.
“Halo Dizi. Halo Lira.” Ingga memeluk Dizi dan Lira. Berlebihan, seperti tidak bertemu setahun saja, padahal kan baru kemarin mereka bertemu.
“Sebenernya, yang diundang Kak Erland tuh siapa aja sih?” tanya Lira.
“Ini udah dateng semua kok.” jawab Erland.
“Cuman segini? Kirain ngundang temen kampusnya Kak Erland juga.” kata Lira.
“Kalo ngundang temen sekampus, rumahnya ngga muat, lah. Gimana sih.” celetuk Arsen.
“Ngga lagi ngomong sama lo, ya.” ucap Lira, dingin.
Waktu sudah menunjukan hampir tengah malam. Erland sudah berada di depan pemanggang, di atas atap rumahnya—ditemani sang kekasih disampingnya.
Sheryl dan Nanda menyiapkan tempat untuk makanan yang sedang di panggang. Sementara Dirly memilih memainkan gitar di atas kursi, dengan Dizi disampingnya yang selalu me-request lagu.
Lira memilih mengabadikan situasi malam ini. Merekam dan sesekali menjepret kegitan teman-temannya. Arsen yang memilih duduk di atas ayunan, merasa nyaman memperhatikan seseorang yang sedang lalu lalang mengabadikan keadaan—namun tidak dirinya.
“Sher, gue mau minum dong.” Lira menghampiri Sheryl yang sedang menyiapkan gelas dan minuman berasa.
“Sebentar ya, gue tuang dulu.” ucap  Sheryl yang ribet menyusun beberapa gelas yang diisi minuman warna-warni.
“Ngga ada kopi-kopian ya?” tanya Lira yang melihat Sheryl menuangkan minuman ke dalam gelas.
“Ngga ada. Kak Erland cuman ngasih sirup doang.” Sheryl berhenti dari aktivitasnya—menuang minuman ke dalam beberapa gelas.
Tiba-tiba, Nanda bangun dari duduknya dan berdiri disamping Sheryl—merangkulnya.
“Lo mau yang kopi-kopian?” tanya Nanda.
Lira menjatuhkan pandangannya ke tangan Nanda yang menggenggam bahu Sheryl.
“Itu maksudnya apa ya?” tanya Lira dengan lirikan mata yang mengarah ke bahu Sheryl. Nanda dan Sheryl malah tersenyum, seolah menjawab pertanyaan Lira. “Kalian…” Lira menggantung ucapannya.sheryl mengagguk.
Lira memasang tampang kaget bukan main.
“Diziiiiiiiiiii! Inggaaaaaaaaaaa!” teriak Lira.
“Kenapa sih lo?” tanya Ingga yang tetap berada diposisinya.
“Kemarin, Ra.” ucap Dizi seolah menjawab pertanyaan yang belum sempat Lira lontarkan.
“Jangan bilang lo sama Kak Dirly juga—“
“Belum.” selak Dirly dengan tatapan datar. Dizi menoleh ke arah Dirly.
Ada yang mengumpatkan senyuman di balik gelap sesaat melihat tingkah seorang penggalau berat.
00.01
Langit sudah dipadati warna-warni dan gemerlap petasan. Malam yang cukup indah dengan hiasan percikan warna di atas langit.
“Selamat tahun baru!” teriak mereka.
“Semoga hubungan kita selalu ada sampe kapanpun. Jangan bosan jalan disamping aku, ya.” bisik Erland yan berdiri disamping Ingga.
“Aamiin. Selalu ketemu tanggal dua belas.” ucap Ingga dengan senyum manjanya.
“Sher, kira-kira kita langgeng ngga ya?” tanya Nanda.
“Ko pertanyaannya gitu sih?” Sheryl menatap kesal.
“Maksudnya, dua bulan kemudian kan ngga ada tanggal tiga puluh. Ngga ngaruh kan ya sama hubungan kita?”
“Nda, pertanyaan kamu kok konyol banget sih? Hahahaha.” ucap Sheryl.
“Kalo gitu, kamu cepet-cepet lulus SMA deh ya.” ucap Nanda. Entah mengapa, pikiran Sheryl jadi bercabang. Apa maksud ucapan Nanda?
“Emang kenapa?” tanya Sheryl.
“Belajar yang bener, biar kita bisa sekampus.” kata Nanda dengan senyumnya. Perlahan, senyum Sheryl mengembang ketika Nanda tersenyum sambil melihat ke atas langit.
“Kak, ngga bikin harapan?” tanya Dizi.
“Banyak Diz yang Kakak harapkan.” jawab Dirly.
“Sebutin aja, biar Dizi aamiin-in.” ucap Dizi.
“Yang paling pertama sih, harapan selayaknya siswa kelas tiga SMA.”
“Oiya! Semoga dimudahkan ya Kak ujian nasionalnya, terus bisa sekolah pilot kaya yang Papanya Kakak harapkan.” kata Dizi.
‘Kenapa kamu kepengin banget aku sekolah pilot, Diz?’ tanya Dirly dalam benaknya.
“Semoga ada yang baru dari kita berdua.” ucap Dirly.
“Maksudnya?” Dizi menatap penuh tanda tanya. Tapi Dirly malah mengalihkan pandangannya dari Dizi.
“Bisa-bisanya mereka berenam pasang-pasangan sedangkan gue cuman nonton dari belakang.” Arsen menoleh ke arah ayunan di ujung sana. “Bisa-bisanya juga Lira malah asyik baca novel pas momen kaya gini.” ucapnya.
Arsen berjalan menghampiri Lira. Duduk di atas ayunan—di hadapan Lira. Sontak Lira langsung menatap sinis kedua mata dihadapannya.
Arsen mengambil novel dari tangan Lira.
“Arsen, balikin!” ucap Lira.
Honey­-nya si Bee itu udah meninggal. Selama ini, Honey cuman ngomong sama fotonya Bee.” ucap Arsen.
“Apa, sih?!” Lira menatap aneh.
“Gue tau lo lagi baca You After Us, dan lo kebingungan kan?” tanya Arsen. Lira menunduk malu. Memang iya, Lira bingung dengan jalan cerita di novel judul terakhir.
“Sini, balikin. Gue mau lanjut baca.” kata Lira.
“Lo tuh ngga bisa ya sebentar aja ngehargain situasi?”
“Lo ngomong apa sih? Gue ngga ngerti.” Lira bersiap turun dari ayunan, tapi Arsen menahannya.
“Gue belum selesai ngomong sama lo, tau!” kata Arsen.
“Minggir ah, gue mau ke sana.” Lira memberi isyarat bahwa ia ingin menghampiri ketiga temannya.
“Lo ngga ngertiin perasaan temen banget sih. Temen-temen lo tuh lagi sama pasangannya. Udah, lo di sini aja sama gue. Jangan jadi nyamuk, deh.” ucap Arsen dengan nada bicara yang santai.
Lira diam mendengar omongan Arsen barusan. Arsen memperhatikan Lira, lekat. Lira menangkap sorotan mata itu dan terkunci untuk beberapa detik. Setelahnya, ia malah jadi salah tingkah.
~
Tunggu kelanjutannya ya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]