Miris: Finding Love [Chapter 2]

Hai, simak kelanjutannya ya!



Sepulang sekolah, mereka berempat tidak langsung pulang. Melainkan melanjutkan mendengar cerita Ingga di bangku taman sekolah.
Lira sudah siap dengan keripik kentang dan minuman rasa jeruk di botol kemasan, macam mau menonton bioskop saja.
Dizi juga sudah menggenggam seplastik pop ice coklat. Sedangkan Sheryl, memilih memeluk sebotol air mineral yang tinggal setengah.
“Bukannya kamu udah putus sama Cakka?” tanya Mama.
“Emang udah. Kak willy aja yang ngarang. Udah ah, aku pergi sebentar.”
Ingga pun segera keluar rumahnya. Entah mengapa jantungnya berdegup lebih cepat. Ingga mulai melangkahkan kakinya menuju lapangan yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumahnya.
Sebelum berbelok, Ingga mengintip keadaan lapangan dari balik tiang listrik. Sudah ada Erland di sana. Erland terlihat tampan dengan kaos hitam dan jaket jinsnya.
Ingga yang membiarkan rambutnya tergerai dengan poni yang ia sampingkan, berjalan menghampiri Erland.
Erland gelisah sambil melirik arloji dan ponselnya.
“Kak,” ucap Ingga.
Erland menoleh ke belakang.
“Maaf, lama ya?” tanya Ingga, menunduk malu.
“Eh, engga kok. Hem…” gumam Erland.
Ingga menatap Erland, tapi Erland malah buang pandangan.
“Ingga wangi banget. Pake parfum apa?” tanya Erland.
“Hahahahahaha! Ngapain si Erland nanyain parfum lo? Dia mau beli juga? Hahahaha!” ucap Lira yang juga mengundang Dizi dan Sheryl tertawa. “Oke maaf, lanjutkan.” katanya.
“Hah? Emang wangi banget ya?” tanya Ingga.
“Iya, wangi. Eh iya, sini duduk.” ucap Erland.
Mereka duduk di bangku yang terbuat dari semen, di pinggir lapangan basket tersebut.
“Ada apa sih Kak ngajak aku ngobrol di sini?” tanya Ingga.
“Ada hal penting yang mau Erland omongin sama Ingga.” ucap Erland.
“Hal penting apa?” tanya Ingga.
Erland menarik napas, lalu menghembuskannya.
“Aku suka sama kamu.”
Ingga tersipu. Berteriak dalam hati. Lidahnya terasa keluh.
“Hem, terus?” tanya Ingga.
“Kamu suka ngga sama aku?” tanya Erland.
Ingga mengangguk perlahan sambil tersenyum. Erland pun tersenyum.
“Kalo gitu, Ingga mau ngga jadi pacar Erland?”
“Hem, mau ngga yaa.”
Erland menatap penuh harap.
“Kakak beneran sayang sama aku?” tanya Ingga.
“Sayang. Cinta malah.” jawab Erland.
“Iya Kak, aku mau.” ucap Ingga.
Seketika wajah Erland berubah sumringah. Penuh dengan rasa bahagia namun bingung bagaimana cara mengekpresikannya di hadapan Ingga—kekasihnya terhitung hari ini.
“Makasih, Ingga.”
“Iya Kak.”
“Kamu jangan panggil aku dengan sebutan Kak lagi. Sekarang kan kita…”
“Hm, iya… Erland.” ucap Ingga dengan senyuman.
“Selesai.” ucap Ingga.
“Jadi, lo jadian tanggal 12?” tebak Lira.
“Yap.”
“Oh, baru seminggu.” ucap Lira.
“Erland mukanya kaya gimana sih?” tanya Dizi.
“Itoloh Diz, yang hidungnya mancung.” jawab Sheryl asal.
“Kok lo tau?” tanya Ingga.
“Emang iya ya? Hahaha, gue kan ngasal jawabnya.” kata Sheryl.
“Erland emang mancung hidungnya.” ucap Ingga.
Setelah sebungkus keripik kentang Lira habis, lalu membuka pesan yang baru saja ia terima di ponselnya, Lira bangun dari duduknya.
“Yaudah deh, gue duluan ya. Udah dijemput sama Om gue.” ucap Lira.
“Gue juga udah dijemput Erland. Kebetulan dia juga baru pulang kuliah. Hehehe.” ucap Ingga.
Dizi melemparkan kunci motor pada Sheryl.
“Bawa motor gue ya, Sher.” ucap Dizi sambil tertawa.
“Kita kapan ya Diz dijemput?” tanya Sheryl.
Mereka berempat berjalan bersama menuju gerbang sekolah, namun harus memisahkan diri dengan Sheryl dan Dizi di parkiran.
“Hati-hati ya Diz, Sher. Daah.” ucap Ingga.
~
“Tante, ayam kremes paha seporsi ya.” ucap seorang mahasiswa sambil memainkan ponselnya, yang kemudian duduk di kursi dekat sang penjual. Memang, sebuah meja panjang berada dekat dengan meja memasak.
Ayam sudah berada dalam penggorengan, Sheryl mengambil piring yang agak besar dan mulai menaruh nasi dengan salad dan sambal di pinggiran nasi.
Mama Sheryl mengambil ayam yang sudah ditiriskan menggunakan penjepit, lalu menaruh di atas piring.
Sheryl mengantar pesanan seorang mahasiswa yang masih menatap layar ponselnya.
“Mas, ini pesanannya.” ucap Sheryl.
“Iya, makasih Bu.” jawabnya tanpa sedikitpun berpaling pandangan.
“Saya bukan ibu-ibu.” jawab Sheryl dengan jengkel karena dipanggil dengan sebutan ‘Bu’ oleh mahasiswa yang ada di hadapannya ini.
Sheryl berbalik dan bergegas menaruh nampan di tempatnya.
“Eh, kamu.” panggilnya. Sheryl menoleh.
“Kenapa?” tanya Sheryl.
“Itu. Air buat cuci tangannya mana?” tanyanya.
“Ini baru mau saya ambil, Mas.”
Sheryl mengambil mangkuk kecil untuk dituangkan air bersih guna pencuci tangan. Mahasiswa itu memperhatikan Sheryl.
“Jangan panggil saya Mas dong. Saya bukan orang Jawa, lho.” ucap mahasiswa itu.
“Emangnya panggilan Mas itu cuman buat orang Jawa aja ya?” tanya Sheryl sambil berjalan menuju meja makan pembelinya itu.
“Bukannya iya?” mahasiswa ini memasang wajah berpikir.
“Dimakan dulu aja Mas makanannya, nanti keburu dingin.” ucap Sheryl sambil tersenyum.
Sheryl berjalan keluar dari warung makan, karena Mama Sheryl menyuruh Sheryl mengambil setoples kremes di rumahnya.
“Mas, kok bengong?” tegur Mama Sheryl.
“Eh, engga kok Tante. Yang tadi siapa Tante? Pelayan Tante?”
“Hush! Itu anak Tante.”
Cowok bermata cokelat dan berhidung mancung ini melongo, sekaligus merasa tak enak.
“Ma… maaf Tante, saya ngga tau.”
“Ngga papa,” Mama Sheryl tersenyum. “Kamu orang baru ya? Kuliah di mana?” tanya Mama Sheryl.
“Iya, saya baru pindah kemarin. Di UI, Tante.” jawabnya seraya memakan makanannya.
“Emang asli mana?”
“Mami Lampung, Papi Florida.”
“Bukan, maksud Tante, sebelum di sini, kamu di mana?”
Lagi-lagi mahasiswa ini merasa dibuat malu untuk kedua kalinya.
“Di Tangerang, Tan. Capek aja bolak-balik Tangerang-Depok setiap hari, akhirnya sekarang ngekost deh.”
“Tante belum kenal sama kamu. Nama kamu siapa Mas?”
“Aduh, Tante. Jangan panggil saya Mas deh, saya berasa ikan.”
“Lho, hahahaha. Mau dipanggil apa memangnya?”
“Panggil Nanda aja.”
“Oh, namanya Nanda. Oh iya, warung makan ini juga baru buka empat hari yang lalu lho. Kamu tau tempat makan ini dari mana?”
“Dari temen kuliah, Tan. Dia rumahnya daerah Depok, terus katanya pas pertama kali ke sini, langsung ngefeel.
“Oh gitu, ya Alhamdulillah kalo pada suka.”
“Ma, ini kremesnya.” Sheryl datang seraya menaruh dua toples kremes.
“Iya, taruh aja.” kata Mama.
“Aku balik lagi ya Ma, mau ngerjain tugas. Besok juga ada ulangan kimia.”
“Yasudah, pintu jangan di kunci ya.”
“Iya.”
Sheryl berlalu tanpa melirik pelanggan yang sedang memperhatikannya. Tanpa Mama Sheryl ketahui kalau Nanda sedang memperhatikan anak bungsunya. Kemudian, Mama Sheryl bangun dari duduknya untuk melayani pembeli.
Keesokan harinya saat sampai di sekolah, Sheryl dan Dizi terlambat masuk kelas karena Miss Ina sudah lebih dulu masuk kelas.
Pertauran di sekolah memang sedikit beda dari yang lain. Kalau guru yang akan mengajar di jam pertama sudah masuk kelas, maka siswa yang telat masuk kelas harus menunggu di depan kelas sampai seisi kelas selesai tadarusan. Dan bagi siswa yang telat masuk kelas, mereka harus siap menerima hukuman ringan dari gurunya.
Untunglah bukan hanya Dizi dan Sheryl yang tertinggal masuk kelas. Di depan kelas XI IPA 2 ada lima orang yang telat masuk kelas.
Setelah ke-lima siswa yang telat masuk ke dalam kelas.
“Kalian lagi. Saya sampai bosan lihat Sheryl dan Dizi. Kalian tinggal seatap ya?” tanya Miss Ina yang mengundang tawa sekelas.
“Iya Miss, kita seatap. Nah, tadi pagi Sheryl bangunin sayanya telat. Makanya kita telat sampai kelas, Miss.”
Bahkan jawaban Dizi pun mengundang tawa. Miss Ina malah menggelengkan kepalanya.
“Yasudah, kalian duduk. Saya lagi malas kasih hukuman.” ucap Miss Ina.
Suatu keberuntungan bagi Sheryl dan Dizi. Biasanya kalau telat di jam pelajaran Miss Ina, yang telat disuruh lompat vampire dari depan kelas XI IPA 2 sampai kelas paling ujung, kelas XI IPS 1. Karena memang, kelas XI hanya ada empat kelas, XI IPA dua kelas, begitupun kelas IPS.
Miss Ina mulai menjelaskan materi pelajaran. Tidak, bukan pelajaran. Miss Ina memasukan sebuah DVD ke dalam laptopnya, lalu menyuruh salah satu siswa untuk menayalakan infokus.
Nonton film!
Time to sleep.” ucap Lira yang kemudian menaruh kepalanya di atas jaket yang ia taruh di atas meja.
Tidak Dizi, Sheryl, dan Ingga. Mereka malah antusias untuk menonton film yang akan segera diputar.
Keadaan kelas tidak akan rapi kalau sudah diputarkan film. Ada yang duduk di lantai, duduk bertiga, dan tak jarang ada yang duduk di kursi guru, dan gurunya memilih duduk di barisan paling belakang.
Sheryl pun ikutan pindah tempat—karena ia dan Lira duduk di barisan paling pinggir dekat pintu—ke meja paling depan, barisan nomor tiga dari pintu, tepat di depan bayangan infokus.
Ingga dan Dizi memilih tetap di tempat. Lira yang memilih tidur menghadap tembok, mulai memasang headset ke telinganya, lalu memutar lagu-lagu Sheila On 7.
Tiba-tiba, seseorang duduk di samping Lira.
“Dia tidur beneran?” tanya seseorang yang duduk di samping Lira kepada Ingga dan Dizi.
“Tidur. Kenapa, Go?” tanya Ingga setelah melihat keadaan Lira yang ternyata terpejam.
“Ngga papa. Nanti jangan bilang-bilang dia ya kalo gue duduk di sebelahnya.” ucap Virgo, pelan.
“Lira pakai headset Go. Jadi dia ngga akan denger juga.” ucap Ingga.
“Go, emang kenapa jangan bilang-bilang Lira kalo lo duduk di sini?” tanya Dizi.
“Ngga papa. Gue cuman…” omongan Virgo menggantung.
“Cuman apa?” selidik Ingga diselingi senyum.
“Kangen duduk di sebelahnya.” jawab Virgo, lirih.
Tanpa sepengetahuan mereka bertiga, Lira sedang tidak tidur, juga tidak mendengarkan lagu lagi saat tahu Virgo duduk di sampingnya.
Lira tahu betul kalau Virgo duduk di sampingnya sebelum Virgo meminta Ingga dan Dizi untuk jangan memberitahunya. Lira hafal wangi Virgo.
Saat mendengar jawaban Virgo, perlahan, air mata itu menetes dari mata Lira yang dipejamkannya.
Saat jam istirahat, di kantin.
Lira membuang pandangan setelah melihat seseorang lewat bersama seseorang. Lira masih tidak terima dengan keputusan Virgo, namun ia juga tidak bisa melakukan apa-apa.
“Ngga tau kenapa ya, gue kaya liat kemunafikan dari sorot mata Virgo.” ucap Ingga.
“Kaya masih ada secercah harapan gitu ya.” ucap Dizi.
“Maksudnya kemunafikan?” tanya Sheryl.
“Makan kali, bukannya ngomongin orang.” cibir Lira sambil menyuap baksonya.
“Masih terluka ternyata hati doi.” ledek Ingga seraya melirik Lira dengan senyum meledek.
“Kalo gue jadi Lira mungkin gue bersikap yang sama kaya dia. Ya gimana sih rasanya diputusin dengan alasan klasik karena takut nyakitin? Bukannya dengan dia mutusin itu sama aja nyakitin?” ucap Sheryl.
“Kenyang ah.” ucap Lira yang kemudian bangun dan bersiap pergi dari kantin.
Sheryl menarik tangan Lira.
“Baper deh ah. Maaf deh bahas masa lalu lagi.” ucap Sheryl.
“Kayanya lo butuh cowok deh Ra.” ucap Ingga.
“Buat apa ada cowok kalo tugasnya nyakitin doang? Capek gue sama yang namanya cowok.”
Dizi, Ingga, dan Sheryl hanya saling menatap.
~
Tunggu kelanjutannya ya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]