Miris: Finding Love [Chapter 1]


“JADIAN?!”
Suara Lira, Sheryl, dan Dizi mengagetkan Ingga, juga teman-teman yang lain yang saat jam istirahat begini ada di kelas.
“Berisik banget ya kalian. Biasa aja dong!” ucap Ingga.
“Kapan?” tanya Lira.
“Gimana nembaknya?” tanya Sheryl.
“Kok bisa sih? Belakangan ini kan kita sering ngerjain tugas. Kenal di mana?” tanya Dizi.
Ingga menutup kedua telinganya.
“Salah gue ngasih tau kalian.” gumam Ingga.
“Lebih salah lagi kalo ngga ngasih tau. Ceritain selengkap-lengkapnya buruan!” pinta Lira.
“Iya iya gue ceritain.”
“Eh, namanya siapa?” tanya Sheryl.
“Ini gue mau cerita dari awal.” ucap Ingga.
“Dari awal mos ya.” celetuk Dizi.
“Diz, plis deh.” ucap Sheryl.
Ingga memulai ceritanya. Memang, hari-hari mereka selalu disibukan dengan tugas sekolah yang mengalir bagai air di sungai. Jam pulang sekolah yang kadang tidak teratur dan membuat mereka sering berada di luar rumah.
Tapi, bagaimana bisa Ingga dekat dengan seseorang? Selama ini Ingga selalu bersama Lira, Sheryl, dan Dizi. Ingga juga tidak terlihat seperti orang yang sedang PDKT.
“Erland itu temen kuliah kakak gue. Gue kenal dia semenjak dia sering main ke rumah gue dengan alasan ngerjain tugas bareng kakak gue.” cerita Ingga.
“Oh, namanya Erland.” Sheryl mengangguk-anggukan kepalanya.
“Terus?” Lira meminta kelanjutan ceritanya.
“Awalnya sih gue biasa aja. Tapi pas kesekian kali dia ke rumah gue, gue bilang kalo kakak gue lagi ngga di rumah. Eh, dia bilang sama gue kalo dia ke rumah ngga nyari kakak gue, tapi nyari gue.”
“Eh, Kak Erland. Ka Willy lagi ngga ada di rumah Kak, dia lagi nganterin Mamaku ke mini market.”
“Gue ngga nyari Willy kok.”
“Lho, terus nyari siapa? Papaku?”
“Bukan Papa lo juga. Gue nyari… Gue mau ketemu lo sebenernya.”
“Hah? Kenapa Kak nyari aku?”
Ingga menatap Erland dengan tatapan penuh tanya. Untuk apa Erland mencarinya? Menagih hutang Kak Willy? Atau mengembalikan stick drum punya Kak Willy? Atau—
“Bisa ngobrol sebentar? Tapi ngga di sini.” ucap Erland.
“Mau ngomongin apa sih sampe harus di luar rumah? Aku banyak tugas, Kak.”
Erland menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.
“Yaudah, kalo gitu gue minta nomor hape lo deh.” ucap Erland terbata-bata.
Ingga cengengesan.
“Kenapa ngga minta ke Kak Willy aja?” tanya Ingga.
“Lo mau ngasih apa engga?” Erland malah bertanya balik.
Ingga menatap Erland. Tapi Erland malah salah tingkah.
“Sini hape Kakak.” ucap Ingga sambil menengadahkan tangan kanannya.
Erland mengeluarkan ponselnya dari saku celana jins hitamnya. Ingga pun mulai mengetikan dua belas digit nomor ponselnya.
“Nih.” ucap Ingga seraya memberi ponsel Erland.
“Makasih ya. Udah gue miscall barusan, save ya nomor gue.” ucap Erland.
“Iya.”
“Yaudah, gue pulang ya. Daah, Ingga.”
“Cuman mau minta nomor hapeku aja Kak? Ngga ada keperluan sama Kak Willy?” tanya Ingga.
“I… Iya. Cuman mau gitu. Yaudah ya gue pamit.”
Setelah motor Erland berlalu, Ingga malah jadi senyum-senyum sendiri. Konyol, tapi manis. Padahal kalau mau minta nomor telepon, Erland bisa minta langsung ke Kak Willy.
Ingga mengeluarkan ponsel dari saku baju kodoknya. Ada satu panggilan tak terjawab di layar ponsel, dengan nama Kak Erland yang tertera di layar ponselnya.
“Dasar…” gumam Ingga dengan senyum orang jatuh cinta seraya menutup pintu pagar rumahnya.
“Terus jadiannya kapan???” tanya Lira dengan sangat penasaran.
“Tunggu. Kan gue ceritanya dari awal.” jawab Ingga.
Lira, Sheryl, dan Dizi benar-benar menyimak. Lira yang duduk di belakang Ingga, menyimak dengan wajah sangat penuh rasa penasaran. Begitupun Dizi yang duduk di samping Ingga, dan Sheryl yang setengah menyimak, setengahnya lagi berada di layar ponsel yang sedang dimainkannya.
“Waktu itu, PDKT gue udah jalan selama sebulan. Gue sama Erland PDKT cuman lewat sms-an biasa. Nah, pas hari Senin malem…”
-Ingga, Erland udah di lapangan deket rumah Ingga. Ke sini ya.-
Setelah membaca pesan singkat dari Erland, Ingga bergegas keluar rumah. Masih jam setengah delapan malam. Papa, Mama, dan Kak Willy ngga akan curiga kalau Ingga keluar rumah sebentar.
Ingga keluar dari kamar menggunakan celana jins setengah betis dipadukan dengan kaos berlengan panjang warna hitam. Dan tidak kalah wangi dengan ruang keluarga di rumah Ingga.
“Wangi banget lo. Mau ke mana?” tiba-tiba Kak Willy bertanya.
“Kepo banget.” jawab Ingga.
“Mau ke mana Dek?” tanya Papa yang muncul dari kamar.
“Keluar bentar, Pa. Ngga lama kok.” jawab Ingga.
“Keluar sebentar kok rapi banget, wangi parfum kamu kecium sampe dapur.” ucap Mama yang baru saja mengambil makanan dari dapur.
“Mau ketemu cowok ya?” tanya Kak Willy.
“Apaan sih!” elak Ingga.
“Jangan-jangan mau ketemu Cakka. Hahahaha!” ledek Kak Willy.
“Cakka siapa, Ngga?” lagi-lagi Lira memotong cerita Ingga.
“Ihh, lo mah dipotong mulu.” kesal Ingga.
“Oke, maaf maaf. Silahkan lanjutin.” ucap Lira dengan tatapan polosnya itu.
Kring. Kring. Kring.
Tiga kali suara bel. Itu tandanya…
“Lira sih motong cerita mulu, istirahatnya udah selesai deh.” celetuk Sheryl.
“Ada novelnya ngga? Biar gue baca di rumah, deh.” ucap Lira.
“Yeu! Gue kan ngga kaya lo, Ra, cerita sama mantan dibikin novel. Hahaha!” ledek Ingga.
“Hahahaha. Luna… Luna.” ledek Dizi.
“Udah dong. Masa lalu biarlah masa lalu.” ucap Lira.
“Sst, udah udah. Bu Rika udah dateng.” bisik Sheryl.
Mereka pun mengeluarkan buku paket fisika beserta buku tulis catatan dan latihannya.
“Pasti dikit lagi…” gumam Lira.
“Lira, tolong catat latihan soal ini di papan tulis.” ucap Bu Rika di meja guru.
“Tuh kan.” ucap Lira.
Ingga, Dizi, dan Sheryl hanya cekikian.
Selalu saja. Kalau sudah pelajaran fisika, pasti Bu Rika menyuruh sekretaris kelas—Lira—untuk mencatat soal latihan atau materi baru di papan tulis.
Kadang, sembilan puluh menit atau sama saja dua jam pelajaran di sekolah Lira, hanya habis untuk mencatat di papan tulis. Tentu tanpa penjelasan apa-apa dari sang guru.
Dari kelas satu SMA, Bu Rika selalu seperti itu. Beliau baik, namun sedikit kurang dalam mengajar. Hanya memberikan catatan lalu memberi tugas tanpa pernah dijelaskan sebelumnya.
Malah, hampir satu kelas jadi suka malas mencatat dan lebih memilih mem-fotocopy catatan teman yang mencatat.
Seperti siang ini, Bu Rika meminta Lira untuk mencatat materi bab lima.
“Kamu catat ini ya. Dari sini sampai halaman ini. Kalau sudah selesai, kamu lanjutkan mencatat soal latihan dari nomor satu sampai nomor… lima belas saja. Takutnya kalau tiga puluh nomor, waktunya tidak cukup.” jelas Bu Rika.
Help me! Batin Lira.
Bahkan, mengerjakan satu nomor saja terasa sulit bagi Lira. Bagaimana lima belas nomor? Lima belas!
Keuntungan sebagai sekretaris kelas adalah, tidak usah merasa dikejar waktu untuk mencatat, karena sebelum selesai mencatat yang diperintahkan Bu Rika, bel pergantian pelajaran sudah keburu berbunyi. Haha!
Sesaat Lira mencatat menggunakan spidol hitam ketiga, Lira melirik jam tangan yang ia kenakan di pergelangan tangan kirinya.
Lima menit lagi bel. Yes!
Tok. Tok. Tok.
Seseorang mengetuk pintu. Rupanya guru piket yang meminta ketua kelas keluar sebentar karena ada yang harus disampaikan.
“Wah, kayanya ada pengumuman libur nih.” ucap Ingga.
“Kalo kata gue pulang cepet.” sebenarnya, itu harapan Dizi.
“Palingan Virgo dipanggil Pak Aji disuruh beli soto ayam Bu’ De.” ucap Sheryl sambil mencatat.
Seketika Ingga dan Dizi menoleh ke belakang, menatap Sheryl dengan tatapan aneh.
“Kenapa?” tanya Sheryl.
Virgo—ketua kelas XI IPA 2—masuk dan meminta perhatian teman-temannya.
“Temen-temen, tadi Pak Aji bilang ke gue kalo Pak Wino ngga masuk karena sakit. Jadi abis pelajaran fisika, kita jam kosong.” ucap Virgo.
“YEY!” sorak satu kelas.
Bel pergantian pelajaran pun berbunyi. Siswa dan siswi menutup buku catatannya, begitu pun Lira yang menutup spidolnya.
“Tunggu.”
Ucapan Bu Rika membuat seisi kelas diam. Bahkan yang hendak memasukan buku ke dalam tas pun mematung.
“Lira, sudah sampai mana mencatatnya?” tanya Bu Rika.
“Catetannya udah selesai saya catet. Tapi soal latihannya belum, Bu.” jawab Lira.
“Kalian jam kosong kan? Yasudah, Lira, lanjutkan mencatat. Kalian semua kerjakan latihan soal yang Ibu kasih. Wajib dikerjakan. Ibu mengisi jam kosong.” ucap Bu Rika.
What the hell!
“Fisika empat jam?! Well-well to the well. Kenyang deh!” cibir Ingga.
“Bawa kantong kresek ngga lo?” tanya Dizi.
“Buat apaan, Diz?” Ingga bertanya balik.
“Buat muntah.” jawab Dizi yang mengundang tawa Ingga dan Sheryl.
~
Tunggu kelanjutannya ya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makna Rasa Dibalik Lirik Lagu

Cerpen: At The Past

About SCIGENCE [Part 1]